Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Apakah Salah Untuk Pasrah ?
segelas teh tanpa gula yang selalu ku sajikan. Mungkin memang hambar tapi setidaknya itu membuat mereka tenang.
Orang – orang yang selalu mengawali pagi hari dengan energi positif yang melekat pada diri mereka, sebenarnya apa tujuan mereka. Sembari menunggu kereta yang ku tumpangi sampai ke stasiun tujuan, aku mulai mengamati raut wajah manusia yang ikut menumpang di kendaraan bergerbong itu. Begitu banyak raut wajah yang ku jumpai di pagi hari. Seseorang dengan wajah murung, angkuh, ceria, bahkan seseorang dengan wajah datar yang sepertinya jika aku bisa masuk kedalam pikiran orang itu hanya ada cacian untuk pagi yang selalu datang dengan memamerkan kecerahannya. Tapi di antara semua ekspresi raut wajah yang sering ku temui, seseorang dengan raut wajah ceria sering membutaku bergidik (entah perasaan merinding, takut, atau hampa yang kurasakan, aku tidak paham. Tapi melihat mereka membuatku merasa sangat tidak nyaman).
Dunia ini kejam. Dan ku rasa tidak ada orang yang bisa menyangkalnya, semua pasti setuju dengan penyataan tersebut. Tapi, monster macam apa mereka yang tetap dapat memamerkan senyum untuk menyambut awal hari di dunia yang kejam ini. Apakah mereka ini yang disebut ‘manusia tanpa hati’? Atau mereka hanya para manusia yang haus akan atensi orang lain. Pasti mereka pemain akting yang sangat baik. Aku yakin pasti para manusia berwajah ceria itu hanya menyembunyikan diri sejati mereka agar mendapat pujian sebagai ‘Manusia Terkuat’ dari masyarakat. Bukankah itu artinya mereka melakukan kebohongan besar terhadap khalayak ramai, bahkan membohongi diri mereka sendiri. Tapi jika semua itu bukanlah kebohongan, sudah kuduga. Monster, mereka adalah monster yang selalu ikut tertawa dengan segala kekejaman yang dilakukan dunia.
Sejak menduduki bangku sekolah menengah pertama, sudut pandanganku terhadap dunia yang tadinya putih kini berubah kian memerah. Pola pikirku yang dulunya sederhana hanya sebatas ‘meminum es berwarna -warni dapat membuat bahagia’, kini tak bisa dirasakan lagi. Aku sadar, betapa bodohnya aku yang dulu ikut termakan oleh perkataan orang dewasa “jangan berteman dengan anak yang keluarganya tidak jelas” bahkan kata ‘tidak jelas’ disini terdengar sangat ambigu. Ketika mulai memiliki banyak teman dan menambah lingkup pergaulan, aku paham akan satu hal. Dunia itu kejam. Tidak semua hal yang terlihat itu sebagaimana yang sebenarnya terjadi, tidak semua perkataan manusia dapat dipercaya, tidak selamanya kita harus berempati dan memikirkan perasaan orang lain, mendapat pujian bukan berarti diperdulikan mereka hanya memandang kita dengan standarisasi dirinya sendiri.
Semakin dalam dengan paham ‘Dunia Itu kejam’ semakin kepalaku ini terisi oleh banyak pertanyaan. Kalau keluarganya tidak jelas belum tentu anaknya tidak jelas, bukan? Sama hal-nya seperti anak seorang dokter belum tentu akan menjadi dokter juga. Mereka memang berada di satu keluarga yang sama tapi mereka adalah manusia yang berbeda. Sepertinya isi kepalaku pagi ini sangat jauh dari kata ‘ceria’ sampai tidak terasa bahwa kendaraan yang ku tumpangi ini mencapai stasiun tujuanku.
Sepertinya karena terlarut dalam konsep ‘Dunia Itu Kejam’ yang setiap hari terus menghantuiku ini aku jadi lupa memperkenalkan diri. Hai, aku sedang menuju kedai tempatku bekerja, sebuah kedai makanan sangat biasa yang bisa dibilang ada di ambang gulung tikar. Jaraknya melewati 2 kota dari tempat tinggalku, cukup jauh memang tapi aku hanya mengeluarkan sekitar 6 ribu rupiah untuk ongkos perhari berkat rumah dan tempat kerjaku yang sama – sama dekat dengan stasiun.
Sebenarnya pernyataanku tentang ‘para manusia ceria itu hanya ber-akting’ bukan hanya dugaan semata. Aku biasa mendengarkan (secara suka rela) curhatan mereka yang datang ke kedai, sekedar untuk mencari teman berdiskusi. Istilah ‘orang suram akan mendatangkan kesuraman lainnya’ sepertinya tidak hanya berlaku pada manusia. Kedai tua yang sangat terlihat kumuh dari luar ini selalu saja kedatangan tamu dengan berbagai macam cerita kelamnya. Bahkan para langganan kami biasanya datang untuk sekedar meneriaki sumpah serapahnya terhadap dunia dan hanya memesan segelas teh tanpa gula. Mungkin rasa masakanku kurang enak atau karena penggorengan berkarat yang sialnya susah sekali untuk di hilangkan itu, sehingga mereka hanya memesan makanan pada kedatangan pertama mereka. Aku sudah lapor kepada pemilik, beliau selalu menanggapi dengan “Tidak apa, selama itu masih bisa dipakai. Mungkin kita bisa menjadi rekan bisnis para dokter” di akhiri dengan kekehan ringan. Sepertinya dia memang jenis orang yang selalu pasrah akan keadaan. Sempat terlintas dipikiranku. Pasrah akan keadaan sepertinya hal bagus, tidak perlu pusing memikirkan kehidupan yang mungkin saja bisa sampai membuat seisi kepala meledak.
Hari itu Ketika sampai di kedai sudah ada seseorang pria paruh baya yang bersandar di samping pintu, menunggu kedai dibuka. Seperti biasa, tembakau yang baru saja dihisapnya bahkan tidak dapat sedikit pun menyamarkan bau minuman menyengat yang menempel pada pakaiannya itu. Aku membuka pintu kedai dan mempersilakan masuk. Aku melakukan kegiatan membuka kedai seperti biasa, menurunkan beberapa kursi untuk pelanggan yang akan datang (walau bisa di pastikan nihil kemungkinannya) dan membersihkan interior yang ada. Tamu yang datang terlalu cepat itu menarik satu kursi untuk dia duduki.
“Apa kau membawa parfum?” tanya nya sambil membuka tas yang ku taruh di atas meja.
“Aku pergi untuk bekerja, bukan ke tempat hiburan atau sejenisnya. Jawabanku, tidak, aku tidak bawa” aku melanjutkan kegiatan menyapu lantai kedai yang entah mengapa selalu saja dihinggapi banyak sekali debu. Apa para debu sangat suka dengan lantai kedai ini atau nyaman dengan aura suram dalam kedai ini.
“Wanita jaman sekarang itu selalu membawa parfum kemana pun. Parfum, riasan wajah- kau tidak ingin mencoba menggunakan riasan wajah? Siapa tau membuatmu terlihat cantik” dia terus saja bergumam sambil mengacak – acak isi tasku.
“Jadi aku tidak cantik? Tunggu, itu bukan hal penting juga sih. Jika kau sudah mendapatkan Kembali kewarasanmu, bukankah sebaiknya kau segera pulang dan mengantar anakmu pergi ke sekolah” Jujur aku sangat terganggu dengan kehadiaran seseorang ketika aku bahkan belum selesai dengan rutinitas buka kedai ku ini.
“Wanita penyihir itu ada dirumah, aku tidak pernah bisa berkutik melawan sihirnya. Para Wanita itu lebih menyeramkan dari pada monster yang pernah kau bicarakan. Kau harus lebih wasapada” Celotehnya Kembali, kali ini sembari membuka dompet milik ku.
“Kau pikir aku apa? Waria?” lontarku sembari melayangkan pukulan ringan di keningnya. “Cepat pulang, sekarang tidak ada orang kan di rumahmu. Dasar aneh, kenapa memilih menikah jika kau takut dengan wanita”
“Hey, aku ini anak berbakti yang hanya mengikuti saran orang tua. Aku ini masih baik loh, masih mau bekerja untuk menafkahi mereka bahaka keluarga istriku juga” dia membereskan semua barangku yang awalnya digerataki. “Ya sudah, aku pulang saja.”
Aku menangkap tas yang ia lemparkan ke arahku “Jangan bilang kau menaruh uang lagi di dompetku, ambil saja. Aku tidak butuh” Abai dengan perkataanku, pria paruh baya itu tetap berjalan keluar kedai tanpa berkata sepatah kata lagi.
Dia merupakan salah satu langganan kedai ini. Orang pasrah lainnya yang memulai pagi hari dengan raut wajah datar. Setiap pagi ia selalu lebih dulu berada di depan kedai, entah habis dari mana tapi aroma yang melekat di pakaiannya selalu sama.
Dari penampilannya memang tidak bisa dibilang bahwa dia merupakan ‘orang jelas’ tapi berkat akting menyapa dan senyum tulus yang selalu ia pamerkan kepada setiap orang yang ditemuinya, ia berhasil mendapat predikat ‘Orang Baik’. Aku heran, apa orang – orang yang memberinya predikat itu tidak mencium aroma minuman yang sangat menyengat darinya atau pria itu telah berubah menjadi penyihir juga sama seperti istrinya dan membuat orang lain kehilangan indra penciuman. Kalau itu benar, aku pasti sangat beruntung tidak terpengaruh sihirnya.
Pekerjaanku hanya duduk di balik meja kasir dan menunggu ke ajaiban (para pelanggan) datang. Aku tidak begitu mengetahui tentang pemilik kedai ini. Dengan pemasukan kedai yang bisa dibilang sangat jauh dari target mingguan, beliau masih tetap bisa membayarku dengan gaji yang sama setiap bulannya. Ia memiliki dua putra yang tinggal sangat jauh, istrinya telah menghembuskan napas terakhir saat wisuda kelulusan anak bungsunya dan sekarang hanya hidup seorang diri. Aku bahkan tidak tau dimana beliau tinggal. Mungkin ia hanya tidur disana – sini demi menghilangkan kebosanannya.
Sekarang sudah menunjukan pukul 1 siang, di luar sepertinya sangat panas. Mungkin aku akan beli minuman soda dulu ke toko di seberang. Selagi memikirkan apa saja jajanan yang ingin ku beli, pintu kedai Kembali terbuka dengan lebar.
“Keajaiban?” tanyaku. Aku dengan bangga menyiapkan wajah tersenyum penuh keceriaanku yang ternyata langsung luntur sepersekian detik.
“Apa yang keajaiban? Kamu lagi baca dongeng putri dan pangeran?” Seorang pelajar dengan seragam yang sangat lusuh dan muka penuh memar baru itu memasuki kedai. Ini belum waktunya pulang sekolah, pertengkaran antar sekolah? Perebutan wilayah bermain? Kenapa anak zaman sekarang sangat sulit untuk dijinakkan.
Aku menghela napas “ Ternyata kucing hilang”
pelajar itu menarik kursi dari salah satu meja untuk pelanggan dan meletakkan nya tepat di depan meja kasir. Dia berceloteh ria mengeluh tantang lebam di sekitar bibirnya ‘aku jadi tidak bisa makan enak’ ujarnya. Aku memilih abai dan membuka satu persatu laci kasir.
“Kamu nggak dengar aku, ya? Nanti gimana nikmatin makan seruputan mie kuah kalau bibirku berdarah – darah seperti ini” omelnya lagi. Lihat lah, seorang pelajar bertubuh besar dengan luka di sekujur wajahnya ini mengeluh layaknya anak kecil yang habis direbut permen gulalinya.
“Pertama, aku ini lebih tua darimu. Kedua, kenapa tidak menghindar atau kabur. Ketiga, menang atau kalah?” aku meletakkan kotak gawat darurat di hadapannya. “Obati lukamu sendiri, itu bukan tanggung jawabku” aku masuk ke dapur meninggalkan pelajar itu sendiri. Omelan – omelan kecil masih terus keluar dari mulutnya sembari membersihkan lukanya itu.
“Pertama, aku lebih tinggi. Kedua dan ketiga, aku disini karena aku kabur tidak mungkin aku dapat melawan” lihat, hanya tampangnya saja yang berbadan besar dengan wajah yang garang. Tapi, ia selalu memilih untuk menghindari masalahnya.
“Tinggi badan tidak ada hubungannya, bodoh” aku kembali sambil membawakan segelas teh hangat tanpa gula. “Kali ini apa? Ini belum jam pulang sekolah bukan. Aku agak terkejut kau datang tengah hari ke kedai ini” Meski perawakannya seperti tidak seperti ‘Orang Jelas’ lainnya dan visual yang menyeramkan, tapi ia anak yang tidak pernah bolos sekolah, malah menyuruhnya pulang dari sekolah termasuk hal yang menyusahkan. Prinsipnya ‘Sekolah adalah rumah pertama’. Tidak bolos sekolah bukan berarti tidak bolos kelas ya.
“Ayah datang ke sekolah dan izin kepada guru, katanya ada keperluan jadi harus membawaku pulang. Di tengah perjalanan ia tiba – tiba menyeretku ke sebuah gang dan mulai memukuliku. Kalau di tanya menang atau kalah, tentu saja aku kalah. Aku kalah telak” Si pelajar menceritakan hal itu dengan wajah tersenyum seolah raut wajahnya berkata ‘Tidak apa, aku baik – baik saja’
“Kau tidak melawan, itu namanya mengalah. Aku pernah memberi saran tentang melapor pada komite perlindungan anak, kan. Atau kau bisa mencoba melaporkan kepada pihak kepolisian, mereka bisa membantumu, mungkin” Bahkan di generasi sekarang, anak seusianya sudah bisa aku kategorikan sebagai ‘manusia pasrah lainnya’.
“Hmm, aku sudah memikirkannya. Mungkin ini memang jalanku, aku kuat menahan semua rasa sakitnya kok. Cuma aku tidak suka saja jika yang kena hantam adalah wajahku, ibu pasti akan menamparku. Lagi pula, apa mereka bisa membantu. Maksudku, Cuma kamu yang sudi bicara dengan anak nakal yang mengakhiri hari - harinya dengan luka yang baru” ia mengambil gelasnya dan segera menenggak habis teh itu.
“Benar, kau memang anak nakal. Hanya karena aku membuat mie rebus pesananmu terlalu matang kau mengomeliku seharian sampai aku menutup kedai” Aku mengusak rambutnya pelan. Orang pasrah yang mengawali hari dengan raut wajah ceria, setidaknya itu raut wajah yang selalu ia pamerkan pada guru dan teman temannya di Sekolah. Bagaimanapun itu hidupnya, aku hanya dapat memberi saran. Aku tidak memiliki minat untuk masuk kedalam kehidupan orang lain.
Pintu kedai Kembali terbuka. Beda dengan sebelumnya, pintu kedai dibuka sangat kecil. Mungkin hanya seekor ulat yang bisa melaluinya.
“Kakak, ibu pesan kakak” Ah, itu suara anak dari pemilik toko ATK di sebelah. Tumben, biasanya gadis kecil itu langsung masuk dengan cekikikan penghilang kesedihan khasnya dan memamerkan mainan baru yang ia temukan di tempat bermain. (Biasanya itu adalah mainan bagus yang dibuang karena si pemilik sudah bosan dengan mainan itu.) Lalu aku menatap pelajar di depanku ini, si anak kecil pasti takut dengan wajah seramnya ini. Itu yang terlintas di pikiranku.
“Masuk saja. Orang ini wajahnya memang menyeramkan, tapi dia tidak mengigit kok. Tenang, ada aku” aku berjalan ke arah pintu kedai dan membukanya perlahan. Tapi, sepertinya aku baru ingat. Anak kecil merupakan salah satu kelompok terkuat dalam masyarakat, mereka tidak kenal apa itu ‘takut’. Tidak terlalu perduli dengan tampak luar manusia.
“Loh, abis kelilipan apa matanya?” aku mensejajarkan tinggi sembari menyeka cairan bening yang menghiasi pipi meronanya. Tentu saja aku tidak bodoh, kelilipan apanya.
“Angin debunya kenceng, hehe. Aku di sini saja. Ibu mie rebus pakai telur dan bawang pesanannya” aku tersenyum simpul “Ayo masuk, nanti pasukan kucing nyonya Riya mengejarmu, loh” (omong – omong nyonya Riya adalah pemilik tanah di tempat ini, ia terkenal sebagai penyihir yang suka mengambil kucing jalanan untuk dijadikannya pengawal).
Aku menarik tangan gadis kecil itu pelan “Ayo” yang membuatku terkejut, ia langsung melepas genggaman tanganku dengan kasar. “Di luar saja aku mah, nanti kedai tidak laku kalau aku masuk” dari sekian banyak kepasrahan yang selalu aku kelompokan, aku paling membenci kategori yang ini. ‘Pasrah yang menurun’. Aku memutuskan untuk membuka pintu kedai dengan sangat lebar dan berbalik menuju ke dapur Kembali di buat terkejut. Si pelajar berwajah seram itu berjalan melewatiku, lalu mengangkat gadis kecil itu layaknya karung beras dan menutup pintu kedai dengan kencang. ‘semoga engselnya tidak rapuh’, rapalku dalam hati.
Si pelajar membawa gadis kecil itu duduk di bangku yang sebelumnya ia seret ke hadapan meja kasir “Kalau pintunya dibuka lebar seperti itu, udara panasnya malah masuk ke dalam tau” gadis itu hanya duduk dengan kepala tertunduk dalam. Si pelajar itu Kembali menyeret bangku baru ke hadapan meja kasir. Jika orang lain melihtanya, pasti mereka berpikir sedang terjadi penculikan anak. Aku menghela napas Panjang.
Aku melanjutkan pekerjaan menyiapkan pesanan ibu toko ATK. Entah apa yang terjadi dengan si gadis kecil yang kini terlihat seperti sedang di sandera preman itu, tapi aku mendengar cekikikan penghilang kesedihannya telah kembali.
Waktu telah menunjukan pukul 5.30 sore, beberapa menit yang lalu si pelajar baru saja pulang. Biasanya, ia akan datang Ketika jam pulang sekolah dan Kembali ke rumah Ketika matahari mulai menghilangkan keberadaannya. Aku memutuskan untuk menyapu halaman depan kedai, sekedar menghilangkan kejenuhan. Menyapa para ibu yang sedang berkumpul di depan toko ATK gadis kecil tadi.
Gadis itu terlihat sedang asik bermain dengan bola kecil pada genggamannya dalam pangkuan sang ibu. Mengelus rambut ankanya yang sedang di pangku itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Dalam pikiranku sebenarnya ibu pemilik ATK sangat sayang kepada anak sulungnya itu, tapi karena kondisi pemasukan toko dan pajak bangunan yang tidak imbang mungkin, ia agak kesulitan mempertahankan keseimbangan jiwanya. Ini memang bukan wilayah yang cocok untuk toko alat tulis dan sejenisnya, daerah ini sangat sepi apa lagi dari jangkauan pelajar. Aku pernah menyarankannya untuk membuat iklan selembaran atau melalui jejaring sosial, tapi ia hanya menanggapi “Tidak apa, kalau memang keberuntungan datang pasti akan ada yang beli. Tidak usah melakukan hal repot seperti itu” Si ibu yang pasrah dengan keadaan finansial dan si anak yang pasrah selalu menjadi sasaran sang ibu meluapkan emosi.
Banyak yang berpikir ‘Tidak ada yang bisa dilakukan anak kecil itu, ia hanya anak - anak’ Tapi, bukannya diam saja juga salah. Sayangnya aku tidak punya hak dan kuasa untuk menyelamatkanya. Ibu toko ATK yang selalu memulai pagi dengan raut wajah penuh emosi dengan omelan tak sedap yang keluar dari mulutnya, membuat si gadis cilik memulai hari dengan raut wajah murung.
Hal lain di dunia ini yang membuatku heran adalah para ibu – ibu yang selalu berkumpul dengan wajah waspada mengawasi sekitar. Ketika ada seseorang yang mendekati atau sekedar menyapa mereka, hanya dalam waktu sepersekian detik wajah mereka berubah menjadi raut ceria dan menyapa orang tersebut dengan sangat lembut bagai sebuah gelembung. Kalau termakan dengan kelembutannya dan berusaha menggengam mereka, BOOM! Semua kelembutannya akan menghilang.
Para ibu itu pasti berkumpul untuk merencanakan suatu kejahatan besar. Tema perundingan mereka adalah ‘Jatuhkan Mereka Yang Tidak Bergabung Hari Ini’. Tapi, masing – masing dari mereka juga memiliki misi ‘Apa Hal Bodoh Yang Sedang di Alaminya Saat Ini’. Agak kesal untuk mengakuinya, tapi pernyataan si pria yang datang terlalu cepat itu memang benar. Wanita itu menakutkan. Aku menghela napas panjang dan memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kedai, sebelum aku berubah menjadi menakutkan juga.
Kedai tempatku bekerja ini tutup pukul 9 malam, setengah jam sebelum kereta terakhir berangkat. Pernah suatu waktu aku lupa waktu ketika sedang membersihkan kedai, sesampainya di stasiun kendaraan yang biasa ku tumpangi itu sudah berangkat menuju arah pulang. Tidak mungkin aku mencari transportasi lain di jam itu, aku memutuskan untuk kembali ke kedai dan menginap di sana. Di perjalanan menuju kedai, aku melihat sesosok Wanita berambut Panjang sedang duduk di seluncuran taman bermain. Aku mempercepat Langkah kakiku dan berjalan menunduk. Jujur saja aku ini penakut. Bahkan dengan anak kucing yang bersembunyi di balik atap kedai pun aku takut.
“Resleting tas mu terbuka” Sepertinya itu suara dari sosok yang Wanita itu dan bodohnya aku langsung membalik badan untuk mengecek tas yang ku pakai. Tapi, hari itu aku membawa sebuah totebag. Dan saat mengalihkan pandanganku tepat kearah seluncuran itu “Kosong?” bohong kalau aku bilang tidak merasa takut. Jantungku berdegup dengan cepat bahakan pelipisku mulai di penuhi keringat. Aku Kembali berbalik badan melanjutkan perjalanan menuju kedai. Sampai seketika pundakku terasa berat.
“Kamu penjaga kedai makanan di tanah Nyonya Riya, kan?” Suara yang sama persis seperti sosok tadi kini kembali terdengar, memaparkan pertanyaan, dan tepat berada di dekatku. Aku memilih abai dan melanjutkan perjalannku. Wanita itu terus saja mengikutiku, bahkan lengannya yang sejak awal bertengger di bahu ku itu terasa semakin berat. Suaranya terdengar sangat merdu dan halus. Sepertinya dia tipe ceria juga. Apa sekarang hantu mulai masuk kedalam kategori ‘lainnya’ yang mebebankan pikiranku ini?
“Mau bawakan tas ku tidak? Nanti akan aku bayar 100 ribu” Tawarnya. Seratus ribu dari hantu sama dengan separuh nyawa yang sedang ku pertahankan ini, pikirku. Dengan cepat aku menggelengkan kepala. Si Wanita hantu melepaskan rangkulannya dari pundakku. “Huh, sulit mencari asisten di zaman serba canggih ini” ujarnya. Tunggu, hantu zaman sekarang perlu asisten ?
“E-eh, hantu sekarang keren. Mereka bahkan mencari asisten, hehe” Aku pernah baca di sebuah majalah usang kalau memuji hantu yang mengikuti bisa membuat mereka pergi membebaskan kita.
“Hantu? Jadi karena itu kau dari tadi berprilaku aneh. Aku ini manusia, tante Riya pasti akan marah jika mendengar keponakan tercintanya ini menjadi hantu ” malam itu aku menyadari bahwa aku telah melakukan hal yang sangat bodoh dan mungkin, besok merupakan hari terakhirku bekerja. Aku semakin menundukan kepalaku.
“Bukan, maksudku bukan- ”
“Buka Kembali kedainya, aku akan bayar 2x lipat. Tapi temani aku mendongeng ya.” Aku mengangkat penuh kepalaku dan menatap wajahnya. Bibirnya tersenyum ceria dengan tulus, tapi matanya seperti seseorang yang sedang merasakan kesedihan. (Seperti mata seseorang yang tidak bisa untuk menangis) Dan hal yang paling menggangguku dari si Wanita hantu ini, meskipun bibir dan matanya menunjukan sebuah emosi tapi keseluruhan mukanya terlihat datar di mataku. Sepertinya cacian untuk Dunia Kejam ini yang berada di kepalanya sangat liar dan sudah di ambang batas. Lebih menyeramkan dari si pria pagi hari. Itu pertemuan pertamaku dengan si Wanita hantu. Sejak saat itu ia sering menghampiri ku di kedai ketika malam mulai datang. Terkadang ia datang disaat aku sedang menutup kedai. Si Wanita hantu tidak memaksa untuk membuka kedai lagi, sesekali ia membantuku atau hanya duduk sambil memperhatikan ku. Suasana menutup kedai yang hening kini di iringi dengan dongen perjalannya di hari itu.
Sekitar pukul 7 malam pintu kedai kembali di buka oleh seseorang. Si Wanita hantu. Bisa dibilang ia datang lebih awal di bandingkan beberapa minggu belakangan ini. Kali ini ia datang dengan seseorang. Perempuan? Aku tidak bisa menebaknya karena pakaian yang di gunakan orang itu. Jaket hitam membalut tubuhnya, raut wajahnya di sembunyikan di balik masker dan kacamata hitam yang ia gunakan. Serta topi yang di pakainya, menutupi hampir seluruh rambutnya.
“Hai, hai, bocah kecil yang selalu memikirkan segala sesuatu yang tidak penting. Aku mendapat teman baru lagi loh. Ayo kenalan! kenalan!” Seperti biasa dengan suaranya yang selalu terdengar ceria, si Wanita hantu kembali datang dengan seorang (yang baru saja di jadikan) teman. Pasti orang ini pasrah, dari pada menyesal di kemudian hari karena menolak ajakan wanita cantik. Terkadang aku iri dengan mereka yang bisa dengan mudah memiliki teman tanpa harus memikirkan kondisi kedepannya.
“Jadi ini kedai makanan terenak yang kau maksud?” Tanya orang baru itu kepada Si Wanita Hantu. Yang di tanya mengangguk dengan mata yang berninar -binar, entah apa yang ada di kepalanya kali ini. Dan apa itu ‘kedai makanan terenak’,aku tidak tau apa saja yang ia beritahukan kepada orang – orang yang ia bawa kemari, mereka pasti tertipu dengan promosi menggiurkan yang di beritahukan oleh sosok gadis berparas cantik itu.
Ini memang bukan pertama kalinya Si Wanita Hantu membawa seseorang. Ia biasanya membawa teman yang baru saja di kenalannya ke kedai. Mungkin, memang dasarnya ia seseorang periang yang mudah di sukai para masyarakat, mendapat teman itu sama halnya seperti bertemu mentari di pagi hari. Hampir semua orang yang di bawanya merupakan orang – orang yang di jumpainya di jalan menuju kedai. Aku tidak terlalu memusingkan soal hal itu, kedai jadi mendapat pemasukan tambahan.
Mereka berdua memesan kwetiau goreng yang sama – sama tidak pedas. Ah, aku lupa mengatakan. Dari semua pengunjung langganan kedai, hanya si Wanita hantu yang sampai detik ini masih memesan makanan, bukan hanya sekedar teh hangat tanpa gula. Saat menyiapkan pesanan mereka, samar – samar aku mendengar suara tawa yang saling bersautan. Ayolah, apa tidak ada seseorang yang ingin menulisakan tutorial cara tertawa. Aku juga ingin seperti mereka.
Aku kembali dengan dengan dua kwetiau goreng dan teh hangat tanpa gula pesanan mereka.
“Kau melihat berita baru pagi ini?” si Wanita hantu bertanya kepadaku. Sepertinya aku paham berita mana yang ia tanyakan “Cuma memastikan kalau kamu lupa, dia si pria kacamata hijau” paparnya.
Aku menganggukan kepala pelan “Aku sempat berpikir itu Si kacamata hijau, tapi ku pikir hanya firasat asalku saja. Lagi pula, aku tidak cukup ramah untuk menaruh simpati pada orang yang hanya pernah aku temui sekali” si Wanita hantu mengangguk dengan sorotan mata seolah berkata ‘aku sangat paham bagaimana dirimu’. Si Kacamata Hijau merupakan salah satu orang yang pernah di ajak Wanita hantu ke kedai ini. Mungkin selain kesuraman, kedai ini juga sudah di kutuk.
Sampai pukul setengah 9 malam, si pria baru itu pulang lebih dulu, meninggalkan si Wanita hantu yang masih dengan ekspresi mata berbinarnya. “Ada dongeng bagus hari ini?” tanyaku. Ia segera memalingkan pandangannya ke arahku dan menatap dengan penuh antusias. Aku merasa hawa – hawa buruk yang mulai terpancar.
“Lusa aku libur, besok malam menginap di rumahku ya. Kamu jadi tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk berangkat kerja juga, kan?” Hawa buruk itu semakin terpancar, aku harap aku bisa kabur. Aku bukan seseorang yang bisa dengan mudah berbaur dengan orang, menginap adalah ide yang sangat buruk, aku tidak mungkin bisa, dengan kepribadian ku yang sangat tertutup dan lumayan canggung dengan orang lain ini, pasti tidak kan sanggup jika harus terpenjara di tempat orang la- “Aku bayar kok, tenang” satu kalimat yang membuatku langsung mengangguk mantap. Sial, aku memasukan diriku sendiri ke dalam penjara.
“Bagus! Aku pulang duluan ya. Agar bisa tenang saat libur nanti, aku akan selesaikan semua pekerjaanku malam ini. Kamu siap kan film yang akan kita tonton ya” Si Wanita hantu itu mengusak kepalaku pelan sebelum akhirnya pergi meninggalkan kedai. Aku bukan seseorang yang sedang dalam krisis keuangan, tapi siapa yang bisa menolak uang. Bisa untuk menambah tabunganku juga.
Setelah si Wanita hantu itu pergi, aku segera membereskan kedai kumuh ini. Lagi pula tidak akan ada orang yang datang lagi selain Wanita Hantu di jam sekarang ini. Kalau di pikir lagi, dari semua langganan tetap yang datang ke kedai ini, hanya kepada si Wanita hantu tebakanku meleset. Jauh, sangat jauh. Senyum keceria yang selalu ia pamerkan kepada para masyarakat setiap hari, dongeng yang selalu menjadi teman malamku dengan suara lembutnya. Dari semua itu aku tidak dapat menemukan sedikitpun kejanggalan. Setiap pemain peran pasti memerlukan waktu istirahat bukan, tapi ia tidak pernah istirahat sedetik pun. Bahkan wajahnya tidak pernah menunjukan raut kelelahan. Seolah ia memang terlahir dengan semua keceriaan itu, tidak pernah satu hal pun mengusik keceriaan dalam dirinya.
Si Wanita hantu bahkan tidak masuk kedalam ‘Kategori Orang Pasrah’ dalam benak ku. Ia terlihat seperti ‘Orang Jelas’. Baik dari segi pekerjaan, penghasilan, keluarga, sampai pendidikan. Orang tidak perlu ragu akan di cap menjadi beban masyarakat jika berteman dengannya. Ia yang pernah mengajak ku untuk menjadi temannya (tentu saja aku tolak) dan selalu meluangkan waktu untuk datang ke kedai, masih menjadi tanda tanya besar.
Jauh dari perkiraanku selama ini, ‘Orang Jelas’ yang selalu mengawali pagi dengan raut wajah ceria, bahkan tidak ada setetes pun kadar kepasrahan selama aku mengenalnya. Justru lebih membuatku ketakutan di banding mereka yang memiliki raut wajah datar. Bukan hanya membuatku bergidik, menatap wajahnya saja membuat sekujur tubuhku dari ujung kaki sampai kepala menjadi kaku karena rasa dingin yang di akibatkannya. Mungkin rasa dingin ini bukan berasal dari kepribadiannya, tatapannya? Mata yang selalu terlihat tidak bisa menangis itu masih saja menghantuiku.
Matanya selalu di hiasi oleh cahaya cerah, tapi entah mengap. Setiap aku menatap matanya itu, kedua iris kembar itu seakan berteriak. Hal bodoh apa lagi yang sekarang otak ku buat. Kategori ‘seseorang dengan mata yang bisa berteriak ?’ (Seolah mata itu berkata bahwa mereka ingin menangis, tapi jangan kan menangis. Meneteskan satu air mata saja tidak bisa) Aku merasa semakin tertekan dengan semua hal ini.
-
Malam ini setelah menutup kedai aku dengan si Wanita hantu pergi kerumahnya. Ia tinggal di bangunan yang sama dengan nyonya Riya. Rumahnya ada di lantai atas rumah nyonya Riya yang dapat di akses dengan tangga luar. Sesuai permintaanya aku menyiapkan sebuah film untuk kita tonton. Entah film yang bagus atau bukan, aku hanya mencari referensi secara gamblang dari internet.
“Ganti pakaianmu, kalau mau mandi handuknya ada di lemari yang sudah tersedia. Ambil saja” Ujar si Wanita hantu. Ia langsung berkutik di dapur menyiapkan teman untuk menonton.
“Baik, bu” candaku. Ia hanya tersenym dan memukulku pelan.
Sepertinya aku salah menyiapkan film. Ini seperti film tentang masalah saingan antar perusahaan keluarga yang diamana para penerusnya menjadi saling jatuh cinta. Aku, benci roman. Dan sepertinya si Wanita hantu juga kurang tertarik. Tapi ajaib, karena film itu agak membuat emosi kita jadi selalu mengomentari dan menyumpah serapahi para petinggi dari perusahaan itu.menikmati film sambil memakan cemilan yang sudah disiapkan si Wanita hantu, sesekali kita kembali melontarkan menyumpah serapah para pemain film itu dan tertawa bersama.
“Boleh aku mengatakan sesuatu?” tanya si Wanita hantu. Aku menjawabnya dengan anggukan dengan pandangan masih berfokus pada film itu.
“Mengenai pandanganmu mengenai dunia. Orang pasrah yang kamu maksud, sepertinya kamu salah sangka” ucap si Wanita hantu yang sukses membuat seluruh atensiku teralihkan kepadanya. Pernyataan yang baru saja ia lontarkan membuatku sangat bingung. Apa yang salah? Apa aku menjalani hidup dengan salah selama ini, apa aku melakukan kejahatan, apa aku hanya merendahkan orang lain, apa aku makhluk rendahan, apa aku-
Si wanita hantu itu seketika tertawa terbahak – bahak hingga meneteskan air mata “Kenapa raut mu berubah sekacau ini? Apa lagi omong kosong yang kau pikirkan Sekarang?” ia muluk keningku dengan telapak tangannya pelan.
“Bukan maksudku kamu salah atau gimana, semua desktipsimu benar. Hanya saja penamaanya yang salah. Penamaan untuk kategori yang ada di otak berlebihanmu itu” aku semakin tidak paham dengan perkataanya. Aku memeluk kedua kaki yang ku tekuk dan menjadikannya tumpuan.
“Dibanding kata ‘pasrah’ mungkin semua itu akan menjadi lebih cocok jika di ubah mejadi ‘penakut atau pemalas’. Pasrah itu kata yang memiliki arti cukup baik menurutku.” Suara di film kini tidak terdengar sama sekali, aku terlalu fokus dengan perbincangan mendadak yang di adakan ini. Otak ku mulai memutar kembali nama - nama kategori ‘lainnya’ yang sering kuguna kan.
“Tapi tidak ada orang pemalas dalam orang – orang yang kategori kan, mereka semua selalu menjalani hari mereka, melakukan rutinitas seperti biasanya, sekolah, bekerja. Mereka juga melangkah untuk keluar dari zona nyaman mereka di pagi hari, mereka bukan penakut” Si Wanita hantu itu tersenyum simpul lalu mengusak rambutku pelan.
“Tapi mereka terlalu malas untuk mencari atau melakukan hal baru agar hidup mereka berubah, kan ? Mungkin juga mereka tidak melakukan hal itu karena takut pada kenyataan masa depan yang belum tentu pasti itu. Mereka melakukan aktifitas sehari – hari bukan dengan maksud ‘aku tidak malas’ tapi, ‘ini adalah rutinitas memangnya apa lagi yang bisa dilakukan’.” Ceramah panjang di lakukannya dan aku hanya bisa menyembunyikan wajah di antara lutut semkain menenggelmkan kepalaku. Pembahasan yang pusing, jadi selama ini aku salah?
“Tapi, bukannya itu lebih terdengar seperti ‘aku menyerah’, yakan?” tanyaku. Jadi, mereka adalah ‘Orang Menyerah Lainnya’. Pasrah dan menyerah, ini membuatku ingin segera tidur dan melupakan semuanya
“Hmm, bisa jadi. Itu mungkin kalimat yang bagus untuk semua kategori yang kau buat itu. Lagi pula, pasrah itu mereka yang sudah bekerja keras dan sedang menunggu bagaimana hasilnya. Suatu arti yang bagus bukan?” aku mengangguk lemas. Menyerah, itu kalimat buruk yang paling suram yang ada dalam benakku. Kedai itu sepertinya memang telah mengutuk semua yang menginjakkan kaki kedalamnya.
“Jadi, selama ini yang aku dan para orang itu lakukan adalah menyerah ?” tanyaku yang hampir menyerupai gumaman.
“Tidak ada salahnya kok menyerah. Tapi kita harus tau kapan saat untuk menyerah dan kapan saat untuk bangkit. Itu kalimat yang umum, bukan? Tapi, mungkin yang terpenting itu kita tau bahwa kita sebenarnya sudah menyerah dan harus bangkit” Si Wanita hantu mendekapku yang masih terdiam dengan semua fakta baru ini. Sial, bukan hanya tatapan matanya bahkan pelukannya pun merasa memilukan. Semakin erat ia memelukku semakin terasa perih, seakan seluruh badanku sedang di lilit dengan batang mawar.
“Dan sepertinya aku juga harus mulai bangkit dan berhenti menyerah” Uajrnya. Aku mengangkat wajahku dan menatap matamnya. Bohong kalau aku bilang tidak terkejut dengan apa yang baru saja di katakannya. Dia bahkan tidak masuk kedalam kategori apapun di dalam kelapaku ini. Bangkit dari menyerah? Orang sepertinya? Yang benar saja. Jika ia benar – benar bangkit sepertinya lingkunganku bisa menjadi kategori derajat terendah baginya.
“Ya sudah, ayo tidur. Aku sudah menyiapkan Kasur satunya untukmu. Besok kerja seperti biasakan, jangan begadang” ia berdiri meninggalkanku yang masih mematung. Dunia benar – benar kejam. Sepertinya di banding dengan istilah ‘mereka yang pernah bertemu moster dunia’ Wanita hantu adalah si monster dunia itu sendiri.
Semenjak kejadian menginap itu, si Wanita hantu tidak pernah datang mengunjungi kedai lagi. Agak sayang karena itu berarti tidak akan ada pelanggan baru. Aku mulai memikirkan kategori yang waktu itu kita bicarakan. Bukan mengubah tentang kategori ‘Orang Pasrah’, kali ini aku memperluas pemahaman tentang kata pasrah itu sendiri. Aku membuatnya menjadi beberapa kategori baru. ‘Mereka yang Menyerah’ dan ‘Mereka yang Penakut’. Kategori orang pasrah tetap ada di benakku, karena mungkin si anak pelajar merupakan salah satu darinya. Kalian tau, sekarang ia rutin meminjam buku dari perpustakaan untuk mengejar beasiswa perguruan tinggi. Aku cukup terkejut. Dan si anak ibu ATK sesekali datang ke sebuah Sekolah Dasar di dekat sini untuk mendengarkan apa yang sedang di terangkan sang guru lewat jendela.
Tapi kutukan kedai yang membawa kesuraman ini tidak bisa dihilangkan. Beberapa hari yang lalu aku melihat berita di temukannya mayat seseorang di dekat wilayah ini (lagi) dan foto korban yang secara ilegal tersebar luas terlihat tidak asing. Ia si orang baru dengan jaket hitam, masker, dan kacamata hitam. Pakaiannya masih sama persis seperti hari itu. Ini bukan berita pertama, sudah sekitar beberapa bulan ini sering ditemukan orang tewas di sekitar wilayah tempatku bekerja ini. Dan si kacamata hijau yang waktu itu pernah ku bahas juga merupakan salah satu korban. Pihak berwajib masih mencari tau siapa pelaku. Motif korban di bunuh juga tidak jelas, hanya saja rambut semua korban di potong dengan sangat berantakan. Karena semua korban merupakan pria, mungkin tingkat kemanan untuk diriku masih dibilang cukup tinggi.
Sekarang ini hari libur, tapi tidak ada kemungkinan bahwa jumlah pelanggan yang datang akan meningkat. Nihil. Ini masih pukul 10 pagi tapi rasanya sudah sangat membosankan.
Pintu kedai terbuka lebar menunjukan tiga sosok manusia. “Wah, kombinasi macam apa ini?” Si Wanita hantu datang Bersama si pria yang datang terlalu cepat dan juga si pelajar.
“Wah, si pelajar ini terlihat jinak sekarang, terlalu banyak membaca buku?” tanyaku yang hanya di balas dengan cengiran canggung dan kepala yang digaruknya dengan kikuk. Kemana sikap premannya itu? Apa menghabiskan waktu lama di perpustakaan membuatmu menjadi anak baik? Aku dengar dia tidak pernah meninggalkan perpustakaan yang dibuka selama 24 jam itu.
“Kau melihat berita baru pagi ini?” tanya si pria yang biasa datang pagi itu. Aku mengangguk, nampaknya itu memang berita yang menghebohkan.
“Katanya semalam ia habis bertemu korban, loh. Makanya perasaannya menjadi tidak karuan sekarang” Jelas si Wanita hantu. Pantas saja kedua pria itu tampak aneh. Dibanding wajah suram atau menyerah, mereka lebih terlihat seperti sedang ketakutan.
“Aku yang baik hati ini ingin traktir mereka, tolong masakan sesuatu dong. Hehe, lama kita tidak bertemu bukan?” Si Wanita hantu mulai memilih meja dan mengajak kedua pria itu untuk duduk bersamanya. Pintu kedai kembali di buka.
“Kakak, aku dapat buku dari guru di sekolah itu. Ayo ajari aku membaca” Si anak ibu ATK datang dengan ceria sembari memamerkan buku barunya.
“Wah, si kakak kedai harus menyiapkan pesananku dulu. Sini, aku yang ajarkan. Kamu juga bisa tanya – tanya ke kakak yang selalu mengurung diri dalam dunia buku ini juga loh”Si Wanita hantu mengajak anak ibu ATK untuk bergabung bersamanya. Kombinasi yang menjadi semakin aneh, aku harus mencari alasan agak tidak ditarik kedalam rombongan orang aneh itu.