Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Kemala Kembali (1)
0
Suka
11
Dibaca

1

Asal kalian tahu, saya sungguh tidak percaya pada hantu maupun makhluk sejenisnya, sampai kapan pun. Saya baru berubah pikiran setelah Kemala, istri saya meninggal setahun lalu. Itu pun karena tengah malam Kemala mengetuk pintu rumah.

Bagaimana ceritanya? Itu nanti. Sekarang saya hendak bercerita tentang bagaimana saya sampai di rumah joglo tua ini. Lokasinya berada di Desa Kaliadem, sebuah desa yang dinginnya seperti kulkas rusak. Bagaimana tidak, di sini kadang sangat dingin, namun kadang hangat mencurigakan. Sudah begitu masih juga ditambah bau aneh yang sulit saya jelaskan.

Oh ya, nama saya Saga Wicaksono. Tiga puluh dua tahun, guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kaliadem. Saya seorang duda yang memiliki kebiasaan buruk, berbicara sendiri ketika stres datang. Kebiasaan itu makin parah sejak Kemala pergi.

Kata pergi memang harus saya sematkan untuk Kemala. Jauh lebih halus dibandingkan menyebutnya mati tenggelam di Situ Bendung. Mobilnya, tanpa sebab tiba-tiba melaju tak terkendali hingga tercebur ke dalam air situ. Hingga sekarang jasadnya tak pernah ditemukan.

Orang desa lebih suka menyebutnya wis mulih (sudah pulang). Maksudnya pulang ke Yang Kuasa. Tapi saya selalu merasa kata itu aneh.

Coba pikirkan, pulang ke mana kalau jasadnya saja tak pernah ditemukan? Pulang ke mana kalau setiap malam saya masih menunggunya membuka pintu. Lalu dia senyum malu-malu sambil bilang, "Maaf, Mas, aku nyasar. Mobilku ternyata cuma nyemplung selokan doang."

Sayangnya itu tak pernah terjadi. Kemala tidak pernah pulang. Sampai malam ini.

Hari ini tanggal 15 Suro, tahun Jawa 1957. Bagi yang kurang mengerti kalender Jawa—saya sendiri hanya setengah mengerti—ini semacam tahun baru Jawa. Malam sakral. Malam di mana orang-orang desa akan menutup pintu rapat-rapat, memasang dupa di empat penjuru rumah, dan terlarang keluar rumah jika tidak diperlukan sekali.

Konon, malam ini banyak sing mlaku-mlaku (yang berjalan-jalan) seperti roh, lelembut, atau apalah namanya. Saya sendiri tidak terlalu percaya. Atau tepatnya, saya tak akan mau percaya.

Bila saya percaya, ini berarti saya mengakui memang ada dunia lain di luar logika. Dan kalau dunia lain itu ada, kenapa mereka tak mau mengembalikan Kemala pada saya?

Berlainan dengan para tetangga sini, mereka sangat percaya. Contohnya Bu Darmi, tetangga sebelah kiri yang rumahnya hanya dibatasi pagar bambu. Pagi tadi dia sudah mengingatkan saya sambil menjemur kain batik.

"Mas Saga, malam ini jangan lupa kunci pintu. Terus pasang dupa.”

"Nggih, Bu." (Iya, Bu.) Saya cuma mengangguk-angguk sambil menyiram tanaman tomat di halaman yang sudah setengah mati, karena saya lupa menyiramnya seminggu.

"Serius lho, Mas. Apalagi rumahmu itu...” Bu Darmi tidak melanjutkan. Dia cuma menggeleng-geleng kepala sambil masuk lagi ke rumahnya.

Saya tahu maksudnya. Rumah joglo peninggalan kakek saya ini memang punya reputasi kelam. Konon, dua ratus tahun lalu pernah ada yang bunuh diri di kolam belakang. Konon, sering muncul suara gamelan tengah malam, padahal tak ada perlengkapan gamelan tersimpan di rumah. Konon, ini semua yang membuat anak-anak desa tak berani lewat di depan rumah saya begitu beduk magrib terdengar.

Saya sendiri belum pernah mengalami pengalaman supranatural. Atau mungkin saya terlalu sibuk larut dalam kesedihan, sampai-sampai para hantu menaruh belas kasihan pada saya, dan memilih segan untuk mengganggu saya.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika saya selesai memeriksa ulangan siswa kelas delapan, tentang unsur intrinsik cerpen. Dua puluh lima lembar kertas yang mayoritas isinya ngawur. Malah ada yang menulis: amanat cerpen adalah jangan suka nyontek, padahal cerpennya bertema tentang kehidupan nelayan.

Biasanya saya sering tertawa membaca jawaban konyol dari murid-murid saya. Tapi malam ini saya cuma merasa capek saja. Capek yang tak cuma fisik. Capek yang masuk ke tulang, ke otak, ke bagian dada yang rasanya seperti ada yang menekan-nekan terus.

Sebatang rokok menemani saya malam ini. Satu kebiasaan buruk yang mulai saya jalani lagi sejak Kemala pergi. Padahal dia dulu paling getol memarahi saya begitu saya ketahuan merokok. "Paru-parumu sudah hitam, Mas," tegurnya sambil cemberut imut.

Sekarang tidak ada lagi yang memarahi saya. Saya kini bisa sesuka hati menghisap batang rokok. Ironi, kan? Kamu mendapatkan kebebasan yang kamu mau, tapi kamu justru berharap kembali dibatasi lagi.

Hujan mulai turun. Pelan dulu, terus makin deras. Suara rintik di genting tanah liat rumah joglo tua ini membuat suasana makin sepi, atau mungkin bukan sepi.

Melancholy, begitu kata Kemala dulu menggambarkan suasana rumah joglo malam ini. Dia suka sekali mengucapkan kata-kata Inggris yang susah meski jebolan anak Sastra Indonesia.

"Mas, tau nggak kalau hujan itu melancholy. Dia indah tapi sedih," katanya suatu malam pas kami berdua duduk di pendopo.

"Melankolik itu bahasa Indonesianya apa?" tanyaku sambil peluk pinggangnya.

"Ya... melankolik." Dia ketawa. "Pokoknya sedih yang indah gitu lah."

Sekarang hujan cuma menghadirkan kenangan darinya. Tiada yang lebih indah dari itu.

Jam menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh menit. Waktunya mematikan lampu sebelum kemudian saya mendengar suara.

Tok. Tok. Tok.

Tiga ketukan di pintu depan. Pelan, tapi jelas.

Saya membeku. Siapa yang bertamu jam segini? Di malam Satu Suro pula?

Bu Darmi sudah pasti tidur. Pak Tarjo, tetangga sebelah kanan orangnya penakut, nggak mungkin keluar malam-malam. Anak-anak desa? Mustahil. Orang tua mereka bakal menjewer kalau ketahuan keluar rumah malam ini.

Mungkin angin. Mungkin dahan pohon asem di depan yang tertiup angin terus menabrak pintu. Begitulah saya menduga.

Tok. Tok. Tok.

Lagi. Lebih jelas. Lebih terdengar seperti disengaja.

Jantung saya mulai dag-dig-dug, dan saya merasa bodoh karena takut. Ini cuma pintu diketuk. Bukan setan jerit-jerit atau pocong loncat-loncat. Cuma ketukan.

Tapi tangan saya gemetar sewaktu saya berdiri. Spontan saya mematikan rokok di asbak. Lantas berjalan pelan ke arah pintu.

Lantai kayu tua berderit di bawah kaki saya. Suara hujan makin keras, atau mungkin pendengaran saya yang jadi sensitif. Saya bahkan mendengar detak jantung saya sendiri. Saya bisa mendengar napas pendek-pendek yang keluar dari mulut saya, seolah-olah saya baru selesai lari maraton.

Tangan kanan saya sudah menempel di gagang pintu kayu jati yang dingin.

"Siapa?" suara saya serak.

Tak ada jawaban.

Lima detik saya menunggu. Lalu sepuluh detik, sementara hujan masih saja turun deras. Angin berembus masuk lewat celah-celah jendela tua yang kurang rapat, membuat tirai bergoyang.

“Kayaknya memang cuma embusan angin.”

Saya memutuskan untuk balik ke dalam, namun pintu keburu diketuk lagi. Kali ini ketukannya lebih keras. Seolah orang di balik pintu sedang panik, dan butuh segera masuk.

"Siapa?!" Saya teriak, kali ini setengah marah karena jantung saya hampir copot.

"Mas..."

Suara perempuan. Pelan. Hampir tertutup suara hujan.

Saya kenal suara itu. Tidak... Tak mungkin dia.

Tapi tangan saya bergerak sendiri, seperti ada yang mengontrol dari luar tubuh saya. Saya membuka pintu.

Saya melihat Kemala berdiri di teras.

Basah kuyup. Rambut panjangnya menempel di wajah dan bahu. Daster batik coklat—daster yang sama yang dia pakai sebelum dia berangkat ke Jogja, dan tak pernah balik lagi—basah total. Kemala tidak memakai sandal. Telanjang kaki di atas ubin teras yang dingin dan basah.

Namun yang membuat saya sampai sulit bergerak, sulit bernapas, dan sulit berpikir adalah matanya.

Matanya menatap saya. Jernih. Hidup. Mata coklat kehitaman yang selalu saya impikan setahun terakhir. Mata yang terakhir saya lihat dalam foto pernikahan kami yang dipajang di ruang tamu. Mata yang senantiasa tertawa saat dia berkata, "Mas, aku sayang kamu banget."

Dan sekarang mata itu ada di depan saya, nyata, berkedip, dan... menangis.

"Mas..." suaranya gemetar. "Aku pulang."

Dunia berputar.

Saya tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tiba-tiba saja Kemala ada dalam pelukan saya. Tubuhnya sedingin es, dan dia menangis di bahu saya. Tangisan yang pecah, seperti orang yang sudah menahan tangis terlalu lama.

"Maaf... maaf, Mas... aku benar-benar nggak tahu... aku nggak tahu gimana caranya pulang. Aku bingung, aku..."

Tenggorokan saya tercekat. Saya sulit berbicara. Otak saya runtuh. Yang bisa saya lakukan hanya memeluknya erat. Merasakan tubuhnya yang gemetar, yang dingin, yang basah, tapi nyata.

Oh Tuhan, dia nyata, dia ada di sini, dia hidup... atau jangan-jangan saya yang sudah gila?

Tapi kegilaan tak akan sedingin ini. Kegilaan tak akan dapat membuat saya merasakan bau tanah becek dan air danau dari rambut Kemala. Kegilaan tak bisa membuat jantung saya berdetak secepat ini, tak akan dapat membuat saya merasakan...

Harapan.

Sesuatu yang sudah mati setahun lalu tiba-tiba hidup lagi.

"Masuk dulu," saya berbisik, suara saya pecah. "Masuk, kamu kedinginan, Mala."

Kemala saya tuntun masuk ke dalam. Pintu saya tutup dan saya kunci sampai dua kali. Saya seperti mendengar bisik-bisik di belakang kepala saya: jangan sampai dia keluar lagi.

Di ruang tamu yang hanya diterangi lampu kuning redup, saya kemudian melihat Kemala dengan lebih jelas lagi. Dan saya sadar sesuatu. Sesuatu yang kecil. Sesuatu yang mungkin tak akan disadari orang lain.

Kemala tidak menggigil. Tidak gemetaran meski tubuhnya basah kuyup. Padahal suhu malam ini paling tidak dua puluh derajat.

Tentu saya masih mengingat, Kemala yang saya kenal mudah kedinginan. Dia selalu mengenakan jaket, bahkan ketika berada di dalam rumah. Dia rutin meminta selimut tebal menjelang tidur meski udara cuma sejuk.

Bandingkan dengan Kemala yang berdiri di depan saya sekarang. Dia seperti tidak merasakan basah dan dingin.

"Mala, apa kamu nggak kedinginan?" tanya saya pelan, masih memegang bahunya.

Kemala menatap saya. Lama. Terlalu lama. Seperti dia harus berpikir dulu sebelum menjawab.

"Nggak, Mas." Senyumnya lembut. "Aku nggak ngerasa apa-apa."

Dan saat itu juga bagian kecil di otak saya tiba-tiba berbisik: Itu bukan Kemala.

***

2

Saya membuatkan Kemala teh jahe panas. Dulu, setiap kali Kemala pulang kehujanan, saya selalu membuatkan teh jahe. Dia menyukai yang manis, menggunakan gula jawa, dan harus sangat panas hingga lidahnya hampir terbakar.

Secangkir teh lalu saya sajikan untuknya. Sementara Kemala sendiri masih duduk di kursi rotan dekat meja makan, bahkan masih mengenakan daster basah. Saya memang belum sempat memberinya baju ganti. Segenap isi kepala masih sukar percaya jika semua ini adalah nyata. Oleh karenanya saya hanya memperhatikan reaksinya saja.

Kemala menatap cangkir itu. Lama. Seperti orang yang baru pertama kali melihat teh.

"Diminum, masih panas," pinta saya pelan sembari duduk di seberangnya.

Dia mengangkat cangkir, perlahan-lahan, dan minum. Satu tegukan kecil. Kemudian dia meletakkannya kembali.

"Mala apa jadi eggak suka teh?" Jantung saya berdebar, entah mengapa pertanyaan itu terasa sangat penting.

"Enak, Mas." Senyumnya lemah. "Cuma aku lupa rasanya. Aku lupa banyak hal."

Lupa. Kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dipercaya. Bagaimana mungkin seseorang lupa rasa teh jahe yang diminumnya hampir setiap hari selama menikah?

Meski begitu saya tidak ingin terlalu keras padanya. Mungkin trauma. Mungkin syok. Paling menakutkan jika dia... mungkin otaknya rusak karena tenggelam terlalu lama tanpa oksigen.

"Kemala, ada yang ingin kutanyakan" suara saya berhati-hati, seperti orang yang sedang berbicara dengan binatang liar yang bisa kabur kapan saja.

“Apa, Mas?”

"Mohon jujur, kamu di mana selama ini?"

Dia menatap saya. Mata itu memang mata Kemala, tetapi entah kenapa ada yang berbeda. Lebih tajam? Lebih gelap? Atau saya yang terlalu paranoid?

"Aku nggak tahu, Mas." Suaranya pelan, hampir berbisik.

“Kok enggak tahu?”

"Aku ingetnya cuma gelap. Dingin. Terus aku ada di pinggir sungai. Ada orang tua yang nolongin aku, tapi aku nggak inget mukanya. Aku nggak inget apa-apa. Aku cuma inget Mas Saga. Inget rumah ini."

Bola matanya mulai berkaca-kaca. Saya refleks berdiri, berjongkok di sampingnya dan memegang tangannya yang dingin.

"Udah, udah, nggak usah dipikirin dulu. Yang penting kamu pulang. Kamu selamat."

"Cuma aku ngerasa beda, Mas." Dia menatap tangannya sendiri, seperti orang yang baru saja sadar punya tangan. "Aku ngerasa ini bukan aku."

Bulu kuduk saya berdiri.

"Maksudmu?"

"Nggak tau. Susah dijelasin. Kayak... kayak aku lagi pakai baju orang lain. Kayak ini tubuh aku, tapi juga bukan." Dia menggeleng frustasi. "Maaf, Mas, aku nggak bisa jelasin. Aku bingung."

Saya tidak tahu harus berkata apa. Bagian rasional otak saya mengatakan: ini efek trauma, efek tenggelam, efek derealisasi atau depersonalisasi atau istilah psikologis lain yang pernah saya baca. Tetapi bagian lain otak ini lebih percaya pada bisikan Bu Darmi dan Mbah Jayeng, dan berbisik keras:

Dia bukan Kemala.

Hanya saja saya sengaja membungkam diri. Saya bungkam dengan logika dan harapan. Karena jika dia bukan Kemala, lalu siapa? Mengapa wajahnya sama persis? Mengapa suaranya—walau ada yang berbeda—masih suara yang saya kenal?

"Istirahat dulu," kata saya akhirnya. "Besok kita pikirin. Besok kita ke dokter, kita ke—"

"Jangan." Suaranya tiba-tiba keras. Matanya melebar, panik. "Jangan bawa aku ke dokter. Jangan bawa aku ke mana pun. Kumohon, Mas."

"Kenapa? Kamu harus diperiksa, Kemala. Kamu hilang setahun, mungkin ada—"

"Aku nggak mau!" Dia berdiri tiba-tiba, cangkir teh nyaris tumpah. Napasnya memburu. "Kalau mereka tahu aku balik, mereka bakal ngambil aku lagi. Aku nggak mau balik ke sana. Ke tempat gelap itu. Kumohon, Mas. Jangan kasih tau siapa-siapa dulu."

Saya terdiam. Ada yang salah. Ada yang sangat salah. Tetapi saya tidak bisa, dan tidak mau memikirkan itu sekarang.

"Oke," kata saya pelan, berdiri, memegang bahunya lagi agar dia tenang. "Oke, kita nggak kemana-mana. Kamu aman di sini. Aku janji."

Perlahan napasnya mulai teratur lagi. Dia mengangguk, duduk lagi, tetapi tangannya gemetar.

Dan saya baru saja sadar, ada yang aneh dari posisi duduknya.

Kemala duduk dengan kaki terlipat sempurna di bawah tubuh, posisi yang orang Jawa sebut sila atau bersila, namun versi perempuan dengan lutut ke samping. Posisi yang sopan, yang biasa dilakukan oleh perempuan Jawa zaman dulu saat duduk di lantai atau di kursi rendah.

Masalahnya, Kemala tidak pernah duduk begitu. Kemala yang saya kenal selalu duduk selonjoran, kakinya dijulurkan ke depan atau disilangkan.

Dulu Bu Darmi suka memprotes cara duduk Kemala. "Lha kok ra sopan ngono kuwi?" (Lha kok nggak sopan begitu?) Sedangkan Kemala hanya tertawa dan bilang, "Aku kan generasi modern, Bu."

Lain dengan Kemala yang di depan saya ini. Dia duduk seperti perempuan zaman dulu. Sempurna. Sopan. Anggun. Kemala seperti sudah terlatih puluhan tahun melakukannya.

Selesai meneguk teh, saya lalu mengambil kaus dan celana training miliknya yang masih saya simpan di lemari.Sejumlah pakaian miliknya belum sempat atau tidak tega saya buang. Kemudian saya menunggunya berganti baju di kamar mandi.

 

Di rumah joglo ini terdapat dua kamar mandi: satu di dalam kamar utama, satu lagi di belakang dapur. Kemala memilih yang belakang dapur, dan entah kenapa itu membuat saya lega. Saya tidak siap melihat dia masuk ke kamar utama—kamar yang selama setahun menjadi kuburan kenangan.

Saya duduk di pendopo, menyalakan rokok lagi dan menatap hujan yang mulai reda. Pikiran saya kacau. Berputar seperti mesin cuci rusak.

Kemala pulang. Istri saya pulang. Seharusnya saya senang, seharusnya saya mengadakan syukuran, seharusnya saya memeluk dia dan tidak melepaskannya sampai matahari terbit.

Tetapi saya malah merasa takut.

Takut pada apa? Pada istri saya sendiri? Atau takut pada sesuatu yang berpura-pura menjadi istri saya?

Saya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menghilangkan pikiran itu. Ini gila. Ini paranoid. Ini—

"Mas Saga."

Saya hampir melompat dari kursi. Kemala berdiri di belakang saya, sudah berganti baju, rambutnya masih basah tetapi tidak menetes lagi.

"Kaget aku," kata saya, napas tercekat.

"Maaf." Dia duduk di samping saya. Jaraknya tidak terlalu dekat, tidak juga terlalu jauh. "Aku boleh tanya sesuatu?"

"Iya, apapun."

Dia diam sebentar, menatap hujan yang sekarang hanya gerimis.

"Apa aku beneran istri Mas Saga?"

Pertanyaan itu seperti tamparan.

"Apa? Kemala, kamu... tentu saja kamu istriku. Kita nikah empat bulan sebelum sebelum kecelakaan itu."

"Aku tahu." Suaranya pelan. "Maksudku, aku inget pernikahan kita. Aku inget Mas Saga. Tapi aku nggak inget sama rasa. Aku nggak inget gimana rasanya menjalin cinta sama Mas Saga."

Jantung saya serasa diremas.

"Mungkin karena syok. Karena trauma. Nanti ingat lagi." Suara saya hambar, mencoba yakin tetapi gagal total.

"Mungkin." Dia masih menatap hujan. "Tapi Mas Saga, kalau memang ternyata aku bukan orang yang Mas Saga kenal, kalau ternyata aku sudah berbeda, apa Mas Saga masih tetap mau menerimaku?"

Saya tidak bisa menjawab. Karena saya tidak tahu jawabannya.

***

Kemala saya suruh tidur di kamar utama, sementara saya tidur di pendopo menggunakan kasur lipat. Saya bilang alasannya agar dia lebih nyaman, tetapi sebenarnya saya yang tidak nyaman. Saya tidak siap tidur sekamar dengannya. Belum bisa menerima.

Saya sendiri tidak bisa tidur. Saya berbaring sambil melek, menatap langit-langit kayu yang penuh sarang laba-laba, mendengar suara jangkrik dan kodok yang mulai ramai lagi setelah hujan reda.

Menjelang jam dua pagi, saya mendengar suara pintu kamar terbuka. Pelan. Seperti orang yang tidak ingin membuat suara.

Saya pura-pura tidur, mata setengah terbuka, mengintip lewat bulu mata.

Kemala keluar dari kamar utama. Berjalan pelan menuju belakang rumah. Ke arah kolam.

Jantung saya berdebar. Saya tunggu dia hilang dari pandangan, baru saya bangun, lalu mengikutinya dari jarak aman.

Kolam di belakang rumah joglo ini bentuknya persegi, ukuran sekitar empat kali lima meter, dan dikelilingi batu alam. Kolam juga memiliki patung kura-kura kecil di tengahnya. Dulu dari mulut patung itu menyembur air kolam, tetapi sekarang hanya menyemburkan karat. Air kolamnya jernih, namun malam ini airnya kelihatan hitam, seperti tinta.

Kemala berdiri di pinggir kolam. Telanjang kaki. Diam saja.

Saya sembunyi di balik tiang pendopo, mengintip, napas saya tahan.

Kemala menatap air kolam lama sekali. Tidak bergerak. Tidak berkedip.

Kemudian dia berbisik sesuatu. Pelan sekali, hampir tidak terdengar. Bahasa Jawa, tetapi Jawa kuno. Jawa kromo inggil yang kaku, yang biasa dipakai di keraton atau upacara adat.

"Kulo sampun rawuh. Kulo sampun mulih. Nanging kulo dereng manggih." (Saya sudah tiba. Saya sudah pulang. Tapi saya belum menemukan.)

Saya merinding. Kemala tidak pernah bisa berbahasa Jawa sehalus itu. Dia anak Jogja, iya, tetapi dia generasi yang lebih suka berbicara Indonesia atau Jawa ngoko. Jawa kromo inggil? Tidak mungkin.

Kemala berjongkok, mencelupkan tangannya ke air kolam. Gerakannya lambat, ritual. Dia mengangkat tangan, air menetes dari jari-jarinya, dan dia berbisik lagi:

"Praptèng tirta, praptèng bumi. Sedaya ingkang kapendam, sumangga wangsul." (Tiba di air, tiba di bumi. Semua yang terpendam, silakan kembali.)

Kemudian dia diam lagi. Lama. Mungkin lima menit, mungkin sepuluh. Saya tidak berani bergerak. Tidak berani bernapas keras-keras.

Akhirnya Kemala berdiri, mengelap tangannya di kain baju, dan berbalik.

Saya cepat-cepat kembali ke kasur yang digelar di pendopo, pura-pura tidur. Saya mendengar suara langkahnya mendekat. Berhenti. Saya merasa dia menatap saya. Lama.

"Aku tahu kamu nggak tidur, Mas." Suaranya datar. Dingin.

Saya membuka mata. Kemala berdiri di samping kasur saya, menatap saya dari atas. Ekspresinya kosong. Seperti topeng.

"Kamu ngapain di kolam?" tanya saya, suara serak.

"Aku cuma pengin liat air." Senyumnya muncul, tetapi tidak sampai ke mata. "Aku suka air. Aku ngerasa tenang."

"Kamu tadi ngomong bahasa Jawa. Bahasa Jawa kuno."

Dia diam. Kepalanya miring sedikit, seperti anak kecil yang bingung.

"Aku nggak ngomong apa-apa, Mas. Mungkin Mas Saga mimpi."

"Aku nggak mimpi. Aku denger kamu—"

"Mas Saga mimpi." Suaranya tegas kali ini. "Sekarang tidur. Besok kita ngobrol lagi."

Dia berbalik, kembali ke kamar, menutup pintu pelan.

Dan saya hanya bisa berbaring, jantung berdebar seperti orang baru lari maraton, pikiran berkecamuk.

Itu bukan Kemala. Bukan Kemala. Tapi kalau bukan, lalu siapa?

o0o

Bersambung ke cerpen: Kemala Kembali 2

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Kemala Kembali (1)
Omius
Novel
Justin & Misteri Puding Merah (bagian 1)
Arzen Rui
Flash
Radar Seorang Manusia yang Tak Berujung Pulih
Rainzanov
Flash
Suspicious Boyfriend
Matrioska
Novel
Mereka adalah Aku
Sunarti
Novel
Titisan Sang Ratu
Esti Farida
Novel
Syarat dari Surat
Yuda Juanda
Skrip Film
Pohon Berakar Dalam
Hendri Siahaan
Cerpen
Bronze
Bintang-Bintang Jatuh di Pangkuan
Sri Wintala Achmad
Novel
Bronze
RITUAL GUNUNG KEMUKUS
Citra Rahayu Bening
Novel
Bronze
Ilmu Warisan Leluhur
Jasmine23Pramestia
Cerpen
Bronze
Lelaki Yang Tersesat Dalam Imajinasi
Drs. Eriyadi Budiman (sesuai KTP)
Skrip Film
Polisi yang Tak Melawan Penjahat
Muhamad Wildan
Flash
KERUDUNG MERAH
Vika Rahelia
Flash
Bronze
Menjadi Kucing
Ron Nee Soo
Rekomendasi
Cerpen
Kemala Kembali (1)
Omius
Flash
Bronze
Kamalia Dalam Mimpiku
Omius
Flash
Petunjuk Cacing
Omius
Novel
Lakon Terakhir
Omius
Flash
Bronze
Diperbudak
Omius
Flash
Bronze
Kematian Tukang Teluh
Omius
Novel
Kembang Berdendang
Omius
Cerpen
Bronze
Pengabar Kematian
Omius
Cerpen
Bronze
Kertas Balas Kertas
Omius
Cerpen
Bronze
Peti Pusaka
Omius
Flash
Bronze
Di Balik Dinding
Omius
Novel
Bronze
Budak Cacing
Omius
Flash
Sang Penjaga (2)
Omius
Cerpen
Bronze
Kecap Patah Hati
Omius
Cerpen
Bronze
Kemala Kembali (3)
Omius