Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
2
Suka
1,064
Dibaca

Angin sore itu berembus pelan, dinginnya menembus jaket rajut yang memeluk tubuhku. Aku duduk di ujung dermaga kayu yang sudah usang, membiarkan kaki menggantung di atas permukaan danau yang tenang. Permukaan air memantulkan semburat jingga matahari yang perlahan tenggelam, seolah melukiskan keindahan yang tak pernah pudar. Danau Permata Hijau, itulah nama yang kuberi untuk tempat ini, di mana setiap sudutnya menyimpan bisikan kenangan. Wangi pinus dari pepohonan di seberang danau selalu mengingatkanku pada Akira, cinta pertamaku. Sebuah wangi yang dulu begitu menenangkan, kini terasa menyesakkan.

“Faya, pulang yuk. Udah hampir malam,” suara lembut Ibu membuyarkan lamunanku. Dia duduk di bangku taman dekat dermaga, tangannya sibuk merajut syal musim dingin.

Aku menoleh, memaksakan seulas senyum. “Sebentar lagi, Bu. Pemandangan di sini indah sekali.”

Ibu menghela napas, rajutannya berhenti sejenak. “Bukan cuma pemandangan, kan? Kamu tahu Ibu tidak suka kamu terus-terusan begini.”

Kepalaku tertunduk. Aku tahu apa yang Ibu maksud. Setiap hari, sepulang kuliah atau saat liburan semester seperti sekarang, kakiku selalu melangkah ke dermaga ini. Bukan hanya untuk menikmati keindahan, tapi untuk kembali menziarahi kepingan hatiku yang hancur. Ini adalah tempat terakhir yang kusimpan utuh, satu-satunya yang masih terasa seperti rumah bagi kenangan kami.

“Ibu cuma ingin kamu bahagia, Nak. Jangan terus-terusan hidup di masa lalu. Akira sudah…”

“Sudah menemukan kebahagiaannya sendiri,” potongku lirih, tanpa berani menatapnya. Kalimat itu bagaikan belati tumpul yang berulang kali menusuk, rasa sakitnya tak lagi tajam, tapi meninggalkan nyeri yang berdenyut-denyut.

***

Ingatanku melayang empat tahun silam, saat aku masih menjadi siswi SMA dengan seragam putih abu-abu yang kebesaran. Aku dan Akira pertama kali bertemu di acara orientasi siswa baru. Aku yang pemalu dan dia yang supel, entah bagaimana takdir mempertemukan kami.

Suatu sore, setelah pulang sekolah, aku mengambil jalan pintas melewati hutan cemara di belakang sekolah. Aku sedang membaca buku puisi kesayanganku, ‘Pada Suatu Hari Nanti’ karya Sapardi Djoko Damono, sambil berjalan santai. Tiba-tiba, suara langkah kaki tergesa-gesa di belakangku membuatku terkejut.

“Aduh, maaf!” Suara bariton itu diikuti tubuh seorang laki-laki yang oleng, hampir menabrakku. Buku puisiku terjatuh, lembaran halamannya sedikit terlipat.

“Hati-hati, dong!” keluhku, sedikit kesal.

Dia, dengan rambut berantakan dan senyum kikuk, segera memungut buku itu. “Maaf, aku buru-buru. Nanti telat ekstrakurikuler basket.” Dia menyerahkan buku padaku. Matanya yang hitam pekat menatapku sejenak, membuat pipiku sedikit merona.

“Makasih,” gumamku.

“Aku Akira,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“Faya.”

“Buku puisinya bagus.” Dia melirik sampul buku. “Kamu suka puisi?”

Aku mengangguk. “Suka.”

“Wah, sama dong! Aku juga. Tapi lebih suka bikinnya.” Dia tersenyum, senyumnya entah mengapa terasa menular. “Nanti kalau ada waktu, aku bacakan puisiku, ya. Tapi sekarang, aku harus buru-buru. Sampai ketemu besok, Faya!”

Sejak pertemuan singkat itu, kami mulai sering berinteraksi. Setiap jam istirahat, di perpustakaan, atau saat pulang sekolah, percakapan kami mengalir begitu saja. Aku menemukan banyak kesamaan dengannya; kami sama-sama menyukai musik indie, film-film drama yang mengharukan, dan—tentu saja—puisi. Akira sangat berbakat dalam merangkai kata, seringkali membuatku terkesima dengan sajak-sajaknya yang penuh makna.

Dia pernah bercerita tentang latar belakangnya yang *broken home*. Orang tuanya bercerai saat dia masih kecil, dan dia seringkali merasa sendirian meskipun tinggal bersama ayahnya. Di mataku, Akira tidak mencari simpati, dia hanya mencari seseorang yang bisa mendengarkannya tanpa menghakimi. Aku sadar, dia menemukan kenyamanan padaku, dan aku pun demikian. Aku merasa menjadi seseorang yang penting baginya, seseorang yang bisa membuatnya tersenyum di tengah hari-hari yang mungkin terasa berat.

Kedekatan kami tumbuh menjadi benih-benih cinta pertama yang polos dan tulus. Puncaknya adalah di Danau Permata Hijau ini. Suatu sore, saat senja mulai menyelimut, Akira membawaku naik perahu kecil ke tengah danau. Aku gugup sekaligus bahagia.

Dia mendayung dengan perlahan, membiarkan perahu melaju pelan di atas air yang berkilauan. Setelah sampai di tengah, dia menghentikan dayungannya dan menatapku.

“Faya,” panggilnya, suaranya sedikit bergetar. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku… aku suka kamu. Lebih dari teman.”

Detak jantungku berpacu. Aku tak bisa berkata-kata, hanya menatapnya dengan mata berbinar.

Dia tersenyum lagi, senyum yang sama saat pertama kali kami bertemu di hutan cemara. “Aku mau kamu jadi pacarku. Kamu mau?”

Aku mengangguk cepat, air mata haru mulai menggenang di pelupuk mata. “Mau, Ki. Aku mau.”

Dia tertawa pelan, meraih tanganku. “Aku janji, aku akan selalu jaga kamu, Faya. Aku akan selalu ada untuk kamu.”

Malam itu, di bawah kerlip bintang yang mulai bermunculan, dia mengeluarkan sebotol kecil parfum dari sakunya. Botolnya polos, berisi cairan bening, tapi aromanya… wangi pinus yang khas, yang selalu menemaniku di danau itu.

“Ini parfum kesukaanku,” katanya. “Wangi pinus. Aku mau kamu juga pakai ini.”

Dia menyemprotkannya sedikit ke pergelangan tanganku, lalu menciumnya pelan. “Sekarang, setiap kali kamu cium wangi ini, kamu akan ingat aku. Dan setiap kali aku menciumnya, aku akan ingat kamu. Wangi pinus ini akan jadi saksi kebersamaan kita.”

Aku tersenyum, air mata haru kembali menetes. Rasanya, seluruh dunia berhenti berputar, dan hanya ada kami berdua di tengah danau, di bawah langit senja yang memerah. Janji itu, wangi itu, dan semua kenangan indah itu, terukir dalam di hatiku, menjadi fondasi kokoh untuk apa yang kupercaya akan menjadi cerita cinta abadi.

 ***

Waktu berlalu. Kami tumbuh bersama, melewati masa-masa SMA yang penuh cerita. Setelah lulus, Akira memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jakarta, sementara aku memilih universitas di kota yang sama. Hubungan jarak jauh dimulai. Awalnya semua baik-baik saja, komunikasi kami intens. Dia sering pulang, kami bertemu di dermaga, mengulang janji-janji lama. Tapi perlahan, frekuensi kepulangannya berkurang. Panggilan telepon dan pesan teks mulai merenggang. Aku merasakan ada yang berbeda, tapi aku selalu menepis pikiran buruk itu. Aku percaya pada janji di danau, pada wangi pinus yang kami bagi.

Hingga suatu hari, sekitar setahun setelah dia kuliah di Jakarta, Akira tiba-tiba pulang. Dia meneleponku, mengajakku bertemu di Cafe Rainbow, tempat favorit kami. Aku datang dengan hati berdebar, berpikir mungkin dia akan memberikan kejutan, atau sekadar ingin menghabiskan waktu lebih lama denganku. Aku merindukannya.

Ketika aku tiba, dia sudah duduk di sudut, ekspresinya sulit kubaca. Aku tersenyum, melangkah mendekatinya.

“Akira! Kapan sampai?” sapaku ceria, ingin memeluknya.

Dia hanya tersenyum tipis, tidak berdiri untuk menyambutku. “Barusan. Duduklah, Faya. Ada yang ingin aku bicarakan.”

Senyumku pudar. Firasat buruk yang selalu kutepis kini merayap naik. Aku duduk di hadapannya, jantungku berdetak tak keruan.

“Ada apa, Ki?” tanyaku, mencoba terdengar tenang.

Dia menarik napas panjang. Matanya menghindari tatapanku. “Faya, aku… aku rasa kita harus putus.”

Dunia serasa runtuh. Kopi yang baru saja disajikan di mejaku terasa pahit.

“Apa?” Suaraku hampir tak terdengar. Aku berharap aku salah dengar, berharap ini hanya mimpi buruk.

“Hubungan jarak jauh ini terlalu sulit, Faya,” lanjutnya, suaranya pelan. “Aku… aku tidak bisa lagi. Aku butuh seseorang yang selalu ada di sampingku, seseorang yang bisa kugandeng, kutemui setiap saat.”

“Jadi… jadi selama ini aku tidak cukup?” tanyaku, air mata mulai menggenang. “Janji kita di danau… wangi pinus itu… apa artinya?”

Dia menghela napas. “Aku tahu ini berat, Faya. Aku juga… aku sudah menemukan seseorang di Jakarta. Dia selalu ada untukku.”

Kata-kata itu seperti ribuan jarum yang menusuk hatiku. Aku merasa hancur, dikhianati, dan tidak berharga. Semua kenangan indah kami, semua janji manis, seolah menguap begitu saja, tak berarti apa-apa baginya.

Aku berdiri, kursiku berderit nyaring. “Aku… aku tidak percaya kamu.” Air mata akhirnya tumpah, membasahi pipiku. “Aku benci kamu, Akira!”

Aku berbalik, berlari keluar dari Cafe Rainbow tanpa menoleh ke belakang, tanpa memberinya kesempatan untuk mengucapkan kata-kata perpisahan lebih lanjut. Tangisanku pecah di jalan. Aku tak peduli tatapan orang-orang. Aku hanya ingin lari, lari sejauh mungkin dari rasa sakit itu.

Ketika sampai di rumah, Ibu melihatku dengan mata cemas. Aku langsung memeluknya erat, menumpahkan semua kesedihanku di bahunya.

“Dia memutuskan aku, Bu! Dia jahat!” Tangisanku tak terbendung.

Ibu memelukku erat, mengelus rambutku. “Sudah, Nak, sudah. Biarkan sakitnya keluar. Ibu di sini, Ibu akan selalu ada untuk Faya.”

Malam itu, Ibu menemaniku hingga aku tertidur, terus-menerus menguatkanku. Dia bilang, ‘Mungkin dia bukan takdir terbaikmu, Faya. Akan ada pelangi setelah badai.’ Tapi saat itu, aku tidak bisa membayangkan ada pelangi lain di hidupku selain Akira. Aku hanya merasa hancur. 

Sejak saat itu, dermaga dan danau itu menjadi pelarianku. Aku tidak ingin melupakan Akira. Aku tidak bisa. Kenangan itu, meskipun menyakitkan, terasa seperti satu-satunya hal yang tersisa darinya. Setidaknya, di sini, aku bisa merasakan kehadirannya, mendengar bisikan janji-janji kami yang dulu. 

Suatu sore, saat aku sedang asyik melamun, merasakan dinginnya angin yang membawa aroma pinus, sebuah suara menyapaku.

“Ngelamun aja, Mbak.”

Aku terlonjak kaget. Seorang laki-laki berdiri tidak jauh dariku, tersenyum ramah. Dia tinggi, kulitnya sedikit gelap terbakar matahari, dengan mata yang teduh dan observan. Bajunya sederhana, kaus oblong dan celana jins, tapi tampak rapi.

“Eh, maaf,” ujarku, sedikit gelagapan. “Enggak, cuma… menikmati pemandangan.”

“Pemandangan di sini memang tidak ada duanya,” balasnya. “Sering lihat Mbak di sini. Kelihatannya suka banget sama danau ini.”

Aku merasa sedikit malu, seolah kebiasaanku terbongkar. “Iya… dari dulu memang suka ke sini.”

“Wajar saja. Danau ini memang menyimpan banyak cerita, ya kan?” ucapnya, senyumnya sedikit lebih lebar. Ada nada pengertian dalam suaranya. Aku merasa seperti dia tahu, atau setidaknya bisa merasakan, mengapa aku selalu di sini.

Aku hanya mengangguk pelan.

“Oh iya, saya Tio,” dia mengulurkan tangannya.

“Faya,” balasku, menjabat tangannya. Tangannya hangat dan sedikit kasar, seperti tangan seorang pekerja keras.

“Salam kenal, Faya,” ucapnya. “Saya baru pindah ke desa sebelah, jadi sering ke sini juga. Lumayan buat refreshing setelah seharian kerja.”

“Oh…” Aku tak tahu harus berkata apa lagi.

“Pulangnya sendirian?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Iya.”

“Besok sore ke sini lagi, ya?”

Permintaan mendadak itu membuatku sedikit terkejut. “Kenapa?”

Tio tersenyum. “Saya mau tunjukkan spot memancing yang bagus. Siapa tahu Mbak Faya suka. Biar enggak cuma ngelamun terus.”

Ada sedikit gurauan dalam suaranya, tapi tidak menyinggung. Aku merasa sedikit terusik, sekaligus penasaran. Dia tidak bertanya banyak, tidak menghakimiku. Dia hanya menawarkan sesuatu yang baru. Sebuah ajakan untuk keluar dari rutinitas lamunanku.

“Lihat nanti, ya,” jawabku, sedikit tersipu.

“Saya tunggu di sini,” kata Tio, lalu mengangguk sopan dan berlalu pergi, meninggalkan aku dengan secercah rasa penasaran yang aneh. Rasa kesepian yang selama ini membelengguku, sedikit demi sedikit, terasa terikis. Ini adalah langkah pertamaku, entah sadar atau tidak, keluar dari zona nyamanku.

Dan benar saja, keesokan harinya aku kembali ke dermaga. Aku tidak tahu mengapa, tapi entah Tio memiliki aura yang membuatku tertarik untuk melihat apa yang akan dia lakukan. Saat aku sampai, dia sudah duduk di ujung dermaga, alat pancingnya tergeletak di sampingnya.

“Wah, Mbak Faya datang juga!” serunya ceria. “Sini, sini, coba duduk di sini.” Dia menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Aku duduk dengan canggung.

“Mulai sekarang, jangan cuma ngelamun, ya. Coba pegang pancing ini.” Dia menyerahkan alat pancing padaku, lalu dengan sabar mengajariku bagaimana memasang umpan, bagaimana melempar kail, dan bagaimana merasakan gigitan ikan.

Aku yang awalnya hanya ingin menuruti ajakannya, perlahan menemukan kesenangan baru. Setiap kali umpan disentuh ikan, ada sensasi tegang yang menyenangkan. Dan setiap kali aku berhasil menarik ikan, ada rasa bangga yang tak terlukiskan. Tio tidak hanya mengajariku memancing, dia mengajariku untuk merasakan kegembiraan dari hal-hal kecil, untuk lebih aktif dan tidak hanya termenung dalam kesedihan.

“Mbak Faya, coba lihat matahari terbenam ini. Indah, kan?” suatu sore, Tio menunjukkan pemandangan danau yang diselimuti jingga.

“Iya, indah sekali,” kataku, terkesima.

“Kalau cuma dilihat saja, sayang. Coba abadikan.” Dia menyerahkan ponselnya padaku. “Coba foto. Nanti hasilnya bisa buat kenangan.”

Aku mencoba mengambil beberapa foto. Tio kemudian mengajariku tentang komposisi, pencahayaan, dan bagaimana menangkap momen dengan kamera. Perlahan, aku mulai mendalami fotografi. Mataku yang dulu hanya fokus pada kenangan masa lalu, kini mulai terbuka untuk melihat keindahan di sekitarku, keindahan alam yang selama ini tak kusadari masih ada. Tio telah membuka mataku.

Sebaliknya, Tio juga tertarik dengan duniaku. “Mbak Faya kan suka puisi. Coba dong buatkan puisi buat danau ini.”

Aku tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak menulis puisi. Tapi atas dorongan Tio, aku mulai mencoba lagi. Setiap kali kami bertemu, aku akan membacakan puisi baru yang kubuat. Tio mendengarkan dengan saksama, sesekali memberikan pujian atau pertanyaan yang membuatku berpikir lebih dalam.

“Puisi Mbak Faya selalu punya makna yang dalam,” ujarnya suatu kali. “Seperti Mbak Faya sendiri.”

Dari percakapan kami, aku tahu Tio adalah seorang pekerja keras. Dia datang dari keluarga sederhana, tulang punggung keluarga. Dia merantau ke desa sebelah untuk mencari pekerjaan yang lebih baik demi adik-adiknya. Dia bercerita tentang perjuangannya, tanpa sedikitpun keluhan, hanya semangat dan tekad. Aku melihat ketulusan dan ketabahan dalam dirinya, sesuatu yang sangat kontras dengan Akira yang plin-plan.

Hari-hari di dermaga mulai terasa lebih cerah. Tawa kami seringkali mengisi kesunyian senja. Aku merasa nyaman di dekatnya. Tio tidak pernah mencoba menggantikan Akira, dia hanya ada di sana, menemaniku, membantuku melewati masa sulitku, tanpa mengharapkan balasan. Dia adalah teman yang baik, pendengar yang sabar, dan seseorang yang perlahan-lahan mengembalikan senyum di wajahku.

Suatu sore, Tio menatapku dengan sorot mata yang berbeda. “Faya, aku… aku mau minta izin.”

Aku mengerutkan kening. “Izin apa, Tio?”

“Aku mau kenalan sama orang tua kamu. Aku mau… mau datang ke rumah kamu.”

Permintaannya itu membuat jantungku berdebar. Aku tahu apa artinya itu. Dia tidak hanya ingin menjadi teman. Dia ingin lebih. Rasa hangat menyelimuti hatiku. Luka di hatiku yang dulu terasa menganga, kini mulai menyembuh, ditutupi oleh benih-benih harapan baru yang Tio tanamkan. Aku menyadari bahwa aku bisa move on, bahwa aku bisa menemukan kebahagiaan baru, dan bahwa ada seseorang yang tulus dan sabar menantiku.

***

Liburan semester hampir berakhir. Aku sudah mulai terbiasa dengan rutinitas baruku bersama Tio. Pagi hariku diisi dengan membaca dan menulis, sore harinya di dermaga, memancing atau belajar fotografi. Kebahagiaan itu perlahan kembali mengisi relung hatiku.

Hari itu, Tio mengajariku cara membuat simpul pancing yang kuat. Tangannya yang hangat sesekali bersentuhan dengan tanganku, membuatku tersipu. Tawa kami memenuhi udara sore.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Nama ayah tertera di layar. Aku mengangkatnya.

“Halo, Yah?”

“Faya, kamu di mana? Cepetan pulang, Nak. Ada tamu datang. Dia bilang mau ketemu kamu.” Suara ayah terdengar sedikit tergesa-gesa.

“Siapa, Yah?” tanyaku penasaran. Tidak biasanya ayah begitu.

“Sudah, nanti kamu tahu sendiri. Pulang sekarang, ya.”

Ayah memutuskan sambungan telepon. Aku menatap Tio dengan bingung.

“Ada apa, Faya?” tanyanya.

“Ayah suruh aku pulang. Katanya ada tamu.” Perasaanku campur aduk antara penasaran dan sedikit khawatir.

“Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan, ya. Besok ketemu lagi di sini.” Tio tersenyum, senyumnya menenangkan.

“Iya, Tio. Sampai besok.”

Aku bergegas pulang. Langkah kakiku terasa cepat. Siapa yang datang? Jangan-jangan salah satu saudaraku dari kota lain. Sesampainya di depan rumah, aku melihat ada sebuah mobil terparkir yang tidak kukenali. Pintu rumah terbuka sedikit, dan samar-samar kudengar suara obrolan dari dalam.

Aku membuka pintu dan melangkah masuk.

“Faya, sudah pulang, Nak,” sapa Ibu, yang sedang duduk di ruang tamu.

Pandanganku langsung tertuju pada seseorang yang duduk di sofa, membelakangi pintu. Ketika orang itu menoleh, jantungku serasa berhenti berdetak.

Akira.

Dia duduk di sana, di ruang tamu rumahku, dengan buket mawar merah di tangannya dan sebuah keranjang berisi stroberi kesukaanku tergeletak di meja kopi di hadapannya. Rambutnya sedikit lebih panjang, dan dia tampak lebih dewasa, tapi senyumnya… senyum itu masih sama, senyum yang dulu selalu membuatku luluh.

“Hai, Faya,” sapanya, seolah kami baru bertemu kemarin sore.

Aku membeku di tempat. Rasa muak dan marah tiba-tiba membanjiri diriku. Bagaimana bisa dia kembali seolah tidak terjadi apa-apa? Seolah rasa sakit yang dia torehkan hanyalah sebuah lelucon.

Dia bangkit dari duduknya, melangkah mendekatiku. “Udah lama, ya. Kangen juga sama dermaga kenangan.” Akira tertawa ringan, berusaha memelukku.

Aku mundur selangkah, menghindari pelukannya. Mataku menatapnya tajam. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, sekaligus kemarahanku yang tiba-tiba meluap. Kehadirannya yang tiba-tiba, seolah tak punya malu, membangkitkan kembali luka lama yang selama ini perlahan-lahan kututup rapat. Ini adalah ujian, ujian terberat untuk hatiku yang baru saja mulai sembuh.

Akira menurunkan tangannya yang tadi ingin memelukku. Senyumnya pudar, digantikan ekspresi penyesalan yang kentara. “Faya, aku… aku minta maaf.”

Dia berlutut, tepat di hadapanku, menyodorkan buket mawar merah yang dia bawa. “Aku tahu aku salah besar. Aku menyesal, Faya. Sangat menyesal.”

Aku menatapnya. Matanya memancarkan kesungguhan, tapi aku tidak bisa lagi merasakan getaran yang sama. Hatiku terasa dingin, kosong.

“Aku janji, Faya. Aku akan berubah. Aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan pulang ke sini, aku akan cari kerja di sini, aku akan… aku akan menikahimu. Kita bisa bangun keluarga di sini, seperti yang selalu kita impikan.” Suaranya bergetar, mencoba meyakinkanku.

Kata-kata itu, janji-janji masa depan yang dulu pernah ia lontarkan, kini terdengar hampa di telingaku. Aku masih merasakan sisa-sisa cinta di sudut hatiku yang paling dalam, cinta pertama yang sulit untuk sepenuhnya lenyap. Tapi di atas segalanya, ada kekecewaan yang jauh lebih besar, kepercayaan yang telah hancur berkeping-keping dan tidak akan pernah bisa kembali utuh. Aku menggigit bibirku, mencoba menahan emosi yang bergejolak. Rasa sakit itu masih ada, namun kini bercampur dengan kemarahan dan sebuah kesadaran baru.

Aku sudah melewati begitu banyak hal tanpanya. Aku sudah belajar untuk berdiri sendiri, untuk menemukan kebahagiaanku sendiri. Aku sudah mengenal Tio, orang yang menunjukkan padaku bahwa ada wangi pinus yang berbeda, wangi yang membawa harapan, bukan hanya kenangan.

Dengan suara yang bergetar, namun penuh ketegasan, aku menarik napas panjang. Air mataku kembali menetes, bukan karena kesedihan yang sama, melainkan karena rasa sakit dari sebuah perpisahan final, sebuah pelepasan yang harus kulakukan untuk diriku sendiri.

“Akira…” Suaraku serak. “Aku… aku tidak bisa.”

Dia menatapku dengan mata memohon. “Faya, tolong… beri aku satu kesempatan lagi. Aku mohon.”

Aku menggelengkan kepala. “Terlambat, Ki. Aku sudah… sudah terbiasa hidup tanpamu.” Aku melirik buket mawar di tangannya, kemudian ke arah keranjang stroberi di meja. Semua itu, dulu, adalah hal-hal yang akan membuatku luluh. Tapi tidak lagi.

“Aku sudah tidak percaya padamu. Aku… aku harus pergi.”

Aku berbalik, berlari menuju kamarku, meninggalkan Akira yang masih berlutut di ruang tamu, dengan buket mawar dan stroberi yang kini terasa seperti ejekan. Aku menutup pintu kamarku dengan keras, membiarkan tangisanku pecah sekali lagi, namun kali ini, tangisan itu terasa berbeda. Ini bukan tangisan kehancuran, melainkan tangisan pelepasan. Aku telah membuat keputusan. Keputusan yang sulit, tapi benar. Aku telah membebaskan diriku dari belenggu masa lalu, dari kenangan yang selalu menghantuiku.

Aku tahu jalan di depanku mungkin tidak mudah. Tapi aku tidak sendirian. Aku memiliki Ibu, dan ada Tio. Ada harapan baru yang telah kutemukan, sebuah pelangi yang menanti setelah badai panjang. Aku memejamkan mata, merasakan desiran angin di balik jendela kamarku. Aroma pinus dari danau masih tercium samar, tapi kali ini, wangi itu terasa berbeda. Bukan lagi wangi kenangan pahit Akira, tapi wangi kebebasan, wangi harapan, wangi untuk babak baru dalam hidupku. Selagi kita mendamba, pasti akan ada takdir cinta. Dan aku, Faya, siap menyambut takdir itu, dengan hati yang lebih kuat dan berani. Esok hari, aku akan kembali ke dermaga. Bukan untuk mengenang masa lalu, melainkan untuk menyambut masa depan yang lebih cerah, mungkin bersama Tio, mungkin juga dengan diriku sendiri yang baru. Aku siap untuk wangi pinus yang berbeda.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Andai Kisah ini Tiba di Mejamu
Serasa Sarasa
Cerpen
Bronze
Kucing di tengah Hujan. Cerpen Ernest Hemingway. Penerjemah: ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Novel
You're Mine
Arinaa
Novel
January Fall
fikurizu
Komik
Sabtu Sore
Kamila
Skrip Film
Sari Cinta Pelangi
Gaharu Cakrawala
Flash
Percakapan Dua Ikan Kecil
Fatimah Ar-Rahma
Cerpen
Bronze
lahirnya mentari di langit biru
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
Bronze
Pasienku pasanganku
Author WN
Novel
Gold
KKPK Marley Days With Me
Mizan Publishing
Flash
Mengumpulkan Kenangan
Anne Maria Yulianna
Flash
Semua Untuk Yasmin
Hanachan
Flash
When the Falcon One Steps Back
Lora Arkansas
Flash
Kapan-Kapan Kita Foto Berlatar Biru
Foggy FF
Rekomendasi
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH SEMUSIM LALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JODOHKU, IBU SATU ANAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
GADIS TOMBOY TER DE BEST
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RANTAU RAMADHAN PERTAMA
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
KAU KHIANATI AKU, KUBATALKAN PERNIKAHAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
PAHIT GETIR CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum