Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin sore itu berembus pelan, dinginnya menembus jaket rajut yang memeluk tubuhku. Aku duduk di ujung dermaga kayu yang sudah usang, membiarkan kaki menggantung di atas permukaan danau yang tenang. Permukaan air memantulkan semburat jingga matahari yang perlahan tenggelam, seolah melukiskan keindahan yang tak pernah pudar. Danau Permata Hijau, itulah nama yang kuberi untuk tempat ini, di mana setiap sudutnya menyimpan bisikan kenangan. Wangi pinus dari pepohonan di seberang danau selalu mengingatkanku pada Akira, cinta pertamaku. Sebuah wangi yang dulu begitu menenangkan, kini terasa menyesakkan.
“Faya, pulang yuk. Udah hampir malam,” suara lembut Ibu membuyarkan lamunanku. Dia duduk di bangku taman dekat dermaga, tangannya sibuk merajut syal musim dingin.
Aku menoleh, memaksakan seulas senyum. “Sebentar lagi, Bu. Pemandangan di sini indah sekali.”
Ibu menghela napas, rajutannya berhenti sejenak. “Bukan cuma pemandangan, kan? Kamu tahu Ibu tidak suka kamu terus-terusan begini.”
Kepalaku tertunduk. Aku tahu apa yang Ibu maksud. Setiap hari, sepulang kuliah atau saat liburan semester seperti sekarang, kakiku selalu melangkah ke dermaga ini. Bukan hanya untuk menikmati keindahan, tapi untuk kembali menziarahi kepingan hatiku yang hancur. Ini adalah tempat terakhir yang kusimpan utuh, satu-satunya yang masih terasa seperti rumah bagi kenangan kami.
“Ibu cuma ...