Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
KASIH SEMUSIM LALU
2
Suka
712
Dibaca

Sore itu, mendung menggantung tebal di atas kota, seolah turut merasakan getar gelisah dalam dada Astri Apriliani. Mahasiswi cerdas yang punya nama panggilan Tri tersebut, sebenarnya adalah seorang perempuan yang tidak ingin terlibat dalam drama apapun. Ia melipat kursi plastik yang baru saja dipakai rapat Divisi Perekonomian UKM, menumpuknya rapi di sudut ruangan. Aroma debu bercampur kopi instan yang tumpah pagi tadi masih tercium samar, menambah pengap suasana di dalam sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa yang ukurannya terbilang minimalis tersebut. Astri menghela napas panjang, pikirannya melayang pada tumpukan tugas kuliah yang menanti di kosnya. Harusnya, sekarang ia sudah bergelut dengan buku, bukan membereskan sisa rapat yang tak ada habisnya.

Ketika ia meraih lap basah untuk membersihkan meja, sebuah bayangan muncul di ambang jendela. Jantungnya sontak berdebar. Bayangan tersebut membentuk siluet familiar yang membuat tangannya sedikit bergetar. Astri mendongak perlahan, seolah takut apa yang dilihatnya akan lenyap jika ia bergerak terlalu cepat. Di sana, bersandar santai pada kusen jendela yang sudah agak lapuk, adalah Mas Damar.

Cinta pertamanya.

Ia berdiri di sana, senyum tipis mengembang di wajah tampannya yang kini sedikit lebih dewasa, namun tetap dengan sorot mata yang hangat dan penuh rasa ingin tahu. Jaket denim yang dikenakannya terasa kontras dengan kemeja rapi yang biasa ia kenakan dulu saat SMA. Astri terpaku, lap di tangannya terasa berat, dan otaknya berusaha keras mencerna kenyataan yang tersaji di depan mata. Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, tanpa jejak, Mas Damar kembali. Kenangan yang Astri coba kubur dalam-dalam kini seolah meledak, berhamburan memenuhi setiap sudut benaknya.

“Tri,” suaranya lembut, seperti bisikan angin sore. Astri tidak yakin apakah suara itu nyata atau hanya rekaan imajinasinya yang terlalu merindukan.

Ia berdeham, mencoba mengusir kekakuan yang tiba-tiba melumpuhkan lidahnya. “Mas Damar?” ucapnya, suaranya sedikit serak. Mata mereka bertemu, dan di sana, Astri melihat bayangan masa lalu yang begitu manis sekaligus begitu menyakitkan.

***

Mereka akhirnya duduk di bangku taman kampus, jauh dari keramaian sekretariat UKM dan tatapan ingin tahu teman-teman Astri yang tadi sempat heboh melihat kedatangan Damar. “Cie, Tri, siapa tuh? Kok nggak pernah cerita punya pacar seganteng itu?” goda Laras, bendahara UKM, dengan seringai jahil. Komentar tersebut membuat Astri merasa makin tidak nyaman, seolah ia membawa sebuah rahasia besar yang terlarang.

“Apa kabar, Tri? Lama banget ya nggak ketemu,” kata Damar, memecah keheningan di antara mereka. Senyumnya begitu menawan, seperti saat ia masih SMA dulu.

“Baik, Mas. Mas sendiri bagaimana?” Astri berusaha terdensi biasa, meski setiap serat dalam dirinya berteriak panik. Ia tidak tahu harus bersikap apa. Ada rindu yang menggunung, ada luka lama yang menganga, dan ada kebingungan yang menyesakkan.

“Baik juga. Jujur, aku kaget waktu lihat kamu di sini. Nggak nyangka kita satu kampus,” Damar tertawa kecil. Tawa itu, Astri ingat, selalu berhasil meluluhkan hatinya.

Astri mengangguk pelan. “Iya, aku juga kaget. Mas ambil jurusan apa?”

“Manajemen Bisnis. Rencananya memang mau lanjutin perusahaan papa. Kamu?”

“Aku Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Mas.”

Damar terdiam sejenak, matanya menelusuri wajah Astri, seolah mencari sesuatu yang hilang. “Oh, masih suka nulis ya? Dulu kan kamu suka banget nulis puisi.”

Pernyataan Damar membuat pipi Astri merona tipis. Ia memang hobi menulis, dan Damar adalah satu-satunya orang yang tahu tentang hobi tersembunyi tersebut. “Sedikit, Mas,” jawabnya pelan.

“Tri, mau ikut aku sebentar nggak?” Damar menatapnya dengan tatapan memohon, tatapan yang Astri kenal betul dan sulit untuk ia tolak. “Ada sesuatu yang ingin aku lihat lagi. Sama kamu.”

Astri ragu. Hatinya berkata jangan, otaknya berteriak untuk menjauh. Namun, kaki-kakinya seolah punya pikiran sendiri, sudah melangkah mengikuti Damar menuju parkiran. Mereka masuk ke dalam mobil Damar, sebuah sedan hitam mewah yang sama sekali berbeda dengan sepeda motor usang yang biasa Damar pakai saat SMA dulu. Di dalam mobil, aroma maskulin yang khas bercampur wangi jeruk dari pengharum mobil. Astri merasa makin kikuk. Dunia mereka sudah terlampau jauh berbeda.

***

SMA 1 Teladan. Nama yang terpampang jelas di gerbang sekolah itu, meskipun catnya sedikit memudar, seolah menyambut mereka kembali ke masa lalu. Bangunan-bangunan sekolah yang dulu terasa begitu megah kini terlihat lebih mungil, tapi lorong-lorongnya, ruang-ruang kelasnya, bahkan lapangan basketnya, masih menyimpan jutaan kenangan.

“Dulu aku sering banget lari dari BK cuma gara-gara rambut panjang,” Damar tertawa, menunjuk ke arah ruang BK yang letaknya agak tersembunyi. Astri ikut tersenyum. Ia ingat, dulu Damar memang sedikit nakal, tapi kenakalannya itu selalu dibungkus dengan pesona yang tak tertandingi.

Mereka berjalan menyusuri koridor, melewati deretan kelas XII IPS 1. Kelas Astri dulu. Di sana, Damar menunjuk sebuah meja yang letaknya paling dekat dengan jendela. “Itu meja kamu, kan? Aku ingat, kamu selalu duduk di sana. Suka melamun sambil lihat ke luar jendela.”

Astri merasakan gelenyar aneh di perutnya. Bagaimana mungkin Damar masih mengingat detail sekecil itu? “Mas juga suka melamun, kalau pelajaran Fisika,” balas Astri, mencoba mencairkan suasana.

Mereka berhenti di dekat pohon beringin tua di tengah lapangan. Di sanalah, sekitar lima tahun yang lalu, kisah mereka berawal. Damar, yang saat itu menjabat Ketua OSIS, pernah menabrak Astri saat sedang membawa tumpukan buku, membuat semua buku berserakan di tanah. Sebuah modus yang lucu, jika diingat lagi.

“Aku ingat banget, kamu panik waktu itu. Minta maaf berkali-kali, padahal aku yang sengaja nabrak,” Damar terkekeh, mengenang momen tersebut.

Astri tersenyum malu. “Aku kira Mas benar-benar nggak sengaja.”

“Nggak mungkin. Mana mungkin aku nggak lihat bidadari lewat.” Damar menatap Astri, sorot matanya kembali pada masa-masa mereka kasmaran dulu. Astri merasakan pipinya kembali menghangat. Setelah kejadian “tabrakan” itu, Damar mulai sering mendatanginya, sekadar bertanya PR, mengantar pulang, atau menemaninya di perpustakaan. Perasaan mereka tumbuh pelan-pelan, seperti tunas yang malu-malu muncul setelah hujan.

Namun, kenangan manis tersebut perlahan bergeser, berganti dengan bayangan pahit yang menyayat hati. Astri ingat, suatu sore, Damar mengajaknya bertemu di sebuah kafe dekat rumahnya. Wajah Damar saat itu terlihat tegang, tangannya dingin.

“Tri, kita harus berhenti,” ucap Damar, suaranya nyaris tak terdengar.

Astri membeku. “Berhenti apa, Mas?”

“Orang tuaku… mereka nggak setuju. Mama tahu kalau orang tua kamu cuma pedagang keliling. Mereka bilang kamu nggak selevel sama keluarga kita.”

Hinaan tersebut seperti belati tajam yang menusuk tepat ke ulu hati Astri. Air matanya saat itu langsung menetes, deras. “Jadi, karena itu?” Suaranya bergetar.

Damar menunduk. “Aku minta maaf, Tri. Aku sudah mencoba bicara, tapi mama nggak mau dengar. Mereka bilang, mereka tidak akan pernah merestui hubungan kita.”

Saat itu, Astri merasa dunianya runtuh. Cintanya yang begitu tulus, yang ia kira akan bertahan selamanya, hancur berkeping-keping hanya karena status sosial. Harga dirinya remuk, terinjak-injak di hadapan kehendak orang tua Damar yang begitu angkuh. Ia tidak pernah bisa melupakan kata-kata kasar yang Damar sampaikan padanya, bukan dari mulut Damar sendiri, melainkan dari Damar yang menyampaikan perkataan orang tuanya. Kata-kata tersebut seolah membakar seluruh mimpinya. Astri menatap Damar. Ia ingin bertanya, apakah saat itu Damar berjuang untuknya? Atau ia hanya menyerah begitu saja?

***

Mereka kini berdiri di sebuah bangku panjang yang menghadap ke lapangan. Semilir angin sore menerbangkan helaian rambut Astri. Suasana canggung menyelimuti keduanya setelah menyelami kenangan yang begitu kontras.

Damar menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah Astri, sorot matanya dipenuhi keraguan yang jelas. “Tri,” ucapnya pelan, “ada hal lain yang perlu kamu tahu.”

Astri menahan napas, firasat buruk menyelimutinya. Hatinya berdegup kencang, seolah sudah tahu apa yang akan Damar sampaikan, namun tak ingin mendengarnya.

“Aku… aku akan menikah dalam setahun ke depan,” lanjut Damar, suaranya sedikit parau. “Dengan Selvia.”

Nama itu, Selvia, seperti palu godam yang menghantam dada Astri. Harapan kecil yang mungkin tanpa sadar sempat Astri simpan di dalam hatinya, kini pecah berkeping-keping. Selvia. Perempuan cantik dari keluarga terpandang yang selalu Damar ceritakan sewaktu Astri masih menjadi kekasihnya, perempuan yang orang tuanya jodohkan dengan Damar, perempuan yang dulu selalu menghantui mimpi buruk Astri.

“Kami sudah bertunangan secara resmi, tinggal menunggu waktu saja,” Damar melanjutkan, tanpa menatap Astri. “Setelah itu, aku akan melanjutkan studi S2 di Australia untuk mengelola perusahaan keluarga.”

Astri merasakan seluruh aliran darahnya membeku. Pernikahan. S2 di Australia. Mengelola perusahaan keluarga. Sebuah gambaran masa depan yang jelas, terencana, dan jauh dari dirinya. Jauh dari cinta yang dulu mereka rajut bersama. Reuni ini, ajakan nostalgia ini, bukan untuk mengulang masa lalu, melainkan untuk sebuah perpisahan abadi.

“Ini… ini reuni terakhir kita, Tri,” ucap Damar, akhirnya menatap Astri, matanya memancarkan kesedihan yang mendalam.

Astri berusaha keras untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya ia saat itu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai emosinya. Ia harus kuat. Ia harus terlihat tegar.

“Oh, begitu…” Astri memaksakan seulas senyum, senyum paling palsu yang pernah ia pamerkan. Hatinya sakit, sangat sakit. “Selamat ya, Mas. Semoga lancar semuanya.” Suaranya sendiri terdengar asing di telinganya, begitu pelan dan penuh kepedihan yang tak terucapkan.

Damar hanya mengangguk, sorot matanya tampak lebih sendu. Ia tahu Astri terluka. Ia tahu apa yang telah ia lakukan. Namun, pilihan yang telah diambilnya, pilihan yang diatur oleh keluarganya, adalah jalan yang Damar kira harus ia tempuh. Astri merasa hampa. Masa lalu seolah kembali menghantuinya, membisikkan bahwa ia tidak pernah cukup baik. Bahwa ia selalu akan direndahkan karena status sosialnya yang sederhana. Dan ia menyadari, Damar, cinta pertamanya, ternyata tidak pernah benar-benar berjuang untuknya. Ia menyerah. Ia memilih jalan yang mudah, jalan yang nyaman, meskipun itu berarti mengorbankan perasaan mereka berdua.

***

Perjalanan pulang dari SMA terasa jauh lebih berat daripada saat mereka berangkat. Hati Astri terasa remuk redam, dan atmosfer di dalam mobil terasa begitu mencekik. Ia hanya ingin segera sampai di kos, mengurung diri, dan menangis sepuasnya. Damar pun tampak tak banyak bicara, sesekali melirik Astri dengan sorot mata yang penuh penyesalan, namun tak mampu mengubah apa pun.

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berwarna merah menyala menghadang mobil Damar di jalan raya yang cukup sepi, dekat persimpangan menuju perumahan Astri. Damar menginjak rem mendadak, membuat Astri terdorong ke depan. Dari mobil merah tersebut, seorang perempuan berambut panjang nan indah keluar, berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya cantik, namun ekspresinya saat itu penuh amarah. Selvia.

“DAMAR! JELASKAN INI!” Selvia berteriak, suaranya melengking tinggi, memekakkan telinga. Di tangannya, ia memegang ponsel yang layarnya menampilkan sebuah foto. Foto Damar dan Astri yang sedang tersenyum di depan gerbang SMA tadi. Astri tak tahu siapa yang mengambil foto itu.

Damar tampak terkejut, pucat pasi. Ia segera keluar dari mobil, mencoba menenangkan Selvia. “Sayang, dengarkan aku dulu. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.”

Selvia tidak peduli. Matanya yang tajam langsung menyorot Astri yang masih duduk terpaku di dalam mobil. Tanpa ragu, ia membuka pintu mobil Astri. “KELUAR KAU, JALANG!” teriaknya, suaranya dipenuhi kebencian.

Astri tersentak. Rasa terkejut bercampur takut dan amarah kini memenuhi dadanya. Ia keluar dari mobil, berdiri di samping Damar yang berusaha menarik tangan Selvia.

“Berani-beraninya kamu mendekati tunanganku! Apa kurang jelas status Damar itu milik siapa, hah? Atau kamu memang sengaja menggodanya? Dasar perempuan gatal!” Selvia menuding Astri, matanya melotot.

Astri tidak bisa lagi menahan diri. Hinaan tentang jalang, tentang perempuan gatal, itu sudah terlalu jauh. “Jaga bicaramu! Aku tidak melakukan apa-apa! Kami hanya…”

“Hanya apa? Nostalgia? Kamu pikir aku bodoh? Semua foto ini, semua mata yang melihat kalian berdua di sekolah tadi, bukan buatan, kan? Kamu memang murahan! Jilbabmu itu cuma kedok, kan? Dasar sok suci!” Selvia melanjutkan hinaannya, bahkan sampai membawa-bawa jilbab yang Astri kenakan.

Amarah Astri memuncak. Hinaan tentang jilbab, tentang kesuciannya, adalah pukulan telak baginya. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak untuk kesekian kalinya. “Kamu tidak tahu apa-apa! Jangan menilaiku seenakmu!” Astri balas berteriak, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Aku tahu, aku tahu semuanya! Kamu itu cuma parasit! Perempuan miskin yang mencoba mengambil keuntungan dari Damar! Dari dulu sampai sekarang, kamu memang tidak tahu diri!” Selvia semakin menjadi-jadi.

Damar yang dari tadi hanya mencoba menenangkan Selvia, tiba-tiba menarik tangan Selvia dan berlutut di hadapannya. “Sayang, maafkan aku. Aku bersalah. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku.”

Melihat pemandangan itu, hati Astri terasa seperti diremas. Damar, cinta pertamanya, berlutut di hadapan perempuan lain, memohon ampun, meninggalkannya berdiri sendirian di tengah caci maki. Ia merasa dikhianati, dipermalukan, dan tidak dihargai sama sekali. Damar memilih Selvia, memilih jalan keluarganya, dan mengorbankan Astri lagi, kali ini di depan umum, dengan cara yang paling brutal.

“Pergi! Suruh perempuan murahan itu pergi dari sini! Aku tidak mau melihat mukanya lagi!” Selvia memerintah Damar dengan nada angkuh.

Damar menatap Astri dengan pandangan memohon maaf yang tulus, namun tak ada kata yang terucap. Ia tahu ia telah membuat pilihan. Dengan berat hati, ia berdiri, lalu naik kembali ke mobilnya tanpa sepatah kata pun. Ia melirik Astri sekali lagi, sebuah tatapan yang penuh penyesalan, namun tidak melakukan apa pun. Mesin mobil menyala, dan Damar pun pergi, meninggalkan Astri sendirian di pinggir jalan raya, dengan rasa sakit yang tak terlukiskan. Kaca mobilnya memantulkan bayangan Selvia yang tersenyum kemenangan, menatap Astri dengan tatapan merendahkan sebelum mobil merahnya melaju mengikuti Damar.

Astri berdiri mematung di pinggir jalan, membiarkan air mata membasahi pipinya. Rasa malu, marah, dan sakit hati bercampur aduk menjadi satu. Ia merasa seperti sampah, tidak berharga. Kejadian itu adalah titik terendahnya. Luka lama yang selama ini ia coba sembuhkan, kini kembali terbuka lebar, bahkan jauh lebih parah. Ia merasa ditelanjangi di depan umum, seluruh kekurangan dan status sosialnya dijadikan senjata untuk menghinanya. Ia hancur.

***

Astri berjalan menyusuri jalanan, langkahnya gontai, kakinya terasa berat. Setiap langkah yang ia ambil seolah membawa beban puluhan kilo. Bayangan hinaan Selvia dan pengkhianatan Damar terus berputar di kepalanya, seperti kaset rusak yang tak ada hentinya. Air matanya sudah kering, digantikan oleh rasa mati rasa yang menusuk.

Dalam perjalanan pulang yang terasa tak berujung tersebut, pikiran Astri mulai menjelajahi setiap sudut ingatannya. Bukan hanya tentang Damar dan Selvia, tetapi juga tentang pengalaman lain yang serupa. Ia teringat pada Rio, teman kuliahnya yang dulu ia kira tulus mendekatinya. Rio selalu manis di awal, memuji-muji kecerdasannya, perhatian pada tugas-tugas kuliahnya. Namun, lambat laun, topeng itu terbuka. Rio hanya memanfaatkannya. Memintanya mengerjakan tugas, menyuruhnya membuat makalah, bahkan terkadang meminta Astri meminjamkan uang padanya, tanpa pernah ada niatan untuk mengembalikan. Ketika Astri mulai menolak, Rio akan marah, mengancam, dan membuatnya merasa bersalah.

Astri menghela napas, merasakan sesak di dadanya. Ia selalu terlalu baik, terlalu mudah percaya, dan terlalu takut untuk menolak. Ia selalu merasa harus menyenangkan orang lain, selalu merasa tidak berhak untuk menuntut kebahagiaan atau dihargai. Pola perlakuan semena-mena itu seolah menjadi takdirnya. Ia selalu menjadi korban. Korban status sosialnya, korban ketidakberdayaannya, dan korban orang-orang yang hanya ingin mengambil keuntungan darinya.

Namun, di tengah kepedihan yang mendalam tersebut, sebuah percikan api muncul dalam hatinya. Cukup. Sudah cukup ia menjadi Astri yang lama, Astri yang pasif, Astri yang selalu menerima perlakuan buruk. Sebuah keputusan bulat terbentuk dalam benaknya. Ia tidak akan lagi membiarkan siapa pun menginjak-injak harga dirinya. Ia tidak akan lagi menjadi korban.

Setibanya di kos, Astri tidak langsung menangis. Ia meraih ponselnya, mencari nama Rio di daftar kontaknya. Tanpa ragu, ia memblokir nomor itu. Kemudian, ia membuka media sosialnya, menghapus semua jejak yang berhubungan dengan Rio, dan mengatur semua akunnya menjadi lebih privat. Ia tidak butuh validasi dari siapa pun, apalagi dari orang-orang toxic seperti Rio.

Astri menatap pantulan dirinya di cermin. Mata bengkak dan wajah pucat menyambutnya. Namun, di balik itu, ada tekad membaja yang mulai terbentuk. Ia akan menjadi "dingin". Dingin terhadap romansa, dingin terhadap janji-janji manis yang semu, dingin terhadap siapa pun yang mencoba merendahkannya. Ia akan fokus pada dirinya sendiri, pada pendidikannya, pada impiannya untuk mengubah nasib keluarganya. Ia akan membuktikan bahwa Astri Apriliani adalah perempuan yang berharga, bukan karena siapa pasangannya atau seberapa banyak hartanya, tetapi karena siapa dirinya. Ia akan menjadi pribadi yang kuat dan mandiri, sebuah identitas baru yang akan ia bentuk dengan tangannya sendiri. Rasa frustrasi masih ada, tetapi kini bercampur dengan kekuatan yang baru ditemukan.

***

Beberapa bulan berlalu. Astri benar-benar memegang teguh janjinya. Ia menyibukkan diri dengan kuliah, aktif di beberapa organisasi kampus yang berkaitan dengan bidangnya, dan bahkan mulai mengambil kerja paruh waktu sebagai guru les privat untuk anak-anak sekolah dasar. Ia memang masih sering teringat Damar, teringat Selvia, teringat hinaan-hinaan yang memuakkan tersebut. Namun, setiap kali ingatan pahit itu muncul, ia akan mengalihkannya dengan belajar, membaca buku, atau menulis. Ia mulai menulis puisi lagi, bukan puisi tentang cinta yang patah, tetapi puisi tentang perjuangan, tentang ketabahan, dan tentang kekuatan diri.

Suatu sore, saat Astri sedang dalam perjalanan pulang dari memberikan les privat, ia melewati sebuah pemakaman umum. Sebuah dorongan aneh muncul dalam dirinya, memaksanya untuk masuk ke dalam. Mungkin ia butuh ketenangan, mungkin ia butuh tempat untuk merenung.

Langkahnya melambat saat ia melewati deretan nisan yang berjejer rapi. Matanya menyapu setiap nama yang terukir di batu marmer, membayangkan kisah-kisah di baliknya. Hingga, pandangannya terhenti pada sebuah nisan baru yang dihiasi bunga-bunga segar.

Nama yang terukir di sana, seperti sambaran petir di tengah hari bolong, membuat seluruh tubuh Astri gemetar.

**DAMAR ADIWIJAYA**

**Lahir: 25 Mei 2000**

**Wafat: 10 Maret 2021**

**Usia: 21 Tahun**

Astri membeku. Nama itu, usia itu, tanggal kematian itu. Tidak mungkin. Ia menggosok matanya, berharap apa yang ia lihat hanyalah ilusi, fatamorgana yang diakibatkan oleh lelahnya. Namun, nisan itu nyata, berdiri kokoh di hadapannya.

Damar. Mas Damar. Meninggal dunia?

Kakinya lemas, Astri berlutut di samping makam. Air mata yang selama ini ia tahan, yang ia kira sudah kering, kini meluncur deras membasahi pipinya. Bukan air mata kesedihan karena cinta yang patah, melainkan air mata duka atas kehilangan. Kehilangan sosok yang pernah mengisi relung hatinya, sosok yang pernah ia cintai sepenuh hati.

Sebuah bayangan hitam tiba-tiba muncul di sampingnya. Astri mendongak, melihat seorang ibu-ibu berwajah sendu yang dikenalnya sebagai bibi penjaga makam.

“Nak Astri?” ucapnya pelan, seperti mengenali Astri. “Kamu kenal almarhum?”

Astri mengangguk, suaranya tercekat di tenggorokan. “Dia… dia Mas Damar saya dulu, Bi.”

Bibi itu menghela napas. “Kasihan sekali. Baru juga tunangan. Kecelakaan mobil sama tunangannya. Kata orang-orang, mereka baru saja beli cincin pertunangan. Makanya, langsung dimakamkan berdampingan.”

Berdampingan. Astri menoleh ke makam di sebelah makam Damar. Di sana, terukir nama Selvia.

Sebuah kenyataan yang pahit, namun juga ironis. Mereka, yang dulu menghancurkan hati Astri, kini beristirahat selamanya berdampingan. Kematian tragis tersebut mengubah segalanya. Konflik romansa tak kesampaian yang Astri alami, kini menjelma menjadi sebuah kisah kehilangan yang menyakitkan. Astri merasakan gelombang emosi yang rumit. Duka, tentu saja. Ada juga sedikit rasa bersalah, karena sempat membenci Damar. Dan sebuah pertanyaan besar yang menggantung: mengapa? Mengapa takdir harus sekejam ini?

***

Dua minggu setelah kunjungan Astri ke pemakaman, sebuah hal tak terduga terjadi. Sebuah unggahan di media sosial, tepatnya di sebuah grup alumni SMA 1 Teladan, menjadi viral. Unggahan itu berisi sebuah puisi. Puisi yang ditemukan di dompet Damar saat kecelakaan, diselamatkan oleh pihak kepolisian, dan entah bagaimana bisa sampai ke tangan salah seorang teman SMA mereka, yang kemudian mengunggahnya.

Astri melihat foto puisi itu. Tulisan tangan Damar. Ia mengenalnya. Jantungnya berdebar kencang saat ia mulai membaca baris demi baris:

***

Untukmu, A. Apriliani,

Di bawah langit yang sama, namun takdir berbeda,

Aku menulis ini, dengan hati yang terluka.

Terjebak di antara harapan dan kewajiban,

Pilihan yang bukan pilihanku, telah mengikat erat.

Maafkan aku, cinta yang tak bisa kupilih,

Maafkan aku, janji yang tak mampu kutepati.

Terbelenggu oleh nama, oleh harta, oleh kasta,

Kupendam rasa, meski jiwa meronta.

Setiap senyummu, setiap tawa kita,

Adalah penjara indah, tak sanggup kulepas fana.

Namun dinding itu terlampau tinggi untuk kupanjat,

Demi nama keluarga, cinta harus kugadaikan.

Andai saja, takdir memberi kesempatan kedua,

Akan kupilih kau, tanpa ragu, tanpa jeda.

Tapi kini, aku berjalan di jalan yang digariskan,

Dengan hatimu yang terluka, dan hatiku yang tersiksa.

Meski kau jauh, meski kita tak bersama lagi,

Ingatlah, cintaku padamu tak pernah mati.

Ia hidup, di sudut paling rahasia,

Menanti akhir, di antara harapan yang sia-sia.

Damar Adiwijaya

***

Air mata Astri menetes deras membasahi layar ponselnya. Inisial "A. Apriliani." Siapa lagi kalau bukan dirinya? Setiap kata, setiap baris puisi itu, seolah berbicara langsung ke dalam jiwanya. Penyesalan Damar, rasa terbelenggu oleh ekspektasi keluarga, pengorbanan cintanya demi nama dan harta. Ia tidak pernah tahu bahwa Damar merasakan hal yang sama. Bahwa Damar juga terluka, sama seperti dirinya.

Semua keraguan, semua pertanyaan yang selama ini menghantui Astri, kini terjawab sudah. Cinta Damar memang tulus. Ia bukan sekadar menyerah, melainkan terbelenggu, terperangkap dalam takdir yang tidak bisa ia pilih. Puisi itu adalah pengakuan terakhir Damar, sebuah warisan yang ia tinggalkan untuk Astri, sebuah validasi tertinggi yang ia perlukan. Validasi bahwa ia dicintai, bahwa ia berharga, terlepas dari status sosialnya.

Astri kembali mengunjungi makam Damar. Kali ini, ia membawa setangkai bunga mawar putih. Ia meletakkannya dengan lembut di atas nisan, matanya memandang nama yang terukir di sana. Kesedihan masih ada, namun kini bercampur dengan kelegaan yang luar biasa. Ia mengusap air matanya, merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Beban masa lalu, rasa rendah diri, semua itu seolah terangkat.

Damar memang sudah tiada, namun puisi terakhirnya telah memberikan Astri kekuatan untuk menata masa depan. Ia tidak perlu lagi meratapi nasib atau terpengaruh pandangan orang lain. Ia telah tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mandiri, dan berintegritas.

“Selamat jalan, Mas Damar,” bisik Astri, suaranya mantap. “Aku sudah memaafkanmu. Dan aku juga sudah memaafkan diriku sendiri.”

Astri berdiri, menatap langit sore yang kini perlahan berubah menjadi jingga keemasan. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar memenuhi paru-parunya. Masa depannya memang belum pasti, namun ia tahu, ia akan menghadapinya dengan kepala tegak. Cinta pertamanya mungkin berakhir tragis, namun warisan cinta sejati yang Damar tinggalkan telah memberinya kekuatan untuk melangkah maju. Astri Apriliani, bukan lagi Astri yang pasif dan rapuh, melainkan seorang perempuan yang menemukan jati diri dan kekuatannya di balik kehilangan, siap menghadapi setiap tantangan yang menanti di depan, dengan hati yang lebih dingin terhadap romansa, namun penuh semangat untuk hidup. Ia melangkah keluar dari pemakaman, meninggalkan jejak rasa di pusara, dan membawa dirinya menuju esok yang lebih cerah, penuh harapan, dan penuh potensi yang tak terbatas.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
KASIH SEMUSIM LALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
Kisah Untuk Eko
MHD Yasir ramadhan
Cerpen
Kabar Kandasnya Kepercayaan Kuncoro
Bella Paring Gusti
Cerpen
Bronze
Kerja / Dikerjain?
Rolly Roudell
Cerpen
Hal Yang Lucu
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Kertas Balas Kertas
Omius
Cerpen
Bronze
Keluarga bahagia dibalik senyum sederhana
Ryan Wijayanto
Cerpen
Day to day
Keyda Sara R
Cerpen
Messi, Jangan Pindah!
Serenade
Cerpen
Bronze
Simetris
Jasma Ryadi
Cerpen
PEDAGOGI
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
Bronze
Ujung Fajar
Utia Nur Hafidza Rizkya Ramadhani
Cerpen
Bronze
Jangan takut untuk berbuat baik
Muhamad Maulana Ibrahim
Cerpen
Bronze
Kepergian Yu Sekar
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
PERJALANAN TERAKHIR
Lestari Zulkarnain
Rekomendasi
Cerpen
KASIH SEMUSIM LALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum
Cerpen
MENCINTAI KEKASIH KAKAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERKHIANAT DEMI SI BULE
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JALAN HIDAYAH DI BALIK SENJA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JODOHKU, IBU SATU ANAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
RESEP KEDUA AYU
ari prasetyaningrum