Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan berputar sejauh ini. Dulu, saat aku masih meringkuk di pojok kamar, buku-buku Biologi menjadi satu-satunya pelarianku. Cita-cita menjadi ilmuwan biologi adalah bintang penunjuk arahku, satu-satunya hal yang membuatku terus bernapas di tengah rumah yang terasa dingin. Hari-hari itu, aku bersyukur luar biasa ketika email penerimaan beasiswa itu tiba. Sebuah gerbang menuju kebebasan, jauh dari bayangan ayahku yang sibuk bersenang-senang menghamburkan uang pensiunan almarhumah ibu dengan kekasih barunya, Tante Dian. India, negara yang dulunya hanya ada dalam cerita-cerita film Bollywood kesukaan ibu, kini menanti.
Keberangkatan ke India adalah sebuah kelegaan. Aku meninggalkan Jakarta dengan hati yang campur aduk; lega karena terbebas, tetapi juga membawa beban kesendirian yang mendalam. Aligarh menyambutku dengan hiruk-pikuknya, aroma rempah yang pekat, dan warna-warni yang memukau. Di sanalah, di tengah kesibukan kuliahku, media sosial mempertemukanku dengan Tipu Sultan. Namanya langsung menggelitikku. Almarhumah ibuku pernah bercerita tentang prajurit Mysore yang berjasa melawan penjajah Britania menggunakan roket, sosok historis bernama Tipu Sultan. Pria yang kutemui di dunia maya, seorang pemuda India yang tampan dan cerdas, terasa seperti sebuah takdir yang lucu.
Tipu Sultan bekerja di sebuah perusahaan elektronik di Aligarh, kota tempat aku menimba ilmu. Percakapan kami di media sosial begitu mengalir, membahas sains, politik, hingga film-film India lama yang pernah diceritakan ibuku. Pertemuan di dunia nyata tak terhindarkan. Aku masih ingat senyumnya yang renyah saat kami pertama kali bertemu di sebuah kafe. Matanya berbinar, sorotnya tajam namun ramah. “Queeny, senang sekali akhirnya bisa bertatap muka,” ucapnya, dengan aksen Inggris yang kental namun menawan.
Baginya, aku mungkin gadis Asia Tenggara pertama yang ia temui, dengan wajah alami dan pikiran yang sejalan. Bibit-bibit ketertarikan itu tumbuh begitu saja, tak terbendung. Kami bisa berdiskusi berjam-jam tentang hal-hal rumit, lalu tertawa lepas membahas kekonyolan. Perasaan indah yang sama menghinggapiku. Sultan, panggilan akrabku untuknya, mengisi kekosongan hidupku yang selama ini hampa tanpa kasih sayang ayah maupun seorang saudara. Dia adalah jangkar di tengah badai kesendirianku.
Setahun berlalu begitu cepat, hubungan kami semakin erat. Aku merasa siap melangkah ke jenjang berikutnya. Suatu hari, Sultan menatapku dengan sorot mata penuh harap. “Queeny, aku ingin mengenalkanmu pada orang tuaku. Mereka tinggal di Muzaffarnagar,” katanya. Muzaffarnagar, yang kukenal sebagai pusat industri gula, adalah kota kecil yang damai. Aku sangat antusias. Impian untuk bertemu calon mertua dan merasakan kehangatan keluarga besar membuncah dalam hati.
Namun, yang kudapatkan jauh dari mimpi. Begitu kami tiba di rumahnya, Nyonya Khaleeda, ibunda Tipu Sultan, menyambutku dengan tatapan dingin. “Jadi, ini gadis yang selama ini membuat putraku lengah?” suaranya terdengar tajam, menusuk. Sultan terlihat tidak nyaman, tetapi tak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa menunduk. Sepanjang kunjungan singkat itu, aku menjadi bulan-bulanan Nyonya Khaleeda. Ia menyorotku dengan berbagai pertanyaan tentang latar belakangku, asal-usulku, dan seolah-olah semua jawabanku selalu salah.
“Ibuku sudah menjodohkan Sultan dengan Shimran, sepupunya. Dia masih muda, cantik, dan berasal dari keluarga kami,” ia berucap, seolah setiap kata adalah pisau yang mengiris hatiku. Hancur. Kata itu pun tak cukup menggambarkan perasaanku kala itu. Sultan tak pernah memberitahuku soal perjodohan itu. Aku merasa dikhianati, dipermalukan, dan ditinggalkan sendirian di medan perang yang tidak aku pahami.
Tak tahan lagi disudutkan, air mataku tumpah di dalam hati. Aku meminta Sultan untuk pulang. Ia mengantarku sampai ke jalan besar, memanggilkan sebuah taksi. “Maafkan ibuku, Queeny,” ucapnya lirih, tangannya menggenggam tanganku erat. Aku hanya mengangguk, terlalu sakit untuk bicara. Sopir taksi bernama Mahendi Hassan Qureshi itu kemudian membawaku pergi, menjauh dari Muzaffarnagar, menjauh dari mimpi yang baru saja porak-poranda.
Selama perjalanan, aku mencoba menenangkan diri. Nama Mahendi sempat disebut oleh Nyonya Khaleeda sebagai contoh buruk, seolah ia pernah salah memilih pasangan. Penasaran, aku pun memberanikan diri bertanya, “Pak Mahendi, maaf, apa benar Bapak pernah menikahi gadis Indonesia?”
Mahendi melirikku dari kaca spion, wajahnya tampak sendu. “Benar, Nak. Namanya Suprapti. Dari Lombok.” Suaranya terdengar berat, seolah menyimpan banyak cerita. “Kami bertemu di Malaysia, sama-sama menjadi pekerja migran. Statusku legal, tapi dia... dia ilegal. Ketika ada penggerebekan, Suprapti ditahan dan dideportasi bersama putri kami yang masih balita. Sejak itu, aku kehilangan jejak mereka.”
Hatiku terenyuh mendengar kisah pilunya. “Jadi Bapak tidak tahu lagi keberadaan mereka?” tanyaku.
Ia menggelengkan kepala, “Tidak, Nak. Entah bagaimana nasib mereka sekarang.” Ia menghela napas panjang. “Kalau boleh, Paman meminta bantuanmu, Nak. Sepertinya kamu orang baik. Bisakah kamu bantu Paman mencarikan istri dan putri Paman? Putri Paman bernama Hapsari Bindiya Qureshi. Dia pasti sudah besar sekarang.”
Permintaan Paman Mahendi membuatku bimbang. Pulang kampung? Itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan. Aku bahkan tidak berminat pulang sebelum lulus, itupun aku berniat langsung mendaftar beasiswa S2. Pulang ke Indonesia hanya akan mempertemukanku dengan rumah ayah yang sudah dijual, atau bertemu ayah yang sudah memiliki keluarga baru dengan wanita yang tidak menyukaiku. Percuma saja. Menginap di rumah Bibi Izzah, seperti ketika dulu aku diusir ayah, juga sudah tidak mungkin karena jumlah ruang terbatas.
Di tengah lamunanku, perutku berbunyi. Aku mengajak Paman Mahendi makan siang di sebuah restoran sederhana di pinggir jalan. Tak disangka, aku melihat Bibi Khaula Banoo – bibi Sultan yang adalah ibunda Shimran – dan Shimran sendiri sedang menikmati hidangan di sudut ruangan. Shimran... gadis muda yang cantik, dengan kulit bersih dan mata berbinar. Senyumnya begitu menawan. Rasanya percaya diriku runtuh seketika, melihat betapa moleknya calon tunangan Sultan itu. Aku merasa kecil, tidak sebanding.
Setibanya di asrama, ponselku bergetar. Bibi Izzah menelpon. “Queeny, Nak, bagaimana kabarmu? Kamu harus pulang liburan musim panas nanti. Sudah dua tahun kamu tidak pulang,” suara Bibi Izzah terdengar cemas. “Selain itu, kerabat Paman juga akan menikah. Bibi dari pihak ibumu ini meminta amat sangat agar kamu pulang tahun ini.” Aku menyanggupi. Mungkin ini memang takdir.
Malam harinya, aku menulis status di Facebook, singkat saja, “Liburan musim panas ini, aku pulang ke Indonesia.” Beberapa saat kemudian, Sultan mengirim pesan. Dia bingung, tahu betul kehadiranku di sana tidak diharapkan ayah dan ibu sambungku. Ketika kami bertemu keesokan harinya, aku menjelaskan semuanya. “Aku memang harus kembali karena acara keluarga, Sultan. Dan aku juga telah berjanji untuk membantu Paman Mahendi mencarikan putrinya yang hilang,” kataku, mencoba menjelaskan. Ia menatapku dengan tatapan sedih, seolah mengerti semua beban yang kupikul.
Hubunganku dengan Tipu Sultan harus menghadapi ujian lain. Teror demi teror mulai kurasakan di asramaku. Kunci kamarku sering hilang, barang-barang pribadi kadang berpindah tempat, bahkan ada surat-surat ancaman yang kuterima. Awalnya aku pikir itu hanya keisengan, tapi lama-kelamaan aku tahu, semua itu berasal dari Chandni, kolega satu perusahaan Tipu Sultan. Dia juga mencintai Sultan. Aku ingin sekali pindah asrama, tapi teman-teman sesama warga Indonesia di kos yang sama mencegahku. “Tinggal setahun lagi kuliahmu, Queeny. Jangan sampai pindah-pindah malah mengacaukan konsentrasimu,” kata salah seorang teman. Aku pun bertahan, mencoba mengabaikan teror-teror kecil yang mengganggu itu.
Hari ketika ujian akhir semester berakhir, Sultan mengajakku dan teman-teman dari Indonesia mengunjungi New Delhi. Kami pergi ke tempat-tempat wisata yang ikonik, seperti India Gate, Qutub Minar, dan Red Fort. Perjalanan itu terasa seperti oase di tengah gurun setelah semua ketegangan yang kualami. Tapi takdir memang punya caranya sendiri. Di sebuah restoran di New Delhi, kami bertemu dengan Nyonya Khaula Banoo dan suaminya, Paman Anand, yang tengah melakukan perjalanan bisnis. Ini adalah kali pertamaku bertatap muka dengannya, ibu Shimran sekaligus bibi Sultan.
“Oh, lihat siapa ini? Si gadis Indonesia yang tak tahu diri, masih saja mengikuti calon menantuku,” suaranya melengking, menarik perhatian beberapa pengunjung. Wajahku memerah karena malu. Ia terus menghujaniku dengan cemoohan, sampai Paman Anand, suaminya, harus menghentikannya. “Khaula Banoo! Memalukan sekali kamu ini! Jangan membuat keributan di tempat umum,” ujarnya dengan nada tegas, menarik lengan istrinya. Sultan segera membawaku pergi dari tempat itu, wajahnya tegang dan meminta maaf berulang kali.
Sebelum bertolak menuju Indonesia, aku punya rencana. Aku ingin membuat vlog di pantai Senggigi dan Kerandangan, dua pantai favoritku yang menjadi saksi bisu masa remajaku. Dulu, di sanalah aku menghabiskan waktu berlibur ketika SMA, dan belajar berbicara bahasa Inggris dengan turis asing. Maka, selama sebulan penuh, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah homestay yang banyak terdapat di kawasan pantai Senggigi. Bibi Izzah sempat keberatan, tapi akhirnya mengizinkan dengan syarat aku harus kembali ke kampungnya, Banyumulek, minimal dua minggu sebelum acara pernikahan kerabat pamanku.
Dan ternyata, kejutan memang menungguku di Pantai Senggigi. Di sebuah warung makan sederhana, aku melihat seorang wanita muda dengan dua anak kecil. Wajahnya tampak lelah, namun sorot matanya menyimpan kekuatan. Entah mengapa, aku merasa ditarik kepadanya. Aku mengajaknya berbincang, dan betapa terkejutnya aku ketika ia menyebut namanya: Hapsari Bindiya Qureshi. Sari! Anak Paman Mahendi yang hilang.
“Sari, kamu… kamu anak Mahendi Hassan Qureshi?” tanyaku tak percaya. Ia mengangguk, matanya membesar. Aku segera menceritakan kisah Paman Mahendi, ayahnya, yang selama ini mencarinya. Sari kini berusia 29 tahun, terpaksa menjanda dengan dua anak yang masih kecil. Keadaannya memprihatinkan, ia berjuang keras mencari nafkah. Aku membelikannya sebuah ponsel agar ia dapat terhubung dengan Paman Mahendi.
Awalnya, komunikasi antara Sari dan ayahnya berjalan lancar. Paman Mahendi sangat bahagia. Namun, ketika keberadaan Sari diketahui oleh istri Paman Mahendi, Bibi Priya, situasi menjadi runyam. Bibi Priya menuduh Paman Mahendi ingin kembali dengan mantan istrinya, dan menuduh Sari hanya ingin menguras hartanya. Paman Mahendi terpaksa harus menghubungi Sari secara sembunyi-sembunyi, agar tidak menimbulkan keributan di rumahnya. Aku ikut sedih melihat kerumitan ini.
Namun, takdir kembali berpihak. Putra Bibi Priya, Nadeem, terancam putus sekolah karena kesulitan biaya. Aku yang mendengar hal itu dari Paman Mahendi, menawarkan diri untuk membantu mencarikan beasiswa atau setidaknya biaya pendidikan untuk Nadeem melalui koneksi yang kumiliki di India dan Indonesia. Melihat kebaikan hatiku dan pengorbananku untuk Nadeem, hati Bibi Priya akhirnya luluh. Pandangannya pada warga Asia Tenggara, yang ia anggap tenaga migran biasanya matre dan murahan, akhirnya berubah. Ia bahkan datang menemuiku, mengucapkan terima kasih dengan mata berkaca-kaca, dan meminta maaf atas prasangka buruknya. Akhirnya, Sari bisa berkomunikasi lagi dengan ayahnya tanpa sembunyi-sembunyi.
Kejutan lain menanti ketika aku berada di kampung halamanku, Banyumulek, sentra penghasil gerabah. Lokasi pernikahan saudara Paman Hadi ternyata tak jauh dari rumah ayahku, di Balai Mutiara. Takdir kembali mempertemukanku dengan ayah. Keadaannya jauh berbeda dari yang terakhir kulihat. Ia kurus, tak terawat, dan sorot matanya kosong. Tante Dian, wanita yang dulu bersamanya, menguras habis uangnya selama tiga tahun dan pergi begitu saja saat ayah tak punya apa-apa lagi.
Ayah menemuiku di hari pernikahan. “Queeny, nak… maafkan ayah,” suaranya parau. Aku melihat penyesalan yang begitu dalam di matanya. “Ayah tahu, ayah banyak salah padamu. Sekarang, ayah akan ke Malaysia untuk bekerja di kebun sawit. Rumah ayah sudah dijual pada pasangan pengantin baru, keponakan Paman Hadi.” Ia menyodorkan sejumlah uang kepadaku, “Ini, nak. Sebagian hasil penjualan rumah. Ambil saja. Kamu yang paling berhak, ayah sudah terlalu banyak menyia-nyiakanmu.”
Aku menggeleng. “Ayah lebih membutuhkan ini. Ambil saja sebagian besar. Aku sudah cukup dengan beasiswa dan gajiku sebagai asisten dosen paruh waktu. Ayah harus sehat dan kuat di sana.” Air mataku menetes. Aku memeluk ayah, sebuah pelukan yang sudah lama kurindukan.
Musim liburan tiba, aku kembali ke India. Aku tak sabar ingin bertemu kekasihku, Sultan. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Sultan datang dengan berita buruk. Pertunangannya dengan Shimran dipercepat untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. “Itu berarti… hubungan kita harus terhenti, Queeny,” suaranya tercekat. “Jika sudah bertunangan, aku tidak boleh lagi menjalin hubungan dengan orang lain. Ibuku… ibuku baru saja terkena stroke, Queeny. Aku… aku ingin berbakti padanya. Maafkan aku.”
Dunia terasa runtuh untuk kedua kalinya. Hatiku sangat hancur. Aku melarikan diri, menyembunyikan diri di balik tumpukan buku referensi, dinding laboratorium yang dingin, dan membuat vlog di tempat-tempat wisata yang ramai. Aku tidak ingin tenggelam dalam depresi. Setiap sudut kota Aligarh seolah menyimpan kenangan kami, menyiksaku. Aku fokus belajar, belajar, dan belajar, berharap rasa sakit ini akan pudar ditelan waktu.
Selang setahun kemudian, aku telah menyelesaikan kuliah sarjanaku dan sedang mempersiapkan tugas akhir. Aku masih berusaha menata hati, menyibukkan diri dengan penelitian dan impian S2-ku. Tanpa diduga-duga, sejak setahun kami putus kontak, takdir kembali mempertemukanku dengan Tipu Sultan. Aku melihatnya berjalan-jalan di taman universitas Darul Ulum, tempat kami dulu sering belajar bersama. Jantungku berdebar kencang.
Ia melihatku, matanya langsung berbinar, sorot kerinduan yang mendalam terpancar jelas. “Queeny… Akhirnya aku menemukanmu,” suaranya bergetar. “Aku sudah berkali-kali mencarimu. Di Shekha Jeel, tempat aku pertama kali mengungkapkan perasaanku. Di taman botani, tempat kita kerap bertemu. Tapi hanya ada ruang hampa.” Ia mendekat, matanya menatapku lekat. “Aku sangat merindukanmu. Sejak semua media sosialmu kau blokir, dan akhirnya kau pindah kos karena Madam Fateena menjual bangunan asrama untuk dijadikan supermarket.”
Aku menatapnya, memperhatikan tangannya. Tidak ada cincin tunangan. Rasa ingin tahu membuncah. “Shimran… bagaimana dia?” tanyaku hati-hati.
Sultan menghela napas panjang. “Pertunanganku dengan Shimran putus, Queeny. Dia… dia ketahuan masih menjalin hubungan khusus dengan Arjun, kekasihnya. Dan mereka bahkan sudah terlalu jauh… Shimran mengandung.” Wajahnya tampak lega, seperti beban berat terangkat dari pundaknya. “Ibuku… ibuku sangat menyesal, Queeny. Dia… dia berpikir macam-macam tentangmu. Dia ingin aku membawamu kembali. Kali ini, dia merestui hubungan kita.”
Aku terdiam, mencerna semua informasi. Hati yang tadinya terluka kini perlahan menghangat. Sultan tidak pernah berhenti mencariku. Aku tahu, aku harus berdamai dengan masa lalu. Aku menemui keluarga Sultan. Nyonya Khaleeda, yang kini tak mampu berbuat apa-apa selain duduk dan tidur karena penyakitnya, menatapku dengan mata penuh penyesalan. Aku merawatnya dengan baik, seperti merawat ibuku sendiri.
Pernikahan Sultan dan aku pun dilaksanakan setelah wisudaku. Sebuah akad nikah yang sederhana namun sakral, dan resepsi yang meriah di kampung halaman Sultan, Muzaffarnagar, kemudian disusul dengan perayaan yang tak kalah hangat di Indonesia. Di hari itu, aku melihat ayahku tersenyum bangga, Mahendi dan Sari yang bahagia, serta Bibi Priya yang kini menjadi sahabat baik.
Hidup memang penuh liku, penuh kejutan, penuh rasa sakit, namun juga penuh dengan kesempatan kedua. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Mungkin akan ada badai lain yang datang. Tapi aku percaya, dengan ilmu di tanganku, cinta di hatiku, dan orang-orang yang kusayangi di sisiku, aku akan selalu menemukan jalan. Takdir telah mengukir jalanku, dari seorang gadis kesepian yang mencari kebebasan, hingga menjadi seorang ilmuwan yang menemukan cintanya, di negeri yang dulunya hanya ada dalam mimpi ibuku. Dan itu adalah awal dari petualangan yang belum pernah kuduga.