Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di tepi jurang waktu, di mana bayang-bayang menari dengan cahaya yang enggan menyapa, hiduplah seorang pengelana bernama Ronan. Ia bukan manusia biasa, melainkan cermin dari kehendak alam semesta yang retak, sepotong paradoks yang terwujud dalam daging dan napas. Ronan mencari Kata Terakhir, sebuah kebenaran yang konon mampu menjahit robekan realitas, menyatukan yang terpecah, dan membungkam bisikan kekacauan yang merayap di ujung pikiran setiap makhluk. Namun, di balik pencariannya, ada luka yang tak pernah ia akui sepenuhnya: ingatan samar tentang sebuah wajah—mungkin ibunya, mungkin dirinya di kehidupan lain—yang hilang di antara celah-celah waktu. Ronan bukan didorong oleh ambisi atau keberanian, melainkan oleh kegelisahan yang tak bisa ia tepis, sebuah pertanyaan yang menggerogoti jiwanya: “Mengapa aku ada, jika hanya untuk bertanya?”
Langkahnya membawanya ke Kota Tanpa Nama, sebuah labirin abadi yang dibangun dari ingatan yang terlupakan. Dinding-dindingnya berdenyut, berbisik dalam bahasa yang tak pernah utuh—setengah kata, setengah raungan. Penduduk kota adalah bayangan, bukan jiwa, namun mereka bergerak seolah hidup, menjalani rutinitas yang telah lama kehilangan makna. Ronan bertanya kepada seorang bayangan yang membawa payung pecah, “Di mana saya menemukan Kata Terakhir?” Bayangan itu tersenyum, bibirnya mengelupas menjadi debu, dan berkata, “Kau sudah memilikinya, tapi kau lupa bagaimana cara mendengar.” Kata-kata itu seperti pisau, memotong keyakinan Ronan bahwa jawaban ada di luar dirinya. Ia mulai mencurigai bahwa pencariannya adalah cermin dari keraguannya sendiri, namun ia tak bisa berhenti—bukan karena harapan, melainkan karena berhenti berarti menyerah pada keheningan.
Ronan menyeberangi jembatan yang terbuat dari detik-detik yang terhenti, setiap langkahnya menggema seperti lonceng yang retak. Di ujung jembatan, ia bertemu Penjaga Ambang, entitas dengan wajah seperti cermin, namun cermin itu hanya memantulkan apa yang Ronan tak ingin lihat: dirinya sendiri, terbalik, dengan mata yang menangis darah dan senyum yang menjerit. “Apa yang kau cari?” tanya Penjaga. “Kebenaran,” jawab Ronan, suaranya penuh keyakinan yang rapuh. Penjaga tertawa, suaranya seperti pecahan kaca yang menghujam. “Kebenaran adalah bayangan dari dusta yang kau pilih untuk percaya. Berikan aku pertanyaan yang lebih baik, atau kau akan menjadi bagian dari jembatan ini.” Ronan termenung, menyadari bahwa pertanyaannya dibangun dari harapan yang setengah matang. Ia menggali lebih dalam, ke sumur gelap di dalam dirinya, tempat ketakutan dan keraguan berenang seperti ikan tanpa mata. “Mengapa Kata Terakhir harus ada?” tanyanya akhirnya. Penjaga terdiam, cermin wajahnya retak, dan untuk pertama kalinya, ia berbicara tanpa ejekan. “Karena tanpa itu, kau hanyalah gema dari kehampaan, berulang tanpa tujuan. Tapi ketahuilah, menemukannya berarti kehilangan alasan untuk mencari.”
Ronan melangkah melewati Penjaga, memasuki Ruang Nol, tempat segala sesuatu lahir dan mati dalam sekejap. Di sana, ia melihat Kata Terakhir—bukan sebagai suara, bukan sebagai simbol, melainkan sebagai keheningan yang begitu dalam hingga ia merasakan jantungan alam semesta. Kata itu bukan jawaban, melainkan cermin lain, yang memaksanya melihat bahwa pertanyaan-pertanyaannya, perjalanannya, bahkan dirinya sendiri, hanyalah lingkaran yang ia gambar sendiri dalam kegelapan. Ronan tersentak, jiwanya bergetar antara kagum dan ketakutan. Ia menyadari bahwa Kata Terakhir bukanlah akhir, melainkan undangan untuk menciptakan—untuk menjadi penutur dari cerita yang tak pernah selesai. Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis di udara, huruf-huruf yang lahir dari napasnya menggantung seperti kabut sebelum lenyap.
Kembali ke Kota Tanpa Nama, Ronan duduk di antara puing-puing, menulis tanpa henti. Ia tak lagi mencari Kata Terakhir sebagai tujuan, melainkan sebagai tindakan—sebuah pemberontakan terhadap kehampaan yang pernah mencengkeramnya. Namun, sebuah pertanyaan baru menggeliat: jika ia menciptakan makna, apakah itu kebenaran, atau sekadar ilusi yang ia suling dari keputusasaan? Ronan merenung, mengingat luka lamanya—wajah yang hilang, suara yang tak pernah ia dengar lagi. Ia mulai memahami bahwa pencariannya bukan hanya tentang menemukan jawaban, tetapi tentang memeluk keraguan sebagai bagian dari kemanusiaannya. “Aku mencari karena aku takut,” bisiknya pada dirinya sendiri, “tapi ketakutan itu adalah api yang membuatku bergerak.”
Perjalanan Ronan membawanya ke Lautan Cermin, hamparan air yang bukan air, melainkan cerminan dari setiap kemungkinan yang pernah ia tolak. Di sana, ia melihat dirinya dalam ribuan wajah: Ronan yang menyerah, Ronan yang menjadi bayangan di Kota Tanpa Nama, Ronan yang menemukan Kata Terakhir dan hancur karenanya. Setiap cerminan berbicara, suara mereka seperti paduan suara yang cacat, menyalahkannya atas pilihan yang tak pernah ia buat. “Mengapa kau menolak kami?” tanya salah satu wajah, matanya berlubang seperti sumur tanpa dasar. Ronan menjawab, suaranya gemetar namun teguh, “Karena memilih satu dari kalian berarti membunuh yang lain. Aku ingin menjadi lebih dari sekadar cerminan.” Lautan Cermin bergolak, dan Ronan merasa jiwanya tercerai-berai, namun juga utuh—ia bukan sekadar cerminan, tetapi penutur dari cerita yang ia pilih sendiri.
Di tepi lautan, ia menemukan Pohon yang Menangis, sebuah pohon tua dengan ranting-ranting yang mengalirkan darah hitam. Pohon itu berbicara, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan kenangan—kenangan yang bukan milik Ronan, namun terasa seperti miliknya. Ia melihat perang yang menghapus bintang, cinta yang memecah jiwa, dan keheningan yang lahir dari pengkhianatan. Pohon itu adalah saksi dari segala sesuatu yang pernah ada, dan Ronan merasa kecil di hadapannya. “Apa yang kau tawarkan untuk kebenaran?” tanya pohon itu, suaranya seperti angin yang merobek kulit. Ronan merenung, menyadari bahwa setiap jawaban akan mengikatnya pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. “Aku menawarkan keraguanku,” katanya akhirnya. “Karena hanya dalam keraguan aku tetap bebas.” Pohon itu tertawa, dan darahnya berhenti mengalir, seolah mengakui bahwa Ronan telah memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada kepastian.
Ronan melanjutkan perjalanan, tiba di Gerbang Abu, sebuah lengkungan yang terbuat dari sisa-sisa harapan yang ditinggalkan. Di sana, ia bertemu Pemintal Nasib, seorang wanita dengan wajah yang terus berubah, memegang benang-benang yang terhubung ke setiap momen dalam hidupnya. “Kau bisa memutus benang ini,” katanya, menunjuk pada satu utas yang berkilau lebih terang dari yang lain. “Itu akan menghapus semua yang membawamu ke sini—sakitmu, pencarianmu, bahkan Kata Terakhir.” Ronan tergoda, jantungannya berdegup kencang. Ia membenci beban yang ia pikul, kelelahan yang menggerogoti jiwanya. Namun, ia juga tahu bahwa memutus benang itu berarti menyangkal dirinya sendiri. “Jika aku menghapus masa laluku,” katanya, “aku juga menghapus alasan aku bertanya. Aku lebih memilih menderita dengan tujuan daripada hidup tanpa pertanyaan.” Pemintal Nasib mengangguk, dan gerbang itu runtuh, meninggalkan Ronan dalam kegelapan yang anehnya terasa seperti rumah.
Kini, Ronan memasuki Lorong Bayang-Bayang, sebuah terowongan di mana setiap langkahnya menciptakan gema dari dirinya yang lain—diri yang lebih kejam, lebih lemah, lebih bijak. Setiap bayang-bayang menantangnya, memaksanya mempertanyakan motifnya. “Kau mencari Kata Terakhir karena kau takut pada keheningan,” tuduh salah satu bayang-bayang. “Kau hanya ingin diakui oleh alam semesta,” ejek yang lain. Ronan menghadapi mereka, bukan dengan kemarahan, tetapi dengan kejujuran yang menyakitkan. “Mungkin kalian benar,” katanya. “Tapi ketakutan dan keinginan itu adalah bagian dari apa yang membuatku bergerak. Aku tidak mencari kemurnian, hanya keberanian untuk terus berjalan meski aku rusak.” Lorong itu bergetar, dan bayang-bayang itu melebur menjadi dirinya, membuat Ronan merasa lebih utuh, namun juga lebih berat.
Di ujung lorong, ia menemukan Ruang Cahaya Patah, sebuah tempat di mana sinar-sinar terpecah menjadi warna-warna yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Di tengah ruang itu berdiri Penutur Akhir, seorang pria tua dengan mata yang kosong namun penuh dengan galaksi. “Kau sudah begitu jauh,” katanya, “tapi apa yang kau pelajari, dan kau masih tak tahu apa itu Kata Terakhir.” Ronan menatapnya, mencari kelemahan dalam kata-kata itu. “Aku tahu,” jawabnya. “Kata Terakhir bukan sesuatu yang bisa kau pegang. Ia adalah tindakan menciptakan makna dari kekacauan.” Penutur Akhir tersenyum, dan ruang itu memudar. “Kau sudah mengerti,” katanya. “Tapi mengerti bukanlah akhir. Ini adalah awal dari tanggung jawab.” Ronan merasa bebannya bertambah, namun juga ringan—ia bukan lagi sekadar pencari, tetapi pembawa cahaya patah yang ia temukan.
Namun, perjalanan Ronan belum berakhir. Ia tiba di Padang Kristal, sebuah dataran luas di mana setiap kristal memancarkan suara—suara dari mereka yang pernah mencari Kata Terakhir sebelumnya. Ada tangisan, tawa, doa, dan kutukan, semuanya bercampur menjadi simfoni yang memekakkan namun indah. Di tengah padang itu, Ronan melihat sebuah kristal yang berbeda, lebih kecil, lebih redup, namun berdenyut seperti jantungan. Ketika ia menyentuhnya, ia melihat dirinya sendiri—bukan sebagai pengelana, tetapi sebagai anak kecil, memegang tangan wajah yang hilang dari ingatannya. “Kau tak pernah sendirian,” bisik suara dari kristal itu. Ronan menangis, bukan karena kesedihan, tetapi karena ia akhirnya memahami bahwa luka yang mendorongnya mencari adalah juga yang membuatnya manusia. Ia mengambil kristal itu, bukan untuk menyimpannya, tetapi untuk membiarkannya larut dalam dirinya, menjadi bagian dari cerita yang ia tulis.
Kembali ke tepi jurang waktu, Ronan berdiri dengan pena yang terbuat dari cahaya patah. Ia tak lagi takut pada keheningan, karena ia tahu bahwa keheningan adalah kanvas tempat kata-kata dilahirkan. Ia mulai menulis, bukan untuk menemukan Kata Terakhir, tetapi untuk membaginya—setiap kata yang ia tulis adalah pecahan dari kebenaran yang ia ciptakan, sebuah undangan bagi yang lain untuk bertanya, untuk ragu, untuk mencipta. Kota Tanpa Nama masih berdiri, bayangan-bayangan masih bergerak, namun Ronan tahu bahwa makna bukanlah sesuatu yang ditemukan di ujung perjalanan. Makna adalah perjalanan itu sendiri, dan ia akan terus berjalan, menulis, dan bertanya, karena itulah yang membuatnya hidup.
Namun, di dalam hatinya, Ronan menyimpan sebuah rahasia: ia tahu bahwa suatu hari, ia akan kembali ke jurang waktu, bukan sebagai pengelana, tetapi sebagai bagian dari cahaya patah itu sendiri. Ia akan menjadi suara di Padang Kristal, bisikan di dinding Kota Tanpa Nama, atau cerminan di Lautan Cermin. Dan ketika itu terjadi, ia akan tersenyum, karena ia telah menulis ceritanya, dan cerita itu akan hidup dalam setiap orang yang berani bertanya. Ronan menutup matanya, merasakan angin jurang waktu membelai wajahnya, dan berbisik, “Aku adalah pertanyaan, dan itu sudah cukup.”
-Tamat