Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kejutan
Oleh: Suryawan W.P.
Sudah satu bulan lebih sejak kamu pergi, Bram. Terus terang aku masih belum bisa percaya. Bukankah kamu dulu yang bilang akan selalu menjaga ibu? Bukankah kamu dulu juga pernah bilang akan membawa ibu ke tanah suci? Tapi ternyata kamu bohong. Kamu pergi begitu saja dan tidak menepati janji.
Bukan cuma itu. Masih ada kebohongan yang lain kan? Atau, barangkali kau memang tidak sepenuhnya berbohong tapi kau menyembunyikan banyak hal dariku. Dan aku terlalu mempercayaimu. Aku terlalu berbaik sangka padamu.
“Assalammualaikum..”
Aku tahu tak akan ada yang menjawab salamku di sini. Tidak juga engkau. Tapi justru karena itulah, aku mantap mengucapkannya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai ada yang membalas salamku di tempatmu berada sekarang ini. Aku tersenyum sendiri membayangkannya.
Ibu yang menyuruhku datang ke Jogja. Katanya ada yang ingin dibicarakan. Tentangmu, Bram. Kamu memang benar-benar tidak tahu diri. Tiba-tiba pergi dan menyisakan persoalan. Kamu membuat ibu banyak pikiran. Harusnya kamu itu sadar. Usia ibu sudahlah tidak muda lagi. Sedikit saja kecemasan bisa mengganggu kesehatannya. Mestinya kamu biarkan ibu menikmati hari tuanya dengan tenang. Bukan malah ditambah dengan berbagai macam masalah.
“Kalau Panji masih hidup, mungkin dia sudah seumuran kamu.” Begitu kata ibu ketika pertama kali aku datang ke rumahmu.
Pigura kayu berukir di dinding ruang tamu mencuri perhatianku. Sebuah foto keluarga yang ada di dalamnya. Dua anak kecil berseragam sekolah bediri di depan wanita berkebaya dan laki-laki berjas hitam. Aku langsung bisa mengenali pemilik mata capung itu. Ternyata sepasang mata itu tak pernah berubah.
Dari dulu, sejak kau masih mengenakan seragam putih biru, kedua mata besar itu selalu terlihat jenaka. Sementara seorang yang mengenakan seragam putih merah yang kemudian kuketahui bernama Panji, matanya sipit dan kulitnya lebih terang darimu. Kuyakin Panji mewarisinya dari ibumu sedangkan kamu seperti hasil kloningan dari ayahmu dengan kulit sawo matang, sepasang mata besar, hidung yang seperti jambu air, dan dagu yang runcing.
Sayangnya sejak empat belas tahun yang lalu, keluarga kalian tak lagi utuh seperti yang ada di foto itu. Sebuah kecelakaan mobil merengut nyawa ayah dan adikmu. Tinggal kamu lah harapan keluarga satu-satunya. Tragis memang. Kuketahui dari ibumu kalau itu adalah hari pertama keluarga kalian memiliki mobil baru. Ibumu memang baik-baik saja. Tak ada luka parah padanya. Namun aku tahu, tak ada luka yang lebih perih daripada rasa kehilangan. Kecelakaan itu pun menyisakan sederet bekas jahitan panjang di paha kirimu. Kau kadang mengeluhkannya kalau tiba-tiba terasa nyeri. Kalau orang jeli, mereka akan tahu cara berjalanmu tidak pernah sempurna lagi.
Tapi kamu masih lebih beruntung, Bram. Jangankan foto keluarga, aku bahkan tak punya secuil pun kenangan tentang mereka. Tentang ibuku. Tentang ayahku. Apakah aku punya saudara laki-laki atau apakah aku punya saudara perempuan? Aku tidak pernah tahu itu.
Ibu Lusi, ibu kepala panti asuhan, dan belasan anak panti yang sudah kuanggap seperti adik sendiri, merekalah keluargaku selama ini. Aku jadi ingat, sudah lama sekali aku tak mengunjungi mereka. Kalau tidak salah, terakhir lima tahun yang lalu. Butuh waktu dan biaya ekstra untuk menyeberangi laut kemudian naik perahu menyusuri sungai untuk sampai ke kota asalku. Sekarang yang terpenting aku bisa mengirimkan sebagian penghasilanku untuk panti. Itu saja.
“Kalau begitu, tiap lebaran kamu pulang saja ke Jogja. Anggap tante sebagai ibu, dan Bram sebagai kakakmu sendiri.”
Mulai hari itu aku memanggil ibumu dengan kata “ibu”. Aku tentu bahagia akhirnya bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Tapi memiliki kakak? Entahlah, sampai sekarang aku masih geli sendiri kalau mengingatnya. Aku bahkan hampir tersedak oleh teh hangat yang ibu buatkan. Gagasan menjadikanmu sebagai seorang kakak itu di luar imajinasiku. Usiamu memang lebih tua dariku tapi di mataku, kamu tetap saja seperti bocah yang selalu manja dan kolokan. Herannya aku tak pernah merasa terganggu. Mungkin karena sejak kecil aku terbiasa hidup bersama belasan anak yatim piatu lain yang sudah kuanggap seperti adik sendiri.
Kira-kira enam bulan yang lalu. Di sebuah Jumat sore yang melelahkan karena jadwal meeting yang padat tiba-tiba kepalamu menyembul dari dinding kubikel kerjaku. Padahal sore itu aku sudah punya rencana untuk segera pulang. Sesampainya di rumah aku akan mandi, menikmati segelas teh panas, rebahan di ranjang sambil memutar cd favorit sampai tertidur hingga pagi. Tapi kamu mengacaukan semuanya. Dua lembar tiket di tanganmu yang memaksaku menuju bandara masih dengan pakaian kerja.
“Kalau cuma mau tidur-tiduran kayak gini, di rumah juga bisa.” Aku berseru.
Namun sepertinya percuma, orang yang kuajak bicara tak memberi respon apa-apa. Tentu saja. Hari telah terang tapi kamu masih saja terlelap. Seperti kucing kau melingkar dan meringkuk di balik selimut. Hanya bunyi napasmu yang samar terdengar. Sesekali pundakmu naik turun mengikuti irama hembusan napas. Sebenarnya dari semua aktivitas manusia di muka bumi, aku paling suka melihat orang tertidur. Diam-diam kupandangi wajahmu lekat-lekat. Damai. Aku tak sampai hati untuk membangunkanmu.
Kusesap kopi panasku pelan sambil melempar pandangan ke luar jendela. Harus kuakui, pemandangan dari lantai dua belas hotel ini memang luar biasa. Jauh di depanku tampak teluk Marina dengan gedung-gedung penantang langit di tepinya.
Semalaman aku menghabiskan waktuku, memandangi lampu-lampu yang berkerlip serupa kunang-kunang pada bangunan megah ikon Singapura, mulai dari Esplanade, Marina Bay Sand, hingga Singapore Flyer. Aku ingat waktu kecil dulu, melihat bianglala yang berputar di pasar malam saja membuatku takjub. Dan sekarang jauh di depan sana ada Singapore Flyer yang serupa bianglala raksasa. Katanya tingginya lebih dari 150 meter.
Tapi bagaimanapun juga, aku merasa ini semua terlalu berlebihan. Sayang sekali uang sekian juta hanya dipakai untuk sebuah liburan akhir pekan. Apalagi sekarang, jauh-jauh terbang ke negara tetangga, kau hanya menghabiskan waktumu untuk tiduran saja. Seketika aku terpikirkan adik-adikku di panti. Ini semua adalah fasilitas kantor, akan lebih mubadzir kalau tidak dimanfaaatkan, begitu kau membela diri.
“Tahun baru nanti kita ke sini lagi. Kita lihat kembang api dari kamar ini.” Tiba-tiba kau sudah berdiri di sampingku dengan secangkir kopi yang telah kubuatkan tadi yang kuyakin sudah tidak panas lagi.
Aku tak menggubris apa yang kamu bilang walaupun sebenarnya aku ingin sekali melihat pesta kembang api di Marina Bay. Tapi kamu adalah orang paling impulsif di dunia. Selalu punya keinginan-keinginan tak terduga. Kadang aku sering dibuat was-was karenanya. Lagi pula tahun baru masih lama. Siapa tahu kamu akan punya hal-hal yang mengejutkan lainnya.
“Apa rencana kita hari ini?”
Rencana kita hari ini? Aku tentu saja tak punya rencana apa-apa. Bukankah kemarin kamu yang tiba-tiba muncul di ruangan kerjaku, tanpa memberikan penjelasan apa-apa, membawa dua tiket penerbangan ke Singapura? Kemudian paginya aku sudah terdampar di sebuah kamar hotel di sekitar Orchard ini. Dan sekarang kamu menanyakan apa rencana kita.
Bagiku cara terbaik memanjakan diri adalah bersantai di kamar sendiri, membaca buku, mendengarkan musik, sambil minum teh atau kopi. Aku memang bukan orang yang gila akan traveling, tapi sepertinya berlama-lama di kamar hotel ini bisa membuatku gila. Kuambil tas dan bersiap untuk turun ke lantai bawah. Ada pusat kebugaran di lantai lima.
“Aku mau renang sekalian gym di club house. Mau ikut?”
“Bukannya kalau renang atau gym, di Jakarta juga bisa ya?” sahutmu datar.
Cuaca hari itu cukup panas. Setelah melewati diskusi yang cukup alot dan tidak penting, akhirnya kita hanya menyusuri jalanan sepanjang Orchard. Di antara belasan orang yang kebanyakan anak usia sekolah dasar, aku mengantre di depan tukang es krim. Lucu juga mendapati gerobak penjual es potong di tengah kemodernan Singapura. Duduk di sebuah bangku panjang kau melambaikan tangan. Kemudian kau mengepalkan tangan seolah sedang memberiku semangat. Aku tidak tahu apakah nyeri di pahamu memang sedang kambuh atau kau sedang mengerjaiku waktu itu.
Kulepas sandal kemudian kulangkahkan kakiku pelan. Basah. Tanah di tempat ini selalu basah. Apalagi di bulan Januari seperti sekarang ini. Bisa kurasakan dinginnya tanah pada telapak kakiku. Aroma basah bercampur dengan samar wangi kemboja yang terbawa angin tertangkap indra penciumanku.
“Kamu apa kabar? Alhamdulillah ibu sehat. Dia cuma kangen kamu, Bram.”
Gerimis mulai turun. Aku masih berdiam di depan sebuah gundukan tanah. Papan kayu bertuliskan nama seseorang tertancap di ujungnya.
Brama Aditya bin Adikarta
Lahir 23-6-1988
Meninggal 8-12-15
Aku kecewa, Bram. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar dalam pertemanan. Ternyata semakin lama semakin aku tahu banyak hal yang kausembunyikan dariku. Termasuk soal sakit jantungmu..
“Ibu meminta saya menjemput Mas Alvin.”
..juga soal wanita ini. Sebuah payung biru tua sudah terkembang di atas kepalaku. Seorang perempuan yang memegang gagangnya, Airin namanya. Baru kemarin aku tahu tentang dia. Aku yakin kamu lebih mengenalnya dariku. Aku hanya mengangguk pelan dan tak berkata apa-apa.
Rumah mulai ramai. Beberapa tetangga sibuk di dapur. Mereka sedang mempersiapkan upacara empat puluh hari kepergianmu, Bram.
Di telingaku masih terngiang-ngiang pemintaan ibu kemarin, ”Ibu tahu, pertemanan kamu dan Bram lebih kental daripada ikatan darah. Lebih kuat daripada ikatan saudara. Airin hamil. Anak Bram. Tolong nikahi dia, Vin.”
Ibu menyambut kami di pintu ruang tamu dengan senyuman. Ada sorot kebahagiaan di matanya yang kembali menyala.
Yogyakarta, 2015