Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tahun 2021.
Menjelang senja, matahari masih belum karam kala itu.Sorak sorai anak-anak bermain sepak bola bahkan masih terdengar jelas menyebrangi segala penjuru. Terlihat dari lapangan itu, jarak tidak kurang dari tujuh ratus meter, bangku-bangku kantin berjejer rapi. Beberapa anak duduk mengelompok menyantap jajanan di piring, aliansi nasi goreng, bahkan hanya sekedar perkumpulan gorengan dan esteh.Mereka membentuk dewan-dewan sendiri di meja berbeda. Ramai teriakan bermain sepak bola beradu dengan ramainya dewan perkumpulan makan di kantin. Kerap heboh menepuk meja dengan cerita lucu dari perkumpulannya masing-masing.
Di sudut ruang, di balik meja kasir, Fhia menatap keramaian di depannya melalui pandangan kosong. Sesekali melayani pembayaran untuk kemudian kembali terhanyut. Tangannya menopang dagu, lututnya di tekuk satu, tampilannya berantakan tak tentu. Lihatlah, dia membiarkan jilbab hitamnya compang-camping. Aku tidak tahan melihat itu.Aku meninggalkan cucian piring sebentar lalu menghampiri sang sahabat dengan pelan-pelan. Langkah kaki kubuat sehalus mungkin agar Fhia tidak menyadari keberadaanku. Benar saja. Fhia masih sama di sana.
Aha! Sepertinya ini akan lucu. Ucapku dalam hati.
“Dorrrrr!”
Bak tersambar petir, Fhia berjingkat dari duduknya. Jantungnya seolah dipompa bergerak seribu kali lipat.Berdegup-degup sangat kencang. Saking kencangnya Fhia memegangi dada, takut jantungnya copot keluar. Tidak disangka justru Fhia menangis karena kekagetannya. Air mata mencelos begitu saja.
“Loh… loh kok menangis.”
Tentu saja Aku terkejut dengan apa yang penglihatakanku saat ini. Tidak menyangka sedikit kejahilan menimbulkan masalah serius. Dengan segera memeluk Fhia, mengusap-usap punggung sahabatnya sambil meluncurkan kata maaf. Sampai Fhia merasa tenang.
“Ih, jahat sekali kamu, ya!”Fhia memukul bahu pelan.
Sambil tertawa pelan memegangi bahuku. Bersikap dramatis seolah bahuku kesakitan betulan. Membuat senyum kecil mulai terbit dari bibir pucat Fhia. Tak menghiraukan lalu lalang keributan kantin, aku mensejajarkan pantat di samping Fhia. Ikut melihat-lihat pemandangan bising di depan kita.
“Masih pusing, ya?”
Fhia menggeleng lemah.Tidak pusing sama sekali. Tangannya yang kurus lurus menarik kelopak mata bagian bawah, menunjukkan kelopak dalamnya yang putih alih-alih berwarna merah segar. Kamu tahu, darah rendah membuatnya kelopak mata bagian dalamnya pucat bak tak dialiri darah. Sebetapapun dia rajin minum obat penambah darah, wajahnya masih sama pucat setiap harinya.Bahkan terkadang dia bisa tiba-tiba terjatuh lemas tanpa sebab lalu terkulai beberapa jam. Ajaibnya, Fhia selalu kembali lagi ke kantin dengan biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Ya ampun aku iba sekali dengan sahabatku satu itu.Bagaimana dia bisa sekuat itu bertahan di sekolah Asrama ini dengan keadaannya?
“Udah mau magrib, La. Yuk, tutup kantin.”Fhia beringsut menutup meja kasirnya.Berisik sorai pemain sepak bola telah menyurut,dewan-dewan aliansi gorengan dan esteh telah bubar.Mengikuti Fhia, aku beranjak membereskan tumpukan piring cuciannya.
**
Sepenggal malam telah berlanjut.Senja tenggelam memendarkan mega kemerah-merahan di langit. Membuat kagum siapapun yang memandangnya untuk segera berucap masya Allah, indah sekali ciptaan tuhan ini.Jama’ah sholat isya telah selesai dari mushola tengah kawasan.Segala penjuru penghuni Sekolah Asrama Al-Hikmah dimulai guru,satpam, penjaga,juru masak serta anak-anak mulai berbondong-bondong bubar dari sumber perkumpulan.
Aku berjalan menenteng sajadah beserta Al-qur’an tergamit di tangan mengapit langkah-langkah pasti.Sambil menatap langit yang bersih,hanya bintang-bintang berkelip berserakan tanpa setitik awan pun. Dalam perjalanan ke kamar, kumelewati koridor asrama putri di sebelah utara mushola.
“Lala.”
“Hai, La.”
“Mbak Lala, sini mampir kamarku!”
“Lala,titip beliin ciki ya nanti.”
Serba serbi sapaan menyerbu kala melangkahkan kaki di lorong-lorong banyak kamar ini.Kamarku memang berada di pojok sampai-sampai harus melewati semua pintu kamar. Dengan segala keramahan ku ladeni satu persatu teman-teman lucu ini, mampir di daun pintu sebentar lalu melenggang.
Sampailah di kamar paling di ujung.Yun,teman sekamarku,terlihat sedang menggulingkan tubuhnya di atas kasur lantai.Membuatku geleng kepala. Bagaimana tidak,Yun menyilangkan kakinya sedang tangannya menunjuk ke atas memegang buku. Jangan-jangan sebentar. lagi ia mengeluh sakit kepala.Aku menolehkan kepala ke arah lain, Memei.Memeberinya isyarat tak kasat mata. Satu, dua, tiga.
“Mbak Lala, kepalaku sakit banget nih.”
Betul perhitunganku tidak meleset sedetik pun. Demi melihatku memasuki ambang pintu, Yun bangkit dari rebahnya.Thats right always, Mei. Gelak Tawa sesaat menelusuri dinding kamar paling ujung itu.Membungkam suara-suara lalu lalang gemeretuk malam.
Namun,
krieettt…brakkkk!!
Pintu berdebam dengan kencang. Seseorang membantingnya keras.Aku,Yun, semuanya berjingkat.
“Mbak Lala!”
“Kamar 3 berantem mbak,hebo… hah… heboh banget.”
Perempuan berjilbab maroon terengah-engah setengah jongkok menopang lutut.Rambut depannya menjulur sedikit, membuat risih sang empunya.Sambil membenahi kerudungnya, ia menggamit tanganku pelan.
“Ayok mbak. Kalo bukan kamu, mereka gak akan mandek nih!”Ujarnya masih tersengal.
Tidak kaget. Aku beringsut mengganti alat sembahyang dengan jilbab hitam lusuh kesukaanku. Segera membimbing kakiku keluar dari kamar paling ujung. Memei dan Yun mengekor dari punggung.Ini hari ke-empat aku ketempat yang sama. Dengan masalah yang itu itu lagi. Entah kali ini jenis varian apa.
“Kenapa bisa berantem, sih?”Gumamku
Dari jauh keberisikan kamar tiga terdengar kacau. Saling berteriak dan tangisan-tangisan, juga bisikan lerai pelan.Aku tidak tahan sampai menyumbat telinga dengan kedua telunjukku. Kehebohan ini pasti terdengar sampai rumah pimpinan.
“Hei, ada apa ini ya?”
Begitu suaraku mulai masuk mendominasi ruangan,keberisikan senyap seketika.Kecuali isak tangis satu orang di tengah-tengahnya.Semuanya tiba-tiba diam seribu bahasa. Tidak seorangpun mengeluarkan suara.
“Mbak Lala tanya sekali lagi. Ini ada apa?”
Aku masih berusaha bersikap wajar dan halus. Meskipun sebenarnya hatiku bergolak ingin berteriak marah.
“Gita”
“Helda”
“Fhia”
“Kenapa nangis?”
Tidak ada jawaban. Bahkan saat ku absen nama-nama di kamar 3 satu persatu.Sembari menelusuri wajah mereka satu persatu, mencari jawaban dari gerak gerik curiga aku, mendekati Fhia yang paling dekat posisinya.Belum dapat diterka apa yang terjadi,Fhia nampak kosong dan sayu di matanya.Seperti terkaget akan sesuatu, yang bahkan lebih mengagetkan timbang kejahilan tempo sore.
Saat ini, posisi sebagai pimpinan regu putri tidak dapat digeser terlebih dahulu.Maka aku belum bisa merengkuh Fhia sebagai teman paling dekatku sama sekali. Harga diriku dipertaruhkan.
“Fhia.Aku hanya tahu kamu yang paling besar di sini.Ini ada apa?”
Tanya sehalus mungkin.Aku mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, menyapu satu persatu wajah. Mencari jawaban dari tatapan mereka yang kukuh menatap lantai kusam.Tetap ditemukan varian apa kali ini mereka bertengkar.
“Di sini ada maling mbak.Kita sering kehilangan.”
“Dan kita tahu siapa pelakunya selama ini.”
Bingung.Aku mengernyitkan dahi.Grasak grusuk seantero asrama mengganggu telingaku. Mereka saling sikut menyikut ikut menyimak pembicaraan.
“Oh ya? Siapa?”
Entah kenapa yang kurasakan dadaku berdebar kencang seolah dihantam tabuh. Bertalu iramanya berloncatan saling mengejar. Bahkan terasa lebih mendengarkan suara jantungku sendiri daripada suara yang lain.
Di depanku, Gita menunjuk orang di sampingku.Aku tidak berani menoleh, semili pun.Gadis ramping ini juga tidak bereaksi apapun. Dia lebih memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain, membuang muka dengan tatapan kosong khasnya.
“Kalian punya buktinya?” Tanyaku.
“Tapi pimpinan yayasan sudah tahu, Mbak.”
Aku terhenyak. Aku tidak percaya, sama sekali. Mendadak telingaku berdengung.Perasaan aneh menjalar ke seluruh tubuh, menimbulkan panas dingin menyelimuti tubuhku bergantian dalam satu waktu. Aku tidak mau mendengar ini.Aku berlari keluar, menuju kamar paling ujung. Kamarku.
“Allahu akbar, cobaan apalagi ini buatmu.”
***
Waktuku sedang luang. Fhia juga.Kami baru selesai mengatur makan siang anak-anak.Jam terakhir sekolah juga sedang kosong.Akan lebih asyik menghabiskan waktu di asrama saja.Tapi Aku sedang tidak ingin segera kembali ke kamar ujungku.Alih-alih ke kamar, aku memilih melipir ke tempat lain.
“Gimana perasaanmu dipindah ke sini?”
“Biasa aja.Kesepian sih dikit.”
Fhia menyembulkan gigi depannya.Sambil bergaya piece dengan dua jarinya.Lemari plastik berwarna biru,kasur yang juga berwarna biru, dan baju-baju yang masih berantakan di ruangan 3x4 meter ini.Di sebelahnya, Fhia mulai sibuk memilah melipat baju.Aku memandangi tumpukan-tumpukan di depanku, menemukan dompet kecil di sana.
“Ini adikmu, ya?”
Satu foto kecil terselip di sana.Hanya foto anak kecil berkopyah putih bundar sedang dipangku Mamaknya.Tapi aku tahu, itu lebih dari segalanya buat Fhia.Anak kecil ini pasti membuat rindu kakak perempuannya.Anak kecil ini pasti…
“Fadhil namanya.”
Aku menoleh hendak tersenyum merespon, bagus sekali namanya. Eh, kudapati Fhia juga sedang memandangiku dan foto kecil di tanganku. Entah tersenyum atau menangis. Fhia melakukannya bersamaan.
“Karena dia, aku tidak patah”
“Karena kau, aku tidak patah.”
Kata-kata itu.
Lidahku kelu, berat seperti mengemut besi berkarat.Aku hanya menatap diam. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Maka aku memilih diam, biar langit semesta yang bicara untuknya.Aku memilih mengatakannya pada semesta.
Hai semesta,
Aku berdoa,gadis dengan pundak yang kuat ini akan bahagia di masa mendatang. Mungkin tubuhnya sedikit terisi.Mungkin sorot matanya tidak sayu lagi.Binar matanya adalah senyum bahagianya.Tidak ada lagi duduk bersimpuh menekuk lutut dan tatapan kosong itu.Aku berharap semesta mengirimkan banyak kebahagiaan-kebahagiaan kecil untuk dia.Fhia, karena kau, aku juga tidak akan patah.