Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
KEAJAIBAN TETANGGA KOMPLEK
Kami tinggal di sebuah komplek perumahan yang letaknya tidak jauh dari kampus negeri di jalan Perjuangan, Kota Udang. Gapura megah dengan corak Mega Mendung akan menyambut kedatangan tamu dan penghuni komplek, ketika malam hari lampu-lampu yang menyala menambah keindahan Mega Mendung, batik ciri khas kota ini; melewati gerbang utama sekaligus melewati pos satpam pertama, setiap pengendara yang melewati pos satpam akan ditanya maksud dan tujuannya, berbeda dengan kendaraan yang memiliki stiker Mega Mendung: stiker penanda warga yang tinggal di komplek tersebut.
Selanjutnya akan dijumpai pertigaan, jalan yang mengarah ke kiri adalah lokasi menuju rumah-rumah di blok C dan D terdapat pos satpam di belokan jalannya. Sedangkan jalan yang menuju ke kanan adalah lokasi menuju rumah-rumah di blok B, juga terdapat pos satpam dibelokan jalanya.
Jalan lurus akan melintasi rumah-rumah mewah dan besar: rata-rata setiap rumah itu memiliki lahan parkir lebih dari dua unit kendaraan roda empat, dapat dilihat dari luasnya lahan parkir di hampir setiap rumah.
Terus melaju melewati pos yandu, lapangan basket yang berdampingan dengan lapangan tenis, kemudian ada tugu putaran yang mengarahkan jalan menuju rumah-rumah di blok F, disampingnya terdapat mesjid megah berwarna hijau, kemudian dapat dijumpai pos satpam blok F.
Jalan sedikit lurus melewati mesjid, setelah melewati pos satpam, berbelok ke kiri adalah rumah-rumah yang berada di kawasan blok E, di sinilah rumah dinas kami berada.
Sebagai pendatang baru, sudah seharusnya kami mengikuti aturan dan kebiasaan para penghuni komplek, kulonuwun pada tetangga kiri-kanan serta melapor pada petugas RW dan RT setempat sudah menjadi kewajiban kami, dan hal tersebut terbiasa kami lakukan sejak suami berpindah-pindah tugas dari kantornya.
Bisa dikatakan para penghuni blok E adalah warga dengan rata-rata tingkat ekonominya serba kecukupan, hal tesebut dapat dilihat dari kendaraan yang terparkir di masing-masing rumah lebih dari satu – baik kendaraan roda dua atau empat – jika diperhatikan secara seksama setiap rumah memiliki lahan parkir untuk dua unit kendaraan roda empat, tetapi ada juga beberapa rumah yang sudah direnovasi sengaja menyediakan lahan parkir lebih luas karena memiliki kendaraan lebih dari dua unit.
Lalu bagaimana jika ada rumah yang hanya memiliki lahan parkir untuk dua unit kendaraan roda empat – untuk roda dua/motor lahan parkirnya bisa dikondisikan di setiap rumah – tetapi si penghuni rumah memiliki lebih dari dua unit kendaraan roda empat?
Nah, ini yang menjadi dilema untuk tetangga sebelahnya, seperti yang dialami oleh kami khususnya suamiku, ia sering kesulitan parkir karena tetangga seberang rumah kami sudah lebih dulu memarkir mobil di depan rumahnya dengan posisi semaunya, menghalangi jalan masuk mobil suamiku.
Dan rupanya, bukan hanya kami yang mengalami hal tersebut, teman kantor suamiku – yang juga menempati rumah dinas di komplek yang sama – tetangganya di sebelah kiri dan kanan memiliki banyak mobil, yang terkadang parkir semaunya sehingga menghalangi jalan masuk mobil teman suamiku itu.
Pernah suatu malam, suamiku pulang dengan wajah kesal dan mengomel.
“Harusnya parkir di jalan gang rumah mereka, sudah jelas tidak menghalangi jalan orang!”
“Mobil depan rumah lagi?”
“Bukan cuma satu, tapi berjejer dua sekaligus! Gimana mau masuk, terpaksa aku parkir di depan rumah. Terserah orang mau ngoceh apa! Mobil tidak bisa masuk terhalangi mobil rumah depan!”
Ketika itu, aku lekas mengusap pelan punggung suamiku, agar amarahnya mereda, sudah kesekian kalinya kejadian ini terjadi, mau dilaporkan RT kuatir akan menjadi perselisihan, tidak dilaporkan, keenakan juga tetangga seberang rumah yang sering semaunya dan merugikan kami.
Dan ajaibnya, besok pagi-paginya, kedua mobil yang malamnya menghalangi jalan parkir suamiku sudah menghilang berganti sepeda motor, pemandangan yang kami lihat adalah suamiku yang sengaja parkir mobil tepat di depan rumah seolah menghalangi mobil tetangga seberang rumah satunya. Sungguh sangat luar biasa.
Pernah juga suatu pagi, saat suamiku sudah bersiap memundurkan mobil, tiba-tiba parkir sebuah mobil tepat di depan tetangga seberang rumah kami, dan si empunya mobil buru-buru masuk ke dalam rumah, ia tidak memperdulikan posisi mobil yang diparkir semaunya, menghalangi mobil suamiku.
Aku dan suamiku hanya bisa bengong menatap pemandangan yang merusak mood booster kami di pagi hari.
Sebetulnya pemilik rumah itu adalah sepasang suami istri yang sangat kami hormati, usia pasangan tersebut sudah sepuh dan mereka cukup baik kepada kami, tetapi tingkah anak-anaknya yang menyebalkan jadi pokok perkara, dan sering sekali menguji kesabaran.
Rupanya, tidak menjadi jaminan bila tingkat kehidupan seseorang mapan dan berkecukupan mereka memahami apa arti hak dan kewajiban, serta bisa menjalankan toleransi dalam bertetangga.
Lalu, apa solusi parkir yang kami dapatkan? Tidak ada, nol besar, kami hanya bisa mengurut dada dan mengomel sejenak jika hal-hal yang menjengkelkan kembali terulang.
“Yang waras harus ngalah, jangan sama-sama jadi orang gila.”
Begitulah cara kami untuk meredakan amarah, aku dan suami saling mengingatkan, karena kami hanya sebagai pengontrak rumah, bukan pemilik rumah. Mungkin itu juga yang menyebabkan mereka berbuat semaunya, merasa sebagai pemilik rumah, penghuni lama, penghuni senior.
Aku sangat percaya dengan pepatah yang mengatakan, “Apa yang kita tanam itu yang akan kita tuai.”
Jika kita menanam kebaikan InsyaAllah kebaikan itu akan menjadi hasil panen yang baik untuk kita, dan jika kita menanam keburukan maka bersiaplah memanen hasil yang buruk dari perbuatan kita.
Dan salah satu manfaat yang kami dapatkan dengan memiliki tetangga ajaib seperti mereka adalah keahlian parkir, karena dipaksa parkir dengan segala kondisi yang ada, maka lebih mudah bagi kami jika mendapatkan lokasi parkir yang agak sulit, bisa karena terbiasa.
Agak berbeda jauh dengan tetangga sebelah kanan rumah kami, sepasang suami istri yang juga sudah sepuh, mereka hanya tinggal berdua, anak-anak mereka sudah punya kehidupan masing-masing, anak perempuan yang tinggal bersama mereka menjalankan bisnis travel sehingga sering keluar kota. Bu Haji dan Pak Haji begitu kami memanggilnya, pasangan yang sangat bertoleransi serta paham mengenai hak dan kewajiban dalam hidup bertetangga.
Suatu pagi, aku melihat Pak Haji memotong pohon yang menjulur ke halaman rumah kami, saat beliau melihatku, buru-buru beliau menghampiri dan meminta maaf padaku karena baru sempat membereskan halaman rumahnya. Siangnya, beliau mengantarkan sekantung lengkeng hasil panen dari pohon di depan rumahnya, bukan hanya sekali itu saja, sudah sering kali kami mendapat kiriman dari pasutri tersebut, dan tentunya begitu pula sebaliknya dengan kami, mengirim makanan kepada mereka.
Menurut kami, mereka adalah pasutri sepuh sederhana yang patut menjadi contoh untuk warga lainnya, menjalankan toleransi, hak, dan kewajiban dalam bertetangga, serta selalu menjaga keharmonisan antar tetangga dengan baik.
Dan sebetulnya, tidak ada masalah dengan tetangga sebelah kiri rumah kami, satu sama lain saling menghargai, hanya saja pembantu dan sopir mereka yang terkadang bikin jengkel. Meski tidak sering, beberapa kali sopir dan pembantu tetangga sebelah kiri rumah kami, memarkir motor di depan rumah kami, sedikit menghalangi jalan parkir mobil, padahal di halaman rumah tetangga kami itu masih tersedia lahan parkir kosong. Setelah kami perhatikan, rupanya mereka sengaja memarkir motor di depan rumah kami karena tempatnya teduh, tepat di bawah pohon mangga.
Itu masalah toleransi, hak, dan kewajiban dalam bertetangga yang kami alami selama tinggal di komplek ini. Bukan hanya itu saja sebetulnya, ada juga beberapa kasus yang dialami oleh tetangga lainnya, mungkin tidak berbeda jauh dengan komplek perumahan lainnya, ada saja yang terjadi antar tetangga.
Namun ada kasus penting yang menjadi dilemma yang cukup berat di komplek kami, masalah yang cukup sensitif dan dapat memicu perselisihan antar tetangga.
Mahkluk berbulu berkaki empat, yang bola matanya akan bercahaya di kegelapan. Ya, betul sekali, kucing. Sebagian warga komplek memiliki kucing peliharaan, memang tidak bisa ditampik, kucing adalah hewan lucu yang menggemaskan, aneka warna bulunya yang menarik serta tebal, dan hangat untuk dipeluk.
Akan tetapi sebagian warga lainnya yang tidak memelihara kucing, merasa terganggu dan dirugikan karena terlalu banyak populasi kucing di komplek yang mendatangkan masalah.
Seperti kisahku di suatu pagi, saat melihat makhluk berbulu berkaki empat itu melenggak-lenggok dengan santai tidak menghiraukan sekitar, setelah puas memamerkan keindahan bulu-bulu coklat susunya yang tebal, ia merebahkan tubuhnya di aspal yang terkena sorot matahari.
Sementara aku di dalam mobil, sibuk mengatur napas dengan baik, menjaga agar sirkulasi udara dalam tubuh berjalan normal, agar tidak terpengaruh oleh panasnya suhu di dalam otak karena tingkah makhluk berbulu yang sejak tadi menghentikan laju mobilku, untung saja tujuanku hanya si Mbak Sayur, tidak sedang terburu-buru.
Sebelum klakson mobilku berbunyi, seorang tetangga sebelah rumah keluar membawa sebuah wadah, hanya dengan ucapan pendek,
“Pus … pus ….”
Dan gerakan tangan seolah memanggil, kucing berbulu coklat susu itu bangun dan menghampiri tetanggaku, mengeong pelan lalu menikmati sarapan paginya dengan tenang.
Aku menghela napas, mengusap dada, dan meneruskan perjalanan. Namun baru sampai belokan pertama, seekor kucing kuning belang tiga melintas seenaknya membuatku menghentikan mobil mendadak. Kemudian mataku tersihir, mengikuti lincahnya gerakan kucing kuning belang tiga itu yang dengan sigap meloncat ke atas mobil, ia mendarat tepat didekat antena mobil, dan tanpa rasa bersalah kedua kakinya merobohkan antena yang tadinya berdiri tegak, dan ia merebahkan tubuhnya dengan santai menindih antena mobil itu.
Oh, rupanya kucing yang membuat antena mobilku tidak di posisi yang benar, dan mengganggu kegiatan rutinku mendengarkan radio saat berkendara, dan menyebabkan siaran radio favoritku menghilang, dan aku harus menyetel ulang agar frekuensi radio kesukaanku tersimpan kembali.
Kucing adalah makhluk yang menjadi musuhku karena terlalu sering mengusik ketenangan dan kenyamanan hidupku. Jumlah kucing di komplek tempat tinggal kami sangat banyak, mungkin karena hampir setiap rumah memelihara kucing, ditambah kucing liar yang berdatangan karena keberadaan kucng-kucing peliharaan.
Beberapa bulan lalu, ada suara ngeong-ngeong di atas gudang, lalu tiba-tiba di halaman belakang ada dua ekor anak kucing berlari-lari kecil seperti mencari induknya. Mungkin mereka bingung dan tersesat di tempat baru, yang satu bulunya berwarna abu tua di bagian kepala, leher dan badannya berwarna putih campur dengan abu muda. Sedangkan yang satunya berwarna abu muda dari kepala hingga ekornya, hanya ada sedikit warna putih di kaki, leher, dan badannya.
Kedua anak kucing itu sangat menggemaskan, anak perempuanku yang berusia sebelas tahun senang melihat tingkah mereka yang tidak mau diam, menarik-narik keset handuk, mengeong pelan ketika melihat kami.
“Boleh kita pelihara, Ambu?”
Kata-kata itu yang sejak awal aku kuatirkan terlontar dari mulut anak perempuanku, dan tentunya jika hanya memberi makan, dan mengajak kedua anak kucing itu bermain sangat mengasyikan, akan tetapi anak perempuanku harus tahu tugas dan tanggung jawabnya ketika ia ingin memiliki binatang peliharaan.
“Kita tanya abah, ya. Emangnya Mahira mau bersihkan pup dan pipis kucing?”
Sebelum menjawab, aku perhatikan kedua bola mata dan mulut anak perempuanku bergerak-gerak, itu menandakan ia sedang berpikir.
“Kalau Mahira janji bakal rajin membersihkan pup dan pipisnya, anak-anak kucingnya boleh dipelihara?”
Mahira memasang mimik wajah memelas ciri khasnya yang selalu sukses mempengaruhi keputusanku, dan mengatakan “iya” kepadanya.
Hari pertama berjalan lancar antara Mahira dan kedua anak kucing yang menggemaskan itu, namun di hari kedua keluhan mulai keluar dari mulut Mahira,
“Ambu, kucingnya pup di keset. Mahira enggak mau bersihinnya, bau!”
Kedua alis Mahira menyatu, mulut dan hidungnya tertutupi oleh kedua tangannya.
“Ingat janjinya, katanya mau bersihkan pup dan pipis anak-anak kucingnya.”
“Gak jadi deh, pipisnya bau pesing, terus mereka jorok.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Mahira, sudah dapat diduga, hanya bertahan dua hari saja. Dan tentunya dengan senang hati aku menyetujui permintaan Mahira, memberikan anak-anak kucing itu pada tetangga yang mau memeliharanya.
Akh, gara-gara kucing-kucing itu, aku jadi lupa tujuan awalku. Setelah mengumpulkan kesadaran dan menyusun ulang jadwal otakku, aku segera meluncur menuju si Mbak Sayur yang mangkal tidak jauh dari lapangan tenis di Bima, aku harus berbelanja sayur-mayur untuk mengisi kulkas yang sudah kosong melompong.
***
Tadi malam hujan turun sangat lebat, pagi ini masih terasa sisa-sisa bumi basah tersiram air hujan. Aku membuka jendela kamar, dan bersiap-siap untuk menghirup udara pagi, dan ketika jendela telah terbuka lebar, aku tidak mau menyia-nyiakan udara baru yang masih segar tentunya – itu yang ada dalam pikiranku – layaknya vacuum cleaner kedua lubang hidungku menyedot udara yang masuk melalui jendela dengan sekuat-kuatnya.
Huweek …!!!
Bau itu lagi, menusuk dua lubang hidungku, hampir membuatku muntah, lekas menutup jendela kamar agar baunya tidak menguar masuk menjadi polusi udara di dalam kamar.
Lekas aku membasuh kedua lubang hidung dengan air mengalir, menghilangkan sisa-sisa bau yang menempel. Permasalahan yang sampai saat ini masih belum mendapat solusi, harus segera dipecahkan agar aku bisa bernapas lega saat membuka jendela pagi hari tanpa harus menghirup bau itu.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, menarik perhatianku. Segera menyeret kedua kaki ke halaman depan, mengendap-endap mengintip dua ekor kucing yang saling menatap sangar, keduanya mengeong dengan keras saling berbalasan, sepertinya mereka sedang memperebutkan wilayah kekuasaan.
Suara mengeong kedua kucing itu semakin lama semakin kencang, dan suara mereka membuat kedua kupingku terasa tidak nyaman. Lekas aku melempar batu ke arah kedua kucing itu, tadinya mereka sudah hendak bertarung akhirnya saling menjauh, kaget oleh lemparan batu, tetapi mereka masih tetap mengeong kencang.
Tidak berapa lama kemudian, kucing yang memakai kalung di lehernya, bulunya putih bersih dengan ekor kuningnya yang bergerak kesana-kemari bersiap untuk kembali menyerang, lawannya kucing kampung loreng kuning melarikan diri setelah aku melempar batu kedua.
Aku masuk ke dalam rumah dengan lesu, penasaran, siapa pelakunya? Si Hitam Abu, tidak mungkin. Apa, Si Loreng? Aku lihat setiap pagi, ia berkeliaran di depan rumahku. Atau mungkin Si Abu Putih? Banyak tersangka yang berkelebatan dalam otakku, kucing-kucing yang menjadikan halaman depan rumah kami beralih fungsi menjadi wc kucing.
Malamnya, terdengar suara berisik di depan kamar, waktu di ponselku menunjukan pukul delapan kurang lima menit, tidak mungkin jam segini kuntilanak sudah beredar, pikirku.
Sepasang bola mata berkilat di bawah jendela kamar, ketika aku mengintip dari balik jendela. Makhluk berbulu itu, kaki-kakinya sibuk mengorek tanah, lalu mengoyang-goyangkan tubuhnya, seperti sedang bersiap-siap mencari posisi yang pas dan nyaman untuknya.
Lekas aku keluar, melempar batu lalu mendekat untuk mengusirnya, kucing dengan bulu abu putih itu berlari menjauh, namun saat aku berbalik hendak masuk rumah, ia datang lagi ke tempat tadi. Aku kembali melemparkan batu, sayangnya kucing itu tidak berlari seperti tadi, hanya berjalan menjauh. Seolah menungguku masuk rumah, ia akan kembali ke tempat tadi.
Ya ampun, masa iya aku harus ngeronda semalaman, agar kucing itu tidak buang hajat di bawah jendela kamar. Dasar kucing sialan, dipikir ini wc kucing. Kecuali di mal, wc umum saja bayar, kucing itu seenaknya saja buang hajat, sudah gratis, tidak disiram pula.
Baiklah, kita lihat siapa yang akan menang. Jika memang perlu, aku akan meronda menjaga agar tanah tepat di bawah jendela kamarku aman. Kucing itu mengendap-endap mendekat, ia sangat waspada, sepertinya sadar aku sedang mengawasinya.
Ketika tanganku siap melempar batu, tiba-tiba sorot lampu mobil menyilaukan, dan berhasil mengusir kucing itu. Semoga saja kucing itu benar-benar pergi, dan tidak kembali, dan setidaknya untuk malam ini tanah di bawah jendela kamar aman, dan besok aku akan minta tolong Pak Mardun menyemen tanah di bawah jendela kamar agar tidak lagi menjadi wc kucing, sehingga permasalahan polusi udara di kamarku terselesaikan.
Seorang laki-laki berpakaian batik yang mengapit tas turun dari mobil, ia terheran-heran melihat keberadaanku. Suara baritonnya terdengar seiring langkahnya mendekatiku.
“Ambu, ngapain malam-malam ada di luar?”
“Abis ngeronda bareng kucing,” jawabku asal pada suamiku. Kemudian beriringan kami masuk ke dalam rumah.
Setelah suamiku selesai mandi dan bersiap menuju singgasannya di halaman belakang, aku mengantarkan segelas kopi pesanannya.
“Tau gak sih, Bah. Lama-lama kucing di komplek tuh keterlaluan dan sangat mengganggu banget,” ocehku meluapkan kekesalan.
“Tau,” jawab suamiku datar.
“Di grup ibu-ibu, tadi pagi ada yang kehilangan kucingnya. Katanya kabur dari kemarin, kasian sih, tapi kesel kalau inget kelakuan kucing-kucing di komplek yang bikin polusi udara ke kamar kita.”
“Kalau di grup bapak-bapaknya lagi rame bahas masalah kucing.”
Mendengar ucapan suamiku, dengan antusias aku mendekat dan bersiap mendengar penjelasan selanjutnya.
“Pak Budi minta agar erte segera bertindak karena kucing-kucing yang beredar di komplek sudah merugikan dan meresahkan.”
“Terus?”
“Terus, enggak ada komen dari pak retenya.”
Seperti kerupuk yang dibanjur air, seolah nyala api yang disiram air, seketika melorot sudah semua rasa penasaranku.
“Gimana sih, masa pak rete tidak kasih komen.”
“Udah, nggak usah ikut-ikutan.”
“Bukan ikut-ikutan, masalahnya memang kucing-kucing itu sudah merugikan!”
Gubrak …! Gubrak …!
Tiba-tiba terdengar suara berisik di atas kami, tidak salah lagi, itu pasti kucing yang melintasi genteng rumah menuju genteng rumah lainnya.
Benar saja, tidak lama kemudian kami melihat seekor kucing berjalan santai melintasi tembok tinggi yang menghubungkan rumah kami dengan rumah tetangga sebelah, kucing itu berhenti sesaat memamerkan kilau matanya di kegelapan lalu kembali berjalan dan menghilang.
***
Aku melambaikan tangan mengantar kepergian suami dan anakku, ketika mobil melaju sedikit kencang aku spontan berteriak karena ada seekor kucing melintas di depan mobil suamiku.
“Stop!”
Mobil berhenti mendadak, aku lekas menghampiri, kaca mobil terbuka dan suara suamiku terdengar agak tinggi.
“Ada apa sih?”
“Itu, kucing nyebrang sembarangan lagi.”
Wajah suamiku terlihat sedikit jengkel mendengar alasanku, lalu ritual lambaian tangan kembali diulangi mengiringi kepergian mereka.
Dari rumah, aku melihat kesibukan di depan rumah Bude – tetangga seberang rumahku yang agak jauh – mengusikku, rasa penasaran membuat langkah kakiku yang seharusnya masuk ke dalam rumah, ganti haluan menju rumah Bude.
“Bude, itu semuanya di semen?”
“Iya, daripada jadi wc kucing tiap hari! Baunya sampe masuk ke dalam rumah! Yang punya kucing juga, nggak pada ngertiin sih!”
Aku tidak bisa berkomentar, hanya melemparkan satu senyuman dan sangat memahami apa yang dirasakan oleh Bude, karena aku juga mengalaminya. Di dalam kepala, berbagai umpatan berseliweran ditujukan pada para pemilik kucing, ingin sekali mengeluarkannya tapi aku tidak mau memicu perselisihan antar tetangga.
Panggilan dari dalam perut yang meminta jatah membuyarkan lamunan, lekas aku masuk rumah menuju meja makan, rasanya tadi masih ada sepotong sosis yang jadi jatah sarapanku pagi ini.
Sampai di meja makan, aku tidak menemukan sepotong sosis yang aku bayangkan sejak tadi, kedua kakiku bergerak mengintip kamar anakku saat mendengar suara tak jelas. Dan aku melihat seekor kucing gendut sedang menikmati sosis sarapanku di atas tempat tidur anakku.
Rasanya ubun-ubun di kepala seperti terbakar, dengan sigap aku mengambil sapu dan mengusir kucing gendut itu. Kucing itu kalang kabut, ia berlari tidak tentu arah keluar kamar, lalu balik lagi ke kamar anakku menuju jendela kamar, kemudian kucing itu berlari lagi keluar kamar, sehingga adegan kejar-kejaran dengan kucing terulang beberapa kali, dan akhirnya aku membukakan pintu agar kucing itu keluar.
Sarapanku melayang, sprei kasur anakku kotor harus diganti, belum lagi gorden jendela kamar anakku robek karena si kucing yang hendak keluar terlilit gorden. Akh, gara-gara kucing, pagi-pagi mood-ku sudah buruk.
Aku melongok keluar jendela, terpana melihat jarak teras dengan jendela kamar anakku yang lumayan tinggi, sungguh luar biasa kucing itu, jarak setinggi ini pun bisa diloncatinya,
Semoga saja pak erte segera bertindak untuk menanggapi keluhan dari warga komplek yang berhubungan dengan kucing.
Memang betul sih, kucing itu binatang kesayangannya Rasulullah, tapi kan kucing yang seperti apa dulu; kalau kucing-kucing yang beredar di komplek, aku rasa termasuk golongan kucing yang merugikan dan harus segera ditindak.
Beberapa hari kemudian, rupanya permasalahan kucing semakin seru dibahas di grup bapak-bapak, dan hasilnya adalah akan dilakukan sweeping kucing liar. Ada kelegaan mendengar solusi kucing di komplek kami.
Beberapa hari kemudian ada Pak Satpam yang menanyakan apakah kami memelihara kucing, akan diadakan sweeping kucing, jika ada yang memelihara kucing diminta tidak mengeluarkan kucingnya selama satu minggu ke depan, agar tidak terciduk saat terjadinya sweeping kucing liar.
Wow, para pengurus RW dan RT benar-benar sigap menanggapi keluhan warga setelah desakan dari bapak-bapaknya. Baguslah, ringan saja yang ada dalam pikiranku, aman sudah permasalahan kucing-kucing itu.
Tiba-tiba aku merasa kasihan saat membaca pesan grup ketika seorang ibu bertanya apakah ibu-ibu komplek ada yang melihat kucing miliknya, ada foto kucing yang hilang sudah beberapa hari, jangan-jangan kucing itu kena sweeping.
***
Tentunya jika membaca keluhanku yang lumayan banyak, dapat dipastikan kami tidak akan mau memiliki rumah di komplek ini, karena terlalu banyak menguji kesabaran dan kewarasan.
Namun anehnya, dari beberapa rumah yang pernah kami tempati, rumah ini adalah rumah yang paling nyaman. Kebun kecil di belakang rumah membuat rumah ini memiliki persediaan oksigen yang cukup banyak, rasanya bisa bernapas lega saat keruwetan di luar rumah sedikit menyumbat jalan oksigen napas, cukup duduk tenang menikmati pepohonan di kebun belakang rumah.
Silaturahmi bulanan ibu-ibu melalui arisan, yang ikut arisan atau tidak diminta hadir jika ada keleluasaan waktunya, agar saling mengenal sesama warga blok E. Warga komplek selalu mendukung usaha baru yang dirintis milik warga komplek, dengan berbondong-bondong datang membeli dagangannya dan membantu promosi.
Perhatiaan dan kepeduliaan pada tetangga yang sakit atau terkena musibah, sangat kami rasakan ketika wabah covid menyerang, ketika itu kami tidak bisa kemana-mana karena karantina dan jauh dari keluarga, Alhamdulillah kami tidak pernah kekurangan makanan karena setiap hari mendapat kiriman makanan dari ibu-ibu yang bertugas di dapur umum komplek.
Ditambah letak komplek yang cukup strategis, dekat dengan fasilitas umum: rumah sakit, mini market, atm, dan lainnya; juga banyak tukang jajanan. Kami sekeluarga sepakat ingin membeli rumah yang saat ini kami tempati sebagai rumah dinas kantor suami.
Meski memiliki tetangga ajaib yang kadang-kadang menjengkelkan, kami masih memiliki banyak tetangga ajaib lainnya yang bisa membuat kami tertawa bahagia.