Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cerpen panjang (10. 000 kata). Agar paham jalan ceritanya, disarankan terlebih dahulu membaca cerpen : Kemala Kembali (1)
1
Pagi datang terlalu cepat, atau mungkin saya yang tidak tidur sama sekali. Matahari masuk lewat celah-celah jendela, burung gereja mulai ramai, dan bau tanah basah setelah hujan semalam membuat udara segar tetapi juga mencekam.
Saya bangun dari kasur lipat, badan pegal semua, kepala pusing. Mata saya sepertinya memerah. Saya lihat cermin kecil di dinding, memang merah sekali, seperti orang habis menangis atau mabuk.
Pintu kamar masih tertutup.
Saya berjalan ke dapur, memasak air untuk kopi. Saat sedang menunggu air mendidih, saya mendengar suara ketukan di pagar depan.
"Mas Sagaaa...! Mas Sagaaa...!" Suara Bu Darmi.
Jantung saya langsung berdebar. Saya belum siap menghadapi tetangga. Belum siap menjelaskan mengapa Kemala tiba-tiba ada di rumah.
Tapi saya tidak bisa bersembunyi. Bu Darmi orangnya nekat, kalau tidak dibukakan dia akan memanjat pagar sendiri.
Saya keluar, membuka pagar. Bu Darmi berdiri di sana membawa rantang. Dia rajin memberikan makanan kepada saya, mungkin karena kasihan saya hidup sendirian.
"Pagi, Bu." Saya coba senyum natural.
"Pagi, Mas." Dia melirik ke dalam rumah, mata menyipit. "Tadi malam dengar suara orang berbicara. Apa Mas Saga kedatangan tamu?”
Jantung saya berhenti sedetik.
"Enggak kok, Bu. Mungkin Bu Darmi salah denger. Aku sendiri aja."
Bu Darmi menatap saya lama. Terlalu lama. Mata tuanya tajam, seperti bisa membaca kebohongan.
"Sudah lama jadi tetangga, saya tahu kalau Mas Saga sedang membawa beban.”
Lalu Bu Darmi meletakkan rantang di tangan saya.
"Kalau ada apa-apa, bilang sama saya. Atau sama Mbah Jayeng. Jangan ditanggung sendiri.”
"Nggih, Bu. Matur nuwun." (Iya, Bu. Terima kasih.)
Bu Darmi mengangguk, tetapi sebelum pergi, dia berbisik pelan:
"Mas, kalau tadi malam dengar suara perempuan, jangan dipercaya semua. Orang sini dulu pernah ada yang tenggelam di kolam belakang. Nyawanya belum pulang.”
Saya mematung.
Bu Darmi tersenyum tipis, terus berjalan balik ke rumahnya.
Saya menutup pagar, tangan gemetar. Dan saat saya berbalik ke rumah, saya melihat Kemala berdiri di jendela kamar, menatap saya dari balik tirai.
Senyumnya... bukan senyum Kemala. Senyum orang lain.
***
Saya tidak langsung masuk ke rumah setelah Bu Darmi pergi, hanya berdiri di halaman depan. Rantang masih di tangan saat saya menatap jendela kamar tempat Kemala baru saja berdiri. Sekarang tirainya sudah tertutup rapat. Tapi saya masih bisa merasakan tatapannya, seperti ada yang mengawasi saya dari balik kain tipis itu.
Otak saya mencoba merasionalisasi semuanya. Mungkin Kemala memang berubah karena trauma. Mungkin orang yang hampir tenggelam, yang selamat entah bagaimana caranya.
Kemala sekarang memang menjadi berbeda. Mungkin ada bagian dari otaknya yang rusak, yang membuatnya lupa cara duduk, cara berbicara, cara menjadi dirinya sendiri.
Namun, bagian primitif otak saya yang masih percaya pada cerita kakek tentang lelembut dan roh yang gentayangan berbisik:
Itu bukan istrimu. Itu orang lain yang mengenakan kulit istrimu.
"Mas Saga?"
Saya nyaris menjatuhkan rantang. Kemala berdiri di pintu depan, memakai kaus dan celana training yang saya berikan tadi malam. Rambutnya diikat ekor kuda. Senyumnya lemah, tapi natural. Seperti Kemala yang dulu.
"Iya, Mala. Maaf, aku lagi mikir."
Saya berjalan ke arahnya, tangan masih gemetar sedikit.
"Bu Darmi ya tadi? Aku denger suaranya."
Saya mengangguk pelan. Sementara Kemala mundur sedikit, agar saya bisa masuk.
"Mas Saga ngomong apa sama dia?"
"Nggak apa-apa. Cuma mengantar makanan." Saya mengangkat rantang. "Kamu sudah sarapan?"
"Belum. Aku nggak tahu harus makan apa. Aku buka kulkas, tapi..." Dia terdiam, menatap lantai. "Aku nggak ngerti apa yang aku suka."
Kalimat sederhana. Tapi membuat bulu kuduk saya merinding lagi.
Saya menaruh rantang di meja makan, membukanya. Isinya nasi uduk komplit—tempe orek, bihun goreng, telur dadar, sambel goreng kering. Bau wanginya membuat perut saya berbunyi, baru sadar saya belum makan sejak kemarin siang.
"Yuk makan bareng," ajak saya, mencoba terdengar ceria.
Kemala duduk di seberang saya. Lagi-lagi dengan posisi yang rapi dengan kaki dilipat sempurna, punggung tegak. Saya mengambil nasi, menaruh di piringnya, kemudian piring saya sendiri.
Kami makan dalam diam. Cang...