Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Kembalikan Kesedihan itu Padaku
1
Suka
36
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator





Cerpen "Kembalikan Kesedihan itu padaku" karya Asman'Dzakia adalah karya pendek yang Patut untuk di jadikan pelajaran hidup. Srikandi sedang sangat marah, bahkan kemarahannya terasa begitu besar hingga mengema di dasar danau kampus pun seolah tak sanggup menampungnya. Ia mempertanyakan mengapa dirinya harus mengetahui sesuatu, dan kenapa hal itu melibatkan Prahadi—seseorang yang dikenal aktif, cerdas, dan berprestasi di kampus, meskipun berkepribadian tertutup dan terlihat tidak ramah. Prahadi adalah sosok yang dihormati dan dikenal luas, mulai dari rektor hingga mahasiswa baru.

Cerpen ini menceritakan tentang persahabatan yang terjadi di dalam kampus,mereka sama sama sering mengikuti kengiatan dalam organisasi. Sampai suatu hari Srikandi sedang marah saat ini, sampai danau kampus saja tidak bisa menampung kemarahannya.

Srikandi baru saja mendengar cerita tentang Pra. Pra yang hidup tanpa tahu darimana ia berasal, di mana ayah ibunya, siapa kakek neneknya, siapa saudaranya, keluarganya. Sementara yang orang-orang tahu, Pra hidup bersahaja bersama Aksara, saudaranya. Padahal tidak. 

Fokus ulasan:

Srikandi tidak tahu harus marah pada siapa. Apa pada dirinya sendiri yang merasa begitu buruk jika disandingkan dengan apa yang telah Pra alami? Atau karena ia merasa begitu bodoh karena baru tahu cerita itu hari ini? Lebih-lebih ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya ketika menatap mata Pra nanti. Menatap orang yang selalu ia puja, ia banggakan, ia jadikan teladan. Menatap pemilik kisah tidak beruntung itu.

Arjuna tertawa sarkas “Prahadi yang sangat hebat bukan? Dia yang mengalami saja tidak marah sebesar kemarahanmu hari ini.”

Pra yang sangat luar biasa. Sampai aku takut memandangnya dengan tidak biasa. Sampai aku takut menangis saat bertemu dengannya.

 

     Srikandi baru mengetahui kisah masa lalu Pra, seorang yang ia kagumi dan jadikan teladan. Selama ini, Srikandi dan orang-orang mengira Pra hidup bahagia bersama saudaranya, Aksara. Namun ternyata, Pra tidak tahu asal-usul dirinya—siapa orang tuanya, kakek-neneknya, atau keluarganya yang lain. Ia tumbuh besar dalam pengasuhan keluarga Aksara, bukan sebagai saudara, tapi sebagai seseorang yang merasa berhutang seumur hidup atas kebaikan mereka.

PERMASALAHAN:

Srikandi tidak tahu harus marah pada siapa. Apa pada dirinya sendiri yang merasa begitu buruk jika disandingkan dengan apa yang telah Pra alami? Atau karena ia merasa begitu bodoh karena baru tahu cerita itu hari ini? Lebih-lebih ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya ketika menatap mata Pra nanti. Menatap orang yang selalu ia puja, ia banggakan, ia jadikan teladan. Menatap pemilik kisah tidak beruntung itu.

Srikandi menoleh ketika tiba-tiba Arjuna duduk di sampingnya sambil mengulurkan botol mineral. “Sebesar apa kemarahanmu saat ini, Srikandi? Sampai matahari tidak berani bersinar terik, padahal ini pukul dua belas tepat.”

Srikandi menerima botol itu, meminumnya. Lalu berkata, “Kemarahan yang tidak terhitung, Arjuna. Kemarahan yang tak ada batasnya.”

Arjuna tertawa sarkas “Prahadi yang sangat hebat bukan? Dia yang mengalami saja tidak marah sebesar kemarahanmu hari ini.”

Pra yang sangat luar biasa. Sampai aku takut memandangnya dengan tidak biasa. Sampai aku takut menangis saat bertemu dengannya. Aku bisa membayangkan bagaimana ia menjalani hidupnya dengan berbagai pertanyaan yang tak kunjung ia temukan jawabannya. Selama ini, sampai saat ini.”

Semoga bayanganmu salah, Srikandi. Bahkan Aksara saja tidak pernah membayangkan apa yang Pra lewati selama ini, sampai saat ini. Tidak ada yang bisa menebak Prahadi, lewat aksaranya sekalipun

“Srikandi, kamu tidak boleh menangis melihatnya nanti, tidak boleh terusik dengan rasa iba di hatimu, tidak boleh menatapnya dengan tatapan sedih. Pra tidak butuh itu. Jangan jadikan ajang untuk khawatir, untuk bersedih, untuk merasa tidak nyaman.”

“Lihatlah! Dia tumbuh dengan begitu hebat, begitu memesona, begitu membanggakan siapa saja tanpa perlu merasa berbangga diri. Jangan iba padanya. Lihat dia, Srikandi! Dengan kepercayaannya, dengan semangatnya, dengan kegigihannya, dia bisa melewati semua hal yang sempat kamu bayangkan. Tetap tegak dengan kakinya sendiri, tetap kokoh dengan bahunya sendiri, tetap lapang dengan hatinya sendiri. Lihat betapa dia percaya bahwa dia punya Tuhan yang selalu ada untuknya. Tanpa perlu mengeluh, meraung, membentak, merutuki nasib. Lihat dan tegakkan kepalamu sebagaimana ia menegakkan kepalanya untuk terus tumbuh di jalan yang sudah dipilihkan untuknya. Lihat dan berdoalah, semoga tak ada secuil dendam di hatinya karena dia terlalu istimewa.” 

   Kabar ini membuat Srikandi bingung dan terpukul. Ia tak tahu harus marah pada siapa—pada dirinya sendiri karena merasa tak pantas dibandingkan Pra, atau karena merasa bodoh baru mengetahui kebenaran itu sekarang. Ia pun merasa canggung dan tak siap menghadapi Pra, orang yang selama ini ia puja, karena kisah hidup Pra ternyata penuh luka yang tak pernah ia tahu.

 

   Srikandi didekati Arjuna yang datang tiba-tiba dan memberinya sebotol air mineral. Dengan peka, Arjuna menyadari betapa besar kemarahan Srikandi, sampai-sampai siang hari terasa redup. Srikandi mengakui bahwa ia sedang diliputi amarah yang begitu besar dan tak terukurun.





      Arjuna tertawa secara sarkastis, menyindir bahwa Prahadi — yang langsung mengalami penderitaan — justru tidak semarah orang lain yang hanya menyaksikan. Ia mengagumi Prahadi sebagai sosok luar biasa, begitu luar biasa hingga membuatnya merasa canggung dan takut menunjukkan emosi di hadapannya. Arjuna membayangkan beratnya hidup Prahadi yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, yang terus membayangi hingga saat ini.

     Pembicara berharap bayangan Srikandi tentang Prahadi salah, karena bahkan Aksara—yang pandai merangkai kata—tidak mampu menggambarkan apa yang telah Prahadi lalui. Tidak ada yang benar-benar bisa memahami Prahadi. Srikandi diingatkan untuk tidak menunjukkan rasa iba, sedih, atau kekhawatiran saat bertemu Prahadi, karena itu bukan yang dibutuhkan olehnya.

     Prahadi digambarkan sebagai sosok yang tumbuh luar biasa—kuat, memesona, dan membanggakan tanpa kesombongan. Ia menghadapi segala kesulitan dengan keyakinan, semangat, dan keteguhan hati, tanpa mengeluh atau meratapi nasib. Ia berjalan dengan kepercayaan penuh pada Tuhan dan tetap tegar di jalan hidupnya. Srikandi diajak untuk menatapnya dengan bangga, bukan iba, dan mendoakan agar hatinya tetap bersih dari dendam karena ia terlalu istimewa untuk membencikan sesuatu.

 

Dalam kutipan ini, adegan emosional yang terjadi antara Arjuna dan Srikandi menggambarkan titik klimaks dalam hubungan mereka. Kalimat "Srikandi menangis tepat setelah Arjuna menyelesaikan kalimatnya" menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat menyentuh atau menyakitkan dalam kata-kata Arjuna—kemungkinan besar sebuah pengakuan, penyesalan, atau perpisahan.

 

Kehadiran suara tepuk tangan dan tokoh bernama Pra menciptakan suasana dramatis, seolah-olah peristiwa ini terjadi di sebuah ruang pertunjukan atau semacam panggung kehidupan. Arjuna yang segera menarik dan merangkul Srikandi menunjukkan perlindungan atau penyesalan, seakan berusaha mempertahankan sesuatu yang telah atau akan hilang.

 

Jarak antara mereka dan Pra—“beberapa meter saja”—menekankan ketegangan dan konflik. Siapa Pra? Apakah dia pengganggu? Saksi? Simbol dari sesuatu yang belum selesai dalam hidup Arjuna dan Srikandi?

 

Cerpen ini memanfaatkan simbol-simbol klasik (Arjuna, Srikandi) untuk menyampaikan persoalan batin modern: kehilangan, cinta yang rumit, dan mungkin pengkhianatan atau pertarungan batin.

 

 

Srikandi menangis tepat setelah Arjuna menyelesaikan kalimatnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara tepuk tangan. “Narasi yang hebat, Arjuna.” Arjuna menoleh. Srikandi menghentikan tangisnya. Di belakang mereka ada Pra. Arjuna seketika berdiri menarik Srikandi, merangkul bahunya. Berbalik menghadap Pra. Jarak mereka terpisah beberapa meter saja saat ini.

 

“Aku tidak sedang bernarasi, bersajak, atau berpuisi, Pra. Aku sedang memberi tahu Srikandi apa yang harus dilakukannya untuk menghadapimu saat ini.” Srikandi menunduk. Tidak memiliki keberanian penuh untuk menatap luasnya mata Pra.

 

“Tegakkan kepalamu Srikandi! Lihat dia! Dia Prahadi Pramoedya, teman dekatmu, teman kita. Orang lain boleh merasa juga berpikir seperti yang kau lakukan tadi, tapi tidak denganmu. Sesuatu yang bahkan Aksara saja tidak pernah melakukannya.”

 

Arjuna mengajak Srikandi mendekat ke arah Pra. Sampai tersisa tiga langkah saja. Srikandi masih menunduk. Masih belum berani menghadapi Prahadi Pramoedya saat ini. Sulit sekali. Ia justru ingin menangis. Terdengar jelas bagaimana ia menahan isakannya agar tidak lepas.

 

“Srikandi Barunawati, pelaut wanita yang gagah berani. Apa menatapku lebih menakutkan daripada menaklukkan ombak di laut?” suara tegas Pra membuat isakannya berhenti begitu saja. Dengan kalimat itu Srikandi langsung menegakkan kepalanya, memperkokoh pijakannya, melapangkan hatinya. Memberanikan diri menatap luasnya bola mata Pra. Mencoba mengenyahkan perasaan sedih, iba, kasihan. Prahadi hanya boleh dilihat dengan seluruh kebanggaannya. Ia tidak peduli cerita-cerita itu. Justru cerita itulah yang membuat Pra harus dihadapi dengan segenap kehormatannya.

 

Pra merentangkan tangannya. “Kembalikan kesedihan itu padaku Srikandi, jika itu menghancurkan hatimu, membebani pundakmu, memberatkan langkahmu. Sungguh, kalau bisa aku membungkam orang-orang yang menceritakan kisah itu, sudah kulakukan. Kalau bisa aku menutup telingamu, sudah kulakukan juga. Tapi tidak bisa bukan? Aku ini milik Tuhan. Semua rencana ada pada-Nya. Jadi tugasku saat ini hanya menemanimu. Silakan kembalikan kesedihan itu padaku Srikandi. Tak sudi aku melihatmu kesulitan menyembunyikannya.”

 

Tanpa membuang detik lebih banyak lagi, tanpa menuntut penjelasan lebih lengkap lagi, Srikandi menghambur pada Pra. Memeluknya dengan perasaan lebih lega. Daripada ia mengembalikan kesedihannya pada Pra, lebih baik ia membuang kesedihan itu jauh-jauh dari hatinya. Menggantinya dengan perasaan bangga.

 

 

 

Cerpen Kembalikan Kesedihan Itu Padaku, Srikandi merupakan cerita pendek karangan Asma' Dzakia,





 





Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Kembalikan Kesedihan itu Padaku
putrinurul madinah
Novel
Bahasa Langit
Syafi'ul Mubarok
Novel
Yang Hilang Yang Ditemukan
Ningkrnt
Novel
Bidadari Langit Pesantren
Moore
Novel
Bronze
Rossa: Rembulan di Balik Kabut
Imajinasiku
Cerpen
Sulitkah bersyukur itu?
Alhuyaz
Novel
Bronze
Dari Syukur Hingga Syakur
Sukma El-Qatrunnada
Novel
Karmadhikara
Aqiel Hilmy Irawan
Cerpen
Bronze
LUKISAN LELAKI MEMPERSEMBAHKAN DOMBA
Sri Wintala Achmad
Novel
Gold
100 Pesan Nabi untuk Wanita
Mizan Publishing
Novel
Bronze
365 Hari Bersama Sahabat Nabi
Biru Tosca
Novel
Bronze
Sita Permata Syurga
Rahmi Susan
Cerpen
Anak Kampung Mualaf
Irfan Abdul Gani
Novel
Gold
195 Pesan Cinta Rasulullah untuk Wanita
Noura Publishing
Flash
Bronze
Ada Anak Bertanya Pada Ibunya
Ari S. Effendy
Rekomendasi
Cerpen
Kembalikan Kesedihan itu Padaku
putrinurul madinah
Cerpen
FANA
putrinurul madinah