Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Kartu Pos dari Berlin
0
Suka
688
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sore itu aku mendapat kartu pos dari Jerman, Berlin. Tepatnya, Drachenfels, Bonn. Seorang teman berprofesi sebagai Jurnalis Indonesia yang menetap lama di sana. Seseorang itu adalah Grite, sahabatku. Gadis manis, periang, menganut hidup minimalis dan sehat. Beberapa kali kami saling berkirim kartu pos juga coklat. Kali ini Grite memintaku untuk tidak berhenti menulis. "Dear, Inera Franklin. Jangan berhenti menulis dan dari tulisan bisa menginspirasi orang-orang di sekitarmu ♥️. Semangat." Begitulah sepenggal isi surat dari Grite untukku. Ia menulis pesan itu karena beberapa bulan sebelumnya aku mengatakan ingin berhenti menulis dengan tanpa alasan yang jelas. Maksudku, pasti ada alasannya tapi sulit untuk dijelaskan. Seperti kehilangan semangat hidup untuk melakukan sesuatu.

Sejujurnya, ada setumpuk file tulisan tersimpan di folder laptop andalanku. Dua di antaranya sudah diterbitkan, per sekian lainnya masih mengantre menggantung. Mengeditnya saja aku tidak tertarik apalagi meneruskannya sampai selesai. Sebelum memutuskan berhenti menulis, Grite termasuk orang yang berperan sebagai pembaca sekaligus memberi masukkan membangun untuk tulisanku. Karena itulah ia kerap memintaku untuk tidak berhenti.

Setelah bertahun-tahun tidak menerima kartu pos dari Grite. Setelah melewati banyak hal. Bergelut dengan diri sendiri. Mengalahkan diri sendiri. Keluar dari zona nyaman dan memanusiakan diri sendiri, ku putuskan kembali pelan-pelan menulis. Menulis untuk diri sendiri sebagai pengingat. Jika kau pernah mendengar atau membaca pepatah berbunyi, "Hidup itu seperti roda berputar. Terkadang berada di atas, terkadang berada di bawah." Kata pepatah tersebut memang benar adanya. Mungkin sebaiknya saat itu aku mengatakan, "Ingin beristirahat untuk sementara waktu dari menulis. Bukan berhenti."

Bukan sok religius tapi menurutku, Tuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Karena sesuatu yang kita butuhkan sudah pasti kita butuhkan sedangkan sesuatu yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan. Kini baru kusadari setelah beradu dengan diri sendiri untuk mengalahkan diri sendiri. Saat itulah aku merasa, Tuhan sedang merenda kisah untuk bisa ku jadikan tulisan sampai selesai. Grite benar dengan mengirim pesan, "Jangan berhenti menulis, Inera." Mengetahui aku kembali menyelesaikan satu tulisan baru setelah sekian lamanya, Grite orang pertama yang memberiku selamat dan mendukungku. Sekaligus sebagai pembaca pertama setiaku.

Akhirnya, untuk pertama kalinya setelah istirahat panjang aku berhasil menyelesaikan 50.000 kata. Berisi tentang kehidupan (Hadiah dari Tuhan). Baiklah, suatu hari nanti akan ku ceritakan juga padamu. Ku mulai dari bagaimana proses menulisnya. Ken, iya, di mulai dari seorang pria bernama Ken. Seseorang yang baru saja ku kenal dua tahun lalu. Tepatnya, kami bertemu di Book Cafe. Book Cafe adalah Tempat tongkrongan untuk berbagai kalangan usia berkonsep perpustakaan. Selain bisa menikmati berbagai menu makanan dan minuman ditemani musik, pengunjung juga bisa nongkrong dengan membaca buku pilihan mereka. Bangku paling pojok dekat kaca jendela adalah tempat favoriteku. Berhari-hari aku duduk di sana memandang ke arah luar jendela dengan tatapan kosong. Memandang langit yang terkadang cerah, kadang mendung, juga terkadang menangis. Sesekali ku selingi dengan menyeruput kopi dan menikmati camilan kecil. "Ah, hidup begini amat. Tak ada gairahnya." Pikirku. Tiba-tiba, suatu hari seseorang menghampiri sambil menjulurkan tangan bermaksud ingin berjabat tangan. Seorang pria lebih tinggi beberapa cm dari tinggi badanku. Berdada bidang, berambut cepak.

"Inera Franklin? Hai, saya Ken." Katanya sambil menyematkan senyuman lebar padaku. Sementara aku menoleh ke arahnya membentuk senyuman paksa sambil menjabat tangannya.

"Maaf, sebelumnya kita saling kenal?" Tanyaku memastikan.

"Siapa yang tidak kenal anda. Penulis terkenal." Jawabnya santai membuatku tersinggung.

"Kamu menyindir saya?" Celetukku kesal. Jelas saja aku merasa tersinggung. Saat itu suasana hatiku tidak baik.

"Loh, anda penulisnya kan?" Kali ini pria itu menunjukkan dua Novelku yang ada di tangan kirinya. Aku pun mengangguk membenarkan. Sejak saat itu entah bagaimana kami menjadi teman. Ken datang saat aku kehilangan semangat hidup. Sama seperti Grite, Ken juga kerap memintaku untuk menulis kembali. Sesekali ia mengajakku berpetualang ke suatu tempat. Seperti ke desa, persawahan, panti, pantai dan ke tempat-tempat lainnya selain Book Cafe. Aku menikmati perjalanan kami. Seiring berjalannya waktu, aku mulai menulis sampai pada akhirnya mencapai 50.000 kata. Menurutku, bisa kembali menulis 50.000 kata merupakan suatu pencapaian besar. Aku mengirimnya pada Grite untuk meminta pendapatnya. Kemudian ku izinkan Ken sebagai pembaca kedua setelah Grite.

"Terima kasih Ken. Sudah menjadi temanku." Kataku tersenyum tulus sambil memandangnya.

"Terima kasih, kembali." Jawabnya lalu membalas senyumanku.

"Ibuku bilang, hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan jadi nikmatilah. Tarik nafas, hembuskan. Jangan lupa bersyukur." Katanya lagi sambil memperagakan gerakan tarik nafas kemudian dihembuskan.

"Sampaikan ucapan terima kasihku kepada ibumu." Pintaku sambil memamerkan gigi putihku. Kemudian melakukan gerakan tarik nafas, hembuskan.

"Baiklah. Akan ku sampaikan nanti." Jawab Ken bersemangat.

Sesaat suasana menjadi hening. Mata kami menyapu luas pemandangan persawahan indah. Menikmati lambaian dedaunan karena hembusan angin sepoi-sepoi, mendengar suara kicauan burung-burung. Terdengar suara gemericik air kolam. Hidup ini memang penuh kejutan. Datang dan pergi sesuka hati tanpa permisi.

Hari demi hari, hidupku semakin membaik. Beberapa hari kemudian setelah sekian lama, aku kembali menerima kartu pos dan coklat dari Berlin. Betapa senangnya.

*Dear, Inera Franklin. Salam dari Drachenfels, Bonn. Senang bisa membaca tulisanmu kembali. Sebagai apresiasi, aku memberimu sekotak coklat dari Berlin. Semoga buku ke-3 mu segara terbit. Jangan lupa jaga kesehatan. Semangat terus. Salam buat temanmu, Ken.

Love,

Grite

****

Setelah selesai membaca surat dari Grite, aku menyimpan kartu posnya di dalam kotak penyimpanan surat yang terdapat di dalam lemari. Terlihat kotak suratnya sudah mulai penuh. Bayangkan saja, kami saling berkirim kartu pos sejak 6 tahun lalu sampai sekarang.

Hadiah coklat dari Grite sebagian kuberikan pada Ken. Tentu saja, Ken merasa senang.

"Jadi kau menceritakan tentangku kepada temanmu? Siapa, namanya?"

"Grite." Jawabku singkat.

"Hah, iya, Grite. Sampaikan terima kasih kepadanya. Salam dan coklatnya sudah ku terima. Salam balik ya, Ner." Ucap Ken. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Ini kali pertama aku menceritakan tentang Ken kepada Grite setelah kami berteman selama dua tahun. Ku ceritakan tentang pertama kali kami bertemu, tentang petualangan kami ke beberapa tempat sampai semangat hidupku kembali lagi dan ini juga kali pertama aku menceritakan tentang Grite kepada Ken. Tentang persahabatan kami, tentang beberapa hal lainnya.

Sejauh ini aku merasa nyaman menjadi teman Ken. Jika memungkinkan akan ku ajak dia jalan-jalan ke Berlin untuk bertemu dengan Grite atau mungkin sebaliknya, Grite yang pulang kampung ke Indonesia dan akan ku kenalkan kepada Ken. Bagiku, Grite dan Ken merupakan hadiah dari Tuhan.

***

Sekian & Terima Kasih

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Kartu Pos dari Berlin
Ren
Cerpen
Gadis & Rongsokan
Raka Santigo
Cerpen
Kepala Batu
Lusiana
Cerpen
Bronze
Memecat Bos
Ravistara
Cerpen
Mekarnya Mahkota Anggrek Larat
Angelica Eleyda Hitjahubessy
Cerpen
Bronze
Istirahatlah
Jamilah Prita
Cerpen
Bronze
REKAM
Yutanis
Cerpen
Janu Kara
rdsinta
Cerpen
Story Of My Life
Jessy Margaret
Cerpen
Mahasiswi si Pengamat
Septia Anggraini
Cerpen
Perspektif
Nidaul Ainiyah
Cerpen
UITDF
Séa Hana
Cerpen
Entitas
Oscar Zkye
Cerpen
Marriage Deadline
Nadya Atika
Cerpen
Basa Basi Bisa
Zakiyatus Solihah
Rekomendasi
Cerpen
Kartu Pos dari Berlin
Ren
Novel
KATIE FRANKLIN
Ren
Novel
Sang Pemenang
Ren