Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Kelopak Merah
1
Suka
182
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Aku akan bergabung dengan para pejuang bumiputera mulai besok. Kita akan jarang bertemu," kata Aria, sambil asal memandang sekitar dan mendapati temannya di seberang bangku mengeluarkan jajan dari sebuah kresek ukuran sedang. "Hei, Jorgen, bagikan juga roti itu dengan Ayu."

"Kau ingin menjadi seorang prajurit?"

"Tentu."

Aria mewarisi banyak hal dari ayahnya: cerdas, pemberani, tegas, dan bijak. Dia adalah putri dari seorang ahli strategi pasukan pejuang Indonesia. Sayang, sang ayah, Mair, telah tiada sejak tiga tahun lalu di tangan tentara Belanda—dan Aria ingin melanjutkan jalannya dengan bergabung pasukan pejuang Indonesia, bukan sebagai petugas medis layaknya sebagian besar gadis lain, melainkan ahli strategi.

"Karena Ayah mengajarkan itu semua padaku," begitu katanya saat bergabung dengan mereka. Aria begitu mengagumi ayahnya. Sang ibu telah tiada sejak dia masih kecil sehingga Mair adalah satu-satunya yang membesarkannya—dengan cara terbaik yang bisa dilakukan seolah seorang Ayah. Itulah mengapa, Aria tak pernah ragu untuk mengikuti jejaknya. Aria tak ingin berlama-lama menangisi pria nomor satu dalam hidupnya yang telah pergi dan ingin segera melakukan apa pun untuk membuatnya bangga.

Aria tumbuh secara alami menjadi seseorang yang begitu nasionalis, tetapi tak membenci bangsa asing. Dia hanya tak suka bagaimana cara mereka berbuat semena-mena di tanah ini.

Lingkungan belajarnya didominasi oleh anak Belanda dan dia tetap menyayanginya. Aria tahu beberapa dari teman-temannya sangat mungkin untuk ikut membela melindungi tanah ini kapan pun mereka mau.

Bahkan, Aria dekat dengan salah seorang prajurit Belanda yang kerap merawat anak-anak terlantar akibat perang di sekitar sini—pria itu memang satu di antara seribu yang sebagian besar memang hanyalah kepala kosong arogan.

"Kau membawa carica? Kebetulan aku menyukainya."

"Kalau begitu, aku akan membawa lebih banyak besok. Kau tak perlu khawatir, ada begitu banyak di sekitar markas. Carica selalu dibawa dari Netherland apabila ada orang kami yang datang kemari," kata Niklaus sambil tersenyum, begitu ramah dan bersahabat.

Saat Aria menyadarinya, Niklaus sudah menjadi orang yang selalu hadir tiap kali dia kebingungan mencari makanan akibat kesibukannya bersama para pejuang Indonesia maupun sekolah Belanda, meski makanan yang dibawakannya tak sesempurna itu cocok dengan seleranya seperti bagaimana Mair tiap kali pulang sambil membawakan makan malam untuk Aria. 

Aria selalu tersenyum dan tertawa tiap kali di sisa hari Niklaus selalu menyempatkan untuk menceritakan tentang para tentara Belanda; tingkah yang sesungguhnya banyol saat berada di markas, juga bagaimana mereka bisa tiba-tiba menjadi sangat serius saat menjalankan perintah-perintah dari sang komandan—yang kemudian diadaptasi Aria dalam strategi miliknya, dikombinasikan dengan apa yang pernah didapatkan dari Mair sehingga menjadi ide baru nan jitu.

Di antara semuanya, kalimat Niklaus yang paling diingat oleh Aria adalah, "Sesederhana melakukan apa yang ada di hatimu; tanpa ragu … itulah cara untuk bertahan hidup di peperangan. Aria adalah anak yang baik. Jadi, aku yakin apa pun itu, kau pasti akan melakukan yang terbaik."

"Kau siap, Aria?" Haldan, rekan terbaik Mair, menjadi pembimbing gadis itu selama di pasukan pejuang Indonesia. Pasukan pejuang Indonesia kini mengandalkan Haldan sebagai ahli strateginya dan Aria siap untuk berada di posisi itu mendampinginya sesegera mungkin. "Kau benar-benar anak yang berbakat." Bahkan, sesekali, Aria ikut turun ke garda terdepan ketika ada pertempuran. Kecerdikan berpadu dengan kelincahan dan keterampilan, menjadikannya dengan mudah menyerobot pertahanan lawan.

"Aria, mundurlah!" perintah tegas Haldan kali itu menyandarkan gadis tersebut bahwa hari-hari menegangkan di tengah masa perang yang setidaknya masih sedikit menyenangkan, kini menjadi kehancuran total.

Pertempuran pecah jauh lebih parah daripada biasa. Prajurit-prajurit yang terlalu belia diperintahkan untuk mundur lantaran situasi terlalu berbahaya. Bertahan di sekitar markas. Kemudian, tak berselang lama, mereka diminta untuk masuk. Lalu, berlindung di ruangan paling tengah dari bangunan. Hingga, bersembunyi di bunker.

Aria dan teman-teman seumurannya saling memandang dengan tatapan yang terlalu rumit untuk diartikan. Lantas, hanya berselang beberapa menit, seseorang membuka pintu bunker dengan tergesa. "Kita membutuhkan bantuan tenaga!"

Mereka tiba-tiba dipanggil ke tengah medan perang.

"Aria, kemarilah!" teriak tegas Haldan membuat gadis itu cepat-cepat berbelok dari barisan teman-temannya yang berlari maju sambil membawa bambu runcing. "Para pejuang telah mengirimkan laporan keadaan di segala sisi, kita harus menentukan gerakan berikutnya secepat mungkin!"

Aria merangkai semua informasi, lalu dengan cepat menemukan titik-titik familiar. Dia rasa hanya menebak, tetapi semua formasi dan serangan yang disarankannya, bekerja dengan halus.

"Tuan, ada pasukan baru yang datang! Pimpinan mereka berbeda kali ini!"

"Seperti apa rupanya?"

Aria sedang memikirkan langkah-langkah berikutnya, saat satu per satu ciri-ciri yang disebutkan orang disebelahnya itu memasuki kepala—meski tanpa diinginkan—dan seketika gadis itu terbelalak. Dia memandang Haldan sesaat dengan mata yang tangguh, tetapi entah mengapa terasa rapuh. Kemudian, segera meraih bambu runcing tergeletak di dekatnya dan berlari menyusul pasukan.

Aria menerobos lautan orang dalam pertempuran seperti yang biasa dia lakukan. Sekeliling kali ini terasa seperti panci dengan terlalu banyak air hingga tumpah ruah dan suhu didih di atas normal. Begitu lebih daripada sebelum-sebelumnya. Namun, dia justru bisa melakukan semua dengan begitu baik dan dengan cepat mendekat ke satu orang yang sejak tadi menjadi titik tengah nan terkunci dalam sudut pandangnya. Niklaus.

Aria berlari kian kencang. Mengubah posisi bambu runcingnya menjadi lurus ke depan dengan pegangan mantap menggunakan dua tangan. Saat telah cukup dekat, Aria melangkah memutar untuk membuat pria itu terkecoh, kemudian menghujamkan bambu runcing tepat saat dia lengah.

Di saat itu pula, Aria menjadi teringat kalimat Niklaus hari lalu. "Apa yang ada di hatiku … aku membenci mereka, semua yang memporak-porandakan negeri ini—dan aku tak pernah boleh ragu untuk itu … seperti yang Anda katakan, Sir Niklaus. Terima kasih atas waktu yang telah Anda berikan!"

Aria menarik bambu runcingnya kembali, membiarkannya berayun di udara sesaat dengan percikan kotor yang selalu dibencinya—bersamaan dengan pemandangan di depan matanya bahwa pria itu jatuh perlahan-lahan, habis dan tergeletak seakan-akan ditarik oleh tanah tanpa dibiarkan lepas sama sekali. Ini membuat Aria teringat, bahwa sejak awal, dia mengetahui bila Niklaus adalah yang bertanggung jawab atas kepergian ayahnya.

Aria melangkah mundur beberapa kali, kemudian akhirnya berbalik dan berlari sambil berbisik kepada para pejuang di Indonesia di sekitarnya, "Jaga jalannya, aku harus kembali ke Tuan Haldan."

Pertempuran terus berlanjut. Langkah kaki kencang, tembakan, bambu runcing yang dihujam, teriakan kesakitan, keringat, sesak, darah. Sementara Niklaus tertinggal di tengah-tengah itu semua, tanpa bisa melakukan apa pun lagi. “Benar. Sesuai apa yang kukatakan, kau memang sungguh anak baik yang pintar, Aria…. Ayah pasti bangga padamu.”

Wajahnya menjadi pucat pasi dan matanya tak kuat lagi untuk tetap terbuka. “Maaf, aku tak akan pernah bisa menggantikannya. Habisnya… pria itu, sudah terlalu sempurna untuk putrinya….”

"Niklaus, benar namamu?" di tengah semua yang telah menjadi gelap, kalimat yang yang mulai memudar di ingatannya itu kembali melintas. Itu adalah saat di mana kekacauan paling mengerikan terjadi tanpa siapa pun menginginkannya. Tragedi Kelopak Merah, ketika misil milik Belanda tiba-tiba diluncurkan karena suatu kesalahan sehingga tiada siapa pun yang tahu, termasuk tentara KNIL yang pada saat itu masih berada di medan perang. 

Ledakan misil itu menghasilkan bencana paling besar yang pernah terjadi. Jatuh di tengah lokasi perang berupa ladang padi sehingga api menyebar dengan cepat, membesar dan mengembang ke segala arah bagai bunga yang mekar. Kedua pihak lumpuh seketika. Niklaus masih mengingat betapa marahnya sang komandan kemudian akibat keteledoran tersebut. Namun, bukan itu yang meninggalkan bekas paling dalam bagi Niklaus.

Korban tak terhingga waktu itu, pejuang Indonesia maupun para KNIL. Niklaus baru saja melepaskan sebuah peluru lurus ke arah seorang pria. Dia menjatuhkan bambu runcing tanpa tenaga dan sudah hendak membiarkan tubuhnya terjatuh saat melihat kedatangan misil, lalu langsung mendorong Niklaus lantaran melihat kedatangan misil—ke lubang sedalam tiga meter—tempat para warga membuang sampah yang kemudian akan ditutup dengan tanah ketika telah penuh.

Niklaus melupakan tentang apa fungsi sebenarnya lubang itu ketika pria itu menengok ke dalam lubang usai ledakan misil, dengan senyum tipis yang mengembang dan mulai turun sesaat sebelum tergeletak sepenuhnya di tanah, “Kau tak apa, rupanya. Maaf, ya… aku tak memiliki tempat lain yang terpikirkan. Pasalnya… yang bisa kupikirkan hanyalah putriku seorang … setelah ini, kira-kira bagaimana dia harus bertahan hidup, tanpaku….”

“Dasar, kau memilih kata-kata terakhir yang memaksaku untuk tak bisa hanya berdiam diri saja… dan sebuah hutang budi yang besar,” kata Niklaus lirih. “Bodohnya lagi, sejak awal, mengapa seorang prajurit Indonesia sepertimu repot-repot melindungi seorang Belanda sepertiku?”

Putri sang pejuang itu, Aria, memang baik dan cerdas seperti sang ayah. Sayangnya, dia masih begitu muda, begitu polos dan tak pernah terpikir tentang apa yang pernah terjadi di dunia.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Kelopak Merah
Adinda Amalia
Novel
Bronze
Memories
Aldy Purwanto
Novel
Bronze
Legenda Negeri Bharata
Putu Felisia
Novel
Dahlia Merah di Penghujung Abad
tuhu
Novel
Gold
Wuhan Diary
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Langit Merah Batavia
Leyla Imtichanah
Novel
Gold
Mencari Buah Simalakama
Bentang Pustaka
Novel
Tan Hua Di Kolam Darah
LaVerna
Novel
Bronze
Aaahh mass,tambah lgi
RATU RATNASARI
Novel
Gold
Cinta Indonesia Setengah
Bentang Pustaka
Novel
Bapak Bukan Preman!
Siti Latifah
Novel
Gold
Dunia Dari Keping Ingatan
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Selling Yourself
Mizan Publishing
Cerpen
Henkjan & Hantu Pabrik Gula (2)
𝔧 𝔞 𝔫 𝔱 𝔢 .
Novel
Bronze
Oma Hiroshima
Nurinwa Ki. S Hendrowinoto
Rekomendasi
Cerpen
Kelopak Merah
Adinda Amalia
Cerpen
Ubur-ubur Mundur
Adinda Amalia
Novel
X Class 007
Adinda Amalia
Cerpen
For Clover
Adinda Amalia
Cerpen
Wonder Blossom
Adinda Amalia
Cerpen
Outlook
Adinda Amalia
Cerpen
Adalah Suatu Kehormatan
Adinda Amalia
Cerpen
Tanah Para Manusia
Adinda Amalia
Novel
Orca and The Flower Ice
Adinda Amalia
Cerpen
Sakurawisher
Adinda Amalia
Novel
Tuan Lori
Adinda Amalia
Cerpen
Delution Memories
Adinda Amalia
Cerpen
Re-decade
Adinda Amalia
Cerpen
Kepada Siapakah Berpijak?
Adinda Amalia
Cerpen
One Time Whisper
Adinda Amalia