Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
KATALOG DAN MIMPI
0
Suka
10
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Suara langkahku mengalun pelan menghantam permukaan tanah, menciptakan gemerisik daun-daun kering yang tak sengaja kusentuh. Wajahku tak lagi menyimpan cahaya tampak kusut dengan kantung mata yang mulai menghitam—tanda bahwa aku tak bisa tidur di malam-malam yang terasa begitu panjang. Aku sering melakukan hal-hal ganjil, berfikir bahwa lelah bisa kutukar dengan tidur yang damai, namun kantuk tetap menjauh, seakan tak sudi untuk mendekapku.

Namaku Layla. Mahasiswa semester enam jurusan Sastra. Pecinta kata, namun belakangan ini justru terjebak dalam sunyi yang tak mampu kurangkai. Semenjak kepergian ayah setahun yang lalu, malam tak lagi terasa ramah. Aku takut untuk memejamkan mata, takut mimpi buruk datang dan membawaku kembali ke hari di mana sebagain dari jiwaku menghilang. Aku mencoba menulis, membaca, bahkan menatap langit-langit kamar berjam-jam, namun semuanya percuma. Tidur seperti kemewahan yang tak bisa lagi ku miliki.

“Huh, aku sudah muak. Sampai kapan aku harus terjerat dengan kelamnya malam?” gumamku lirih di tengah keheningan yang menggantung berat.

Cahaya bulan merambat pelan, menyelinap malu-malu melewati perpustakaan kampus yang tak pernah tidur. Dengan langkah pelan, kubawa tubuh ke sana, berharap membaca buku atau menenggelamkan diri dalam referensi lama bisa membuatku lelah dan akhirnya terlelap.

Aroma kertas tua dan kayu yang lembab menyeruak begitu aku melangkah ke dalam bangunan panjang itu. Dinding kaca membingkai setiap ruang, menghadirkan bayang-bayang bisu yang menari perlahan di bawah cahaya lampu kekuningan. Di salah satu sudut, deretan rak skripsi berdiri angkuh dalam diam. Aku menelusuri lorong di antaranya, membiarkan jemari menyisir punggung buku—mencari judul yang cukup menggoda untuk kujelajahi dalam lelah.

Seseorang pernah bercerita, di antara rak-rak perpustakaan ini, tersembunyi pintu menuju dunia mimpi. Awalnya aku menganggapnya cerita mahasiswa iseng, mitos kampus yang digunakan untuk menakut-nakuti. Tapi malam ini, cerita itu kembali menghantuiku.

Tanpa sadar, langkah membawaku ke lorong paling sunyi—tersembunyi, nyaris terlupakan di dekat rak buku Sejarah. Di sana, di balik deretan buku-buku tebal berdebu, sebuah pintu kecil tampak sedikit terbuka, seakan menanti sentuhan dari seseorang yang cukup berani untuk menyibaknya.

Didorong oleh rasa ingin tahu yang membuncah, aku membungkuk dan melangkah masuk. Ruangan di baliknya sempit, berdebu, dan bersuhu sejuk, namun terasa aneh menyelimuti udara. Di dalamnya berjajar rapi kotak-kotak kayu kecil, seperti katalog namun tak biasa, berlabel nama lengkap seseorang, tanggal, dan juga satu kata yang berhasil mencuri perhatianku “Mimpi.”

Mataku terpaku pada tulisan yang terukir samar di dinding batu.

Jika ingin tidur nyenyak, pinjamlah mimpi-mipi ini. Tapi ingat, setiap mimpi memiliki harga yang harus kau bayar.

Keraguan sempat menyelimuti jiwaku, menggantung berat seperti kabut pagi yang enggan pergi. Namun perlahan, rasa itu memudar, terganti oleh kantuk yang mulai menyusup di kelopak mata. Tanganku terulur pelan, nyaris ragu, menggapai salah satu kotak berukiran aneh. Kubuka penutupnya dengan hati-hati, seperti membuka halaman rahasia dalam sebuah buku tua.

Di dalamnya, terdapat lembaran-lembaran tipis—usang, namun terlihat indah. Gambar-gambarnya abstrak, nyaris tak terjelaskan, seperti lukisan dari dunia lain. Namun dari salah satunya, sebuah ketenangan merambat pelan ke dalam dada, seperti perasaan damai yang mengalir begitu halus.

Segalanya berubah sejak malam itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang entah berapa lama, aku bisa tidur dengan, nyenyak, tersesat dalam keindahan dunia penuh warna—seperti mimpi yang tak ingin usai. Namun, seiring waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh, seperti ada yang diam-diam memudar.

Awalnya, hanya nama-nama dalam cerita kesukaanku yang mengabur. Jalan kampus terasa berbeda, seperti baru pertama kali kulewati. Kemudian, satu kenangan penting bersama ayah lenyap, layaknya mimpi yang pudar—semuanya menghilang tanpa jejak. Lalu, perasaan hampa mengerayangiku, seolah ada bagian dari diri yang perlahan hanyut bersama senyap.

Aku mulai menyadarai bahwa mimpi-mimpi itu tak sekadar membawa lelap, tapi juga menukar bagian-bagian dari diriku: kenangan, perasaan, bahkan sisi jiwaku yang terdalam. Wajah-wajah di sekelilingku perlahan menjadi bayang samar. Jalan menuju ruang kuliah pun terasa asing. Aku hadir di antara banyak tubuh, namun terasa seperti satu-satunya yang hidup dalam kehampaan.

Namun entah mengapa, aku tak pernah benar-benar mampu berpaling dan terus memilih kembali—menjelajahi mimpi lain, lebih indah, lebih hangat, lebih nyata daripada dunia tempatku bepijak. Sebab penat ini layaknya kutukan yang terus menjeratku tanpa henti.

Sampai akhirnya, saat keheningan menjelma dan bayangan memanjang di dinding, aku memutuskan untuk menguak jawaban. Kembali menyusuri lorong sempit dan sepi, menuju bagian paling sunyi dari perpustakaan. Di sudut ruangan yang gelap, seorang lelaki tua berbalut jubah hitam menunggu. Wajahnya tenang, namun matanya menyimpan penuh kerahasiaan.

“Apa yang kau cari?” tanyanya, memecah keheningan.

“Aku ingin tahu siapa yang menciptakan katalog mimpi ini. Dan … mengapa ada harga yang harus kubayar?” jawabku dengan suara yang nyaris bergetar.

Lelaki tua itu tersenyum samar. “Mimpi bukan milik dunia, melainkan milik jiwa. Dan setiap kali kamu menyentuh mimpi yang bukan milikmu, sepotong dari jiwamu akan tertinggal, membayar harga yang tak terlihat.”

Bisakah aku mengembalikannya?” tanyaku.

“Tidak bisa,” ujarnya tegas. “Saat kau mengambil mimpi itu, ia lenyap dari pemiliknya. Dan bagian dari dirimu pun ikut menghilang. Itulah harga dari tidur yang tenang. Tapi masih ada jalan yang bisa kau pilih: terus hidup dalam mimpi yang bukan milikmu dan kehilangan dirimu sedikit demi sedikit, atau menghadapi malam dengan luka yang jujur—dan membawa dirimu kembali utuh.”

Aku hanyut dalam kebisuan. Hanya air mata yang jatuh diam-diam. Di hadapanku, terbentang dua jalan: mimpi indah yang membelai hati namun merampas jiawa, atau malam-malam pahit tetapi penuh kejujuran.

Pada akhirnya, pilihan itu kutetapkan. Dengan jemari yang bergetar pelan, kuhempaskan kotak mimpi itu ke dalam bara api yang meringkuk di sudut ruangan. Asapnya membumbung ke udara, lalu lenyap—seperti malam yang perlahan menelan segalanya.

Namun, sepertinya bukan hanya mimpi yang ikut terbakar malam itu. Seiring debu dan abu yang beterbangan, sesuatu dalam diriku ikut lenyap, hilang tanpa jejak.

Hari-hari berikutnya, aku terbangun dalam kepingan-kepingan kosong. Wajah yang hampir setiap saat kupandang di cermin menjadi asing. Nama yang dulu melekat erat di bibir kini hilang, menguap seperti kabut pagi. Ingatan tentang keluarga, kampus, dan orang-orang yang kucintai—semuanya lenyap tanpa ampun.

Aku melangkah di antara dunia yang asing, tanpa arah dan jejak masa lalu yang bisa kupeluk. Nama—yang dulu kusebut dengan penuh makna, kini tinggal gema samar, tak lagi sanggup kuingat, seakan terhapus dari ingatan.

Kini aku berjalan tanpa nama, tanpa mengingat masa lalu. Setiap Langkah terasa seperti melayang, Bagai menari di atas genangan sunyi—tak meninggalkan jejak dan tak menyentuh dasar. Hidup terus berjalan seperti biasa, namun aku berdiri menjadi bayangan dari seseorang yang tak lagi dikenali. Dan aku menyadari bahwa kini telah kehilangan ingatan sepenuhnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
KATALOG DAN MIMPI
Ellaaa
Cerpen
Peluk Hangat Bapak
Nindia Salsabila
Cerpen
TIGA LUKA TARI,
Indira Raina
Cerpen
Bola-Bola Ibu dan Panggung yang Tak Pernah Tutup
Nur Khalifahtul jannah
Cerpen
Bronze
Pendidikan Negeri Sipili (Bag-2)
spacekantor
Cerpen
Tanah Tuhan Sudah Dicuri
Laila Ziadatul Khair
Cerpen
Bronze
Dikejar-kejar Polisi
Titin Widyawati
Cerpen
Hanya Sebuah Lilin di Hidup Orang Lain
mu'aini Yulianti
Cerpen
(Serasa) Ngga Punya Tetangga
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Bronze
Persimpangan di Stasiun Kereta
AnotherDmension
Cerpen
Paduka Yang Mulyo
Kiiro Banana
Cerpen
Bronze
Bukan Babi Ngepet
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Sabar Kurang Sabar
Titin Widyawati
Cerpen
CURHAT CUCU
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
Keputusan Abah
T. Filla
Rekomendasi
Cerpen
KATALOG DAN MIMPI
Ellaaa