Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kebahagiaan untuk Ninik
1
Suka
65
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Biiip… Biiip…

Suara telepon di kamar itu sama sekali tidak diacuhkan oleh Ninik. Remaja itu sedang tidur nyenyak, memimpikan sepiring kue tart yang bertabur selai stroberi dan gula putih. Suara telepon yang kian keras membuat mimpi Ninik terganggu.

Telepon sialaaan!!! gerundel Ninik dalam hati. Dia terbangun, lalu menyambar telepon yang sedari tadi berbunyi. Ditempelkannya telepon itu di telinganya, sementara dia duduk di atas kursi.

“Halooo… Ninik. Lagi ngapain elu? Aku mau cerita, nihh…” terdengar suara di ujung telepon.

“Siapa, nih?!” seru Ninik agak kesal.

“Diiih… kok, nggak kenal ‘ama bestie-nya sendiri. Aku Ristya,” jawab suara itu.

“Buat apa telepon di pagi-pagi buta seperti ini? Aku lagi tidur, kocak!” kata Ninik semakin kesal, matanya juga mengantuk.

Ristya tertawa. “Makanya, habis shalat Subuh itu jangan tidur. Belajar, dong! Aku mau cerita tentang anak tetanggaku yang habis jatuh.”

Ninik menghela napas. Matanya sudah semakin mengantuk. Nyaris saja Ninik jatuh ambruk dari kursinya.

“Kemarin, kan, aku habis mengantar klepon ke anak tetanggaku, namanya Boby. Dia masuk, bawa kleponnya. Aku diajaknya pula. Nah, Boby pun kembali, dia bawa kantong plastik isi kue kacang. Katanya itu buatku. Pas mau kasih kuenya ke aku, tiba-tiba… Bruk! Boby jatuh tergelincir. Celananya kotor kena tanah basah. Mukanya juga kena pasir. Untungnya kuenya sempat kuselamatkan. Tapi kasihan si Boby. Celananya kotor… mukanya juga kotor. Aku ngakak pas kejadian itu. Hahaha…”

“Itu namanya nggak lucu, Ris!” tukas Ninik. “Orang jatuh, kok, diketawain. Bayangin aja kamu yang jatuh, terus kutertawakan, mau nggak?”

“Hahaha, tapi mukanya Boby itu kocak banget pas jatuh. Siapa coba yang nggak ngakak lihat ekspresinya?”

Ninik pun terdiam.

“Udah, ya? Aku mau lanjut tidur. Lebih baik kamu cerita aja sama Luna!” kata Ninik kemudian.

“Kamu itu, jangan mentang-mentang kita ini lagi liburan. Belajar, Nik! Materi pelajarannya makin susah, kocak!” ujar Ristya sambil tertawa geli.

“Memangnya kenapa? Aku cuma tidur sebentar, kok. Nanti, kan, dibangunkan mamaku!” balas Ninik. “Hei, Ris, perasaan dari tadi kita ngomong ‘kocak’ terus. Kenapa, ya?”

“Kita ini memang kocak, kok!” kata Ristya, yang membuat mereka berdua tertawa bersamaan. 

“Eh, Nik, udah dulu, ya, teleponannya. Aku dipanggil sama bundaku. Nanti kita lanjutkan lagi.”

“Ya, udah kalau begitu. Aku juga dari tadi menantikan kesempatan ini. Bye, bye, Ristya.”

Setelah telepon ditutup, Ninik berbaring di ranjangnya, bersiap untuk tidur. Namun, entah kenapa, matanya kini tak mau tertutup.

“Duh, gara-gara Ristya, jadinya aku nggak bisa tidur!” batinnya.

Dia membolak-balik tubuhnya, dan berguling ke sana kemari. Tiba-tiba…

GUBRAK!

“Duh, ada apa, sih, Nik?” terdengar suara Mama di luar. Mama bergegas membuka pintu. “Dari tadi berisik saja. Loh, Nik, kamu di mana?”

Mama mencari Ninik, sampai menemukan putrinya itu berada di samping kanan tempat tidur, sedang berbaring telentang dan memegang pantatnya.

“Ya, ampun, Ninik, kamu nggak apa-apa?” tanya Mama sambil berlutut di sebelah Ninik. Dia mengelus wajah putrinya yang kesakitan.

 Rupanya Ninik terjatuh dari ranjangnya dan berdebum keras. Pantatnya jadi sakit, tapi untung saja kepalanya tidak apa-apa. Sambil meringis kesakitan, Ninik berdiri dan kemudian berbaring tengkurap di ranjang.

“Sakit sekali, ya? Mau Mama pijat?” tawar Mama.

“Iya, Ma…” jawab Ninik dengan suara lirih.

Dengan perlahan, Mama memijat pantat dan kaki Ninik. Setelah itu, disuruhnya Ninik berbaring terus di ranjang supaya tidak sakit.

Ninik pun tertidur setelah Mama pergi. Dia baru terbangun ketika Mama mengetuk-ngetuk pintu dan memintanya untuk sarapan. Dengan perlahan, Ninik berjalan dari kamar ke dapur.

“Ayo makan dulu. Nanti kursinya dialasi bantal biar tidak terlalu sakit,” ujar Mama sambil merangkul anaknya.

Di alas kursi, Mama meletakkan sebuah bantal empuk dan juga dua lembar kain. Ninik duduk di atasnya. Sambil menahan perih, Ninik sarapan bersama Mama dan Papa.

“Ma, buat apa kursinya Ninik diberi bantal?” tanya Papa begitu melihat bantal yang diduduki Ninik.

“Itu, Pa, si Ninik habis jatuh dari tempat tidurnya. Pantatnya sakit, dan sudah Mama pijat. Tapi katanya Ninik masih sakit, jadi kursinya diberi bantal,” terang Mama sambil menyuapkan sesendok sayur lodeh ke mulutnya.

“Lain kali hati-hati, ya, Nik. Untung kepalamu nggak kenapa-kenapa. Kalau sampai kamu jatuh, kena otakmu, gimana?” nasihat Papa lembut.

Ninik mengangguk.

Sehabis makan dan mandi, Ninik membaca komik di sofa. Sementara sang mama memasak dan sang papa bekerja, dia santai-santai tiduran di atas sofa. Kadang, Ninik melihat TV bersama kakak perempuannya, Ayra. Tak lama kemudian, terdengarlah suara telepon di kamar Ninik.

“Nik, ada telepon, tuh,” kata Ayra.

“Malas, Kak! Lebih baik aku nonton TV!” jawab Ninik.

“Hei, jawab dulu sana teleponnya. Kalau ternyata itu gurumu, bagaimana?” Ayra menyikut punggung adiknya.

Ninik diam saja. Ayra pun pergi ke kamar Ninik untuk menerima telepon.

“Halo, siapa ini?” tanya Ayra.

“Apakah ini Ninik?” jawab suara di seberang.

“Bukan, saya kakaknya. Ini siapa?”

“Oh, maafkan aku, ya, Kak! Aku Luna, sahabatnya Ninik,” jawab suara itu.

“Ah, rupanya kamu, Luna! Aku Kak Ayra. Ninik-nya masih nonton TV. Boleh minta waktunya sebentar buat memanggilkan Ninik?”

“Boleh, kok, Kak. Aku siap menunggu.”

Ayra pun pergi ke ruang tamu.

“Hoi, Nik, ada telepon, tuh, dari temanmu, si Luna! Katanya dia mau bicara sama kamu. Cepat sana!” katanya dengan tegas.

Akhirnya, Ninik terpaksa pergi ke kamarnya dan menerima telepon dari Luna. Semenjak dibelikan telepon, teman-teman Ninik jadi terus meneleponnya dan memberondongnya tanpa ampun.

“Apa?” kata Ninik sambil mendekatkan telinganya ke telepon.

“Halo, Nik, apa kabar? Aku Luna. Kamu ada rencana jalan-jalan, nggak?” tanya Luna.

“Nggak. Memangnya mau apa?”

“Kita ke taman, yuk! Kita main-main dan jajan di toko. Aku udah ajak Ristya, tapi katanya dia ada les pagi hari, jadi nggak bisa ikut.”

“Ajak yang lain, dong! Aku capek, nih, cuma mau rebahan.”

“Tapi yang lain pada nggak bisa kuhubungi. Ayolah, Nik, sesekali kita bermain di taman. Boleh, ya? Please, please...

Ninik mendesah. “Okelah kalau begitu. Aku mau ikut asalkan kamu traktir aku es potong. Soalnya uangku habis, dan aku sungkan kalau minta sama orangtua atau Kak Ayra.”

“Beres! Makasih, ya, Nik, karena sudah mau kuajak ke taman. Kamu memang bestie yang terbaik!” seru Luna.

Ninik segera menutup telepon. Dia mengenakan jaketnya dan juga celana panjang. Begitu hendak keluar rumah, Mama mencegatnya di pintu.

“Mau ke mana, Nik?”

“Ke taman, mau main sama temanku.”

“Bukannya pantatmu masih sakit, ya? Kenapa tidak istirahat saja?”

“Yah… aku dipaksa sama temanku. Akhirnya aku turuti saja kata-katanya.”

Berbekal sebuah ponsel, Ninik pergi ke taman. Sampai di sana, ternyata Luna belum datang. Sambil duduk di atas bangku kayu, Ninik menge-chat Luna di sebuah aplikasi chatting warna hijau.

~NINIIIK~

Woi, Lun, kamu ini jd g sih ke taman??? Aku udh di taman. Cepetan, doooong…!!

Ninik menunggu dengan sabar. Tak lama kemudian, masuklah sebuah pesan di ponselnya.

~LOVELY LUNAAA~

Iya, Nik, aku masih dalam perjalanan. Sabar dulu, ya….!

Ninik seketika frustrasi. Dimasukkannya ponsel ke dalam saku jaket, lalu dia jatuh terlelap.

Begitu dia terbangun, Ninik menyadari bahwa Luna sudah tiba di taman. Luna naik sepeda dan membawa sesuatu di tasnya.

“Apa itu, Lun?” tanya Ninik.

Tanpa banyak bicara, Luna memberi sebungkus kue cokelat ke sahabatnya. Mata Ninik langsung berbinar-binar.

“Wah, terima kasih, ya, Luna!” sahutnya bahagia. “Ini kamu bikin sendiri? Wah, kalau ini bikinanmu, aku, sih, bakal memakannya sampai habis ludes!”

“Ini buatan mamaku, Nik. Kebetulan, mamaku baru belajar cara bikin kue cokelat. Dia pinjam buku resep kue ke tetangga, lalu dibuatnya kue itu. Kemudian, disuruhnya aku memberikannya padamu, buat mencicipinya!”

Ninik membuka bungkusan itu. Diambilnya sepotong kue, lalu dimakannya.

“Wow, rasa kuenya benar-benar lezat!” komentarnya. “Choco chips di dalamnya terasa enak dan manis. Mamamu benar-benar koki yang hebat!” 

Mereka berdua mengobrol santai sambil makan kue. Tiba-tiba saja, kerongkongan Ninik kering.

“Aku haus. Kamu bawa minum, Lun?” tanyanya.

“Nggak. Kamu mau beli es? Aku traktir, ya!” jawab Luna.

“Lun, kamu baik sekali terhadapku. Kamu udah kasih kue, terus traktir aku beli minuman. Terima kasih, ya, Luna! Uangmu besok kuganti, deh!”

“Nggak perlu, Ninik. Aku ikhlas traktir kamu. Kita ini, kan, memang bestie yang hebat. Sesama teman harus saling tolong-menolong!”

Mereka berdua pergi ke warung. Luna memesan segelas es jeruk dan segelas es teh. Mereka menikmati minuman itu di warung.

“Untung, ya, aku jadi ikut! Kalau tidak, aku nggak bakal diberi kue sama kamu dan ditraktir es. Luna, kamu memang baik sekali!” puji Ninik.

“Tidak usah berlebihan, Ninik. Aku cuma mau membahagiakan dirimu. Kalau kita bisa membahagiakan orang lain, maka kita akan dibahagiakan oleh mereka!” kata Luna sambil menyeruput es jeruknya.

Setelah berkumpul cukup lama, mereka akhirnya pulang ke rumah masing-masing.

“Sampai jumpa, Nik! Aku mau ke tempat lesnya Ristya, buat kasih kue cokelat ini ke dia!” kata Luna.

“Oke kalau begitu. Sampai jumpa juga, Luna!” balas Ninik sambil melambaikan tangan.

Dalam perjalanan pulang, Ninik merasa bahagia. Ternyata, bila kita diajak ke suatu tempat, kemungkinan besar akan mendapatkan kebahagiaan dan pelajaran hidup di situ.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Kisah yang Belum Usai
Husni Magz
Cerpen
Kebahagiaan untuk Ninik
Kiara Hanifa Anindya
Novel
Bronze
Cinta Tapi Beda
Imajinasiku
Novel
Bronze
1121681
Delta
Komik
Berharap Indah
AmaySa
Novel
Guruku Yang Hilang Dalam Pandemi
ajitio puspo utomo
Novel
Bronze
BETTER HALF
KUMARA
Skrip Film
Alice in her own Wonderland
Nadia N
Cerpen
Hujan di Musim Panas
kecoa writer
Novel
Bronze
Certainties
S. F. Hita
Novel
Gold
Turtles All The Way Down
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Janji Amanda
Larasatiameera
Flash
Arini
Ummy Wachida
Novel
Bronze
Our Promise
Mufara324
Cerpen
Without You
lidia afrianti
Rekomendasi
Cerpen
Kebahagiaan untuk Ninik
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Belanja
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Guru Marah
Kiara Hanifa Anindya
Novel
Dunia dalam Novelku
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Gosip yang Terhenti
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Sebuah Gambar dan Sebuah Puisi Untuk Tahun Baru
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Trend
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Misteri Kertas Milik Tony
Kiara Hanifa Anindya
Flash
2024 dan 2025
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Ditakuti Anak-anak
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Isi Bekal Amel
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Bullying
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Di Sebuah Gua
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Kamu Mau Tahu Apa Tidak?
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Karyawan yang Malas Membaca
Kiara Hanifa Anindya