Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perkenalkan, Namanya Putih. Gadis kecil usia sekitar tujuh atau delapan tahun.
Ia selalu terlihat bermain di halaman depan perumahan Desa Palem. Rambutnya hitam sepinggang terurai panjang dengan mata cokelat yang selalu mengilap cerah kala teman sepantarannya datang. Kulit khas sawo matang bermain di sendu siang berbalut gaun one piece berhias renda mengayun manis kala ia meloncat-loncat girang.
Dia Putih, teman baik semua anak-anak perumahan tersebut tanpa kecuali.
Seperti hari-hari sebelumnya, sore itu tanpa ada perubahan spesifik yang menarik perhatian. Matahari terselimuti awan tebal dengan cahayanya yang menyapa halus tanpa terik terasa.
Tepat pukul empat petang Putih berlari ke arah tanah kosong yang menjadi penengah hutan dan perumahan. Tempatnya terbilang luas, namun tidak begitu jauh dari perumahan utama, jarak pandang mata masih mampu menangkap aktivitas anak-anak yang bermain di tanah lapang tersebut, dan tentu tidak cukup menghawatirkan mengingat para orang tua mengizinkan anak-anak mereka berkeliaran di sana dengan perbekalan kata-kata,
“Jangan pernah mengikuti orang asing yang memanggilmu!”
Sedikit lucu dan terasa tak acuh pada anak sendiri, namun bagi orang-orang dewasa, membiarkan anak-anak bermain di sana, sibuk dengan diri sendiri dan dunianya jauh lebih baik dibandingkan membiarkan mereka tinggal menjelak dalam rumah dengan konsekuensi potensi keadaan dalam rumah hancur berantakan.
Kembali pada Putih, duduk manis pada potongan kayu berlumut pada tanah lapang tersebut, mengayun kaki kecilnya yang tak cukup panjang untuk menapak pada tanah. Boneka beruang cokelat dalam dekap ia peluk erat, dengan manik manis menatap intens pergerakan kakinya. Sesekali pipi berlemaknya ia kembungkan, kiri, kanan, kiri, kanan atau keduanya sebagai pelepas jenuh.
Kala terik matahari tak lagi menyirami tanah lapang tersebut, satu demi satu anak-anak lainnya muncul, berlarian dari perumahan utama menuju ke tempat bermain mereka lalu perlahan tapi pasti mendekati Putih yang air mukanya langsung cerah seketika melihat figur teman-temannya.
Seperti biasa, mereka pun bermain.
Seperti biasa, suasana terasa menyenangkan.
Seperti biasa, Putih melihat sosok itu.
Sosok gadis kecil yang terlihat berusia sama dengan Putih, berdiri pinggir perbatasan hutan dan tanah lapang, dengan kulit pucat dalam balutan gaun one piece hitam dan payung hitam tak lekang dari genggaman.
Sosoknya yang dipenuhi samar bayang dedaunan menatap lurus ke arah tanah lapang tepatnya ke arah Putih dan teman-teman lain.
Pertama kali melihat gadis balut hitam tersebut Putih hanya abai dengan sesekali melirik atas dasar penasaran. Begitupun pada kedua dan ketiga kalinya putih melihat gadis itu.
Ketiga dan keempat kalinya rasa penasaran Putih semakin membuncah, bukan lagi curi-curi pandang, Putih mulai menambah durasi lama ia menatap gadis kecil itu. Sesekali mengerjapkan mata sebagai bentuk komunikasi bahkan sesekali melempar senyum dengan sedikit besit harap gadis tersebut memberi respons paham akan maksud komunikasi yang diberikan. Namun nihil. Gadis tersebut tidak pernah memberikan tanda-tanda balasan. Bermain mata tidak, pun tidak membiarkan dua ujung bibirnya tertarik membentuk senyum singkat.
Gadis itu hanya menatap. Itu saja.
Kelima dan keenam kalinya Putih masih kekeh, mencoba mendapatkan balasan paham dari gadis balut hitam. Bermain mata masih ia lemparkan, senyum pun masih ia beri, dan kali ini ia mencoba melambaikan tangan bahkan memberi gestur mengajak menggunakan tangannya. Namun Putih tak jua mendapat balasan dari Kelam.
Gadis itu masih berdiri, diperbatasan hutan dan tanah lapang, tak berpindah tempat, dan manik gelapnya tak lepas dari menatap pergerakan riang anak-anak lainnya.
Di sisi lain Putih masih sibuk berusaha mencoba membuat gadis kecil itu mengerti akan gestur yang ia berikan. Berusaha sangat keras hingga teman-temannya angkat suara, mempertanyakan tingkah Putih yang perhatiannya selalu teralihkan saat mereka sedang bermain.
“Kamu dari kemarin-kemarin kenapa, sih?”
Putih berbalik ke arah temannya yang bertanya, menatap dengan wajah sedikit terkejut lalu tertawa hambar, “Ah, tidak, aku tidak kenapa-kenapa.” Putih memberi jeda, merangkul teman-temannya lalu kembali mengajak mereka fokus untuk kembali fokus bermain.
Bermain hingga lantunan adzan maghrib menarik berhatian mereka untuk sadar bahwa waktu bermain sudah habis.
Mereka berpencar, satu demi satu kembali menuju ke arah perumahan utama untuk kembali ke arah rumah masing-masing. Semuanya, kecuali Putih.
Tak lagi melihat sosok teman-temannya dan memastikan mereka sudah kembali ke arah perumahan, Putih kembali berbalik menatap gadis yang masih saja tidak bergerak dari posisinya.
Kaki kecil Putih mengambil langkah pelan namun pasti, mendekati gadis anonim yang selalu memperhatikan dia dan anak-anak perumahan beramain namun tidak pernah membalas sapa pun tidak menunjukkan tanda-tanda ingin ikut bermain.
Putih menghentikan langkahya tepat di hadapan gadis tersebut. Beberapa kali mengerjapkan mata lalu memiringkan kepalanya.
“Kamu ngapain disini?”
Kelam menatap lurus Putih, lalu mengulas senyum simpul setelah berhari-hari tidak melakukan gestur apapun selain menatap.
Berikutnya Kelam memutar balik, berlari masuk ke dalam hutan.
Putih hanya menatap kosong, melihat gadis tersebut menghilang di dalam hutan.
Putih tidak suka.
Mendengus kesal, Putih turut memutar balik berlari kecil ke arah pemukiman warga.
Malam hari kala bulan menggantikan posisi matahari di atas langit, warga laki-laki di perumahan tersebut secara bergantian menjaga pos ronda sembari bermain beberapa permainan kartu untuk melepas kebosanan dan menepis kantuk.
Sesekali mereka saling menukar cerita dan opini mengenai cerita-cerita warga setempat. Mulai dari kisah-kisah duka para keluarga yang satu demi satu kehilangan anak usia sekolah dasar atau mungkin bualan anak-anak yang bersaksi bahwa tidak satupun dari temannya yang menghilang.
Semuanya bermulai sekitar sebulan yang lalu, dimana anak gadis usia sekitar tujuh-delapan tahun, anak semata wayang Pak Wenni menghilang begitu saja membuat kehidupan ia dan istrinya kacau berantakan. Secara sosial, ekonomi, apalagi mental.
Sepasang suami istri tersebut mengurung diri terhitung dari seminggu setelah mereka dan para warga perumahan tidak kunjung menemukan anak gadis mereka padahal segala usaha sudah mereka kerahkan termasuk menghubungi pihak berwajib.
Namun setelah insiden tersebut, ironi kehidupan perumahan beserta orang-orang dewasa egois masih saja membiarkan anak mereka bermain tanpa ada orang dewasa yang menemani.
Bahkan ketika satu lagi anak yang menghilang,
lalu satu lagi menghilang,
satu lagi menghilang,
lalu satu lagi,
satu lagi,
dan satu lagi.
Bukannya memperketat pengawasan pada anak-anak mereka, tiada bentuk inisiatif untuk memperketat penjagaan pada anak mereka.
Seperti biasa, sore hari, melepas membebaskan mereka bermain, sepuas mungkin, di tanah lapang tak jauh dari hutan, di sisi lain mereka berkumpul membahasa kehidupan rumah tangga orang lain dengan segala bumbu-bumbu hiperbola dan asumsi negatif.
Kejadian tersebut terjadi secara repetitif, termasuk hari ini.
Lagi, ada anak yang menghilang.
Namun, situasi perumahan masih saja sama seperti hari-hari biasanya. Seolah, menghilangnya seorang anak menjadi agenda mingguan desa tersebut.
Ya, tidak ada yang berubah. Termasuk sore itu.
Tidak ada yang berubah, anak-anak masih dibiarkan bermain di tanah lapang,
Tidak ada yang berubah, ada Putih dengan bonekanya, bermain dengan riang
Pun teruntuk gadis itu, tidak ada yang berubah, beridri di perbatasan hutan dan tanah lapang, dengan gaun hitamnya hanya menatap anak-anak yang bermain, termasuk Putih.
Tidak ada yang berubah, termasuk Putih yang menyadari kehadiran gadis itu.
Tidak ada yang berubah, termasuk perasaan tidak suka Putih terhadap gadis itu.
Tidak ada yang berubah termasuk usaha Putih untuk memberi gestur pada Kelam agar sinyal komunikasinya dimengerti.
Petantang-petenteng Putih terlihat sangat sibuk bermain dengan anak-anak, disaat bersamaan perasaan was-was dan tak nyaman berusaha terus memberi sinyal pada Kelam yang masih tidak bergerak barang sesenti pun dari tempatnya berdiri. Namun kali ini ada hal yang berbeda.
Kelam menarik senyum simpul.
Melihat wajah gadis itu, perasaan Putih semakin tidak enak, badannya bergetar hebat, dengan jantung tercekat, pun ekspresi pasi memucat.
Ada yang tidak beres dengan gadis itu hari ini.
Tak lama setelah menyadari lemparan senyum dari Kelam, adzan maghrib berkumandang menandakan waktu bermain anak-anak sudah habis.
Mereka bubar seperti biasa, meninggalkan tanah lapang, berjalan menuju ke arah perumahan lalu saling memberi ucapan sampai jumpa esok hari.
Begitu pula dengan Putih, berdiri di tengah tanah lapang, melambai sembari mengucapkan sampai jumpa pada anak-anak lainnya, menunggu sosok mereka tak lagi terlihat lalu berbalik ke arah gadis balut hitam.
Sentakan kaki mungilnya terkesan menggemaskan namun tersirat emosi dan amarah disana, dengan garang berjalan mendekati Kelam, boneka pada genggaman diremas erat sebagai pelampiasan emosi pun otot wajah menengang keras.
Saat ia berdiri tepat di hadapan Kelam, dengan perasaan yang masih diselimuti amarah, ia menunjuk ke arah hutan di belakang,
“PERGI!”
Putih berteriak, dengan intonasi penuh tuntutan dan murka, menitah gadis sepantarannya tanpa ada rasa takut dan rasa bersalah sama sekali.
Kelam yang diperlakukan seperti itu tak gentar, senyum simpul masih setia menghiasi wajahnya, manik gelapnya menatap manik cokelat Putih yang bergetar geram.
Berikutnya Kelam tertawa kecil, tangan mungilnya dengan anggun menutupi bibirnya, diikuti bisikan, bodoh disela-sela tawa.
Esoknya, Kelam terlihat duduk manis di posko ronda yang sudah kosong sejak adzan subuh. Duduk dengan mengayunkan kaki kecilnya yang tak beralaskan apa-apa, sembari memainkan boneka untuk melepas bosan.
Kala matahari perlahan menunjukkan diri, para jemaah kembali dari mesjid lepas ibadah, berjalan ke arah perumahan lalu berdiri kaku ketika melihat sosok gadis kecil duduk sendirian di pos ronda.
Mata mereka kerjapkan berkali-kali, diusap bahkan hingga memerah, pun mulut terus menganga akibat rasa tak percaya terbesit nyata pada dada.
Salah satu mereka melesat mendekati gadis itu, menangkup pipi berlemaknya, mengecek sana sini, lalu berteriak ‘benar!’ pada warga lainnya. Berikutnya mereka semua heboh, berbondong-bondong mendatangi sang gadis dan beberapa dari mereka pergi menggedor-gedor ke salah satu rumah warga pagi-pagi buta hingga pemilik rumah berakhir diseret oleh warga menuju pos ronda. Sepasang suami-istri tersebut mengaga, memproses situasi yang terjadi terutama ketika melihat gadis kecil yang sudah dirindukan lama ada dihadapan mereka bahkan menyapa mereka dengan panggilan mama dan bapak.
Perkenalkan, Namanya Kelam. Gadis kecil usia sekitar tujuh atau delapan tahun yang sempat hilang selama lebih dari satu bulan lamanya.