Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lantunan musik mengalun dengan lembut dari ponsel seorang gadis muda yang terbaring di ranjang rumah sakit jiwa. Namanya Hana, seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang telah dua tahun hidup di tempat ini. Wajahnya yang pucat menatap kosong langit-langit kamar. Musik itu adalah satu-satunya pelarian Hana dari kesunyian, meski hanya sebentar.
Hana merasa sesak, bukan karena ruangan ini sempit atau fasilitasnya buruk. Ia merasa terjebak, terisolasi, dan terputus dari dunia luar. Suara langkah-langkah perawat yang lalu lalang di lorong seperti irama hampa yang selalu menemani hari-harinya. Ia merindukan sekolah, suara tawa teman-temannya, dan senyuman hangat ibunya. Namun, harapan itu perlahan pupus.
Setiap kali ia mengutarakan keinginannya untuk pulang, dokter dan perawat hanya menjawab dengan nada menenangkan, “Nanti, Hana. Kondisimu belum cukup membaik. Lagipula, ibumu sedang bepergian jauh.” Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan lembut, menusuk seperti duri di hatinya. Hana tahu ada sesuatu yang tidak benar, tapi ia tidak tahu apa itu. Ia hanya tahu bahwa harapan untuk pulang semakin terasa seperti bayangan samar.
Sore itu, suasana rumah sakit lebih riuh dari biasanya. Hana mendengar suara roda troli obat berderak di lantai dan beberapa pasien yang berbicara keras. Seorang perawat bernama Amara masuk ke ruangannya. "Hana, bagaimana kabarmu? Waktunya minum obat," ujar Amara sambil menyodorkan segelas air dan tablet kecil. Hana mengangguk tanpa bicara, menelan obat itu dengan patuh. Namun, saat Amara berbalik, mata Hana menangkap sosok yang familiar di balik pintu. Seorang wanita dengan rambut hitam tergerai dan senyum yang membuat hatinya bergetar.
“Ibu...” bisiknya.
Tanpa pikir panjang, Hana bangkit dari ranjangnya, mengikuti sosok itu yang perlahan berjalan menuju tangga. Kakinya terasa ringan, seolah tarikan gravitasi tidak lagi mengikatnya. Ia menaiki tangga yang berakhir di loteng rumah sakit, tempat yang jarang ia kunjungi. Angin sore yang dingin menyambutnya, membawa aroma khas kota yang jauh dari rumah.
“Ibu?” panggil Hana dengan suara gemetar. Wanita itu berdiri membelakanginya, menghadap ke arah matahari yang memerah oleh cahaya senja. Perlahan, wanita itu menoleh, dan Hana merasa dadanya hampir meledak. “Ibu, apa ibu datang menemuiku? Aku sangat merindukan ibu,” katanya dengan air mata yang mengalir deras.
Wanita itu tersenyum lembut. “Nak, kapan kau akan pulang? Ibu sudah lama menunggumu,” katanya. Suaranya hangat, seperti pelukan di tengah malam yang dingin. “Tapi... mereka bilang ibu sedang bepergian jauh. Kenapa ibu tidak menjemputku?” Hana bertanya sambil terisak. Wanita itu menggeleng perlahan. “Tidak, Hana. Ibu hanya duduk di rumah, menunggumu pulang. Peluk ibu, nak.” Hana tidak ragu lagi. Ia berlari, memeluk wanita itu dengan sepenuh hati. Saat itu, dunia seakan berhenti.
Namun, suara langkah cepat mengganggu momen itu. “Hana! Apa yang kau lakukan di sini?” teriak Amara yang tiba-tiba muncul di loteng. Hana terkejut, dan saat ia melepaskan pelukannya, wanita itu lenyap. Ia hanya berdiri sendirian di tengah angin yang semakin kencang.
“Dia... dia ada di sini. Ibuku,” kata Hana terbata-bata, matanya liar mencari-cari. Amara memegang pundaknya dengan lembut. “Hana, itu hanya bayanganmu. Ayo, kita kembali ke kamar.” Hana ingin protes, tapi kelelahan dan kecewa menguasainya. Ia mengangguk pelan, membiarkan Amara membimbingnya kembali. Malam itu, ia meminum obat dengan tenang dan tidur lebih awal. Namun, dalam tidurnya, mimpi tentang rumah terus menghantuinya.
Pagi harinya, Hana merasa lebih tenang, tetapi hatinya masih dipenuhi kebingungan. Setelah makan siang, ia meminta izin untuk berjalan-jalan di taman rumah sakit. Taman itu kecil, tetapi cukup untuk memberikan sedikit rasa kebebasan. Hana duduk di bangku kayu, memandang pohon-pohon yang menjulang di sekitarnya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara anak kecil tertawa. Ia menoleh, melihat seorang anak perempuan bermain dengan bonekanya. Anak itu tampak ceria, dan tawa riangnya mengingatkan Hana pada masa kecilnya bersama ibu dan ayahnya. “Kenapa aku tidak bisa mengulang masa-masa itu?” pikir Hana.
Sore itu, Hana kembali ke loteng rumah sakit. Angin dingin menyambutnya lagi, dan kali ini, ia duduk di pinggir loteng, memandang langit yang tampak tak berujung. Hana memejamkan mata, mencoba merasakan kehadiran ibunya lagi. “Bu, aku ingin pulang…” gumamnya. Perlahan, ingatannya mulai mengalir, seperti film yang diputar ulang.
Tiga tahun yang lalu, Ayah dan ibunya bertengkar hebat. Ayahnya melempar sebuah piring ke arah kaki ibunya. Lalu ayahnya pergi entah kemana, meninggalkannya sendirian dengan ibunya. Sakitnya memang tak seberapa, melihat ibu dan ayahnya bertengkar. Namun, traumanya mulai muncul sejak saat itu. Ia mulai ketakutan dengan seorang laki-laki. Tiap kali teman laki-lakinya mendekati Hana, ia selalu menghindar.
Dua tahun setelah kejadian itu, Hana dan ibunya pindah ke Jakarta. Setiap liburan tiba, Hana selalu menghabiskan waktu dengan ibunya di rumah. Hari itu, ibunya berkata bahwa Hana harus mengikuti les yang ibunya sarankan. Hana menolak keras dan akhirnya mereka bertengkar hebat. Bukan karena ia tak mau, tetapi ia sudah cukup sibuk mempersiapkan acara classmeeting untuk akhir semester dan obat-obatan yang akan digunakan pada acara tersebut. Ya, Hana merupakan anggota osis sekaligus anggota kepalang merahan remaja di sekolahnya.
Beberapa hari kemudian, ibunya pergi untuk urusan pekerjaan. Saat ibunya telah pergi, Hana tak sengaja menemukan kacamata ibunya yang tertinggal. Ia mengejar ibunya. “Ibu!” teriak Hana. Tak disangka, saat Ibunya ingin menyeberang, ibunya menoleh ke arah Hana. Akibatnya, ia tertabrak mobil. Sejak saat itulah traumanya makin hari makin membesar dan ia merasakan ada yang berbeda dari dirinya. Ia mulai suka berhalusinasi. Akhirnya ia memeriksakan diri ke psikolog. Psikolognya menyarankan ke psikiater, dan Hana berakhir menginap di rumah sakit jiwa.
Hana menahan isakannya. “Aku bodoh. Andai hari itu aku menemukan kacamata itu lebih cepat dan memanggil ibu saat keluar dari pintu,” bisiknya. Selama ini, ia menolak menghadapi kenyataan itu. Ia menciptakan fantasi bahwa ibunya hanya pergi sementara, dan itu membuatnya merasa aman. Tapi kenyataannya tak lagi bisa ia abaikan.
Sore itu, ia kembali ke loteng rumah sakit. Angin kencang bertiup saat Hana menahan tangisnya. "Aku ingin pulang. Kalau aku melompat, apa aku bisa pulang? Apa aku bisa bertemu ibu lagi?" tanyanya pada diri sendiri. Meskipun biasanya ia akan menepis pemikiran itu, kali ini rasanya begitu kuat. Ia ingin kembali ke rumah, ingin bertemu ibunya, bahkan jika hanya bisa melakukannya dalam pikiran dan mimpinya. Dengan perasaan yang penuh sesak, Hana berdiri perlahan. Di bawah, suara riuh warga mulai terdengar. Seseorang berteriak, memperingatkan Hana agar mundur. Namun, suara-suara itu hanya angin bagi Hana. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, dan melangkah. Dunia di bawahnya berputar cepat, seakan waktu kehilangan kendalinya. Suara ambulan mulai terdengar samar. Dalam keheningan yang melingkupi, Hana tersenyum tipis.
“Berisik, aku ingin pulang ke rumah,” pikirnya.