Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Kasur depan TV itu
0
Suka
120
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dia tidak pernah mau pulang ke rumah, dia terus bersembunyi di kota perantauan yang bahkan keluarganya tidak tahu di mana. Hingga di satu hari yang terik dengan udara panas berhembus, sepasang kaki memasuki area rumah yang terlihat paling tua dan tak terurus dengan teras yang penuh dengan bunga matahari.

Itu Adi.

Dia akhirnya pulang.

Sesampainya di rumah, meskipun ragu dan sedikit gemetar Adi memberanikan dirinya sekali lagi. Pintu itu berderit, disusul debu yang mulai berterbangan, mereka menyambut kedatangan orang yang sudah lama tidak pulang.

"Kamu pulang, kak?" suara lirih dari bocah berusia 5 tahun itu menarik fokus Adi yang hanya terdiam di depan pintu.

"Loh ...."

Itu Unggul, adik Adi. Dia tengah duduk di atas kasur sambil menonton TV.

"Aku udah nunggu Kakak dari lama tahu, kok baru pulang sih?" tanyanya lagi.

"Kamu udah makan?" tanya balik Adi alih-alih menjawab pertanyaan Unggul.

Bocah kecil itu menggeleng. "Ibu belum masak. Tadi pagi sebelum subuh udah keluar, kayaknya mau kerja di tempat Bu Irah."

"Bapak?"

"Bapak ke sawah juga jam 6 tadi."

Adi menghampirinya. "Ini beneran kamu, Unggul?"

Unggul mengangguk. "Kakak bawa makanan? Aku lapar."

Adi terhenyak. Dia baru sadar bahwa dirinya pulang tidak membawa apa-apa. Sekarang air mata sialan yang tidak bisa diatur itu mengalir begitu saja dari mata Adi.

"Kenapa nangis, Kak?" tanya polos Unggul, "... jangan nangis."

"Enggak kok, enggak nangis." Adi mengusap kasar air matanya. "Sebentar, biar Kakak masakin nasi sebentar ya. Kamu nunggu masih kuat?" jawab Adi buru-buru yang dijawab anggukan cepat oleh Unggul.

Adi langsung melenggang ke dapur, dia masih ingat dengan jelas semua letak barang dan perabotan di rumahnya. Semua masih sama, tidak ada yang berubah.

Dengan tangan lincahnya, dia segera memasukkan kayu kering dan menyalakan api di tungku. Setelah itu dia mengambil beras dan mencucinya bersih. Sambil menunggu penanak nasi siap, dia pergi ke kandang ayam yang terletak di belakang rumahnya. Entah ini nasib baik atau bukan, dia berhasil menemukan sebutir telur dari sarang ayam. Seutas senyuman langsung menghiasi wajahnya.

Adi kembali lagi ke dapur dan ia mulai memasak berasnya.

"Kakak!" panggil Unggul.

"Ya, kenapa Nggul?" sahut Adi.

Unggul kembali tersenyum, dia terlihat sangat bahagia. "Enggak. Kirain Kakak udah pergi lagi."

Dada Adi tiba-tiba terasa sesak membayangkan betapa kesepian dan sedihnya Unggul selama ini.

Unggul berbaring lagi di kasur. Sekarang TV sedang menampilkan siaran beberapa kartun dari luar negeri yang berhasil membuat Unggul sedikit melupakan rasa laparnya. Perasaan kesepian yang dia rasakan beberapa waktu ini perlahan memudar kala dia ingat Kakaknya sudah pulang dan sedang memasak di dapur sekarang.

Setelah beberapa waktu berlalu, Adi menghampiri Unggul sembari membawa sepiring nasi putih dan telur dadar. Adi menggeleng kecil ketika mendapati Unggul tertidur pulas di kasur depan TV itu.

Adi mengguncang pelan bahu adiknya.

Unggul masih tidak bergerak. Matanya damai terpejam. Bagaimana mungkin adik semanis ini hidup dengan sepi?

"Unggul, bangun Nggul, nasinya udah matang. Ayo makan dulu," kata Adi dengan suara tercekak.

Mau tidak mau Adi mengurungkan niatnya untuk membangunkan Unggul lagi. Dia meletakkan sepiring nasi itu di pinggiran kasur, kemudian ikut berbaring di samping Unggul. Dia mendekap erat Unggul, berharap momen ini akan bertahan sedikit lebih lama lagi.

Semakin Adi mendekap erat Unggul, semakin sesak dan sedih yang menyayat hatinya. Rasanya ada beberapa bagian tubuh Adi yang remuk. Lukanya memang tidak terlihat, namun rasa sakitnya amat sangat menyiksa.

Perasaan hangat itu kini perlahan mulai berubah menjadi dingin.

"Nggul ..., maafin Kakak ya." Adi mulai membekap mulutnya, dia berusaha menahan isakan tangisnya. "Kakak gak ada saat kamu butuh temen. Kakak gak pernah mau tahu kalau kamu di rumah ini selalu sendiri. Kakak bahkan gak pernah tahu kalau kamu kelaparan."

Adi mengusap rambut halus Unggul sembari menciuminya.

"Kakak gak bisa bayangin betapa bingungnya kamu di usia itu."

"... Kak."

Adi tersentak mendapati Unggul yang menatap polos ke arahnya. Secepat mungkin dia menghapus air mata supaya adik kecilnya tidak melihat.

"Ya?"

"Kakak gak salah. Aku harap Kakak gak menyalahkan diri sendiri ... sebegitu kerasnya."

Tangis Adi pecah, dia masih berusaha menahan tangis yang malah membuat bahunya berguncang hebat.

Unggul mengusap eluh di pipi Adi, "... airnya hangat. Pelukan Kakak juga hangat."

Adi sudah tidak bisa menjawab apapun, dia benar-benar kalut.

"Kak, aku gakpapa. Meskipun aku merasa sedih, tapi di rumah ini, di kasur ini, ingat gak dulu pas mati lampu kita berempat barengan sambil Bapak yang bercerita dongeng, terus Ibu yang meluk kita."

Adi mengangguk, lagi-lagi tidak bisa menjawab apapun.

"Aku sempat bahagia. Tidak ..., aku masih bahagia. Aku pengen deh, Bapak Ibu juga ada di sini sekarang."

Adi kembali merengkuhnya, sangat erat, seperti orang yang tidak ingin kehilangan apapun lagi.

"Ayo makan dulu, nasinya udah matang."

Unggul mengangguk.

Adi langsung bangkit dan mengambil sepiring nasi yang dia masak tadi. "Cuma pakai telur dadar aja gakpapa ya, besok Kakak beliin daging rendang."

"Aku paling suka telur dadar di dunia. Aku gak mau daging."

"Oyaa? Bukannya waktu itu kamu bilang paaaaling suka sama bunga matahari di dunia ini?"

"Oiya! Aku sampai lupa. Kalo gitu berarti telur dadarnya nomor dua, Kak."

"Nanti kalau pulang lagi, Kakak janji teras depan pasti penuh sama bunga matahari terus."

Unggul mengangguk, dia menerima dengan ceria suapan nasi dari Kakaknya. Matanya berbinar, seolah-olah kesedihannya sudah hilang dalam sekejap.

Tak selang lama, pintu depan seperti sedang di buka paksa oleh beberapa orang.

"Siapa?" Adi hendak bangkit dan melihat apa yang tengah terjadi namun Unggul menahan tangannya.

"Kakak di sini aja."

"Tapi ...."

"Gakpapa kok, mereka bantuin Kakak."

Adi masih heran dan penasaran.

Pintu itu berhasil terbuka. Ada beberapa orang yang masuk, beberapa diantaranya adalah Pak Ito selaku ketua RT yang Adi ingat dan Pak Nandar.

"Pak, ada apa?" tanya Adi sembari menghampiri.

"Gini Pak RT, rumah ini itu diwariskan ke Mas Adi, tapi beliau gak pernah mau pulang, kerabatnya juga gak tahu selama ini Mas Adi itu ngerantau dimana. Jadi tadi pas saya dapat beritanya, saya kaget, makanya saya minta Pak RT buat jadi saksi kita masuk ke rumahnya."

Pak Ito mengangguk, "loh TV-nya kok nyala, Mas Nandar?"

"Pak, ini ada apa ya? Saya juga di sini loh, Pak," tanya Adi lagi masih mencoba memastikan.

"Mas Adi biasanya kirim uang ke saya buat bayar tagihan listrik, Pak. Tapi saya juga gak tahu, emang biasanya TVnya suka nyala sendiri."

"Sekarang kerabatnya bagaimana?"

"Sudah dalam perjalanan ke sini semua, Pak."

Adi tertegun mendengar percakapan Pak Nandar dan Pak Ito. Dia buru-buru mencari Unggul, namun ternyata nihil, di kasur depan TV itu sekarang tidak ada siapapun.

"Unggul...." lirih Adi.

Di teras, sebuah ambulans baru saja tiba. Para tetangga mulai berkerumun. Ada yang mulai menangis, ada pula yang mulai bergosip.

Pak Nandar mulai mendekat ke arah jenazah, "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."

Crash!....

Tiba-tiba lampu di ruang tamu rumah tersebut pecah di saat bersamaan Adi terkejut dan tersimpuh melihat tubuhnya berbaring di sana.

Adi baru sadar ternyata dia juga sudah tiada.

"Ya Allah, Mas Adi, kemarin bilangnya mau pulang, sekarang sudah pulang beneran," lirih Pak Nandar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Kasur depan TV itu
SIONE
Novel
Gold
The Haunting of Hill House
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Rumah Seribu Jendela
Randy Arya
Novel
MISTERI RUMAH BAMBU DI BUKIT WINGIT
Embart nugroho
Novel
Gold
Fantasteen Black Shadow
Mizan Publishing
Flash
Besok Pagi, Ketika Matahari Terbit
Ikhsannu Hakim
Novel
Bronze
Hidup Dengan Mayat ~Novel~
Herman Sim
Novel
Gold
Fantasteen Scary Dark Journey
Mizan Publishing
Novel
Gold
Fantasteen The Lagaziv School of Vathana
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
5 Langkah Sebelum...
Kemal Ahmed
Novel
The Fifth Sense
Iqsal Anaqi Santosa
Novel
DARAH DENDAM
Trajourney
Novel
GARIS MERAH
Rizqy Kurniawan
Cerpen
Bronze
Teka Teki Pembunuh Misterius
Saputra
Novel
Mantra Kuning
Rie Arshaka
Rekomendasi
Cerpen
Kasur depan TV itu
SIONE
Flash
Jam Lima
SIONE
Flash
Bronze
Ulang Tahun
SIONE
Flash
Jiwa Kecil
SIONE
Cerpen
Bronze
Jejal Nestapa
SIONE
Flash
Bronze
Mendung dan Bayangan
SIONE
Cerpen
Bronze
NURAGA
SIONE
Flash
Bronze
Dialog Kematian
SIONE
Flash
Marah
SIONE
Flash
Bronze
Abe's Journey
SIONE
Flash
Ambil porsimu
SIONE