Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Arifin Shuji sudah menghilang selama sepuluh hari. Istrinya melapor kepada polisi setempat setelah ia menunggu selama dua puluh empat jam. Di tempat SPKT[1] dia menangis tersedu-sedu, "Pak, tolong cari suami saya ...." omongannya terhenti karena tidak kuat menahan air mata.
Kekhawatiran istrinya itu sangat berdasar. Akhir-akhir ini, di kota itu, tengah terjadi kasus kematian beruntun yang menimpa penulis. Sudah ada lima orang yang meninggal. Belum ada kejelasan pasti dari pihak kepolisian. Kepolisian menduga bahwa ke lima orang itu bunuh diri. Namun, masyarakat berasumsi bahwa kematian itu adalah kasus pembunuhan beruntun.
"Terakhir suami saya pamit mengantarkan naskah yang baru diselesaikannya ke penetbit lokal, Pak. Namun, sampai sekarang dia tidak kunjung pulang. Saat bepergian, suami saya selalu menggunakan kendaraan umum. Saya semakin khawatir, karena ponselnya tidak bisa dihubungi," terang sang istri setelah merasa tenang. Matanya masih merah dan dia menyekanya sisa tangis dari sudut matanya yang lentik itu dengan tisu.
Atas laporan itu dan juga desas-desus yang beredar di masyarakat, pihak kepolisian langsung menindak lanjuti kasus ini dengan serius—tidak ada yang bilang bahwa institusi polisi itu takut kehilangan muka, ya. Kapolres setempat, AKBP Irwandi, menyuruh bahawannya untuk menyewa seorang detektif swasta secara diam-diam. Dia berharap besar kasus yang selama ini masih tertutup awan hitam bisa disibakkan.
***
Kami berjalan melewati lorong panjang. Sejak awal aku tidak yakin dia ini seorang detektif. Penampilannya terlalu serampangan. Lihatlah blazer buluk, celana jins kaos oblong yang sudah kumal itu! Satu-satunya yang masih necis hanya sepatu boot warna cream bergaya derby. Sangat kontras. Semua itu. Bahkan rambutnya yang terurai panjang dengan tubuh kerempeng. Alih-alih seorang detektif, dia lebih cocok disebut gelandangan.
Tetapi, Pak Kapolres memintaku untuk menjemputnya. Aneh, padahal kepolisian kita sudah mempunyai tim penyidik yang sudah sangat terlatih. Buat apa menyewa detektif swasta segala? Akh, aku pusing dengan tingkahnya. Dia malah bergurau dengan beberapa polisi yang kebagian jaga sore. Padahal kami sedang terburu-buru. Aku menegurnya. Dia tak acuh dan malah bergurau. Bahkan sedikit menggodaku, "Nona, kamu memang anggun seperti bunga chamomile yang selalu ku minum sebagai pengganti teh. Bolehkah aku meminum dirimu yang manis?"
Aku tersentak, antara kaget kerena dia mengungkit chamomile dan kesal dengan menyebutku anggun. Jujur saja, daripada teh oolong atau teh hijau, aku lebih suka teh dari bunga chamomile, dan dia menyebut suka teh chamomile. Aku berusaha tetap tenang. Tetapi di dalam hati ku bergemuruh rasa kesal. Dia menyebutku anggun. Itu tidak membuatku tersipu. Malah sebaliknya: Dongkol. Dilihat dari mana pun kata anggun sangat bertolak belakang dengan kepribadianku yang tomboi. Terlebih aku merasa terganggu dengan kalimat tanya yang terkesan cabul itu.
Dasar hidung belang!, umpatku dalam hati.
Saat berjalan bersama begundal ini, lorong yang biasa aku lalui jadi terasa sangat panjang. Dan betapa aku sangat bersyukur saat melihat ruangan dengan plang nama: Kapolres-AKBP Irwandi. Siksaan ini akan segera berakhir. Aku menyuruh cecunguk ini untuk menunggu sejenak. Pintu ku ketuk lalu Pak Irwandi mempersilakanku masuk.
"Pak, lapor, saya sudah bersama Edo Santoso," ucapku sambil memberi hormat.
"Ya, bawa dia kemari," perintahnya.
Aku menatap tajam orang itu. Bibir memoncong. Mengancamnya agar tidak berbuat onar. Dia membalas dengan ekspresi yang sangat menjijikan dan tatapannya sangat sah untuk menilainya orang cabul. Andai saja dia bukan tamu pak kapolres, sudah ku gampar sejak awal. Tanpa dipersilakan, si sinting itu langsung loncat ke sofa sambil berteriak, "yuhuuu." Tubuhnya terpantul-pantul. Pak Kapolres menunjukan mimik tidak senang. Tetapi aku yakin dia sedang berusaha menahan amarahnya.
Aku memelototi si goblok itu. Berharap dia terintimidasi. Lagi-lagi aku dihiraukan. Dia malah membuka keler berisi kacang mete. Mengambil segenggam penuh dengan tangan kanan. Tangan kirinya mencomot satu dari genggaman itu lalu melemparkannya ke udara. Mulutnya mangap dan menyanggap. Melihat tingkahnya yang sangat ke kanak-kanakkan aku menepuk jidat.
"Ekhem," deham Pak Kapolres sambil ikut duduk bersebrangan dengannya, "jadi kita langsung saja berbicara ke intinya. Menurutmu apa pembunuhan sebelumnya merupakan kasus berantai?" lanjutnya.
"Hahahahahaha. Menurutku?" tanya orang itu balik. Dia tertawa seperti memiliki maskud melecehkan, "kepolisian tidak akan serta merta menyewaku hanya untuk mendeduksikan kasus lalu berharap semua misteri ini terungkap, kan?" sambung Si Edo Santoso ini.
Aku memperhatikan Pak Kapolres. Dia tercengang dengan respon yang terlontar. Mungkin dia juga berpikir kenapa ada orang tidak punya adab seperti Edo Santoso. Suasana menjadi canggung. Pak Kapolres langsung mengalihkan dengan bertanya, "Jika begitu, apakah selama ini Arifin Shuji menghilang karena menjadi korban pembunuhan berantai itu?"
"Pak, mohon maaf, sudah kubilang untuk tidak melibatkan swasta dalam kasus ini. Kredibilitas dan profesionalitas mereka masih dipertanyakan. Terlebih, jika ini memang kasus pembunuhan berantai, kepolisian kita saja sudah seharusnya mampu mengungkapkan itu," timbangku menyela pertanyaan Pak Kapolres sebelum si brengsek Edo itu tambah membual.
"Ya, justru itu permasalahannya. Jika ini benar adalah pembunuhan berantai, justru motif pelaku di balik semua ini masih mengambang dan sukar ditelaah." timbang Pak Kapolres sambil mengangkat kedua alisnya. Dia juga mengelus ujung kumis yang baplang itu. "Sulit, jika memang ada pelaku atas kematian para penulis itu, seharusnya ada jejak yang ditinggalkan. Rentetan peristiwa ini hanya nampak sebagai parade bunuh diri dari penulis saja. Tempat dan caranya pun berbeda. Tidak ada jejak khusus khas seorang maniak. Dan, mereka semua meninggalkan pesan perpisahan dekat mayatnya."
Aku terdiam. Mataku tertuju pada Edo Santoso, dia mengangkat sebelah bibirnya, seakan menyepelekan kasus ini. Tidak habis, pikir kenapa ada orang yang sangat menyepelekan nyawa? "Baik jika memang kamu bukan detektif gadungan coba buktikan kepada kami!" ucapku padanya dengan sedikit kesal. "Nona manis..." Dia menatap tajam ke arahku. Tetapi perhatian kami teralihkan oleh suara ketukan pintu. "Lapor, Pak, Arifin Shuji sudah ditemukan."
***
Sore itu, seorang warga menemukan mayatnya tenggelan di dalam air, “kami sedang mencari bebeong[2], ya kami menyelam. Awalnya, Si Anto mengira itu buaya. Dia berteriak ada buaya. Kami serombongan langsung hanjat[3] dari air. Karena belum dapat satupun bebeong, kami pun turun lagi dan memeriksa bareng-bareng, eh ternyata itu mayat manusia,” terangnya ke polsek setempat. Berdasarkan keterangannya, petugas segera memastikan identitas korban. Ternyata dia adalah Arifin Shuji, orang yang dilaporkan hilang sepuluh hari lalu.
Pihak keluarga pun diberitahu kabar duka tersebut. Nira Nirwana, istri dari Arifin Shuji, menangis histeris saat tiba di lokasi penemuan mayat tersebut. Bahkan beberapa kali istrinya itu jatuh pingsan. Tatang Sunari, kerabat yang mengantar istri almarhum memaparkan, bahwa Arifin Shuji adalah orang yang sangat baik dan tekun belajar. Pihak keluarga pun merasa terpukul atas kepergian sang penulis berbakat itu.
***
Pak Kapolres memerintahkanku untuk turun ke TKP bersama tim penyidik. Tentunya, dengan Si Begundal Edo Santoso. Seorang idiot yang selalu bermain-main. Dia juga meledek, karena kepolisian tingkat sektor tidak diberikan izin untuk melakukan penyidikan. Aku akui itu adalah benar. Hal itu malah membuatnya semakin jumawa.
“Andai, di kota kita ini tidak terbelakang...” ratapnya sambil memegang kaca pembesar yang dikeluarkan dari kotak pemeriksaan—Aku tidak menyadari dia mengambil alat itu sejak kapan, jika dia mempunyai keahlian seperti itu, aku jadi berpikir bahwa dia ini sebenarnya adalah maling kelas kakap. Dengan mata sebelah menutup, dia melihat sekeliling dan mendaratkan tatapannya sangat lama ke arahku. Bola matanya jadi membesar. Aku menghiraukan bandot tua ini.
Kami sampai di TKP. Seseorang diantara kami langsung menyingkirkan warga yang berkerumun dan memasang garis polisi. Semua orang sibuk dengan pernannya: Ada yang menanyai saksi tentang di mana letak dia menemukan mayat. Tim penyidik melakukan visum. Hanya Edo Santoso yang melamun dan tidak melakukan apa-apa. Dia terus memandangi aliran sungai yang keruh dan berbatu. Kemudian melempar kerikil sehingga batu pipih itu melompat-lompat seperti kodok.
Tim forensik sudah selesai dengan visumnya, "penyebab kematiannya tenggelam sekitar seminggu yang lalu, Bu. Sudah dipastikan, di tubuh korban terdapat luka lebam. Ini luka pukulan di beberapa titik, bukan efek tenggelam. Hal yang paling janggal adalah bulpoin yang menancap di pundaknya mengandung semacam elektro magnetik yang sangat kuat, juga tintanya bercampur dengan propofol dengan kadar rendah. Bulpoin itu menancap lumayan dalam sehingga sulit terlepas. Terdapat ukiran nama Dordos Sky. Sepertinya milik pelaku. Indikasi pembunuhan sangat kuat. Tangan korban terikat dan tali itu juga dibancang kepada batu kali berukuran sedang. Penyebab utama tubuhnya tidak mengambang ke permukaan. Pemilihan tempat pembuangan mayatnya juga memungkinkan untuk sulit ditemukan. Meskipun batu yang mengikat tangan nya itu berukuran sedang, tetapi kontur dasar sungai yang merupakan lumpur menjadikannya lebih terserap semakin ke dasar," terang petugas forensik kepadaku.
“Dordos Sky? Nama yang aneh,” ujarku. Sekonyong-konyong, Edo Santoso menghampiri kami sambil berjalan menyamping seperti kepiting. Benar-benar seekor kepiting konyol yang besar. Sebelah tangannya diletakan dekat kuping. Aku tahu itu gestur seseorang menguping, tetapi tangan itu lebih mirip capit kepiting yang mengangkat ke atas.
“Itu benang merahnya!” teriaknya sambil menuntuk petugas forensik itu, “oh, ya, dan kau, kuperingatkan jangan sok tahu! Di sini yang bertugas menyimpulkan adalah aku, ku peringatkan sekali lagi, ya, awas!”
“Jadi, menurutmu ... dia dibunuh oleh orang yang mempunyai nama Dordos Sky ini?” tanyaku ragu, “dan kamu berpikir bahwa si Dordos—apalah—ini adalah pelaku pembunuhan berantai itu?”
“Tidak!”
“Hah!” Kami semua tercengang, sudah kubilang, andai saja Pak Kapolres ada di sini, dia pasti sudah memberhentikan Edo Sinting Santoso ini, bagaimana pun dia tidak layak dan mungkin saja membual memiliki profesi sebagai detektif swasta. Aku membayangkan ekspresi kecewa Pak Kapolres dengan kinerja orang gila ini. Lagi pula ada-ada saja—sudah jelas kepolisian kita memiliki tenaga ahli, malah menyewa orang amatiran seperti ini.
“Seratus persen Arifin Shuji bunuh diri,” tegas Edo Santoso memecah keheningan yang ditimbulkannya. Justru pernyataan anehnya itu malah membuat kami semakin bingung. Aku dan tim forensik saling menatap. “Apa maksudmu?”
“Sudah kubilang Arifin Shuji seratus persen dia bunuh diri, kamu budek, ya?” cibirnya. Kemudian dia melanjutkan, “tuan-tuan dan nyonya-nyonya berseragam, kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku sangat yakin Arifin Shuji bunuh diri, kan?”
Mata kami tertuju padanya. Dia kemudian bercekak sambil tertawa dengan pongah. “Tidak! Aku tidak akan mengungkapkan kebenarannya di sini, mari pertama-tama kita jadikan Dodo Sudrajat Kamil Yulianto alias Dordos Sky—seorang penulis cerita cabul—sebagai tersangka. Ingat, tersangka! Kalian belajar hukum, kan?”
Seluruh aliran darah di sepanjang pembuluh nadiku terasa mendidih. Aku sudah muak dengan tingkahnya yang terus menerus merendahkan kami. Tangan kananku melayang ke arah wajahnya. Kalap. Pikiranku menjadi gelap saat bersama dan dipandang hina oleh Edo Santoso, si paling merasa dirinya pintar ini. Kira-kira sekitar sepuluh centimeter sebelum mendarat dan meninggalkan jejak berwarna merah, tanganku di tangkap terlebih dahulu oleh seseorang dari arah belakang. Saat ku lihat, dia adalah Pak Kapolres.
***
Keesokan harinya, seorang penulis berinisial DS ditetapkan sebagai tersangka. DS dibekuk di rumahnya untuk dibawa ke Polres C untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Tersangka sempat melakukan “adu mulut” dengan aparat. Dia merasa tidak melakukan kejahatan, namun dirinya tidak bisa menyangkal bahwa bolpoin yang terdapat di tubuh korban adalah miliknya.
“Ya, benar, kami masih menguak kebenaran kematian Arifin Shuji. Ini masih indikasi. Bisa saja DS juga merupakan dalang di balik tragedi selama ini. Semoga saja, ya, tindak kejahatan seperti ini tidak terulang kembali,” harap AKBP Irwandi kepada awak media.
***
Dilihat dari mana pun, Dodo Sudrajat Kamil Yulianto alias Dordos Sky—begitulah julukan Edo Santoso untuk menyebut orang ini—bukanlah seorang penjahat. Wajahnya begitu lugu—lebih ke kamayu—dan dia bisa memberikan alibi yang sangat kuat—sudah sepuluh hari lebih dia ada di rumah orang tuanya—jadi menurutku, tidak mungkin Dodo Sudrajat ini adalah pelakunya. Tetapi, karena perintah dari detektif gadungan itu, kami terpaksa mengintrogasi orang tak bersalah ini.
Edo Santoso bersikukuh untuk bertanya lebih lanjut kepada Dodo, dia terus menanyakan hal konyol dan tidak masuk di akal. Anehnya, Pak Kapolres yang memantau kami bertiga dari ruang kontrol lebih mempercayai Edo Santoso. Jujur saja sejak kejadian kemarin, aku masih benci dengan orang ini. Terlebih, sekarang dia bersikap sok serius. Tatapan mesum dan tingkahnya yang pecicilan seperti lenyap ditelan bumi. Aku yakin, sebenarnya dia bersikap begitu karena sedang menahan berak. Awas saja jika dia tiba-tiba mencret. Peduli setan, akan ku hajar dia sampai mampus.
“Baik, Dodo yang manis, aku ingin memastikan sekali lagi, apakah ini bulpoin milikmu?” tanya Edo Santoso mengulang pertanyaan dari awal. Dia mengangkat barang bukti itu sambil mengguncang-guncangkannya. Ayolah, aku sudah pegal harus duduk bersebelahan denganmu, bajingan, jangan bertele-tele, langsung ke intinya saja, pekik ku dalam hati.
“Emmm... Ya, betul, Pak,” jawab Dodo sambil tersipu. Kemudian dia merintih, “Paaaak, bisa dicepetin, gak, udah pegel niiih.”
“Sabar, Dodo. Aku akan berpihak kepadamu, teteapi, jawab terlebih dahulu pertanyaan ini: Sejak kapan kamu mendapatkan benda itu?”
Hah, gila apa? Dari kemarin, kan dia bersikukuh untuk mengintrogasi orang ini? Kok, sekarang malah mau berpihak, apakah dia mengakui kesalahannya dan asal menuduh, sudah ku bilang dia ini detektif gadungan! Batinku.
“Sejak aku ulang tahun ke dyua puwluh delapan di tahun ini, Pak,” jawab Dodo, saat mengatakan dua puluh, tangannya memperagakan dengan gemulai, aku tidak kuat ingin tertawa. Aku terus melihat ke arahnya. “Iiiih, ibuuuk jangan ngeliatin akyu, malluuuu.” Astaga! Kali ini aku menjerit di dalam hati, ingin sekali rasanya mengumpati kelakuannya yang menjijikan. Bisa-bisanya Edo Santoso menuduh orang sepreti ini sebagai pembunuh.
“Do, apa kamu sadar Dordos Sky itu bukan nama kamu?” tanya Edo lagi. Kali ini apa lagi sih yang dia pikirkan?
“Emmm... Iya, sih, kaya aneh gitu kata aku teh, tapi mungkin, si tukang ukirnya typo. Karna bentuk bulpoinnya bagus, jadi aku suka.”
“Kamu gunakan untuk apa bulpoin itu, Do?”
“Buat nulis Diary, terus nge-notes quote cinta-cintaan dari buku romantis. Iiiih sweeet bangeet.”
“Kamu suka tiba-tiba mengantuk ... atau malah tidur tidak saat sedang menulis dengan bulpoin itu?”
“Iyaa iiih. Kok, Bapak tahu banget, sih. Jangan-jangan, Bapak, ngintip, Ya?”
“Hahahahahaha. Menarik sekali!” teriak Edo Santoso secara tiba-tiba.
Aku tercengang dengan kelakuan Edo Santoso: Secara prosedural, barang bukti itu harus tersegel dan disimpan di brangkas. Karena Edo Santoso adalah penyidik yang direkomendasikan langsung oleh Pak Kapolres jadi dia dengan sewenang-wenang meminta bulpoin itu. Kini, dia menyerahkan barang bukti itu kepada seorang terduga pembunuhan. Aku ingin mencegahnya, tetapi, Pak Kapolres sudah mengamanatkan untuk membiarkan Edo Santoso berbuat sesuka hatinya. Lihat sekarang dia seperti membacakan suatu matra! Mulutnya komat-kamit seperti seorang dukun ulung. Aku resah dengan ketidak-ideal-an ini.
“Tulis sesuatu, apapun!” perintah Edo tegas. Dan, Dodo pun langsung menuruti. Tak disangka, Dodo Sudrajat langsung tergeletak. Aku beranjak dari tempat duduk ku dan langsung menghampirinya. Menggoyang-goyang tubuhnya. Sekoyong-konyong dia tertawa dengan sangat nyaring.
“Selamat datang, Fyodor Dostoevsky,” sambut Edo Santoso—Fyodor, siapa lagi ini?—Aku melihat wajah Dodo, dia berubah menjadi sangat garang. Aku baru sadar, dia bukan Dodo yang tadi.
“Ka-lian bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku sambil ketakutan. Dodo Sudrajat beranjak. Dia menatap tajam ke arahku. “Jangan bergerak! Cepat duduk kembali!” perintahku. Refleks aku mengambil pistol dari sabuk dan menodong ke arah orang yang tadi berwajah ludu dan kemayu itu.
“Chamomile ku, tenanglah. Dia hanya memburu penulis!” kata Edo Santoso. Aku tidak bisa menenangkan diri—Ah, tadi dia menyebutku apa?—sekarang di hadapanku sangat terasa aura penjahat yang sangat kuat.
“Biar ku terangkan, Dia adalah Fyodor Dostoevsky, arwah yang dibawa Arifin Shuji dari neraka. Dia telah membuat kontrak dengannya. Lihat, aku mempunyai buktinya di sini!” kata Edo Santoso sambil membuka lembaran berkas yang ia bawa.
“Di dalam naskah yang dikirimkan ke penerbit oleh Shuji. Naskah yang tidak kalian periksa dan baca. Padahal di sana terdapat banyak bukti dari misteri kematian janggal para penulis. Simulasi Mati. Itulah judulnya. Isinya tentang keresahan Arifin Shuji tentang dunia sastra. ‘Harus dengan cara apalagi agar keresahanku ini didengarkan. Persetan dengan dunia kesusatraan. Semakin merosot. Semakin terdegradasi. Mereka semua harus bertanggung jawab. Mereka semua harus mati. Mereka akan ku seret ke dalam neraka,’ begitulah, Nona. Dia Fyodor Dostoevsky adalah sang eksekutor. Itulah Nona, alasan kenapa kepolisian menyangka para penulis bunuh diri. Semua korban dirasuki iblis Fyodor Dostoevsky. Tubuh inangnya dipaksa untuk bunuh diri.”
“Omong kosong!” bentak ku, “lalu, apa kau bisa menjelaskan luka-luka yang ada di tubuh Arifin Shuji? Sudah jelas bahwa itu adalah tindak pembunuhan!”
“Nona, Dia memukuli dirinya sendiri dan menancapkan bolpoin itu ke pundaknya sebelum mengikatkan tali pada batu. Itu sangat mudah, terlihat dari posisi ikatannya yang ada di depan. Bukan di belakang. Jika seseorang mati terbunuh atau sebelum itu dia diculik apalagi sampai talinya dibancang ke sebongkah batu, aah, Nona pun pasti sudah mengerti seharusnya posisi ikat itu terletak di sebelah mana.”
“Ah, untuk bulpoin itu, Arifin Shuji mencurinya dari rumah Dodo Sudrajat saat ada kesempatan. Selama ini dia selalu mengintai rumah Dodo Sudrajat. Aku mendapat keterangan itu dari beberapa warga yang melihatnya mondar-mandir. Arifin Shuji selalu bilang dia sedang mencari inspirasi menulis. Hal itu juga yang dijadikan alasan keluar rumah kepada istrinya. Nona, Benda mati tetaplah benda mati, Meski benda itu bertuah, tetap saja tidak bisa berjalan.”
“Kemudian Arifin Shuji, akan membawa bolpoin itu ke rumah targetnya, seorang penulis akan reflek memungun benda bagus seperti pulpen itu dan menggunakannya untuk menulis sesuatu, saat itulah mereka kesurupan Iblis Fyodor.”
“Jika kurang jelas atau bahkan tidak percaya, Nona sudah melihat sendiri mekanisme itu terjadi. Saat seorang penulis menggunkan benda itu, dia akan otomatis kesurupan.”
“Dan, untuk Dodo Sudrajat. Arifin Shuji sengaja mengkambing hitamkannya. Lihat lagi pada naskah Simulasi Mati ini!” Dia membuka lembar selanjutnya. “Ah, dengarkanlah, Nona, ‘dan, orang yang paling bertanggung jawab diantara mereka adalah para penulis cerita cabul. Tidak punya otak sama sekali! Ah, Tuhan, mengapa mereka begitu dipuja para pembaca, bukankah mereka itu tidak ubahnya seorang pengedar narkoba? Para penjual dopamin itu harus menjadi tersangka!”
“Penjual dopamin, Nona, adalah mereka-mereka yang membuat cerita cabul. Cerita tentang seks dan hanya seks,” rintih Edo Santoso.
“Sekali lagi, aku berani berkata: Arifin Shuji mati bunuh diri, bahkan dia dalang di balik tragedi ini! Rencana besarnya berjalan sempurna. Dia telah membuat kepanikan luar biasa dan menjadi pusat perhatian. Dia membuat dirinya seperti terbunuh, keluar dari pola bunuh diri para penulis itu agar semua orang menyangka ada dalang di balik semua ini ... Sekarang, Sang Iblis telah terperangkap dan tidak bisa keluar dari tubuh Dodo Sudrajat. Lihatlah, sedari tadi dia tidak melawan, melakukan kekerasan dan apapun itu. Dia tidak berusaha kabur dan hanya terbahak, karena memang ini tujuan mereka.”
***
Kepolisian Resor C berhasil mengungkap misteri dibalik kematian para penulis termasuk Arifin Shuji. Diduga besar pelaku utama mengalami gangguan jiwa dan sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa kota C.
***
Aku sangat menyayangkan: kami terpaska menuduh Dodo Sudrajat sebagai tersangka pembunuhan berantai dengan mengidap gangguan jiwa. Sampai kini, aku sangat memendam dendam kepada dukun berkedok detektif gadungan bernama Edo Santoso. Semua ini salah Pak Kapolres. Besok aku akan berhenti dari kepolisian.
***
Juara 1 Lomba Cerpen Tingkat Nasional Bara Pustaka
[1] Singkatan dari Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu
[2] Bebeong adalah jenis ikan yang termasuk dalam genus Hemibagrus, famili Bagridae. Bebeong masih satu kerabat dengan lele.
[3] Keluar dari air. Bahasa sunda