Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kartini meringkuk lemah di dalam sebuah mobil hitam yang baru saja berlalu meninggalkan Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang. Wajah perempuan itu layu. Sorot matanya sendu. Tubuhnya kurus dan rapuh. Segenap daya dalam raga itu seolah telah terjarah habis, tak bersisa meski hanya sejumput.
Padahal, enam bulan lalu Kartini adalah sosok gagah nan periang. Kartini yang sebelumnya adalah perempuan tangguh dengan karier cemerlang. Di usianya yang belum genap tiga puluh tahun, ia telah menjabat sebagai Chief Marketing Officer Ultra-Z, sebuah startup raksasa yang berbasis di Singapura. Prestasinya yang mentereng itu membuatnya digadang-gadang bakal direkrut oleh kantor istana negara untuk mengemban tugas sebagai staf khusus Presiden Indonesia.
Kehebatan Kartini telah terlihat sejak belia. Terlahir dari keluarga miskin, Kartini belajar dengan keras demi menggapai pendidikan. Ia selalu meraih juara kelas dari bangku SD hingga SMA. Di tingkat kuliah, Kartini menerima beasiswa penuh dan lulus dengan nilai sempurna dari salah satu universitas terbaik di negeri ini. Tak lama setelah itu, ia kembali memperoleh beasiswa untuk berkuliah tingkat magister di Amerika Serikat.
Lulus dari negeri Paman Sam, Kartini diterima bekerja di Ultra-Z. 5 tahun sudah cukup bagi Kartini untuk mencatatkan namanya di jajaran petinggi perusahaan. Karier Kartini yang gemilang juga ditopang dengan keahliannya dalam berkomunikasi. Selain bahasa Inggris, Kartini fasih berbahasa Mandarin, Portugis, dan Prancis. Kemampuan itu membuatnya mudah membaur dengan ragam masyarakat dari berbagai belahan penjuru bumi.
Di waktu luangnya, Kartini bersafari menjadi pembicara dalam berbagai talk show dan seminar. Kisah hidupnya yang inspiratif kerap ia bagikan demi memberi motivasi bagi kaum muda untuk berjuang meraih cita-cita setinggi angkasa. Dengan semua pencapaiannya, sosok Kartini dianggap sebagai cerminan perempuan sukses yang patut diteladani.
Tetapi, peristiwa nahas malam itu memutar dunianya seratus delapan puluh derajat. Kehidupannya yang dipenuhi kebahagiaan tiba-tiba hancur berantakan. Dalam sebuah perjalanan pulang dari kantor, mobil Kartini mengalami kecelakaan hebat. Akibat dari kejadian itu, ia menderita quadriplegic. Seluruh bagian tubuhnya dari leher hingga kaki mengalami kelumpuhan.
Kartini sempat menjalani terapi berbiaya mahal di rumah sakit ternama di Singapura. Namun, semua pengobatan itu tak membuatnya menjadi lebih baik. Kartini justru semakin tertekan dengan keadaannya. Dalam kondisi seperti itu, ia diberhentikan. Tak ada lagi tempat baginya di Ultra-Z. Tak mungkin juga ia melamar di perusahaan lain dengan kemampuan fisiknya yang sangat terbatas. Semua jalan sepertinya telah tertutup bagi Kartini. Hanya ada satu yang tersisa. Pulang ke kampung halaman.
Dua jam berlalu, mobil hitam itu perlahan memasuki sebuah wilayah pedesaan. Kartini seketika teringat hari terakhirnya di tempat ini. Kala itu, ia baru saja lulus SMA. Kartini berencana pergi ke Jakarta untuk berkuliah. Namun, ibunya tak memberi restu. Kartini lantas bertengkar hebat dengan sang ibu dan nekat meninggalkan tanah kelahirannya. Ia tidak mau menjadi petani dan hidup miskin di desa seperti ibunya. Ia ingin pergi ke kota, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan hidup mapan.
Tekadnya yang kuat mengantarkan Kartini pada kesuksesan. Akan tetapi, setelah cita-citanya terkabul, semesta malah memanggilnya kembali kepada tempat miskin yang dahulu ditinggalkannya.
Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana berdinding geribik, berlantai tanah, dan beratap jerami. Dibantu sopir dan perawat, tubuh Kartini turun dari mobil dan duduk di kursi roda. Seorang perempuan tua yang tengah menyapu halaman rumah itu tak berkedip melihat Kartini yang telah bertahun-tahun pergi, tiba-tiba muncul di hadapannya. Meski telah banyak berubah sejak terakhir kali melihatnya, Rasdah tak akan pernah lupa wajah putri yang selalu dirindukannya itu. Rasdah segera menghambur dan memeluk erat Kartini. Dalam dekapan ibunya, Kartini menangis sejadi-jadinya.
***
Embusan angin sore menerpa wajah Kartini yang duduk di halaman belakang rumah. Di hadapannya, terbentang hamparan tanaman padi yang menghijau. Rasdah sengaja membawa Kartini ke tempat ini demi melihat pemandangan yang asri. Sesekali, perempuan tua itu menyuapi putrinya dengan bubur. Ingatan Kartini seketika melayang kepada masa kanak-kanak. Kala itu, tempat ini adalah favoritnya. Di setiap sore, ia bermain layang-layang bersama teman-temannya di pematang sawah. Ketika lelah, Kartini akan beristirahat sembari meminta disuapi makan oleh ibunya. Kartini kecil memang sangat manja. Namun, Rasdah tidak pernah keberatan akan sikap putrinya.
Kini, setelah puluhan tahun bersilam, masa-masa itu seperti terulang kembali.
“Ibu, apakah Ibu tidak membenciku?” tanya Kartini.
Rasdah mengelus lembut rambut putrinya. “Tidak ada Ibu yang membenci anaknya, Tini. Tidak pernah terbesit sedikit pun di dalam hati ibu untuk membenci kamu.”
“Meskipun aku sudah bersalah pada Ibu? Meskipun aku sudah meninggalkan Ibu sendirian di sini?” suara Kartini tersekat. Ia teringat berkali-kali ke Jakarta untuk urusan kerja, namun tak sekalipun ia pernah menyempatkan diri menjenguk ibunya di desa. Rasa bersalah di hatinya semakin membumbung tinggi.
Rasdah mengecup kening putrinya penuh kasih sayang, lalu tersenyum hangat. “Kamu mengikuti kata hatimu. Ibu tidak bisa marah padamu karena hal itu. Ibu justru senang karena kamu berarti sudah dewasa. Dan kamu membuktikan bahwa kamu bisa sukses dengan pilihan hidupmu sendiri. Ibu pernah melihat kamu tampil di TV. Kamu berbicara dengan sangat hebat. Ibu jadi sangat bangga sama kamu, Tini. Ibu bangga.”
Lamat-lamat, mata Kartini bersaput basah. Saat ini, ia ingin sekali merengkuh tubuh ibunya dan memeluknya erat. Namun, ia tak kuasa melakukan itu. Yang bisa Kartini lakukan hanya menangis.
Seolah mengerti perasaan putrinya, Rasdah kembali mendekap tubuh Kartini.
“Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku…,” ucap Kartini di sela tangisnya.
“Ibu sudah memaafkan kamu, Tini. Bahkan sebelum kamu memintanya. Setelah bapakmu meninggal, hanya kamu yang Ibu miliki. Ibu selalu berdoa agar Tuhan menuntun jalanmu pulang ke pangkuan ibu. Ibu ingin bertemu denganmu lagi sebelum Ibu mati. Bertahun-tahun menunggu, hari ini Tuhan mengabulkan doa ibu,” ucap Rasdah. Tampak butir-butir air bening menetes di pipinya yang telah keriput.
Ucapan Rasdah membuat Kartini semakin tenggelam dalam tangisnya. Ia merasa sedih, terharu, sekaligus bahagia. Dan lebih dari itu, ia merasa diterima.
Di sepanjang hidupnya, Kartini pernah belajar bersama orang-orang hebat di banyak tempat prestisius di dunia. Namun, ternyata ada satu hal penting yang belum ia dapatkan dari tempat-tempat itu. Dan, ia malah menemukannya di rumah ibunya yang miskin. Ketulusan sejati.
Adalah Rasdah, perempuan buta huruf yang tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah, orang yang mengajarkan hal itu. Kartini jadi tersadar bahwa setelah menjadi sekolah yang pertama, Rasdah adalah sekolah yang terbaik baginya. Dan selamanya, posisi ibunya itu tak akan pernah bisa terganti.
***