Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Kasur Basah
8
Suka
3,546
Dibaca

Pikiranku saat ini penuh. Entah kenapa rasanya ingin ikut marah. Mungkin karena saat ini aku duduk di meja makan sambil mendengarkan Ibuku memarahi adikku. Karena tiga hari terakhir, dia selalu mengompol. Sedangkan adikku bersikeras bahwa dia tidak mengompol.

"Ini lho, lihat celana Adi. Nggak basah kan?" Adi berkata tak kalah sengit dari Ibu. Menunjukkan celananya di bagian itu tidak basah. Dia bersikeras menyangkal, seakan memang itu bukan salahnya. Tapi, bukti bahwa kasur yang dipakainya basah membuat ibunya tak menerima alasan lain.

Awalnya kupikir, dia sedang mimpi basah. Mengingat usianya sudah menginjak 18 tahun. Tapi, setelah aku mengeceknya, aku tahu itu bukan. Aromanya juga berbeda. Aneh memang.

Mendengarkan mereka saling adu argumen membuat makanan di depanku terasa hambar. Aku tak menghabiskan semuanya dan pergi dari rumah. Aku nggak mau ikut-ikutan gila cuma gegara kasur basah. Aku tak peduli itu air kencing atau air lain.

Terserah padamu mau berpikir tentangku seperti apa. Tapi percayalah sebenarnya aku ingin membantu, hanya saja entah kenapa emosiku turut dipantik setiap hendak menghentikan cekcok antara keduanya. Aku tak mau amarahku memperburuk situasi yang panas itu. Lagipula ini cuma perkara kasur yang basah.

***

Esoknya kupikir semua masalah akan usai begitu saja. Tapi semuanya semakin parah. Adikku menghilang. Menyisakan kasurnya yang basah. Kupikir dia kabur atau semacamnya karena hal ini terjadi untuk keempat kalinya. Entah karena muak berdebat dengan ibu atau bagaiamana, aku tak tahu. Yang jelas dia pergi tanpa membawa apa-apa. Tanpa uang. Tanpa baju ganti. Ataupun Handphone. Sayangnya ibuku tak menaruh curiga bahwa Adi sedang diculik atau semacamnya.

Ibuku tak sedih dengan perginya Adi. Dia malah marah-marah. Karena sekarang, dialah yang harus membersihkan kekacauan yang dibuat adikku.

Takut menjadi sasaran amarahnya, aku membantunya. Kasur itu benar-benar basah. Terutama dibagian bawah, tempat seharusnya pinggul berada. Sangat masuk akal apabila disebut kencing sih memang. Tapi, kenapa Adi menyangkal sebegitu kerasnya?

Esoknya ternyata Adi tak kunjung kembali. Ibuku mulai khawatir, tapi dia melampiaskannya dengan marah-marah. Karena tak betah dengan ocehan ibu, aku izin keluar dengan alasan mencari Adi. Padahal yang kulakukan hanya ke warung kopi dekat rumah sambil menghubungi teman-teman Adi. Namun, mereka berkata tidak ada yang tahu keberadaannya. Padahal, aku berharap salah satu dari mereka akan menjawab iya dan mengatakan bahwa Adi sedang bersamanya.

Barulah aku benar-benar cemas dengan kepergiannya. Aku mengatakan semuanya kepada Ibu, tapi beliau malah marah-marah. Entah kenapa. Seingatku ibuku tak sepemarah ini. Apakah usahanya sedang memburuk? Aku tahu menjadi orang tua tunggal itu susah. Makanya, sebisa mungkin aku mengerjakan semuanya sendiri.

Besok, jika Adi tak kunjung pulang, aku akan ke kantor polisi. Begitu pikirku menutup hari ini.

***

Paginya aku benar-benar terkejut mengetahui kakiku basah. Aku menyibak selimutku hingga terjatuh. Masa aku mengompol? batinku tak percaya. Kurasakan celanaku memang basah. Tapi aku sama sekali tak ingat bermimpi kencing atau semacamnya.

Tak mau Ibuku tahu tentang hal ini, aku segera mengambil spons untuk menyerap air. Airnya cukup banyak. Baunya juga tidak pesing. Jika bukan air kencing, lalu air apa? Otakku berputar memikirkan kemungkinan yang ada. Sayangnya tidak ada. Tidak ada tanda-tanda kebocoran di atap, dinding, atau lantai. Semalam juga tidak hujan. Jendelaku terkunci rapat.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Sejenak kupikir kalau ini sejenis penyakit dan aku tertular oleh Adi. Tapi aku segera menepisnya. Mana ada penyakit semacam itu? Malahan aku teringat kalau hari itu harus ke kantor polisi untuk melaporkan hilangnya Adi.

Setelah kasur kukeringkan dengan hair dryer, aku kembali izin ke ibu dengan alasan yang sama. Kali itu ibu tidak marah. Mungkin ibu sudah sembuh atau memang belum ada pemantik yang memicunya. Bahkan aku tak mau bilang kalau hari itu aku ke kantor polisi.

Hampir seharian aku di kantor polisi. Mereka terlalu lamban dalam bekerja. Padahal semua berkas dan informasi yang mereka butuhkan sudah kusiapkan, tapi mereka bertele-tele dengan urusan administrasi tidak jelas itu. Jengkel sebenarnya. Tapi, aku tak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi selain mereka.

Berkali-kali kutekankan kalau adikku tidak pulang sejak dua hari lalu agar mereka segera melakukan pencarian. Semuanya sudah kuceritakan. Mulai masalah kasur basah hingga cekcok dengan ibuku. Tapi inspektur yang mendengarkan ceritaku itu hanya mengangguk-angguk sambil mencoret-coret memo kecilnya. Dia hanya berkata akan segera mencari adikku.

Kiranya pukul tujuh malam, aku baru sampai rumah. Kekesalanku masih tertinggal di dada. Melihat ibuku sedang menonton televisi sambil menikmati secangkir teh, langkahku, terhenti. Bukan karena heran ibuku tak panik atas hilangnya Adi. Tapi untuk sekilas aku melihat bayangan hitam. Gerakannya sangat cepat. Masuk ke kamar Adi dan menutup pintu.

Kupikir itu Adi. Aku berniat langsung menegurnya karena membuat satu rumah khawatir, tapi begitu aku membuka pintu kamarnya. Kosong. Tak ada siapa-siapa di sana.

"Adi?!" panggilku. Kali saja, dia bersembunyi. Tapi nihil. Ruangan itu sunyi.

"Jam berapa ini, Hendra?" Dari belakang ibuku membentakku. "Kupikir kau ikut minggat menyusul Bapakmu dan Adi itu."

"Aku kan cari Adi, Bu! Memangnya Adi pergi ke tempat Bapak?" tanyaku dengan sabar. Padahal lava dalam diriku bergejolak. Siap meletus hebat. Tadi polisi. Sekarang Ibu. Kenapa orang-orang senang sekali memancing emosiku?

Ibuku merengut, meletakkan tehnya. "Memang mau kemana lagi bocah nakal itu pergi?"

Tak mau ocehannya merembet kemana-mana. Aku memutuskan untuk masuk kamarku. Bahkan rasa penasaran akan sosok aneh itu, lenyap seketika.

Sebenarnya saat itu aku sangat lapar. Seharian ini aku baru ingat belum makan sama sekali. Tapi, sekarang aku tak peduli. Ibuku di luar masih mengomel. Aku menutup kepalaku di bawah bantal. Hingga tanpa sadar, aku ketiduran.

***

Esoknya kasurku kembali basah.

"Janc*k! Ta*!" umpatku keras.

Aku nggak ngompol anj*ng, batinku frustasi. Tapi umpatanku pagi itu terdengar kencang. Hingga pintu kamar menjeblak terbuka. Ibuku masuk dengan kunci cadangan di tangannya. Kali itu, aku tak bisa menyembunyikan kasur basah ini lagi. Dan kau tau kelanjutannya bagaimana.

Ibuku memulai pagiku dengan omelannya. Ocehan yang sama seperti ketika Adi melakukannya. Mendengarnya saja dulu membuatku muak. Kini ocehannya itu ditujukan padaku. Bayangkan, seberapa buruknya hal itu.

Sekesal apapun aku pada ibuku, aku tak seperti Adi, aku sama sekali tak berani memaki ibuku balik. Kutahan rasa amarah di dadaku kuat-kuat. Membuat dadaku sesak. Akhirnya air mataku yang melepas emosi itu pelan-pelan.

Aku membersihkan kasur basah itu dengan terisak. Ibuku tak membantu. Dia hanya memarahiku. Berpikir bahwa aku meniru Adi. Lalu, berniat minggat. Tapi, jujur sepertinya itu yang bagus, pikirku.

***

Setelah matahari tergelincir dari posisi tertingginya, ibuku kembali tenang. Kasurku juga sudah kering. Aku duduk di sofa ruang tengah dengan kepala yang pusing. Banyak sekali pikiran dalam benakku. Karena masih capek, aku ketiduran.

Tes!

Setetes air menitik di dahiku. Membuatku tersentak. Saat aku mencari tahu air apa itu. Aku kembali melihat sekelebat bayangan bergerak. Kali ini bayangan itu masuk ke kamarku. Dan seperti kemarin, setelah aku memeriksanya. Kosong. Tak ada siapa-siapa.

Apa aku sudah gila? pikirku. Mengingat stress yang terus menekanku selama seminggu terakhir.

Belum sempat pikiranku tenang, aku kembali teringat Adi. Aku menghubungi polisi kembali lewat nomor telepon yang diberikan. Tapi, Katanya belum ada kabar. Jawaban klise. Aku mengumpat kasar padanya.

"C*k"

Lalu, mematikannya.

Kemudian, aku teringat perkataan ibu soal ayah. Meski cukup mustahil Adi mengunjunginya. Karena selain kami membencinya, sekarang Ayah ada di Australia bersama keluarga barunya.

Sayangnya, kekhawatiranku mengalahkan logikaku, aku menghubunginya. Dan yeah, dia tak tahu apa-apa. Dia sempat bertanya, "memangnya ada apa?" Aku tak menjawabnya dan mematikan sambungan telepon. Melemparnya jauh-jauh.

Aku kembali ke kamar Adi dan kamarku sendiri. Menyelidiki soal air misterius ini. Darimana sumber air itu berasal? Dan kenapa ini terjadi padaku tepat setelah hilangnya Adi? Karena tak menemukan celah sedikitpun terkait masalah ini. Aku memutuskan akan begadang malam ini. Karena air itu hanya muncul ketika malam. Jika aku begadang, apapun itu, aku akan mengetahuinya.

***

Malam itu kusiapkan se-teko penuh kopi hitam dan memasang alarm setiap setengah jam. Kuharap itu ampuh karena aku tidak pernah begadang sebelumnya. Bahkan semasa kuliah, aku selalu tidur tepat waktu. Teman-temanku heran. Tapi setelah ditelisik, ini tentang masalah pembagian waktu. Juga masalah personal. Aku tak pernah menang melawan rasa kantuk.

Begitupun malam itu, sekitar pukul sebelas lebih lima menit, pada akhirnya aku kehilangan kesadaranku.

***

Entah pukul berapa ketika aku mendengar suara alarm berbunyi. Tapi, bukan hanya dering tak mengenakkan itu yang membuat kesadaranku segera kembali. Aku merasakan ada air yang menetes di kakiku.

Tes! Tes! Tes!

Kupikir saat itu hujan dan atapku sedang bocor. Tapi diluar sama sekali tak terdengar suara hujan.

Tes! Tes! Tes!

Dari pandanganku mulai terbiasa dengan gelap, sayup-sayup aku melihat sesuatu di depan kasurku. Sosok mengerikan yang membuat mataku membulat sempurna. Tubuhku mematung. Mulutku tertutup rapat. Hanya jantungku yang bisa bergerak. Berdebar lebih cepat.

Tes! Tes! Tes!

Sosok itu tinggi besar dengan badan kecil berwarna hitam. Lengannya panjang menjuntai. Dan yang paling mengerikan adalah kepalanya. Sangat besar. Sebesar bola penghancur gedung. Dari mulutnya yang menganga lebar menetes air liur dengan deras.

Tes! Tes! Tes!

Monster itu lapar. Pikirnya aku adalah hidangan yang lezat. Tepat ketika mata kami saling bertatapan mulutnya terkatup sesaat. Membentuk senyum yang mengerikan. Lalu, dia membuka mulutnya lebar-lebar. Melahap diriku yang bergeming ketakutan.

Terakhir yang kuingat, dalam mulutnya ada baju tidur milik Adi yang telah terkoyak.

Dampit, 30 Desember 2024

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Kasur Basah
Hekto Kopter
Novel
Bronze
Siswa Sempurna [Bagian 1 | Sisi Terang]
Ikhsannu Hakim
Flash
Bronze
Monster
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
MUTASI DARI KAMAR BEDAH
Drs. Eriyadi Budiman (sesuai KTP)
Cerpen
Bronze
Sisi Lain
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Sang Pemancing dan Burung Kembara
Fazil Abdullah
Flash
WONDERLAND
Ri(n)Jani
Flash
Mustika Kebahagiaan
Erlang Kesuma
Novel
Temukan Aku!
Rexa Strudel
Cerpen
Bronze
Lukisan Terakhir
Ayub Wahyudin
Skrip Film
Ada di antara Mereka
Awal Try Surya
Cerpen
Bronze
Menur: Dendam Roro Jongrang
Mila Phewhe
Cerpen
Bronze
Teror Pocong Si Nina
Nisa Dewi Kartika
Novel
Bronze
Wentira "Another Story of the Invisible City"
Etzar Diasz
Flash
Bronze
Sembilan Nyawa
Keita Puspa
Rekomendasi
Cerpen
Kasur Basah
Hekto Kopter
Cerpen
Bronze
Sang Penghancur
Hekto Kopter
Flash
Perjalanan Pulang
Hekto Kopter
Cerpen
Bronze
Lima Botol
Hekto Kopter
Flash
Pria Tua di Cafe Modern
Hekto Kopter
Cerpen
Bronze
Suara Seruling
Hekto Kopter
Cerpen
Bronze
Langit
Hekto Kopter
Cerpen
Bronze
Ramalan Ghina
Hekto Kopter
Cerpen
Bronze
Peduli Upil
Hekto Kopter
Cerpen
Buah yang Berbuah Tiap Tiga Tahun Sekali
Hekto Kopter
Cerpen
Bronze
Kolam Ikan
Hekto Kopter
Flash
Pria dengan Sebatang Rokok pada Dini Hari
Hekto Kopter
Flash
Tenggelam
Hekto Kopter