Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Kehendak Ronan
2
Suka
11
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di kota fiksi Wangun Reja, sebuah tempat yang dirancang untuk melahirkan raja-raja, dengan menara-menara batu yang menjulang dan jalanan berbatu yang bergema dengan langkah para pejuang, hiduplah Cahaya, seorang wanita yang bagaikan bayangan bulan—indah, namun sulit disentuh. Cahaya adalah ciptaan Ron Nee Soo, seorang penulis romansa yang terobsesi dengan kisah cinta penuh perjuangan. Dalam novelnya, Cahaya adalah sosok yang dingin dan tertutup, tidak mempedulikan Ronan, tokoh utama yang ditakdirkan untuk memenangkan hatinya. Bukan karena Cahaya membenci Ronan; ia hanya belum memikirkan asmara. Cahaya lebih suka menyendiri, tenggelam dalam buku-bukunya di perpustakaan tua, berjalan di tepi sungai yang mengalir di pinggir kota, atau duduk di taman dengan pikiran yang melayang. Hatinya bukan pintu yang terkunci—ia hanya belum ingin membukanya.

Ron Nee Soo, dari kamar kerjanya yang dipenuhi kertas berceceran dan cangkir teh yang sudah dingin, melihat sifat Cahaya sebagai “tantangan” yang harus diatasi. Dalam visinya, Ronan harus menjadi pahlawan romansa yang membuat Cahaya luluh, membuka hati yang tertutup, dan membawa cerita menuju akhir bahagia: pernikahan di bawah langit Wangun Reja yang megah. Ia menulis adegan demi adegan—Ronan mendekati Cahaya dengan buket mawar, menyatakan cinta di tengah gemuruh air terjun—berharap Ronan akan “memperjuangkan” Cahaya hingga gadis itu menyerah pada cinta. Ron Nee Soo, yang dalam hidupnya selalu memperjuangkan apa yang diinginkan hingga berhasil, yakin bahwa ketekunan adalah kunci. “Cahaya akan luluh jika kau cukup keras kepala!” tulisnya dalam narasi yang penuh semangat.

Namun, Ronan bukan pahlawan biasa. Saat Ron Nee Soo menciptakan karakternya, ia menanamkan sifat yang sederhana namun kuat: Ronan bukan pemberontak, tapi ia hanya melakukan apa yang diyakininya benar. Bagi Ronan, mencintai Cahaya adalah anugerah, bukan pertempuran. Ia menyukai Cahaya dengan cara yang murni—mengagumi senyumnya yang jarang muncul, mendengar ceritanya tentang buku yang dibaca, atau sekadar melihatnya duduk di tepi sungai, tenggelam dalam dunianya sendiri. Ronan tidak ingin Cahaya merasa terbebani atau tidak nyaman. Baginya, cinta bukan tentang memiliki, melainkan tentang membiarkan orang yang dicintai tetap bebas.

Setiap kali Ron Nee Soo memaksa Ronan untuk bertindak—Ronan berdiri di depan Cahaya, memintanya untuk memberi kesempatan—Ronan justru berhenti. Ia menatap langit Wangun Reja yang dipenuhi bintang dan berkata, “Tidak ada cerita hari ini.” Ketika Cahaya, dengan nada sopan namun tegas, berkata, “Aku belum siap untuk siapa pun,” Ronan hanya mengangguk dan tersenyum. “Aku akan menunggu, atau aku akan bahagia jika kau bahagia dengan caramu sendiri,” katanya. Ron Nee Soo geram. Ia menulis dengan nada memerintah: Ronan, kau tidak boleh lembek! Jadilah pria keras seperti baja! Perjuangkan Cahaya, dan dia pasti luluh!

Tapi Ronan tetap pada pendiriannya. “Aku hanya ingin berbuat baik,” katanya, suaranya lembut namun teguh. “Aku mencintai Cahaya, mungkin lebih dari yang kau tulis, tapi kebahagiaannya lebih penting daripada keinginanku.” Ketika Ron Nee Soo menciptakan saingan untuk memicu kecemburuan atau menulis adegan dramatis seperti Cahaya yang tersesat di hutan belantara Wangun Reja, Ronan selalu memilih jalan yang sama: ia membantu Cahaya tanpa meminta balasan, lalu mundur untuk memberinya ruang. “Biarkan dia memilih sendiri ke mana hatinya akan berlabuh,” katanya, menatap bintang-bintang.

Ron Nee Soo, yang terbiasa menang dalam setiap perjuangan hidupnya, mulai kehilangan kesabaran. Novelnya macet, tenggat waktu penerbit mendekat, dan Cahaya tetap dingin, sementara Ronan menolak menjadi pahlawan yang ia inginkan. Dalam keputusasaan, ia memutuskan untuk mengambil langkah drastis: menyingkirkan Ronan dan menggantinya dengan tokoh baru, Wahyu, seorang pria yang dianggapnya lebih realistis dan bersedia berjuang. Wahyu diciptakan sebagai sosok yang karismatik, penuh tekad, dan tidak kenal menyerah—persis seperti yang Ron Nee Soo inginkan.Wahyu melangkah dengan percaya diri menuju Cahaya, membawa puisi yang ditulisnya sendiri di bawah menara batu. Ron Nee Soo tersenyum, yakin ceritanya akan kembali ke jalur yang benar.

Namun, sebelum menghapus Ronan, Ron Nee Soo memutuskan untuk “menggoyahkan” tekadnya. Ia memperkenalkan dua wanita baru ke dalam kehidupan Ronan: Putri dan Ratu, dua tetangga di Wangun Reja yang masing-masing memiliki pesona sendiri. Putri adalah wanita yang hangat dan terbuka, yang sudah lama menyukai Ronan dan berharap menjalin hubungan serius dengannya. Ia sering membawakan Ronan roti panggang buatannya dan mengajaknya mengobrol tentang mimpi membangun keluarga di kota yang megah ini. Ratu, di sisi lain, adalah ciptaan Ron Nee Soo yang sengaja dibuat mirip dengan Cahaya: dingin, misterius, dan sulit didekati, namun dengan daya tarik yang membuat orang penasaran. Ron Nee Soo berpikir, jika Ronan tidak memilih Cahaya, mungkin Putri atau Ratu bisa menjadi pengganti yang cocok. Bagi Ron Nee Soo, siapa pun tokoh utamanya—Cahaya, Ronan, Wahyu, Putri, atau Ratu—tidak masalah, asalkan novelnya menjadi karya luar biasa yang diimpikannya.

Tapi Ronan tidak tergoyahkan. Meski Putri menawarkan kehangatan dan Ratu menawarkan misteri, hatinya tetap tertambat pada Cahaya. Ia tidak bisa membuka ruang untuk cinta baru, seolah Cahaya telah mengisi setiap sudut jiwanya. Ketika Putri dengan malu-malu mengungkapkan perasaannya, Ronan menunduk dan berkata, “Kau luar biasa, Putri, tapi hatiku sudah milik orang lain.” Ketika Ratu, dengan sikap dingin yang mirip Cahaya, menggodanya untuk mendekat, Ronan hanya tersenyum dan berkata, “Aku tidak ingin mengulang cerita yang sama.” Dalam doa-doa malamnya di bawah langit Wangun Reja, Ronan berbisik kepada Tuhan yang memberinya anugerah cinta ini, “Jika aku dan Cahaya tidak disatukan, biarlah dia lebih bahagia dariku.”

Ron Nee Soo semakin frustrasi. Ronan adalah karakter yang sulit dikendalikan, seperti angin yang menolak diikat. Ia mencoba memaksa Ronan untuk menemui Cahaya lebih sering, menulis adegan di mana Cahaya tersenyum tipis atau menunjukkan sedikit kelembutan, berharap itu akan mendorong Ronan untuk bertindak. Tapi Ronan tetap setia pada prinsipnya. “Aku tidak ingin mengganggu kenyamanannya,” katanya setiap kali Ron Nee Soo menulis perintah baru. Bahkan ketika Wahyu mulai muncul di Wangun Reja, mendekati Cahaya dengan puisi dan gesture romantis di bawah menara batu, Ronan tidak cemburu. Ia hanya memandang dari kejauhan, berkata, “Jika Wahyu membuatnya bahagia, aku akan merelakan.”

Ron Nee Soo akhirnya mencoba langkah terakhir: menghapus Ronan dari cerita. Ia menulis: Ronan lenyap dari Wangun Reja, dan Wahyu mengambil alih sebagai pahlawan. Tapi sesuatu yang aneh terjadi. Kertas itu menolak tinta. Kalimat itu memudar, seolah ditelan kabut malam. Di Wangun Reja, Ronan duduk di tepi sungai, memandang Cahaya yang sedang membaca, dan berkata, “Aku di sini, tapi tidak untuk mengganggu. Aku hanya ingin mencintaimu dengan caraku.”

Kegagalan ini membuat Ron Nee Soo termenung. Ia mulai mempertanyakan visinya sendiri. Selama ini, ia percaya cinta adalah tentang perjuangan, tentang menaklukkan hati yang sulit diraih. Tapi Ronan, dengan keteguhannya yang sederhana, menunjukkan sesuatu yang berbeda: cinta bisa berarti memberi ruang, memprioritaskan kebahagiaan orang lain, bahkan jika itu berarti melepaskan. Ron Nee Soo menutup laptopnya, jantungan. Tenggat waktu penerbit masih menanti, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bukan lagi pengendali cerita.

Novel itu akhirnya selesai, tapi bukan sebagai romansa epik yang direncanakan. Ia menjadi kisah tentang Ronan, pria yang mencintai dengan tulus, yang memilih kebahagiaan Cahaya di atas keinginannya sendiri, dan yang menolak menjadi pahlawan demi menjadi manusia sejati. Cahaya tetap menyendiri, mungkin tidak pernah membuka hatinya, tapi Ronan tidak peduli. Baginya, mencintai adalah anugerah, bukan beban. Dan di suatu malam di Wangun Reja, ketika bintang-bintang bersinar terang, Ronan menatap langit dan berbisik, “Terima kasih atas anugerah ini. Biarlah dia bahagia, dengan atau tanpaku.”

Di dunia nyata, Ron Nee Soo membaca ulang naskahnya. Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa karyanya, meski tidak sesuai rencana, telah menjadi sesuatu yang lebih besar: sebuah cerminan tentang cinta yang tidak egois, tentang keberanian untuk melepaskan, dan tentang keindahan dalam kesederhanaan. Novel itu diterbitkan, dan meski tidak semua pembaca memahami Ronan, mereka yang membaca hingga akhir merasa sesuatu bergetar di hati mereka—seperti cahaya bulan yang lembut, yang tidak memaksa, tapi selalu ada.

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Bronze
Geometri Cinta Catatan Rosalina Filsufarkeolog
Resti Telasih
Komik
Stuck Leveling
Adil Muhammad Yusuf
Cerpen
Kehendak Ronan
Ron Nee Soo
Novel
THE LEA'KING
Widi Martha Magdalena
Novel
Bronze
Dan Eden
Mashdar Zainal
Skrip Film
Romantika Cinta Dinar 1 (Script Film)
TOTO M. RIANTO
Novel
A Different Past
Bintu Syarif
Novel
Bronze
WISTERIA - Cinta Sang Penguasa
Felice
Novel
Bronze
PERANG SUDAH BERAKHIR
DENI WIJAYA
Skrip Film
"G**GLE TRANSLATE" (A love story of two countries)
Mahliana
Novel
Kisah Kasih 98
Siti Ulfatuz Zhalfa
Cerpen
Nama yang Aku Samarkan
AkuOsa
Cerpen
Bronze
Bermula di Sebuah Bimbel
Nuel Lubis
Novel
Bronze
Cinta 1000 Tahun Sang Pangeran
Apresia Ardina
Novel
Bronze
3 Jalan Cinta
Ahmad jimi
Rekomendasi
Cerpen
Kehendak Ronan
Ron Nee Soo
Cerpen
Payung Hujan dan Teh Ajaib
Ron Nee Soo
Cerpen
Nyanyian Malam
Ron Nee Soo
Cerpen
Ironi Kotak Amal Sekolah
Ron Nee Soo
Cerpen
Proyek Memori: Subjek 27
Ron Nee Soo
Cerpen
Bidadari
Ron Nee Soo
Cerpen
Bayang
Ron Nee Soo
Cerpen
Dalam Cinta Kubertanya?
Ron Nee Soo
Cerpen
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
Ron Nee Soo
Flash
Lontong Sayur
Ron Nee Soo
Flash
Waktu Bahagia
Ron Nee Soo
Cerpen
Memahat Jalan
Ron Nee Soo
Novel
Stigma
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Setiap satu sendok bumbu kacang adalah satu kesempatan yang hilang
Ron Nee Soo
Cerpen
Segalanya tentang Cahaya
Ron Nee Soo