Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kamu tahu kalau ibu sakit?" tawaku langsung berhenti setelah kalimat itu dilontarkan oleh Abil, adikku yang sekarang tinggal beda pulau dengan kami karena bekerja. Kalau waktu senggang, dia selalu menghubungiku sekedar bertanya kabar atau membahas hal random yang bisa membuat kami saling tertawa.
"Kapan? Kenapa orang rumah tidak memberitahuku?" Wajah yang terlihat dilayar HP juga terlihat bingung, menandakan dia juga tidak tahu apa-apa.
Aku memutuskan sambungan telepon dan langsung menghubungi orang rumah untuk memastikan kebenaran kalimat yang dikatakan adikku.
'Ibu beneran sakit?'aku menuliskan pesan itu dan mengirimkannya pada kakak perempuanku yang menemani Ibu di rumah.
'Iya, tapi sekarang sudah baik.' Rasanya langsung kosong, tidak ada apapun yang terasa saat kalimat itu terbaca olehku. 'Kamu mau bicara?' lanjutnya dengan menyambung chat sebelumnya.
Aku langsung menekan tombol panggilan video untuk melihat keadaan ibuku. Wajah pucat yang mengenakan hijab ab terlihat olehku. Tidak ada kalimat ataupun sapaan pertama, karena air mataku mendahului kalimat sapaan itu keluar.
"Ibu kenapa tidak bilang kalau sedang sakit?" aku mendemo dengan keadaan ibuku. Satu kalimat yang kukeluarkan dengan hiasan suara bergetar karena tangisan.
"Ibu sudah tidak kenapa-kenapa, ini sudah sehat." Ibu dengan posisi berbaring berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tapi bagaimana pun, aku tahu kalau ibu sedang berusaha membohongiku.
Dia mengedarkan kamera dan memperlihatkan siapa-siapa saja yang ada di rumah saat itu, banyak orang dan itu semakin membuatku bergetar. Ibuku menjelaskan, bahwa banyaknya orang berada di rumah karena menjenguk dia.
Hitungan waktu masih terlihat dilayar handphone ku, menandakan panggilan video itu belum berakhir. Aku sibuk menyeka air mata tanpa berani memperlihatkannya pada ibu, sedang, aku mendengar suaranya bertukar cerita dengan salah satu dari mereka yang menjenguknya.
Karena tidak ada percakapan, ibu sibuk dengan tamu yang ada di rumah, sedangkan aku sibuk menata pikiranku agar arahnya baik-baik saja. Handphone yang ibu pegang, diambil alih oleh pemiliknya setelah mendapat instruksi yang mengatakan aku diam saja. Akhirnya panggilan video itu berakhir saat kakak ku, mengakhirinya.
Malam semakin larut, dan masalah rasanya berkumpul mengisi pikiranku. Kukira sunyi akan mengantarku pada tidur yang tenang, tapi semakin kupejamkan mataku, semua hadir dan menakutiku. Tentang skripsiku yang harus kuselesaikan, tentang target lulusku yang harus tahun ini terpenuhi, dan ya, yang paling penting, ibu sedang sakit rupanya.
"Besok, aku harus pulang." Tekadku kuat, aku harus segera pulang, rasanya tidak lagi perduli dengan proposal skripsi yang sudah kususun rapih untuk kubawa bimbingan, ibuku lebih penting sekarang.
Entah jam berapa aku tidur, aku juga tidak tahu. Yang pastinya, pikiran kacau yang membawaku terlelap.
Yang pertama kuingat setelah membuka mata, tentang ibuku dan tentang pulangku. Setelah menunaikan kewajiban, aku langsung membereskan barang yang akan kubawa pulang, tentu bukan pakaian, karena aku tidak memikirkan itu lagi, barang penting yang aku bawa adalah laptop dan buku yang selalu berada di tasku. Barangkali, aku bisa menyelesaikan proposal skripsi ku di rumah.
Vibes ramadhan semakin kuat terasa, harumnya semerbak membuatku semakin menggebu ingin segera sampai ke rumah. Siapa pun, akan melakukan hal yang sama, pulang ke rumah untuk menyambut bulan mulia ini, termasuk aku. Sepanjang perjalanan, kuperhatikan lampu berwarna yang dipasang setiap rumah warga, ini juga salah satu tanda kegembiraan menyambut bulan suci ini.
Aku berhenti setelah sampai di garasi rumah, memarkirkan motor dan tersenyum pada dua orang yang sedang duduk di teras, Ibu dan kakak ku. Biasanya, saat Ibu mendengar motorku, dia akan berlari menyambutku ke pintu. Dengan pertanyaan yang membuat kedatanganku sangat ditunggu. Namun, kali ini beda, ibuku tidak dengan semangatnya lagi. Wajah pucat itu, ibu benar-benar sakit. Dia sementara duduk di teras, bukan di dapur yang mengharuskannya menghampiriku saat mendengar suara motorku.
"Alhamdulillah, kamu sudah sampai dengan selamat." Kalimatnya hampir tidak terdengar olehku, karena suaranya pelan sekali, ibuku terlihat seperti tidak punya tenaga.
Aku turun dari motor dan menyalami ibu dan kakak ku, mengajaknya masuk ke rumah karena hari mulai gelap, ini sudah Maghrib.
Kebiasaan yang selalu aku lakukan saat pulang ke rumah, menceritakan semua yang kualami selama tidak berada di rumah. Tentang kampus ku, tentang temanku, dan tentang apa saja yang aku alami.
Ditengah antusiasnya aku bercerita, beberapa pertanyaan tidak ibu respon, aku kembali mengalihkan topik dengan cerita menyenangkan yang aku alami, tapi masih sama, ibu diam saja. Melihat itu, aku dan kakak ku yang juga berada di samping ibu bersama ku, panik tidak karuan. Kakak ku, berusaha menyadarkan ibu dengan melontarkan banyak pertanyaan, sekedar ingin melihat apakah ibu merespon atau tidak.
Bukan hanya itu, dia juga menepuk-nepuk pipi ibuku agar segera memberi respon, tapi usaha itu sia-sia, ibuku kehilangan kesadaran. Saat itu, yang ada di rumah hanya kami bertiga. Sementara bapak ku, dia sedang keluar karena ada urusan.
Sementara kakak ku masih dengan usahanya, aku segera menghubungi bapak agar dia segera pulang ke rumah. Panik menyerangku, selesai menghubungi bapak, aku berlari ke rumah saudara ibu yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Mencari bantuan ditengah kebingungan kami berdua.
Panik, bingung, dan rasa takut memelukku secara bersamaan. Aku terlalu takut ibuku kenapa-kenapa, dan hal itu yang mengisi kepalaku dengan sempurna.
Saat kupastikan om ku sudah masuk ke dalam rumah, aku berlari dan segera mencari nenek ku. Saat itu keadaanku benar-benar miris, berlari tanpa alas, dan memaksa senyum pada orang yang bertanya padaku di jalan. Padahal saat itu, aku sedang berusaha untuk tidak menangis, setidaknya sampai aku memasuki rumah nenek ku.
Malam itu adalah malam membahagiakan, sebab pawai obor akan dilaksanakan di kampung kami untuk menyambut bulan suci ramadhan. Bahkan tidak sedikit yang aku temui masyarakat di jalan yang sudah siap dengan obornya yang sudah menyala, dan pakaian putih yang dikenakan.
Sedangkan bagiku, malam itu adalah malam paling mengerikan. Disaat semua orang melebarkan senyuman karena bahagia, aku bahkan berusaha menyeka air mataku dan menahannya keluar agar terlihat baik-baik saja.
"Kapan datangnya?" Salah satu orang yang berada di jalan bertanya itu padaku. Aku menjawab pertanyaannya dan melanjutkan perjalananku ke rumah nenekku.
Saat aku membuka pintu rumahnya, tangisku pecah. Bahkan kalimat yang aku katakan pada nenekku, tidak dia mengerti. Dia menyuruhku mengulangnya dan menyuruhku untuk tenang.
"Ibuku sakit lagi, dia tidak merespon kalau kami berbicara padanya." Akhirnya kalimat itu bisa kukeluarkan dengan menyeka air mata setiap katanya. Nenekku juga ikut panik. Siapa yang akan baik-baik saja ketika disambut dengan tangisan seperti yang aku lakukan.
"Ayo, kita ke rumah mu." Nenekku setengah berlari menuju rumahku, sedangkan aku menyuruhnya untuk duluan saja, dan aku akan menyusul.
Rasanya aku terlalu dikuasai rasa takut untuk semua hal buruk terjadi pada ibuku. Aku membiarkan nenekku untuk ke rumah, sedangkan aku memilih duduk di rumahnya dan enggan untuk ke rumahku dulu. Niat baik menata pikiranku agar mendatangkan dan memikirkan hal-hal baik, tapi pikiran negatif itu menguasaiku, membuatku semakin menangis. Kali ini menangis di rumah nenekku, sendirian.
Aku takut, tapi aku juga harus kuat. Seberapa jauhnya aku berlari meninggalkan rumah untuk menghindar dan enggan melihat keadaan ibuku, justru itu yang membuatku semakin menerka dan menghadirkan pikiran buruk di kepalaku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghadapi semuanya, akan menyaksikan dan melihat bagaimana keadaan ibuku. Aku meninggalkan rumah nenekku, dan kembali ke rumah. Dengan membawa harapan bahwa ibuku sudah baik-baik saja.
Sampai di rumah, rasanya jantungku berdetak semakin kencang, apalagi dengan melihat banyaknya sandal yang berada di luar, menandakan banyak orang di rumahku. Kupelankan langkah ku, dan mengintip dengan hati-hati ke tempat tidur ibuku, dimana dia terbaring dengan keadaan sudah tidak sama seperti sebelum aku pergi, ibuku sudah sedikit mendingan. Entah obat atau cara apa yang dilakukan oleh mereka yang ada di rumah, tapi aku bersyukur ibuku sudah sedikit baik-baik saja.
Sepanjang bulan ramadhan, ibuku benar-benar tidak sehat. Karena sepanjang itu, aku dan kakak ku yang mengurus semuanya, pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh ibu. Semenjak dia sakit, menjadi tanggung jawab kami.
Kukira ramadhan akan menjadi ajang untuk aku menikmati masakan ibu, karena sebagai anak yang jarang di rumah hal itu yang selalu aku nanti. Ternyata kali ini beda, Ibu yang menikmati masakan kami berbekal dengan skill yang dia ajarkan.
Kukira, ketika waktu sahur, aku langsung makan saat mendengar kalimat ibu untuk membangunkan sahur, ternyata kalimat itu untuk membangunkan kami agar lebih awal bangun dan menyiapkan makanan.
Aku kira, semua rencanaku barangkali tercapai, ternyata masih perlu direncanakan ulang. Sebab, aku sudah menyusun dengan sebaik mungkin bahwa ramadhan ini, aku harus selesai ujian proposal dan pulang ke rumah dengan membawa kabar bahagia itu. Ternyata takdirnya masih bukan seperti itu.
Ternyata jalannya aku harus menghabiskan waktu ramadhan bersama keluarga di rumah. Ditengah maraknya ajakan buka bersama, dengan keadaan ibu yang sakit, aku dan kakakku harus menabung sabar dan lebih memprioritaskan kesehatan ibu. Kami menolak semua ajakan itu.
Tidak mengapa, meski dengan keadaan seperti itu, tidak egois dengan kepentingan diri sendiri, setidaknya aku masih bisa melihat senyuman ibu, mendengar kalimat yang membangunkan kami untuk menyiapkan sahur meski dengan suara yang sangat lemah, dan meski hanya dengan anggukan saat kami melontarkan pertanyaan, itu sudah lebih dari cukup. Keberuntungan yang sangat disyukuri, bahwa ibu masih membersamai.
Tidak mengapa dengan ujian proposal yang tidak terlaksana, tidak mengapa juga dengan ajakan buka bersama yang tidak kami ikuti, dan ya, tidak mengapa juga dengan keadaan sahur yang hanya dengan segelas air saja, itu terjadi karena makanan tidak bisa kami telan saat sakit ibu datang lagi, kami tidak mengapa dengan itu. Asalkan ibu masih berada di rumah, itu sudah cukup.
Ditengah keadaan yang sedang aku alami, ternyata masih ada manusia yang sibuk mengurusi kehidupanku. Menghakimi langkah yang kuambil dan berbuat seolah keputusanku untuk berada di rumah saat bulan ramadhan adalah kesalahan.
"Sudah ujian proposal? Kenapa masih di sini?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh salah satu ibu-ibu yang sedang beli takjil, seperti yang aku lakukan juga.
"Ibuku masih sakit. Minta doanya saja, semoga ibu cepat sembuh dan aku bisa menyelesaikan tugasku itu segera,tante"jawabku. Dia adalah ibu salah satu temanku, aku dan anaknya saling mengenal, tapi tidak akrab. Kami seumuran dan seangkatan, itu mengapa dia mengetahui tentang pendidikanku.
"Segera selesaikan, jangan terlalu santai." Setelah mengatakan itu, dia berlalu pergi. Suaranya memang tidak keras saat mengatakan itu, tapi kalimatnya cukup menyakitkan.
Siapa yang tidak ingin segera menyelesaikan pendidikannya. Tanpa diberitahu pun, aku tahu kewajiban ku itu. Tapi caranya memberitahu cukup membuatku sakit hati, kalimatnya seakan mengatakan bahwa aku sangat santai dan abai dengan itu. Padahal siapa yang tahu, tawaku, ceriaku, dan saat pergi kemana-mana pun aku selalu memikirkan itu. Kenapa dia tidak mengerti dan mengatakan kalimat penyemangat, setidaknya mendukung tindakanku merawat ibu dibanding meninggalkannya dalam keadaan sakit begitu.
Setelah mendapatkan takjil yang kuinginkan, aku kembali ke rumah. Melihat ibu terbaring dengan keadaan yang lemah, aku kembali tenang. Kembali percaya bahwa siapa pun tidak bisa menggoyahkan keputusanku untuk bersama Ibu selama dia sakit.
Di kehidupan ini, kita sebenarnya tidak punya kendali. Sekali pun rasanya rencana yang disusun benar-benar matang, tidak ada kepastian itu terjadi.