Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Kebenaran yang Jauh Lebih Kelam
0
Suka
121
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Zaki terbangun dengan kepala berdenyut dan jantungan tak menentu. Cahaya pagi menyelinap lewat tirai kamarnya, tapi ada yang salah. Ranjang di sisinya kosong. Nila, pacarnya, tak ada di sana. Biasanya, aroma kopi dan tawa lembut Nila sudah memenuhi ruangan. Tapi pagi ini, hanya sunyi.

“Nil?” panggilnya, suaranya serak. Tak ada jawaban. Zaki meraba ponselnya—tak ada pesan, tak ada panggilan. Dia buru-buru memeriksa lemari: pakaian Nila masih ada, tapi terasa asing, seperti milik orang lain. Jantungannya kian kencang. Dia menelpon nomor Nila. “Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar,” kata suara operator.

Panik, Zaki menghubungi sahabatnya, Adli. “Ad, kamu lihat Nila? Dia nggak ada di rumah.”

Adli terdiam di ujung telepon. “Nila? Siapa itu, Ki?”

Zaki membeku. “Pacarku, Nila! Kamu ketemu dia minggu lalu di kafe!”

“Bro, kamu nggak punya pacar. Kamu sendiri ke kafe itu. Cuma pesan dua kopi, terus minum sendirian.” Suara Adli penuh kebingungan.

Zaki memutuskan telepon, napasnya tersengal. Dia buru-buru membuka galeri foto di ponselnya. Harus ada bukti—selfie mereka di pantai, foto candid Nila di taman. Tapi galerinya penuh dengan foto dirinya sendiri. Sendirian. Bahkan di latar belakang tempat yang seharusnya ada Nila, hanya ada kekosongan.

“Apa-apaan ini?” gumamnya, tangannya gemetar. Dia berlari ke rumah ibunya, berharap ada jawaban. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan mata penuh iba. “Zaki, sayang, kamu nggak punya pacar. Kamu sendiri selama ini.”

Zaki menolak percaya. Dia kembali ke rumahnya, membongkar setiap sudut, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengembalikan Nila ke dalam hidupnya. Di laci meja kerjanya, dia menemukan sebuah gelang kecil dengan liontin berbentuk bulan sabit—hadiah ulang tahun dari Nila, atau setidaknya begitu yang dia ingat. Tapi ketika dia memperhatikan lebih dekat, liontin itu terasa terlalu ringan, seperti plastik murahan. Zaki mengerutkan kening, mencoba mengingat kapan Nila memberikannya. Ingatannya buram, seperti mimpi yang perlahan memudar.

Zaki tak menyerah. Dia mulai mencari petunjuk. Di saku jaketnya, dia menemukan gincu merah tua dengan merek yang tak dikenalnya. Dia membawanya ke toko kosmetik terdekat. “Merek ini nggak ada di pasaran,” kata penjaga toko, memandang Zaki dengan curiga. “Mungkin barang antik.”

Malam itu, Zaki bermimpi. Nila berdiri di ujung lorong gelap, rambutnya basah, matanya kosong. “Kamu lupa, Zaki,” bisiknya. “Kamu yang membuatku.” Zaki terbangun dengan keringat dingin, jantungnya berdegup kencang. Di samping bantalnya, ada sehelai rambut panjang—persis seperti rambut Nila.

Dia mulai mencurigai dirinya sendiri. Apakah dia gila? Dia membuat janji dengan psikolog, Dokter Mutia, yang mendengarkan ceritanya dengan ekspresi datar. “Nila, ya?” kata dokter itu, suaranya hati-hati. “Menarik. Tahun lalu, saya punya pasien bernama Nila. Dia... meninggal. Overdosis.”

Zaki merasa dunianya runtuh. “Mustahil. Nila hidup! Saya bersama dia selama setahun!”

Dokter Mutia memandangnya lama. “Zaki, otak manusia bisa menciptakan ilusi untuk melindungi diri dari trauma. Apakah kamu pernah kehilangan seseorang?”

Zaki teringat mantannya, Manda. Mereka putus setahun lalu setelah pertengkaran hebat. Manda pergi begitu saja, dan Zaki jatuh ke lubang depresi. Tapi Nila muncul setelah itu, seperti cahaya di kegelapan. Nila yang lembut, yang selalu tahu cara membuatnya tersenyum. Nila yang... sempurna.

Sebelum meninggalkan klinik Dokter Mutia, Zaki diberi buku catatan kecil untuk mencatat mimpinya. “Ini akan membantu kita memahami apa yang terjadi di pikiranmu,” kata Dokter Mutia dengan senyum tipis yang sulit dibaca. Malam itu, Zaki mulai menulis. Tapi setiap kali dia mencoba mengingat wajah Nila, gambaran itu berubah—kadang wajahnya menjadi Manda, kadang wajahnya memudar sama sekali. Tulisannya menjadi tidak teratur, penuh coretan, seperti pikirannya yang kacau. Di halaman terakhir, tanpa sadar, dia menulis kalimat yang sama berulang-ulang: “Dia nyata. Dia nyata. Dia nyata.”

Zaki mulai memperhatikan hal-hal kecil yang aneh di sekitarnya. Cermin di kamar mandinya seolah memantulkan bayangan yang salah—kadang dia melihat sekilas sosok perempuan di belakangnya, tapi saat menoleh, tak ada siapa-siapa. Suara langkah kaki samar terdengar di malam hari, selalu berhenti di depan pintu kamarnya. Zaki mencoba mengabaikannya, tapi rasa takutnya kian membesar. Apakah Nila benar-benar ilusi, atau ada sesuatu yang lebih gelap yang mengintai di balik semua ini?

***

Zaki mulai menggeledah rumahnya, mencari apa saja yang bisa membuktikan Nila nyata. Di loteng, di antara kardus berdebu, dia menemukan buku tua dengan sampul kulit. Di dalamnya, tulisan tangan yang aneh—milik Nila. Halaman demi halaman berisi catatan tentang Zaki: kebiasaannya, ketakutannya, bahkan mimpi-mimpinya. Di halaman terakhir, tertulis:

“Jika kau membaca ini, berarti eksperimenku berhasil. Aku bukan manusia, Zaki. Aku adalah proyeksi dari keinginanmu. Kau menciptakanku karena kesepian. Tapi saat kau sembuh, aku akan lenyap. Maaf, aku tak bisa tinggal.”

Zaki menutup buku itu dengan tangan gemetar. Dia teringat adegan-adegan kecil: pelayan kafe yang selalu membawa satu kopi meski dia memesan dua, teman-teman yang memandangnya aneh saat dia menyebut Nila, foto-foto yang tak pernah ada. Semuanya mulai masuk akal, tapi juga menghancurkan.

Saat Zaki hendak turun dari loteng, dia mendengar suara berderit di belakangnya. Dia menoleh, tapi hanya ada bayangan yang bergerak samar di sudut ruangan. Jantungnya berdegup kencang. Di lantai, dia melihat sesuatu yang tadi tak ada di sana: sebuah cermin kecil, retak di tengahnya. Di pantulan cermin itu, Zaki melihat dirinya—tapi di belakangnya, ada Nila, tersenyum dengan mata yang kosong. Zaki menjatuhkan cermin itu, dan pecahannya berserakan di lantai, masing-masing memantulkan fragmen wajah Nila yang berbeda-beda.

Malam itu, Zaki pingsan di loteng. Ketika sadar, dia berada di ranjang rumah sakit, dikelilingi alat-alat medis. Dokter di sisinya menjelaskan dengan suara pelan, “Kamu koma selama enam bulan, Zaki. Overdosis obat. Kami hampir kehilanganmu.”

Zaki memandang kosong ke langit-langit. “Nila... dia nyata, kan?”

Dokter menggeleng. “Kamu menciptakan dia di pikiranmu. Mungkin karena trauma.” Dia menunjuk foto di meja samping ranjang—foto Manda, mantannya. Wajahnya mirip Nila, tapi lebih... manusiawi. “Kau menciptakan versi sempurna dari dia yang pergi,” kata dokter.

Zaki menutup mata, air mata mengalir. Nila bukan hanya ilusi. Baginya, Nila adalah segalanya. Tapi kini, dia harus belajar hidup tanpa bayangan yang dia ciptakan sendiri.

Di hari-hari berikutnya, Zaki mencoba menyusun kembali hidupnya. Tapi setiap malam, dia masih merasa ada yang mengawasinya. Suara bisikan samar terdengar di kegelapan, memanggil namanya dengan nada yang terlalu mirip dengan suara Nila. Zaki mulai bertanya-tanya: jika Nila hanya ilusi, mengapa dia masih merasakan kehadirannya? Atau, mungkin saja, Dokter Mutia menyembunyikan sesuatu—sesuatu yang berkaitan dengan kematian pasien bernama Nila yang dia sebutkan.

***

Di sudut ruangan, Zaki melihat gincu merah tua itu lagi, tergeletak di atas meja. Tapi kali ini, ada noda darah di ujungnya. Ingatan samar muncul: pertengkaran dengan Manda, amarah yang membuncah, dan tangannya yang berlumur darah. Apakah Nila benar-benar ilusi? Atau mekanisme otaknya untuk menutupi kebenaran yang jauh lebih kelam—bahwa dia sendiri yang menghapus Manda dari hidupnya, secara harfiah?

Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Kebenaran yang Jauh Lebih Kelam
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
PEREMPUAN LUKISAN
Arina Maulidia
Cerpen
Ranger Rigies Forest
Ron Nee Soo
Flash
Penantian
Faristama Aldrich
Skrip Film
Kisah Kasih Kolor Ijo
Nurkholil Setiawan
Cerpen
Bronze
Misteri Catatan yang Terkoyak
Rosa L.
Skrip Film
Misteri bayangan di koridor sekolah
zaidan Ammar ghazani
Flash
Bronze
Keluarga
Hesti Ary Windiastuti
Flash
Babi Babi Babi
Hendra Purnama
Cerpen
Bronze
Kolam Ikan
Hekto Kopter
Flash
Endemi dari Peri
MosaicRile
Flash
RUN!
Alviona Himayatunisa
Cerpen
Bronze
MUTASI DARI KAMAR BEDAH
Drs. Eriyadi Budiman (sesuai KTP)
Flash
Lukisan Bedhaya Ketawang (I)
Rifatia
Flash
Jendela Kantor
Agung Prasetiarso
Rekomendasi
Cerpen
Kebenaran yang Jauh Lebih Kelam
Ron Nee Soo
Cerpen
Ranger Rigies Forest
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
ada cinta luar biasa yang engkau terima tanpa harus bersusah payah mencarinya
Ron Nee Soo
Cerpen
Memahat Jalan
Ron Nee Soo
Cerpen
Kehendak Ronan
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Artis Figuran
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Saldo anda Rp.0
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Wifi Gratis
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Cerita-cerita Kuno Winasari
Ron Nee Soo
Flash
Waktu Bahagia
Ron Nee Soo
Cerpen
Anak Mimpi
Ron Nee Soo
Cerpen
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Dua Tahun Lagi
Ron Nee Soo
Cerpen
Bayang
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Ekspektasi
Ron Nee Soo