Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kelam
Alur hidup manusia kadang tidak sesuai dengan yang diidam dan impikan. Segala sesuatunya bisa berubah oleh pengalaman hidup masing-masing. Pengalaman yang tidak dikehendaki, tidak diharapkan, menyakitkan, dan memuakkan.
Alur hidup yang hanya mampu dijalani tanpa bisa protes dan menolaknya. Keadaan menjadikan seseorang terpaksa menelan pil pahit demi bertahan hidup sebab meminta mati pun tak mungkin dilakukan. Bukan pasrah, melainkan tak banyak pilihan yang dapat dijadikan alternatif terbaik pada situasi tertentu.
Namun, hati nurani tak dapat menyangkal. Bahwa sesuatu yang hitam dan putih tetap jelas terlihat. Bahwa kebaikan dan keburukan punya pembatas tegas. Tak menampik ketika batin nyatanya berontak. Meskipun pada akhirnya, ego sempat mengalahkan segalanya sebelum nurani tersadar.
Kelam, cerita yang terinspirasi dari kisah nyata. Perihal masa lalu yang mengubah kehidupan seseorang di masa depan. Dunia yang sama sekali tak pernah dibayangkan sebelumnya.
“Kenapa Mami gantiin Soraya, sih? Mami, jadi hamil, ‘kan?” Soraya berkata ketus pada perempuan ayu yang dipanggil “mami.”
“Takdir.” Hanya itu jawaban Mami. Dia kembali menenggak minuman keras dari botolnya langsung.
“Mi, inget orok,” ucap Soraya seraya menahan botol yang dipegang Mami. Botol berisi minuman memabukkan. Soraya paham, Mami sedang berada pada posisi dilema akibat hamil di usia yang sudah tidak muda lagi.
Soraya adalah salah satu wanita penghibur yang bekerja pada Mami. Seharusnya, malam itu Soraya yang melayani tamu, tetapi dia tidak datang sesuai perjanjian karena ada halangan. Mami pun berupaya menggantikan posisi Soraya agar pelanggan tidak kecewa. Untungnya pelanggan puas dengan totalitas servis yang diberikan oleh Mami.
Mami sama sekali tidak menyangka dirinya masih bisa hamil. Secara menstruasinya selama ini sudah tidak rutin seperti dulu waktu masih muda. Mami berpikir masa menopause hampir tiba karena faktor usia. Dia mengira, rahimnya sudah kering dan tidak mungkin hamil. Ternyata, di luar perkiraan, perempuan tua itu kini tengah berbadan dua, anak dari salah satu pelanggan Soraya.
“Mi, Mami mau ngebunuh orok itu?” tanya ulang Soraya pada Mami.
“Emang lu mau ngerawat dia? Mau besarin dia? Kagak, ‘kan?”
Dua perempuan bergincu merah cabai tebal terdiam. Soraya menyalakan nikotin dan mengisapnya cukup dalam. Mami masih memegangi botol sambil sesekali menenggaknya. Mereka berdebat dengan pikiran masing-masing. Soraya jelas tidak mau memelihara bayi yang bukan anaknya. Bulan lalu dia juga kedapatan positif hamil, tetapi sudah digugurkan. Sedangkan Mami, tidak mau mengandung dan melahirkan anak lagi. Pikiran Soraya dan Mami akhirnya mengerucut pada satu keputusan, gugurkan kandungan.
Mami pun memakan nanas muda, meminum ramuan khusus, dan obat penggugur kandungan untuk menghilangkan janin di rahimnya. Selagi usia kehamilan belum tua, masih mungkin dilakukan upaya tersebut, pikir Mami. Tidak perlu ke dukun beranak. Namun, hari demi hari janin di kandungannya kian tumbuh dan berkembang. Usaha Mami dan dukungan dari Soraya tak ada hasilnya.
Mereka kemudian memutuskan ke dukun beranak untuk menyelapkan janin di rahim Mami. Ternyata, upaya tersebut gagal juga. Dukun tidak mau menghilangkan janin itu dengan alasan terlalu beresiko. Dukun tidak berani melakukan aborsi. Tindakan tersebut bisa membahayakan nyawa Mami karena faktor usia.
Mami dan Soraya akhirnya menyerah. Mereka pulang dengan tangan hampa. Perut Mami sejak saat itu makin membesar sesuai pertumbuhan usia janin.
Selain pasrah akan memiliki anak, Mami sudah berencana akan menitipkan bayinya ke panti asuhan agar jiwa sang bayi tidak terkontaminasi kehidupannya yang remang-remang. Melayani lelaki hidung belang dengan iming-iming uang. Meneguk racun dunia tanpa rasa cinta.
Mami dan Soraya berdalih, mereka mencari rezeki demi menyambung hidup. Sebab hanya pekerjaan itulah yang ada saat ini. Mereka tak punya ijazah, tak punya koneksi, tak punya aset, dan tak menguasai keterampilan apa-apa yang bisa dijadikan modal untuk bekerja. Selain itu, hasil dari menjual diri sangat menggiurkan.
Awalnya Mami menjadi penjaja kenikmatan sendirian. Dia sebenarnya tidak ingin melakoni dunia nista tersebut jika bukan karena ulah seseorang.
Pengalaman masa remaja mendadak mengubah alur hidupnya. Kala itu, Mami sedang tidur di rumah. Tiba-tiba, dia dijamah seseorang. Mami mengadukan kejadian itu pada ibu tirinya, tetapi dia tidak menggubris. Belakangan, Mami tahu, ibu tirinya mendapat uang dari tragedi yang menimpanya.
Hati Mami hancur. Ibu sambung yang dianggap sebagai tempat berlindung justru mencelakainya. Jiwanya terguncang ketika tak ada pilihan lain.
Kejadian itu tak hanya sekali. Pria yang pernah menggaulinya kembali mencicipi manisnya madu Mami. Sang ibu tiri selalu mengancam akan meninggalkan ayahnya yang sakit-sakitan jika Mami melapor.
“Heh! Anggap saja uang ini hasil kerja ayahmu!” tegas ibu tirinya saat Mami menangis.
Mami paham dengan kesulitan hidup keluarga baru ayahnya. Sejak menikah, ayahnya sakit-sakitan. Kondisi tersebut mengakibatkan sang ayah harus istirahat di rumah, tidak dapat bekerja mencari nafkah. Istri baru ayahnya sering mengeluh tidak punya uang cukup untuk biaya hidup sekeluarga.
Akhirnya, Mami terjun ke dunia yang tak pernah diimpikan sebelumnya. Dia bertemu Soraya saat bekerja. Keduanya lantas bergabung. Perempuan lain semacam dia juga ada di bawah naungan Mami. Mereka ditemukan oleh Mami sebulan setelah bertemu Soraya.
Memiliki tujuan sama, yaitu mencari banyak cuan secara instan, mereka berkumpul di bawah koordinasi Mami, walaupun alasan dan latar belakang mereka berbeda.
*
Mendekati tanggal perkiraan kelahiran bayi, Mami resah. Meskipun parasnya masih tampak ayu dengan polesan riasan, dan senyumnya tetap menawan, tetapi kali ini terlihat kuyu. Ada sesuatu yang menghantuinya, siang dan malam. Mami kadang tidak bisa tidur nyenyak, gelisah sepanjang waktu. Apalagi bidan tempatnya periksa kehamilan menyarankan agar Mami operasi caesar.
“Mi, kenapa maksain gitu, sih?”
“Sudah, kamu diam saja. Kecuali kamu mau membesarkan anak ini,” ketus Mami saat dia menolak operasi.
Hari kelahiran pun tiba. Mami menyuruh Soraya memanggil dukun beranak saja. Mami khawatir bidan tidak mau membantu persalinannya. Soraya hanya bisa patuh melaksanakan perintah Mami.
Saat dukun beranak tiba, ternyata Mami sedang kesakitan. Dukun segera memeriksa kondisi jalan lahir. Mami berkeringat, dia menggenggam erat tangan Soraya. Peluh di dahinya dilap pelan-pelan oleh Soraya. Meskipun keduanya tidak ada hubungan darah Soraya sudah menganggap Mami seperti saudara sendiri.
“Ayo! Dorong lagi! Terus! Terus!”
Dukun beranak memberi aba-aba saat pembukaan penuh. Mami terlihat kelelahan. Setelah mengumpulkan sisa-sisa tenaganya perempuan itu mengejan lebih kuat. Dia berhasil mendorong janin keluar. Hening. Tak ada suara tangis bayi. Dukun memberi perlakuan pada bayi yang baru saja dilahirkan. Ternyata tetap tak ada tangisan.
Dukun panik karena belum berhasil menangani janin yang baru dilahirkan. Di sisi lain, Mami ternyata mengalami pendarahan hebat. Soraya turut panik menyaksikan situasi tersebut. Dukun memberikan bayi kepada Soraya, lalu berupaya menghentikan pendarahan Mami.
“Mbah, kenapa bayinya diam saja?” tanya Soraya di tengah-tengah kesibukan sang dukun menangani Mami.
Dukun tidak menjawab. Dia masih saja sibuk mengurusi pendarahan Mami. Soraya kebingungan. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Secara Soraya tidak paham ilmu medis. Di saat bersamaan, Mami diam tak bergerak.
“Gawat! Ini gawat!”
“Gawat gimana, Mbah?” tanya Soraya cemas.
“Mbah sudah nyerah,” jawab dukun.
Dukun beranak lantas mengemasi barang-barangnya. Tanpa pamit dia buru-buru meninggalkan rumah Mami. Soraya berteriak memanggil sang dukun. Namun, dukun justru mengambil langkah seribu.
“Mami, bangun, Mi. Jangan diam aja, Mi! Ini anaknya sudah lahir. Mami! Bangun!”
Mami bergeming. Wajah Soraya memucat. Bibirnya terus bergetar memanggil Mami sambil mendekap bayi mungil yang tak bersuara. Soraya lantas menyentuh lengan Mami, dingin. Air matanya mendadak berlinang. Dia tampak kebingungan dengan kejadian yang tak terduga dalam sekejap.
Soraya lantas mengambil ponsel. Dengan suara terbata-bata dia menceritakan kronologis kejadian pada bidan yang pernah memeriksa kandungan Mami. Sang bidan datang disusul warga setempat.
Malam itu, Soraya termenung di sudut kamar. Tubuhnya menggigil. Ada semacam dilema di benaknya. Peristiwa kematian Mami terbayang olehnya. Soraya khawatir, bisa saja itu terjadi padanya. Dia berpikir keras, tentang pesan dan makna yang disampaikan oleh Sang Pencipta kepadanya. Bibirnya bergetar. Kalimat istigfar perlahan terdengar berulang kali memenuhi ruang sunyinya. “Ampuni aku, Tuhan,” bisik Soraya.
Sekian
Jakarta, 10 Januari 2025