Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Keluarga Wira
2
Suka
7,222
Dibaca

Keluarga Wira 

I

Keluargaku sama seperti keluarga lain di pintu-pintu sebelah, punya persoalan hidup. Bedanya terletak pada sifat naif yang aku punya. Aku ingin punya banyak uang. Dengan begitu tidak perlu utang-utang lagi selamanya. Termasuk ke tetangga. Juga harapan naif, ingin keluarga tercinta bersatu kembali. Setelah porak poranda karena utang.

Aku rasa, semua orang dibalik pintu itu pada awalnya senaif diriku. Hanya saja kebanyakan dari mereka tidak mengaku. Malah terbagi menjadi dua kubu. Kubu kawan adalah yang percaya harapan naif ini bakal terwujud. Kubu lawan, selamanya menganggapku remeh tak berdaya. Termasuk rentenir yang telah menyita rumahku, Buwono. Rumah yang kukontrak ini, kini milik Buwono, tapi tak lama lagi akan kembali kepada tuannya.

***

    Lihatlah di depan koperasi pegadaian yang aku dirikan bersama tiga teman. Seorang wanita berdaster yang baru saja melunasi utang keluarganya. Dia sedang menanti suaminya menjemput kembali.

Pada hari yang sama, mereka menghubungi kami. Keluarga kecil itu meminta antar kepadaku yang juga sebagai tetangga di kontrakan. Mengantar anak mereka yang baru berusia tiga bulan itu, pergi menemui ibu baru. Ibu asuhan. Walaupun ibu asuhannya masih saudara dari wanita itu, sudah tersebar gibah bahwa wanita itu “menjual” anaknya. Demi melunasi utang-piutang.

Malam hari di akhir pekan, aku dan tiga teman berangkat ke Bandara. Mengantar bayi bernama Teguh dan ayahnya menyeberang pulau. Mbak itu tidak ikut, tidak kuat katanya. Aku baru tahu sejak hari itu, kalau bayi bisa naik pesawat. Kini Mbak itu hanya menyandang gelar, nama panggilan sebagai Ibu Teguh. Aku akan biasakan diri memanggilnya Bu Teguh. Tetangga yang baik, dengan gaya hidup yang melebihi penghasilan keluarganya.

Aku dan tiga pendiri koperasi lainnya, Roy-Tono-Daniel, sering juga membicarakan fenomena yang terjadi di desa ini. Tidak cuma keluarga Bu Teguh saja, melainkan beberapa keluarga sebelumnya sudah melakukan hal yang sama. Sampai Tono celetuk argumen paling gelap dan semua setuju.

“Keluarga yang hidup di desa ini, inginnya hidup mewah dan hura-hura. Rumah jadi megah, motor terbaru. Tiba saatnya setoran, susah, stres, lalu senggama. Hamil dan lahir. Setoran kredit macet terus cari cara menghubungi sanak saudara kaya untuk diamanahi bayi. Utang lunas, hidup mewah lagi, hura-hura lagi. Astagfirullah.

Aku dan yang lain mengangguk setuju. Semudah itu mengamatinya dan menertawakan kelucuan desa ini. Hal yang lebih menggelitik adalah pertanyaan berikutnya.

“Kamu mau hidup terus di sini, Wir?” tanya Tono. Si paling alim diantara kami.

“Yakin sekali. Aku memang berasal dari sini, dan harus kembali ke sini. Tujuanku harus tercapai. Menjadikan rumah kontrakan itu, menjadi tempat pulang untuk bapak, ibu, dan aku. Aku buat koperasi dengan bantuan kalian ini, tujuannya hanya itu. Toh, akhirnya gak pernah berurusan lagi sama pinjol.”

Kami tertawa mendengar itu, soal pinjaman online yang pernah membuatku menjerit. Sembari menikmati makan siang di warung favorit dekat koperasi. Roy yang terkaya di antara kami, the real Batman yang hidup satu circle denganku, entah sejak kapan dia mau makan di warung begini. Dekat jalan raya yang tidak ramah polusi. Padahal dulu waktu masih kuliah, dia yang memilih tempat nongkrong dan selalu tempat yang higienis menurutnya.

“Apapun alasan kalian tinggal di sini, aku sih gak masalah. Selama ada kalian dan selama ada orang yang berutang, aku suka tinggal di sini. Tidur bertiga di kamar belakang kantor, sampai mau nikah pun gak masalah. Investasiku gak akan sia-sia. Desa ini ladang duit bagiku,” sahut Roy.

Tepuk tangan bersahutan menanggapi motivasi hidupnya, yakni uang. Di tengah bercengkerama makan siang, selalu diselingi bunyi ponsel Daniel. Itu panggilan dari mamanya. Daniel sering dimarahi karena tidak mau buka usaha di kotanya sendiri, malah ikut kami. 

“Iya, Ma. Daniel pasti jaga toko di rumah. Meneruskan usaha papa. Tapi enggak sekarang. Daniel masih ingin cari pengalaman lain,” sahut Daniel ketika menerima panggilan.

Kami harus menahan tawa karena Daniel hanya bisa menjawab lima kalimat sedangkan mamanya membalas 50 kalimat lebih. Tono menghitung jumlah kalimatnya. Daniel senaif kami, dia percaya akan berhasil dengan koperasi ini.

***

Seminggu kemudian pada akhir pekan, di malam hari. Paska mengantar bayi Teguh ke bandara. Paska membicarakan maraknya “penjualan” anak secara legal. Kontrakan kedatangan tamu. Bukan, bukan ketiga temanku. Mereka lebih suka mendekam di kamar belakang kantor, dengan layar sentuh dan laptopnya.

Rupanya Mbak Rini. Mbak sepupuku yang tinggal di desa sebelah, tak jauh dari sini. “Ada apa ya, Mbak? Silakan duduk,” pintaku.

“Mbakmu ini mau menitipkan bayi kalau sudah lahir,” katanya sembari mengelus-elus perut.

“Mau titip kepada siapa, Mbak?”

“Ya kepadamu. Aku gak punya keluarga yang mampu kayak kamu,” jawabnya singkat.

“Mbak, koperasi memang melayani pegadaian tapi bukan bayi.”

“Habis gak ada cara lain. Aku dan suami sudah rela.”

“Bayi bukan benda yang bisa dijadikan penolong macam itu. Dia punya nyawa, Mbak. Punya hak untuk tinggal dengan bapak-ibunya. Berapa sih utangmu? Biar aku bantu melunasinya.”

“Lima puluh.”

“Juta?” tanyaku terkejut.

“Utang ke Buwono. Awalnya cuma 25 Juta. Sepuluh bulan gak bisa bayar sekarang malah dua kali lipat.”

“Aku tidak ingin skandal seperti jual anak ini menimpa sepupuku. Aku balik ke desa ini supaya Buwono itu gak semena-mena ke saudara-saudaraku. Mbak kan tahu, rumah ini dulu milik keluargaku. Mbak tahu keluargaku berantakan gara-gara Buwono.”

“Lalu bagaimana caranya aku bebas dari Buwono?” tanya Mbak Rini.

“Aku mau ke kamar mandi dulu.”

Mbak Rini mengelus lagi perutnya. Ia beranjak dari sofa. Sedangkan mataku mengikuti langkahnya ke kamar mandi. Dulu rumah ini ramai, tidak sesepi ini. Ramai di pagi hari, dimulai dari kamar mandi yang ditujunya.

II

Beberapa tahun sebelumnya….

Aku pembuat gaduh di pagi hari. Saban pagi pergi ke kamar mandi, inginnya mandi sambil bernyanyi. Padahal sudah kelas satu SMA, tetapi kelakuannya seperti anak-anak. Bodoh amat dengan omelan ibu. Seolah tidak tahu larangan menyanyi di kamar mandi.

“Wira, sudah berapa kali ibu bilang?! Jangan bernyanyi di kamar mandi. Kamu mau kerasukan, hah? Ayo, cepat mandinya!”

“Iya, Bu,” sahutku sembari cepat-cepat membilas badan. Sekeluarnya dari kamar mandi ibu sudah menunggu dengan kedua lengan di pinggulnya. Siap menceramahi lagi.

“Kalau nanti sore nyanyi di kamar mandi lagi, kamu sudah gak boleh ikut ekskul musik di sekolah. Titik,” kecamnya. 

Tidak ada kata lain setelah kecaman itu. Rasa takut menjalar ke sekujur badan. Ibu langsung melenggang ke ruang tamu. Menuju tempat duduk bapak yang sedang baca koran. Aku bergegas masuk kamar, dan menguping pembicaraan mereka.

“Tuh, lihat kelakuan Wira, Pak! Kebiasaan nyanyi di kamar mandi. Ini salah bapak sih, terlalu memanjakan Wira. Tanggung jawab, bilangin tuh anakmu!”

“Iya nanti bapak yang ngomong. Bapak masih pusing memikirkan masalah kita yang lain,” tanggap bapak sebelum terdengar menyeruput kopi keras-keras.

“Kalau masalah yang itu bukan dipikirkan tapi dibayar!” jawab ibu ketus.

Bangga sekali punya bapak PNS, guru di sekolah SMP-ku dulu. Terasa sangat dihormati teman-teman dan jauh dari rundungan. Pujian kadang mampir, “Wuih, pakai mobil kalau berangkat sekolah. Berarti bisa nih, sekali-kali traktir teman-temanmu ini.”

Rasa bangga itu berlanjut hingga SMA, bersama anak-anak berada lain yang membawa atau diantar dengan mobil orang tuanya. Bahkan teman-teman satu ekskul yang pulang kesorean dan satu arah sering ikut mobilku. Menghindari naik angkot, menghemat uang jajan. Tambah jumawa jadinya.

Sebelum mobil keluar garasi pagi ini, tiga orang berbadan gempal menanti di depan pagar rumah. Ibu memintaku segera masuk ke dalam mobil. Mungkin maksud ibu, agar aku tidak mendengar pembicaraan bapak dengan ketiga orang itu. Padahal kalau niat, aku bisa menguping dengan jelas.

Tak lama setelah masuk ke dalam mobil, aku menanyakan hal itu kepada bapak. “Mereka mau apa, Pak?”

“Oh, itu. Mereka anak buahnya Buwono.”

“Iya, tahu. Apa maksud mereka datang ke sini? Bapak mau pinjam uang?”

“Enggak, bukan begitu. Mereka akan datang nanti malam. Sudah, bahas yang lain saja. Pertama, bahas soal larangan menyanyi di kamar mandi.”

   Dalam perjalanan sembari menyetir, bapak mulai menasihati. Aku memilih duduk di belakang kursinya biar tidak bertatap-tatapan. Rasanya, pandangannya yang tajam bisa membunuh mentalku untuk mendebat nasihat.

“Wira, sudah waktunya kamu berhenti bernyanyi di kamar mandi. Ibumu marah-marah terus karena ulahmu itu. Lagipula agama juga melarang. Kamu juga tahu hukumnya.”

“Agama bukan melarang, tapi menganjurkan agar tidak lama-lama dan tidak bersuara di kamar mandi. Memang adakah dalilnya, kalau mandi sambil nyanyi itu haram hukumnya?”

“Sekarang bapak juga tanya ke Wira. Memang ada dalilnya, bernyanyi di kamar mandi itu boleh?”

“Ada. Darah muda, darahnya para remaja. Sabda Haji Rhoma Irama.”

Bapak tidak jadi marah. Aku berhasil mengalahkan ketakutanku dimarahi bapak. Auman dari ibu kalah telak dari aumannya, bila dia mengamuk.

“Bapak berharap sama Wira, bisa jadi anak yang sukses. Jadi apapun yang penting sukses dan tanggung jawab. Bisa membantu keluarga seumpama terjadi apa-apa. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi,” sahut bapak.

Aku mencerna bahasa formal bapak. Inilah yang membuatku bangga dengan bapak selain karena PNS. Bijak dan membebaskan anaknya jadi orang berhasil di bidang apa saja.

“Nanti jemput jam lima ya? Aku masih ekskul musik sama teman-teman.” 

***

Benar-benar pagi yang membuat kesal. Sudah berusaha mandi cepat tanpa bernyanyi. Malah melihat mobil kebanggaan telah raib. Aku harus berangkat sendiri dengan naik sepeda motor butut milik ibu. Hanya dalam semalam, mobil yang biasa parkir di garasi ini sudah jadi milik Buwono.

“Oke, hari ini aku pakai sepeda motor Ibu. Kayaknya bakal selamanya.”

“Cuma sebentar kok, Wir,” ibu menanggapi. Bapak hanya terdiam, dia tidak masuk sekolah hari ini.

“Kenapa Bapak sama Ibu enggak bilang kalau tiga orang gempal kemarin nagih utang? Wira sudah besar, Bu, Pak. Sudah mengerti, siapa itu Buwono. Sudah paham kalau mandi sambil nyanyi itu salah. Tahu, kalau utang itu harus dibayar. Tapi minimal ngomong kalau mobil itu dibuat bayar utang ke Buwono.”

“Kamu cepat berangkat. Gak sopan bentak-bentak orang tuamu seperti itu!” bentak bapak balik.

“Kamu cepat berangkat. Gak sopan bentak-bentak orang tuamu seperti itu,” kataku mengulangi dengan nada mengejek. Sebetulnya amat takut melawan, tapi saking kesalnya aku berani.

“KAMU!” bapak naik pitam.

Segera kugeber gagang sepeda. Dengan perasaan kesal menjalani sekolah hari ini dan entah sampai kapan akan kesal. Bahkan aku akan izin tidak ikut ekskul beberapa minggu ke depan. Alasan ada les matematika. Aku bahkan sudah berencana bolos sekolah. Sampai hati ini rela mobil itu terjual.

“Wahyu, aku izin gak ikut latihan ekskul. Ada les matematika, biar bisa naik kelas,” kataku melalui ponsel.

Lagipula aku hanya bermain gitar atau bas. Bisa digantikan teman ekskul yang lain. Kalau Wahyu sih, tidak tergantikan. Dia vokalis, motivator, sekaligus ketua di ekskul musik. Dialah orang yang keluarganya tidak pernah punya masalah seperti keluargaku. Hidup sederhana dan berkecukupan.

***

Tahun kedua di SMA. Tahun yang menyeramkan bila berada di rumah terus. Aku sudah sering bolos dengan alasan sakit. Namun, tidak betah berada di rumah. Bapak yang marah-marah tidak jelas, sering mengurung diri. Sampai-sampai ibu sering tidur di kamarku ketika aku menginap di rumah Wahyu. 

Bapak juga sering bolos mengajar. Ibulah yang mencari nafkah harian dengan berjualan sayur keliling desa. Mengurus makanan dari kami berdua yang mogok ke sekolah. Bahkan ibu pula yang menghadapi para penagih utang sendirian, ketika kami mendekam di kamar. Aku takut bila ibu tiba-tiba digorok lehernya, atau bapak diseret. Lalu digantung di tanah lapang agar orang-orang tahu kesalahan keduanya.

“Wahyu, aku mau buat pengakuan. Aku alasan les matematika, sebetulnya karena malu ke sekolah gak bisa bawa mobil lagi. Gak bisa traktir kalian lagi,” ucapku di suatu kesempatan.

“Soal itu aku sudah tahu. Aku hanya ingin kamu menyadari bahwa teman sejati tidak akan meninggalkan temannya dalam keadaan senang maupun susah,” tanggapnya menenangkan.

Rumah Wahyu yang dekat dengan sekolah adalah pelarianku saban malam. Dengan berbekal baju sekolah, seolah pergi berpiknik ke kecamatan sebelah. Menginap di sana, seminggu penuh pun ibu tidak akan marah. Bahkan hubungan keluarga kami sangat baik, dan ibu sering menitipkan aku di sana.

Hal yang paling aku suka di dalam pelarian saban malam, adalah bertemu cewek cantik. Adik dari Wahyu. Meizy namanya. Ramah, ceria, dan dia tidak punya pacar. Itu yang penting. Bahkan dia sangat perhatian.

“Mas, suruh sarapan tuh sama Ibu. Apa aku antar saja ke kamar, kalau malu?” sapa Meizy di balik pintu kamar.

“Oh, enggak usah. Kayak biasanya saja. Kumpul makannya. Terima kasih, ya.”

Enak kayaknya kalau diadopsi keluarga ini. Keluarga yang tidak memusingkan harus berlibur kemana tiap liburan. Mereka lebih suka menikmati liburan di rumah. Berbeda dengan keluargaku yang hanya ada tiga orang, tetapi semuanya punya banyak mau. Sayangnya, harus sadar diri. Menginap berhari-hari, perlu sesekali ke rumah sendiri. Perlu menyapu dan merapikan kamar Wahyu.

Kadang ada rindu kepada bapak yang dulu. Bapak yang bukan pendiam seperti sekarang. Aku tahu, bapak sudah tergolong gangguan jiwa. Namun, hati ini menampiknya. Begitu pula ibu, yang sudah berusaha menutup-nutupi penyakit bapak. Namanya bangkai, pasti akhirnya tercium juga.

***

Tahun ketiga di SMA. Tibalah masa senang untuk mementaskan hasil latihan band kami di acara perpisahan. Sementara waktu, kuhempaskan selimut sendu hari-hari memikirkan bapak dan utang keluarga.

Demi menarik perhatian audiens, dimulailah acara dengan penampilan band adik kelas. Setelah kursi peserta dipenuhi wali murid dan anaknya, pembawa acara membacakan rangkaian acara resmi, hingga tiba sambutan kepala sekolah. Barulah setelah kepala sekolah, band kami akan pentas.

Omong-omong soal janturan kepala sekolah ketika pidato perpisahan. Beliau mengungkit sejarah jasa Lee Kwan Yew terhadap negerinya, Singapura. Pemimpin yang paling berpengaruh versi negeri itu dari dulu hingga sekarang. Berkat jasanya, Singapura jadi malu bila ada anak mengemis harta orang tuanya. Negeri yang berhasil melarang orang tua mewarisi harta. Apalagi mewarisi harta kepada cucu.

Kepala sekolah menyampaikan, larangan di Singapura soal warisan ini akibat ulah menantu dan anak tercinta yang mendapatkan warisan dari ayahnya. Sedangkan ayah yang memberi waris, didepak dari rumah. Dibiarkan gelandangan, tanpa memiliki tempat untuk pulang. Lee Kwan Yew murka. Pemimpin Singapura itu lantas memanggil mereka, memakinya hingga menyesal. Lee Kwan Yew mencari keberadaan ayah yang mereka telantarkan itu. Lantas kemudian mengubah hak waris kembali kepada si empunya.

    "Saya malu di negeri ini ada orang seperti kalian!" bentak kepala sekolah mengejawantahkan intonasi dari kalimat tokoh Singapura itu.

Beliau terus berorasi di tengah keheningan audiens. Memantik bara api mudaku. Aku pasti bisa sukses tanpa bergantung kepada harta orang tua.

"Itulah kata Lee Kwan Yew. Pemimpin legendaris dari negeri seberang."

   “Jika kalian telah sukses, maka ingatlah ini. Ingat pesan bapak. Kembalilah kepada orang tua kalian! Mumpung masih ada. Kumpulkan kebahagiaan mereka yang terpecah-pecah selepas kalian pergi merantau atau menimba ilmu lagi. Menyatulah dalam dekapan sayang, rangkul secara utuh kebersamaan. Kembangkan senyum mereka selama bercengkrama denganmu. Walaupun kembalimu hanya sesaat. Sebelum kalian mengepak sayap lagi, terbang dan hinggap bersama pasangan baru. Membuat sarang dan berbiak dengannya.”

     "Pesan bapak yang utama: jangan jijik kepada yang membesarkanmu. Pastikan ayah-ibu kalian bila masih ada, adalah tempat terindah untuk pulang."

Amanat dari beliau membuat sekujur badan terhentak. Api muda betul-betul membara, kian bulat tekadku jadi orang sukses kelak. Ingin jadi salah seorang yang memenuhi amanat kepala sekolah yang diambil dari Lee Kwan Yew itu. Ingin jadi anak yang tak menyusahkan orang tua apalagi berharap warisannya.  

***

    Kawan-kawan yang akan tampil bersamaku, sedang punya semangat membara yang sama. Pikiran kami seirama. Wahyu Pinurbo, ketua band kami berorasi kembali.

"Mari rekatkan amanat kepala sekolah di ingatan kita. Kita memang akan berpisah, ada yang bahkan tahunan nantinya tak bersua. Tapi sukses akan mendekatkan hati kita, usai peristiwa besar Band Temulawak ini. Ayo! Tunjukkan performa terbaik. Obrak-abrik panggungnya dengan karya kita!!" 

Aura sang motivator handal di Band Temulawak amat terasa. Semangatnya mendekap rasa percaya diri keempat anggotanya. Apalagi terhadap mentalku, yang sudah terbiasa sekamar dengan Wahyu.

Penonton konser kami, tampak puas aksi panggung Temulawak. Tak bermaksud mendaku. Namun, jemari ini telah menggila. Ganas mencakar-cakar senar gitar yang menggundang riuh. Memenuhi sound system dengan lengkingan resonansi.Mengguncang panggung, hingga serasa mau roboh.

Hadirin berhamburan menuju depan panggung. Mendengar lagu kesukaan dan berjingkat-jingkat tak terkendali kemudian. Selepas beranjak dari kursi samping orang tuanya, meliar bak burung keluar dari sangkar. Inilah kelebihan konser di luar ruangan.

Seirama musik kaula muda, mereka bergerombol. Riuh tanpa ada bedanya, mana lelaki berjas dan mana perempuan berkebaya. Dasi dan jas acak-acakan, sepatu hak tinggi ditanggalkan, semuanya melebur jadi satu. Akibat cakaran gitarku yang lihai. Meliarkan suasana perpisahan di SMA. Gegap gempita hari ini adalah hari yang paling cerah. Hari yang mampu menistakan tragedi.

Lamat-lamat kuamati senyum Meizy, yang curi-curi pandang sambil joget di depan panggung. Tak kusangka, dia akan berjoget seliar itu. Aku makin menyukainya, tetapi dia adik sahabatku sendiri. Pasti Wahyu tidak setuju adiknya kupacari.

***

   Tragedi baru, menyapa keluarga kami. Sepulang dari acara perpisahan, kami tidak menemukan bapak di kamarnya. Kata warga, bapak berlari kencang sekencang-kencangnya ke utara, menyusuri jalan raya. Dengan bertelanjang dada dan tanpa alas kaki. Tidak ada yang bisa mencegah bapak berlari. Bapak juga tidak mendengar sapaan warga. Terus menjauh, hingga sulit dilacak kemana keberadaannya.

   Kami sempat melapor ke polisi pada hari ketiga hilangnya bapak. Selebihnya kami bingung perkara lain. Buwono menagih utang kepada kami, dengan membawa ketiga pengawal gempal. Tatapan dingin Buwono membuat nyali kami ciut. 

    “Sebaiknya, terima tawaran saya. Rumah ini jadi milik saya dan utang lunas. Bahkan kalian boleh menambah utang jika mau,” kata Buwono di ruang tamu.

Buwono diapit ketiga pengawalnya yang berdiri. Hasrat ingin menolak sangat besar. Namun, apalah daya ketika ibu mengiyakan. Ibu mengangguk akan tawaran itu.

“Bu, kenapa kita harus utang lagi?”

“Kalau gak utang, kamu mau tinggal di mana kalau ibu jadi TKW di Malaysia?”

“Bu! Ibu mau ke Malaysia? Kok aku gak diberi tahu?” tanyaku terkejut pernyataannya.

“Kamu sudah besar. Sudah usia kuliah dan hidup mandiri. Nanti ibu kirim uang untuk biaya hidup dan kuliahmu. Sebagian lagi untuk cicilan utang dan bunganya ke Pak Buwono.”

“Ide ibumu itu sudah bagus. Dengan uang pinjaman dari saya, kamu bisa hidup layak di kota. Bisa kuliah seperti teman-temanmu,” sahut Buwono.

 

III

   Saban pagi sebelum hadirnya mentari, kubongkar arsip-arsip ingatan. Mencari yang dinamakan naskah jenaka untuk dipentaskan ulang hari ini. Kuputar musik dengan layar sentuh dan speaker yang membuat jemari gatal memetik gagang sapu, di sela-sela mengibas lantai kontrakan.

Meliuk-liuk tubuhku. Komat-kamit mulut meniru penyanyinya. Mengiringi detik demi detik alunan musik yang rancak. Musik rock tepatnya. Baik ketika membuang sampah, memasak maupun mencuci piring. Sekujur badan lincah bergetar, bergerak-gerak. Jemari luwes mengetuk-ngetuk udara laksana memetik dawai. Segala kegiatan inti jadi ringan dan rampung. Bersamaan dengan sang rawi yang mulai mencerahkan daratan. Itu pun masih banyak waktu senggang, sebelum berangkat kuliah. Aku sempatkan menyetrika kemeja yang hendak dipakai.

Ya, demikianlah adanya. Narasi jenaka itu ada di laci memori masa remaja. Memori kekanak-kanakan, membebaskan diri dari keruwetan masa dewasa. Tinggal membuka arsipnya, lalu mementaskannya kembali adalah kenikmatan hakiki. Tanpa beban. Tertuang dalam ramuan musik. Sebagai pengantar sarapan. Sebagai teman untuk mandi.

Mana ada orang yang melarangku mandi sambil bernyanyi. Berjingkat-jingkat, terangguk-angguk, merespon alunan musik. Sembari mengguyur badan dari atas ubun-ubun. Cipratan air kemana-mana. Tiada pula yang menaruh lengan di pinggul, memarahi teriakan rocker parau di kamar mandi. Jauh-jauhlah kenangan jeritan keluarga kami yang pernah diburu itu. Ramuan musik dan tarian bebas ini, menyajikan sepiring ketenangan batin.

***

   Tiga tahun sudah menjalani kehidupan kuliah, setahun lagi lulus. Kalau tuhan tidak membuat Tono dan Roy satu circle denganku, mungkin aku akan gangguan mental seperti bapak. Gara-gara pinjol, setelah berusaha menikmati sepiring ketenangan hidup, rasanya realita dijungkir balik oleh kebringasan penagihnya.

   Awal mula bersinggungan dengan pinjol, karena kiriman uang dari Malaysia macet. Rupanya akhir-akhir ini, ibu sudah tidak bekerja lagi. Lantaran ibu menikah dengan majikannya. 

   Kesal sekali hati ini, lagi-lagi ibu semaunya sendiri. Tidak rembukan dulu dengan putra semata wayangnya, langsung saja menikah tanpa tedeng aling-aling. Raga ini tersambar petir di siang bolong.

    “Maaf, ibu sudah tidak bisa kiriman lagi ke Wira. Kalau ada waktu nanti ibu kenalkan dengan suami ibu,” terangnya di panggilan video.

    “Alah, tidak usah! Itu bukan bapak kandungku. Aku tahu, ibu dari dulu memang semaunya sendiri. Keluarga terlilit utang itu karena ibu yang banyak gaya. Gak mungkin bapak. Ingin benahi rumah, ini-itulah. Beli mobil, segala macam. Iya, kan?”

    “Sekarang, aku harus biayai kuliah sendiri? Okelah, kalau dengan gaji kerja paruh waktu di percetakan bisa bayar kuliah. Lah terus, biaya makan, biaya kontrakan? Kenapa ibu tiba-tiba lari dari tanggung jawab. Tidak usah buat anak kalau ujung-ujungnya ditelantarkan kayak begini.”

“Ya, mungkin nanti setelah keuangan suami ibu kembali stabil, ibu bisa transfer.”

“TIDAK USAH!”

“Aku mau ganti kartu ATM, dan Ibu enggak usah menghubungi Wira lagi. Bersenang-senanglah di sana dengan suami barunya. Wira sudah bisa cari uang sendiri. Terima kasih selama ini jagain Wira,” mataku berkaca-kaca.

“Wira, dengar dulu penjelasan ibu. Ibu rencananya mau bawa kamu ke Malaysia. Jadi warga di sini. Kamu tahu kan di tempat kelahiran ibu, ibu gak punya sanak saudara. Juga gak punya tempat untuk pulang,” terang ibu.

“Wira lebih suka di sini. Entah nanti Ibu mau pulang atau tidak, terserah. Kalau Wira sukses, aku akan kembali ke desa dan membeli rumah kita lagi. Aku akan cari bapak, biar sama-sama tinggal di sana lagi.”

“Ya sudah, Wira pamit. Jangan cari Wira lagi, nomor ini aku blokir setelah ini. Dan terima kasih telah menyayangi Wira sejauh ini. Selamat jadi warga Malaysia selamanya!”

***

Bisa saja aku pindah tempat tinggal, dari kontrakan menuju indekos. Sayangnya, masih banyak properti di rumahku yang perlu dirawat. Kulkas, televisi, sofa, kompor dan barang-barang penting lain. Beberapa barang elektronik dan lemari tidak ikut disita Buwono. Mengenai kulkas dan televisi, sudah tergadai. Tetapi tetap saja belum bisa indekos dengan membawa barang berat seperti lemari dan lainnya.

Berbekal identitas diri dan verifikasi slip gaji percetakan, satu aplikasi pinjol meloloskan pinjamanku. Itu cukup untuk bayar biaya bimbingan skripsi. Pinjol lain dihubungi untuk biaya makan, cicil kontrakan dan melunasi utang ke teman. Sampai ada tiga pinjol di layar sentuh ini.

Enak pinjamnya, bikin frustrasi memikirkan tagihan setelahnya. Sampai-sampai nyaris gila. Beruntung Tono menyuruhku ingat Tuhan. Ingat pada sajadah yang lama dibiarkan tengadah. Ingat pada kitab suci yang telah lama tidak dibuka.

Aku lakukan semua anjuran Tono. Memasrahkan segala urusan kepada Allah. Sisanya menunggu keajaiban. Keajaiban itu berasal dari satu circle sendiri, yakni Roy. The real Batman yang sudi membayar kontrakan, melunasi utang pinjol, bayari utang ke teman dan pegadaian.

Pegadaian yang kumaksud adalah koperasi yang menyediakan jasa gadai. Laptop, sepeda motor butut milik ibu- yang kupakai sejak SMA sampai sekarang-, kulkas, televisi, akhirnya bisa ditebus. 

 Semenjak kenal sistem gadai di koperasi itu, muncul ide bahwa selulus kuliah nanti aku mau buka pegadaian. Pastinya butuh investor. Sedangkan tempat yang tepat untuk buka pegadaian adalah desa kelahiranku. Desa yang orang-orangnya gemar berutang.

***

Pucuk dicinta ulam tiba. Empat sekawan jurusan ekonomi, menjadi sarjana bersama-sama. Daniel bertanya aku akan melakukan apa setelah ini.

“Setelah sering menggadaikan barang di koperasi, aku jadi bertekad buka pegadaian di desaku. Mumpung belum ada koperasi jasa gadai di sana. Tapi butuh investor untuk mendirikan koperasi.”

“Aku ikut. Sepertinya ini akan jadi ladang duit bagiku,” sahut Roy.

“Wuih Roy, benar-benar super power. Tanpa mikir, langsung mau jadi investor,” sahut Daniel.

“Kenapa? Papaku pasti suka. Pasti mama juga senang, aku belajar jadi investor sekaligus mengelola bisnis sendiri,” sahut Roy.

Alhamdulillah. Aku pasti ikut. Tanpa basa-basi, bismillah. Ayo kita dirikan koperasi kayak gitu. Deal?” Tono menimpali.

Deal,” jawabku serius.

Kami berempat menjulurkan tangan. Siap bekerja di usaha milik kami sendiri. Punggung tangan saling bertindih, lalu dilemparkan ke angkasa.

“Sahabat sejati! Selamanya!!” serempak kami berikrar.

Kasihan Daniel. Setelah ikrar itu, dia diminta pulang oleh keluarganya. Diminta meneruskan bisnis mendiang ayahnya. Namun, Daniel menolak permintaan mamanya.

“Ma, aku mau mandiri. Yakinlah Ma, aku pulang dengan kesuksesan kok. Biarin aku ikut teman-temanku, Ma. Percayalah, aku pasti tetap jalani usaha papa. Tapi bukan sekarang. Please,”

“Satu tahun,” pinta mamanya yang berdiri di depan Daniel.

“Oke, satu tahun.”

Hal yang membuat telepon Daniel berdering setiap makan siang, karena Daniel betah kerja di koperasi yang kami dirikan bersama. Mamanya terus menuntut Daniel untuk pulang. Menagih kesuksesan yang dijanjikan Daniel. Janjinya setahun, pada akhirnya tambah satu tahun. Tambah lagi satu tahun bekerja di desa yang jauh dari kotanya. Sampai adiknya lulus SMA dan jaga toko ayahnya, Daniel pun belum memutuskan pulang ke rumah mamanya.

 

IV

Masa kini… 

Pagi hari di hari libur kantor. Setelah tadi malam Mbak Rini berencana menitipkan bayinya kepadaku, kalau sudah lahir. Daniel dan Tono membawa segepok uang ke kontrakan. Ketimbang Mbak Rini menitipkan bayi, lebih baik barang-barang yang ada di rumahnya digadaikan.

Mereka dan Mbak Rini ikut mengawal, tuju rumah Buwono. Tidak ada rumah sebesar Buwono di kampung. Di depan rumah ada pos satpam, tetapi yang jaga adalah orang-orang yang berbadan gempal. Belum lagi anjing yang menggonggong bila ada orang masuk gerbang. Anjing-anjing pit bul, yang lehernya terikat tali.

“Ada perlu apa?” tanya penjaga gerbang ketus.

“Kami bayar utang,” sahutku.

“Masuk, tunggu di halaman. Biar bos yang keluar.”

Orang yang paling kubenci sebentar lagi muncul. Dendam gara-gara dirinya membujuk rayu keluargaku untuk pinjam, lalu merenggut rumah yang kutinggali kini. Meskipun rasa takut menyelimuti tubuh, tetapi amarah hendak mengalahkannya. 

Pakaian hitam berkerah, kalung emas, akik di jari-jari dan kacamata hitam yang bertengger di dahinya. Dengan dikawal tiga ajudan gempal, Buwono menghampiri kami. Cara jalannya yang sok digdaya itu, ingin kujegal rasanya. Dia berseringai, makin muak aku melihat wajahnya. Kalau tidak gara-gara rumahku takut dijual ke orang lain, aku tidak akan kontrak di sana.

“Bagaimana? Mau bayar uang kontrakan sebelum waktunya? Bagus dong, itu tandanya orang kaya,” suara dan kelakar Buwono selalu terkesan mengejek di pendengaran.

“Aku ke sini buat bayar utang Mbak Rini.”

“50 juta?”

“10 juta.”

“Itu sih hanya untuk bunga empat bulan kedepan,” tanggapnya membuatku naik pitam.

“Hei, Buwono! Tidakkah kamu puas menyengsarakan keluargaku, sekarang menyasar sepupuku, hah?” nada tinggiku tak terkendali.

Aku melotot kearah matanya. Dia berseringai. Dua ajudan bersiap maju tetapi ditahan sama juragannya. Aku tidak peduli badan babak belur, yang penting puas mengata-ngatai Buwono. Namun, Tono dan Daniel peduli. Mereka memegangi lenganku.

“Wir, sabar! Orang yang kita hadapi lebih gempal. Bukan begini caranya melawan dia,” bisik Daniel di telinga kiri.

“Ingat, rumahmu harus kembali ke tuannya. Jangan sampai gara-gara hari ini, semua rencanamu gagal total,” bisik Tono di telinga kanan.

“Puas? Saya tahu kenapa kamu kembali ke desa ini. Kamu ingin rumah itu jadi milikmu kembali, kan? Kamu terlalu naif. Saya tidak sebaik hati itu. Kamu berharap, saya biarkan kamu bayar pokok utang bapakmu. Oh tentu tidak semudah itu. Pinjaman ditambah bunganya total setengah miliar. Kamu tidak punya uang sebanyak itu kan?”

Mbak Rini langsung merebut koper dari tanganku. Dia menyodorkannya ke hadapan Buwono. Aku sudah marah, tidak mungkin sudi menjulurkan koper kepada si berengsek ini. 

“Itu untuk utang pokok. Bunganya ditebus belakangan, biar gak membengkak.”

“Baiklah, saya turuti kemuannya. Nanti kalau butuh apa-apa, hubungi saya lagi. Jangan sungkan,” bujuk Buwono.

Jangan sungkan, matamu! 

Umpatan itu hanya terucap dalam hati. Tono dan Daniel benar. Badan seperti ini tidak mungkin bisa mengalahkan mereka bertiga, anjing-anjing pit bul dan penjaga gerbangnya. 

“Anda jual berapa rumah itu?”

“Kamu tidak akan sanggup.”

“Berapa?” tanyaku lebih ketus.

“Setengah miliar.”

Aku berlaku sopan agar dia sudi utang bapak dibayar pokoknya saja. Namun, harapan naif gagal. Buwono menebak pikiran ini.

Sebelum beranjak dari rumah itu, Buwono mengejek lagi usaha koperasi milik kami. Dia tahu banyak kelemahan usaha kami. Kali ini, malah Daniel dan Tono yang geram.

“Jangan terlalu jumawa dengan usaha pegadaian yang masih seumur jagung. Terlalu naif, akan membuatmu terperosok. Semua orang maunya kamu tolong. Tapi ingat, semakin banyak orang yang tertolong, kamu malah tidak bisa menolong diri sendiri. Apalagi menebus rumah itu.”

***

Memikirkan kata-kata terakhir Buwono ada benarnya. Semakin banyak orang yang tertolong, semakin jauh impian sendiri untuk tercapai. Dengan artian, aku akan selamanya kontrak di rumah ini. Selamanya rumah ini tidak bisa kembali kepada tuannya.

Utang bapak telah membengkak lantaran bunga. Setengah miliar untuk menebus hunian sederhana. Di desa, setengah miliar bisa bangun rumah milik Buwono. Jika aku terus menolong orang, siapa yang akan menolongku?

Bagaimanapun, hati tidak tega dengan kondisi keluarga yang dekat denganku. Seperti Mbak Rini sepupuku. Juga keluarga Wahyu. Aku perlu menolongnya. Keluarga yang menerimaku menginap, tempat pengungsian terbaik dari kegetiran hidup.

Wahyu kini telah tiada. Wafat di usia muda, menjelang wisuda. Aku tidak tahu bagaimana meninggalnya dan sekarang keadaan keluarganya mengalami proses di ujung tanduk. Sawah milik mereka lingkap.

Sesekali kukunjungi keluarganya. Sekalian bertemu Meizy yang kian berseri wajahnya. Sesekali memberi sebagian gaji kepada orang tua Meizy dan betapa sumringah ibu dan ayahnya. Petani yang bangkrut karena harga pupuk naik, harga panen anjlok. Lilitan utang buat modal cocok tanam jadi membengkak bunganya.

Aku bukan Roy yang kaya raya dan bisa kapan saja membantu keluarga Mei. Namun, ingin sekali menarik Mei dari kerjaannya di dealer sepeda motor dan menjadikannya karyawan di koperasi kami.

Setiap bertemu Mei dan mengajaknya pindah kerja, lidah kelu. Termasuk hari ini. Ketika mengantarnya ziarah ke makam Wahyu.

Kami berada di depan sebuah makam yang nisannya sederhana. Jongkok untuk memanjatkan doa pada ruh yang istirahat di dalamnya. Di atas gundukan pusara ini pula, baru saja kubantu menaburkan bunga setaman yang Mei bawa. 

Mei tampak asing. Wajah ceria yang kukenal telah meredup. Bukan karena anasir pemakaman melainkan ada hal lain yang disembunyikan. Mau dianalisa bagaimanapun, mimik wajahnya menandakan dia sedang gundah. Aku tidak bisa tiba-tiba bertanya, ada apa gerangan.

   “Mas Wira apa sudah tahu, Mas Wahyu sakit apa?” tanya tiba-tiba usai khidmat berdoa di atas pusara Wahyu.

Aku hanya menggeleng. Ragu mau jawab apa. Dengan sifat tidak tegaan seperti ini, mana mungkin bertanya detil cerita tentang Wahyu. Khawatir menyinggung perasaan dan berharap keluarganya saja yang langsung beri tahu.

Rupanya si pemantik semangat sekaligus vokalis Temulawak mengidap kanker otak. Dia telah berupaya menjadi penyintas kanker otak, dan terus mencapai cita-citanya jadi psikiater.

“Mas wahyu itu kuat, seolah gak sakit. Masih menyanyi di kedai dan mall untuk pertunjukan musik. Ketemu kalau sakitnya parah, waktu tiba-tiba pingsan.”

"Jadi, begitulah. Mas Wahyu berjuang melawan kanker otak. Seolah bukan orang sakit, tiga tahun tujuh bulan dia kuliah sambil nge-job nyanyi. Gak pernah mengeluh. Keluarga pun baru tahu sakit yang dideritanya” 

“Dikiranya karena tugas kuliah psikiatri yang membuatnya pingsan terus?” tanyaku setibanya di jok sepeda motor.

“Iya, awalnya begitu. Setelah tahu penyakitnya, sempat diminta kemoterapi. Mas Wahyu gak mau. Dia sudah selesai seminar akhir skripsinya. Tinggal membendel, terus wisuda. Waktu itu ada temannya ke kosannya pagi-pagi, dikira tidur. Ternyata, sudah meninggal.”

Menceritakan kisah Wahyu membuat mendung di wajah Mei mulai bergeser. Cerahnya kembali perlahan. Tanpa melanjutkan cerita, aku sudah menemukan hipotesan sekaligus kesimpulan cerita.

Jadi sawah orang tuanya yang banyak itu lingkap bukan karena biaya kuliah psikiatri, tetapi untuk berobat. Penyakit yang mahal obatnya. Berhubung Mei cerita panjang lebar, mumpung hatinya terbuka. Sembari mengendarai sepeda motor, tuju rumahnya aku bertanya.

“Apa keluarga masih punya tanggungan yang belum lunas?”

“Itu pertanyaan yang terlalu privasi,” tanggap Mei cepat.

Nah, kan tersinggung?

Biasanya orang merasa senang ketika ditanya begitu. Dengan kata lain ada harapan untuk menerima tambahan dana. Aku lupa kalau dia perempuan. Malah terksesan merendahkan dirinya. Lebih baik tadi mulut ini tetap bungkam. Walaupun sekarang bisa mengerti kondisi keluarganya.

“Tapi tidak apa-apa. Memang benar, keluarga ada masalah. Sengaja gak cerita karena kami tahu, Mas gak akan tinggal diam. Padahal Mas punya impian menebus rumahnya.”

“Iya, setidaknya aku bantu meringankan.”

“Fokus saja dulu dengan impian Mas. Tolongin diri sendiri. Baru tolong orang lain.”

***

“Jadi Mei punya masalah berat, tapi aku gak tahu. Soalnya akhir-akhir ini dia tertutup. Beda dengan Mei yang kukenal,” kataku di warung favorit kami saat makan siang.

“Ini sepertinya karena kamu sering ngasih uang ke bapak ibunya. Jadi keluarganya takut kalau utang mereka malah jadi tanggunganmu juga,” dugaan Tono tentang Mei yang berubah.

“Kalau terpaksa gak apa-apa Wir, pinjam ke orang tuaku dulu,” sahut Roy.

“Mamaku juga siap bantu. Sepertinya,” Daniel menimpali.

“Daniel, kita lagi bicara serius. Diksi “sepertinya” bukan jawaban pasti. Boro-boro dipinjami mamamu, diceramahi 50 kata per detik sih iya,” celetuk Tono mengundang senyum kami.

“Aku tahu niat baik kalian. Tapi, aku benar-benar menghindari utang yang gak produktif sebisa mungkin. Utang buat lunasi utang, rasanya aku sama dengan ibu bapakku.”

Suara telepon berdering. Kami menyangka itu panggilan dari mama Daniel yang saban siang hari selalu menghubungi anaknya. Ternyata suara HP-ku. Panggilan nomor tak dikenal. Ketika diangkat, panggilan dimatikan.

“Siapa? Mamanya Daniel,” celetuk Tono.

Tidak sempat menjawab, telepon baru berdering. Ternyata panggilan dari Mei. Baru saja menggibahinya.

“Mas, aku mau minta maaf bila ada salah kata dan tingkah selama ini. Kemarin juga terdengar ketus jawabnya.”

“Minta maaf? Kok tiba-tiba ngomong begitu? Gak ada salah kok.”

“Titip ibu dan bapak.”

Telepon dimatikan. Nomor tak dikenal tadi, kembali menghubungi via pesan daring yang mengejutkan. Ada foto Mei dengan kata-kata pedas khas pinjol.

“Gawat! Barusan telepon dari Mei. Minta maaf dan titip orang tuanya. Nomor yang tadi, itu pinjol ngirim foto Mei. Sama kata-kata ancaman bakal disebar fotonya. Astagfirullah, jangan-jangan…”

“Tenang, Wir. Mungkin gak separah yang kamu kira. Kita harus husnuzan dulu,” Daniel menanggapi.

“Niel, konsepnya gak gitu. Justru kita harus suuzan kalau ada berita darurat kayak gini,” sergah Tono.

“Ayo ke rumah Mei, pakai mobilku,” ajak Roy yang bergegas ke kantor.

***

Aku tahu rasanya diteror pinjaman daring serupa itu. Teror yang mengundang penat, bertubi-tubi. Bahkan sampai jiwa rasanya dikuliti dari raga. Pikiran merapah banyak kemungkinan. Meliar dugaan terburuk tentang Mei. Teror pinjaman online mampu mencekik mental, bisa-bisa ingin mengakhiri hidup. 

Sesampainya ke rumah Mei, bertepatan azan Zuhur. Kuketuk pelan pintunya. Ayah Mei yang muncul.

"Eh Nak Wira," ujar ayahnya.

"Mei ada Pak? Saya ingin menemuinya. Jadi, kalau boleh. Izinkan kami masuk.”

"Begini Pak, nyawa Mei sedang berada dalam bahaya. Kalau kamarnya dikunci, kami dobrak saja," imbuh Roy.

Ayahnya tampak kebingungan. Saking bingungnya menganga, tak mencuat satu aksara pun. Kedua matanya bolak balik memperhatikan kami. Selang beberapa detik, onomatope suara serupa kursi plastik terjatuh.

"GLUTAK!"

"Mei?" 

"Mei?!" teriak ayahnya. 

"Biarkan kami masuk Pak," desak Roy.

Ibu Mei baru tahu kehadiran kami kebingungan, kenapa empat orang ini masuk dan langsung ke kamar Mei. Ibunya hanya berdiri di depan kamar Mei.

Aku ingin menjerit. Takut Mei gagal selamat dari jeratan pinjaman online yang dengan sadisnya memulung jeritannya. Juga takut diriku gagal lagi mempertahankan orang yang dicintai.

Kami berempat mendobrak kamar Mei. Satu, dua, hingga tiga kali. Dobrakan sekuat tenaga. Pintunya lepas engsel.

Sekalian dobrakan keempat mengarah lepasnya kunci pintu. Pintu terdobrak kurang sempurna tapi pemandangan itu sudah kentara. Sesuai terkaan. Mei melilit lehernya dengan seutas tali. 

Kakinya masih menggelinjang, merasakan sakitnya terlilit. Sekali lagi pintu itu diterjang keempat kaki kami. Aku merangsek masuk lebih dulu.

Ketakutan akan putusnya urat leher Mei, membuatku fokus menyelematkannya saja. Segera kutegakkan kursi plastik yang tergeletak. Kubertumpu pada kursinya. Tidak ada waktu lagi buat histeris atau meneriakkan nama Mei seperti di film-film. Fokusku menjunjung badannya, agar tali tidak menjerat lebih parah.

"Roy, ambilkan gunting!”

“Pak, tolong pegang kursinya," pintaku tanpa berpikir panjang.

Leher Mei belum membiru, kaki masih mengejang-ngejang dan leher sepertinya belum patah. Aku ingin Mei hidup.

Bila meninggal pun, semestinya ia bersyahadat. Bukan berbalik kafir setelah berimannya. Aku ingin dia selamat dari siksa yang lebih parah. Siksa abadi terjeratnya leher berkali-kali di neraka.

Istigfarku tanpa henti. Terus merapal sampai gunting yang dicari Roy ketemu. Rupanya pisau yang Roy bawa.

Daniel bantu menjunjung bersama Tono. Kupotong tali dengan kewalahan. Nahasnya pisau seolah susah menyayat gara-gara tangan kanan gemetar. Tangan kiri ikut memegangi pisau. Dengan teriak, tangan gemetarku kembali terarah dan tali itu putus juga. 

Setelah Mei berhasil turun, Tono membantu bapak Mei membopong ibu yang pingsan. Segera setelah itu, Daniel dan aku menggotong Mei yang entah akan hidup atau lanjut ke alam lain dalam sekaratnya. Digotong perlahan sembari menjaga leher tetap selamat.

Roy menyetir segera mobil, menuju rumah sakit terdekat. Istigfar terus kurapal tak henti-hentinya. Tono pun terpengaruh dan dia merapal zikir lain. Roy melajukan mobil dengan kencangnya. Kami terus berpacu.

Selanjutnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Lengan yang dibuat menumpu badan Mei mulai berdenyut-denyut. Linu dan ngilu. Tadi belum lelah, sebelum ke ruangan ICU. Rasa lelah itu ditumpuk seketika pada badan dan lengan setelah Mei berhasil dirawat.

Kami yang duduk di kursi tunggu pasien kelelahan. Aku tak bisa berkata apa-apa. Pikiran kosong berpikir aneh kemana-mana. Batin hanya berharap, bila hidup, semoga di kesempatan hidup kedua ini Mei mampu berbenah. Bila mati, aku ingin dia mati sempat bersyahadat.

"Sepertinya aku harus menginap di sini. Biarkan aku merawat orang yang kucintai. Setidaknya kusaksikan dengan mataku sendiri bagaimana ditinggal Mei," ucapku.

"Baiknya kuberikan ini sekarang," ucap Roy yang berada di sebelah kananku.

Roy mengeluarkan kertas dari sakunya. Kuterka itu surat. Kugamit lembaran berlipat itu. Lantas dia bangkit dari duduknya.

"Ini surat wasiat milik Mei. Gak sengaja kulihat lipatan ini di atas ranjangnya. Sempat sekilas kubaca dan ada sangkut pautnya denganmu. Makanya kuserahkan kepadamu lebih dulu ketimbang keluarganya." 

Tiga sabahat meninggalkanku di ruang tunggu ICU. Mereka mungkin mau tutup kantor. Bapak Mei diperbolehkan menemani di ruangan.

Teruntuk Mas Wira. Aku membuat pengakuan akan dosa-dosaku. Mohon dengan sangat. Maafkanlah Mei. Aku titipkan dua orang tuaku. Semoga Mas sudi merawatnya. Tolong jualkan motorku sampai laku biar lunas utang pinjol.

Aku lelah. Rasanya gagal menjadi anak yang membahagiakan orang tuanya. Mungkin menikah dengan Buwono solusi agar utang bapak lunas. Bulan ini jatuh temponya. Kalau belum lunas, aku akan dinikahi orang yang seumuran bapakku tanpa cinta.

Mas, aku dan mas Wahyu pernah melihat seseorang yang mirip bapakmu. Waktu itu di RSJ tempat praktik kerja mas Wahyu. Mas Wahyu minta tolong, agar aku memberitahumu di waktu yang tepat. Rupanya hari ini.

Semoga bapak dan ibu juga memaafkan kesalahan Mei.

***

Teringat masa-masa suram berurusan pinjol. Kenangan memuakkan itu berkelindan kembali. Saat itu Bu Dosen sedang memeriksa lembar demi lembar. Cukup lama beliau periksa seluruh bab. Sedangkan diriku sibuk mematikan panggilan telepon.

Selang beberapa menit dari mematikan panggilan, teleponku berdering lagi. Lagi-lagi nomor tak dikenal yang muncul. Keparat! Kataku dalam hati. Penagih utang bangsat. Aku bukan bapak, yang berzikir istigfar bila ada aral. Justru serapah yang dikoarkan.

"Ada apa? Jika panggilan itu penting, silakan diangkat," ucap dosen yang masih melilau pelan kalimat-kalimat pada bab pembahasan.

"Bukan, Bu. Bukan panggilan yang penting."

"Pacar?"

"Bukan, Bu. Dari pinjol."

"Oh, jadi begitu. Saya turut prihatin. Oh iya, ada beberapa yang perlu direvisi. Bagian-bagian yang saya lingkari itu perlu ditinjau ulang. Setelah dibenahi, Wira bisa sidang."

"Alhamdulillah terimakasih, Bu," ucapku sembari menerima bendel skripsi dari dosen.

"Berapa pinjol?"

"Tiga pinjol."

***

Kesal dihubungi terus, kuangkat teleponnya. Kali ini suara perempuan. Biasanya kalau perempuan nadanya sopan. Seperti di aplikasi sebelah. Ketika diangkat, ternyata berbeda dengan ekspektasi. Penagihnya cerewet. Tidak mau tahu alasannya.

"Pak Wira, kenapa tagihan anda belum dibayarkan sampai sekarang?"

"Saya belum punya uang, Mbak."

"Anda kira tagihan itu perlu menunggu ada dana, begitu? Bapak jangan main-main ya. Kredibilitas anda dipertanyakan lho, Pak. Kami laporkan anda ke OJK, dan anda akan segera masuk daftar hitam. Pihak kami telah menghubungi kontak yang anda sertakan saat peminjaman."

Waduh, malu aku. Mau taruh mana mukaku? Berarti, Roy-Daniel-Tono tahu kalau aku punya utang pinjol lebih dari satu. Apakah pinjol sudah menghubungi mereka?

"Beri saya waktu untuk mencari uang, Mbak. Saya sudah menghubungi rekan-rekan untuk mencari dana talangan. Mereka juga sedang kesulitan keuangan."

"Kesepakatan di awal meminjam bagaimana? Bukankah pihak kami tidak mempersulit proses pencairan dana yang bapak ajukan? Kenapa bapak mengulur-ulur waktu?"

"Saya meminta keringanan, Mbak. Saya masih usahakan untuk membayar."

"Jangan menghindar dari tagihan anda. Data yang dicantumkan disini semua valid. Dengan adanya proses tindak lanjut, jelas ini hanya akan mempersulit anda. Kami harap anda tidak sepelekan panggilan kami. Konsekuensinya jelas, ini akan berdampak terhadap anda."

"Baik, Mbak. Saya akan melunasinya segera."

"Silakan lakukan pembayaran tagihan anda, sebelum jam tiga sore. Jangan menunggu sampai ada penagihan level lebih tinggi. Jangan tunggu kami datang ke rumah anda. Pastikan anda sudah pikirkan segala konsekuensinya."

 V

Orang-orang sudah menyebar kabar Mei ke penjuru kecamatan. Bahkan surat kabar lokal memuat beritanya: “Gadis Nekat Bunuh Diri Gara-gara Pinjol”. Orang-orang juga tahu Buwono adalah penyebab sebenarnya.

Kami tidak bisa membendung berita yang mencemari Mei ini. Hanya bisa terduduk di ruang tamu kontrakan, sedangkan aku duduk di tempat favorit bapak. Malam ini, Bu Teguh memanjakan kami dengan segelas teh hangat. Dia kian akrab dengan kami lantaran jasa antar anaknya ke seberang pulau waktu itu. Mbak Rini juga sedang berjuang melahirkan bayinya. Biaya persalinan aku bantu, supaya berhenti meminjam ke Buwono.

“Buwono itu sudah jadi public enemy,” Daniel memecah keheningan.

“Betul itu. Semestinya Buwono tahu diri, sudah tua kok masih doyan perawan. Istrinya sudah tiga. Tiga-tiganya dikasih makan haram. Eh mau tambah satu yang perawan. Ya mana mau si Mei,” Bu Teguh menggebu-gebu menanggapi.

“Mas Wira gak boleh tinggal diam. Kalau perlu, lawan! Penjarakan Buwono yang membahayakan nyawa Mei. Itu bisa diperkarakan lho, Mas.”

“Kita perlu alasan yang lebih kuat untuk menghukum Buwono. Urusan utang-piutang bukan tindak pidana, tapi masuk hukum perdata. Ancaman yang membahayakan nyawa Mei juga tidak cukup bukti. Apalagi kedua orang tua Mei terpaksa setuju menikahkan Mei,” pendapat Roy yang serupa dengan Bu Teguh.

“Bu Teguh mungkin pernah dengar kabar kalau Buwono main fisik waktu nagih? Misalnya menganiaya orang yang telat bayar utang?” tanya Tono.

“Pernah sih, tapi sudah tiga bulan lalu. Orang-orang ya gak berani melapor ke polisi. Lha wong polisinya kenal semua dengan Buwono.”

“Diskusi kayak gini gak akan ada hasilnya. Kita butuh orang yang berpengalaman,” kata Roy.

“Papaku punya pengacara langganan dan aku siap memanggilnya ke sini,” sahut Daniel.

“Pasti sudah tua pengacaranya.”

“Eh, Ton. Jangan mengejek pengacara keluarga kami. Kamu belum tahu saja sehebat apa pengacara kami. Di dunia hukum, semakin tua semakin matang,” sanggah Daniel.

“Niel, aku butuh bantuanmu. Panggil pengacaramu. Aku punya ide bagaimana Buwono bisa masuk sel tahanan,” pintaku.

“Roy, aku perlu bicara denganmu empat mata. Mengenai tawaranmu waktu itu. Juga tentang perjanjianmu dengan papamu.”

***

“Akhirya kita bertemu empat mata di sini. Tanpa diganggu pengawalmu,” sapaku kepada Buwono.

Kami duduk di meja pengunjung narapidana. Dia memakai baju jingga khas tahanan. Wajahnya tampak tenang. Aku pun tidak mau kalah dalam hal ketenangan.

“Saya bisa saja menyewa pengacara terbaik, bahkan sekelas pengacara kondang ibu kota. Saya siap bayar mahal kalau ingin bebas secepatnya. Tetapi perlu kamu ketahui, saya tidak akan melakukan hal itu.”

Buwono tidak sedang membual. Dia punya daya untuk itu. Sedangkan gugatan pemalsuan tandatangan bapak tergolong sepele baginya. Kalau saja tidak pakai pengacara Daniel, mungkin sehari dua hari saja dia mendekam di bui.

Menurut pengacara, Buwono kena pasal pidana pemalsuan perjanjian kepemilikan rumah. Dimana banyak saksi yang tahu kalau bapak saat itu gangguan jiwa tidak bisa tanda tangan. Sehingga tidak sah jual belinya. Ibu juga terburu-buru pergi ke Malaysia tanpa sempat memalsukan tanda tangan bapak.

“Aku ingin melakukan penawaran. Aku menebus utang keluargaku, Mbak Rini dan orang tua Mei sekaligus. Kami bayar pokoknya saja, tanpa bunga. Nanti pengacara akan bantu proses peringanan hukuman karena berkelakuan baik kepada masyarakat.”

“Hahahaha,” tawa Buwono terdengar keras dengan suara beratnya. Disaksikan tahanan lain.

Heran. Kenapa dia tidak tergiur? Aku berprasangka buruk, kalau dia punya rencana lain.

“Wira, saya akui bahwa saya telah kalah darimu. Justru saya akan menikmati hukuman ini. Sudah lama saya menginginkan keajaiban. Mungkin lantaran hukuman inilah, saya bisa berubah. Pensiun jadi rentenir. Selama enam tahun, saya akan membiasakan diri tanpa pengawal. Setelah bebas, saya akan fokus merawat keluarga sendiri dan membangun usaha baru.”

“Mengenai keluarga Mei dan kamu, saya terima tawarannya. Cukup bayar pokoknya saja. Total 400 juta. Dan kamu perlu tahu, saya ini tidak sejahat yang kamu kira.”

“Tidak sejahat yang aku kira?”

“Peristiwa pemukulan orang, murni kesalahan anak buah saya. Saya tidak pernah meminta mereka melakukan penganiayaan.”

“Dan tolong sampaikan kepada orang-orang, saya bebaskan bunga. Mereka bisa bayar utangnya tanpa bunga, asal dengan satu syarat. Mereka melunasinya dalam satu tahun kedepan.”

Tampaknya, senyum Buwono kali ini tulus. Bukan mengejek seperti biasanya. Bahkan sebelum kembali ke bui, dia beranjak menghampiriku lalu memeluk. Seolah dia sedang menghayati peran bapak yang bangga kepada anak.

***

Pengacara, tiga sahabat dan Bu Teguh menemaniku membesuk Mei di rumah sakit. Menurut dokter, Mei sudah bisa pulang besok. Sesampainya di ruangan Mei, ibunya memintaku menyuapi bubur.

“Mei itu tidak mau sarapan. Menunggu Nak Wira katanya,” ujar ibunya.

“Minta disuapin nih,” celetuk Tono.

Mata ini saling tatap dengannya walau malu-malu. Tetapi aku mau menyuapinya. Amat bersyukur sekali, Mei punya kesempatan bersyahadat sebelum mati nanti. Ketika suapan pertama, Bu Teguh dan ketiga sahabatku bertepuk tangan. Setelah suapan ketiga, ada yang lebih mengejutkan lagi.

“Nikah yuk!” ajak Mei.

“Hah?! Serius!” serentak para pendiri pegadaian ini kaget.

***

Terasa tubuh terlahir kembali dengan diri yang baru. Lahir dari rahim ujian sang nyali. Keluar dari liangnya, dengan kulit kepribadian yang masih merah. Membuka raga dari persepsi baru yang belum dicoba. Seolah baru datang ke dunia. Dimandikan keberanian, kemenangan, keakraban dan berdamai dengan masa lalu. Tali pusar keberingasan yang sempat melilit jiwa, dipotongnya rapi dengan ketabahan. Selamat bertemu dengan versi terbaru dari mentalku, wahai dunia. Dengan akalku yang perlu dibimbing oleh hikmat kebijaksanaan di tempat yang berjibun kegetiran, kepalsuan, kasih sayang, cinta, kepercayaan, dan keyakinan.

Pinjaman setengah miliar yang diberikan Roy kepadaku memiliki risiko yang besar. Perjanjian dengan papanya, Roy harus pulang ke kotanya dan mengurus perusahaan. Kepergiannya berarti seperti kehilangan pahlawan super dalam circle kami. Namun lebih baik begitu dia bisa duduk di singgasananya. Berjas rapi sambil mencari circle baru yang punya plafon rezeki sama dengan dirinya.

Koperasi pegadaian sendiri, sepenuhnya sudah jadi milik Roy. Aku dan Tono hanya sebagai pengelola, dan tentunya butuh circle baru. Daniel juga ikut pulang menemani mamanya. Toko peninggalan mendiang papanya, sudah dikelola adiknya. Sedangkan Daniel sendiri membuka pegadaian baru di kota itu.

 

***

Pernikahanku dengan Mei tidak mewah. Sungguh dalam penghematan besar-besaran. Hanya seperangkat alat salat dibayar tunai. Semua warga yang menyaksikan sepakat bahwa kami sudah sah.

Mei kuboyong ke kontrakan, maksudku ke rumahku. Rumah bapak yang telah kembali ke tuannya. Impian naif itu perlahan tapi pasti menjadi nyata. Setelah urusan pernikahan selesai, Mei dan orang tuanya menemaniku mencari bapak di rumah sakit jiwa yang pernah diceritakan istriku.

Dugaan Mei benar, itu memang bapak. Bapak sudah mengenali anaknya. Kemampuan bicara dan berpikirnya sudah tampak normal. Tidak ada tanda-tanda skizofrenia lagi. Dengan menebus biaya perawatan bapak, akhirnya orang tuaku bisa pulang.

Tak hanya bapak yang pulang. Sesampainya di rumah, dengan disaksikan Mbak Rini yang berkunjung dengan bawa bayinya. Bapak pun mengerti siapa sosok ibu-ibu dan anak kecil yang sedang menuju pagar rumah. Dialah ibu dan adik tiriku. 

Bu Teguh yang mengantar mereka kemari. Katanya, mereka telantar di negeri seberang. Sampai-sampai naik kapal, cari tumpangan truk dan menginap di emperan toko. Dengan segala risiko barang bawaan dirampas orang.

Masih penjelasan dari Bu Teguh di teras rumah ini, dua orang yang berdiri di depan pagar meminta tolong. Agar mereka diperbolehkan tinggal bersama kami. Ibu menyesali perbuatannya, dia ingin meminta maaf. Tetapi tidak semudah itu.

Mengingat semua kenangan buruk, dimulai dari gaya hidup ibu yang serba dituruti. Diriku yang pernah telantar di negeri sendiri tanpa orang tua adalah hal yang menyakitkan. Membiayai kuliah sendiri dan berurusan dengan aplikasi pemburu jeritan utang itu amat memuakkan.

Kalau saja Mei tidak menuntun ibu masuk, aku akan menjadi Malin Kundang berikutnya. Walaupun ibu sempat lupa kepada anaknya, dia tetaplah ibuku. Bukankah keinginan untuk menyatukan kembali keluarga ini adalah impianku?

***

           Orang-orang yang kukenal di pintu-pintu sebelah rumah mulai mengerti. Pinjaman yang tidak produktif akan menjatuhkannya. Mereka kini berutang untuk membangun usaha baru. Sepertinya tidak akan ada adegan pilu seolah tega “menjual bayi” lagi.

Begitu pula keluargaku yang ingin berbenah. Benar kata orang-orang dari pintu sebelah, tidak ada yang tidak punya utang. Kalau pun terpaksa utang, aku akan tetap menghindari orang-orang yang sewenang-wenang.

           Kesibukanku berikutnya adalah mencari circle baru. Dimana orang-orang itu, adalah yang punya frekuensi yang sama. Punya prinsip yang sama, kalau utang bukan untuk gaya hidup melainkan demi kebutuhan hidup di masa depan.

- TAMAT -

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Half of Lemon
Sinta Yudisia
Cerpen
Keluarga Wira
Mustofa P
Novel
Fall in Love with Devils
judea
Novel
Bronze
Lukisan Jiwa Raga
DAMAIZANNE
Novel
Ini SMK bukan SMA
Yayak
Novel
Bukan Mandul
Mambaul Athiyah
Novel
Bronze
Sorry to Goodbye
Allena Moria
Novel
Bronze
Down To Earth
Siti Nur Holipah
Novel
Bronze
Tentang Kisah Kita: Trilogi Novelette 3
Imajinasiku
Novel
Catatan Tentang Ryza
tomatbulet
Novel
Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa
Nadya Wijanarko
Novel
A Piece of Puzzle
Yovi Eviani Chandra
Novel
Gold
Ice Cream for Share
Mizan Publishing
Flash
Seperti Menunggu Kue Matang
AlifatulM
Flash
NASI DINGIN
Viska Nurisma
Rekomendasi
Cerpen
Keluarga Wira
Mustofa P
Novel
The Game After Married
Mustofa P
Novel
Jeritan yang Diburu
Mustofa P
Novel
Bagaimana Cara Mengubah Istrimu Dalam 30 Hari
Mustofa P
Novel
Bronze
Melamar Guru Negeri
Mustofa P
Novel
Antara Kamu dan Guru BK
Mustofa P