Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Karena Cinta Tidak Pernah Memandang Usia
1
Suka
1,568
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“DAN udah minum tadi.” Zidan memalingkan muka sambil berkacak pinggang, menolak air minum pemberian Rosé secara tidak langsung.

“Minum lagi,” desak Rosé membiarkan botol minum itu tetap terjulur ke arahnya.

Selintas Zidan melirik perempuan di hadapannya dengan malas—ia benaran sudah minum satu cup tadi, nanti perutnya bisa kelopokan, lalu meraih botol minum itu dengan terpaksa. Melihat itu, Rosé tersenyum puas. Ia tahu betul pria satu ini paling tidak bisa menolak keinginannya.

Sambil mengibas tangannya yang sedikit basah akibat botol minum yang berembun, Rosé bertanya, “Sakit, ya?” ketika pandangannya menangkap luka bilur di pundak telanjang Zidan.

Seluruh badan pria itu sudah menghitam karena oli yang dioles di batang pohon pinang. Tak hanya Zidan, seluruh peserta panjat pinang yang terbagi menjadi dua grup itu pun bernasip serupa. Bahkan ada yang nyaris tidak bisa dikenali karena wajahnya menghitam.

“Apa?” Zidan menaikkan satu alisnya sementara ia menutup botol minum dan mengembalikannya kepada Rosé.

“Itu bahu kamu,” Rosé menerima botol itu dengan tangan kanan dan menunjuk pundak Zidan dengan tangan kirinya, “sakit?”

Zidan mengikuti arah telunjuk Rosé, lalu menjawab santai, “Biasa aja.”

“Bohong.” Mata Rosé menyipit ragu. “Itu aja sampai bengkak gitu, mana mungkin gak sakit.”

Bukannya menjawab, Zidan justru balas bertanya sambil tersenyum usil, “Perhatian, ya?”

Masih saja tidak berubah. Rosé memutar bola matanya jengah. Mengabaikan godaan picisan itu dengan ucapan bernada memperingati, “Kan, aku udah bilang gak usah ikutan main. Nanti kalau Dan cidera gimana?”

“Cieee, yang perhatian.” Senyum Zidan semakin lebar. Telunjuknya terjulur hendak mencolek hidung Rosé, tetapi hanya berakhir dengan menyentuh udara karena sadar Rosé paling tidak suka disentuh sembarangan.

“Zidan, aku serius!” geram Rosé seketika melenyapkan senyum jahil di bibir pria itu.

“Gak pa-pa, Mawar. Cuma lecet sedikit kok, paling besok juga sembuh,” kata Zidan setengah tidak peduli. Sesaat kemudian tatapannya berubah tajam dan ia bertanya dengan suara rendah, “Lagipula Mawar tau, apa yang lebih menyakitkan daripada terinjak dan jatuh dari atas sana?”

Rosé mengernyit. “Apaan?”

“Ditolak sama Mawar.”

Sekakmat! Rosé merasa tertohok oleh kalimat bernada menyindir itu. Ia tidak tahu harus berkata apa untuk membalasnya dan beruntungnya Zidan segera mengakhiri situasi canggung sesaat itu. Tatapan tajamnya lenyap, berganti dengan senyum manis yang akhir-akhir ini membuat dada Rosé berdebar setiap kali melihatnya.

“Dan, ayo!”

Serentak keduanya menoleh ke arah suara pria yang barusan memanggil. Rosé melihat salah seorang peserta panjat pinang melambai ke arah Zidan. Rupanya tim lawan tidak berhasil menggapai puncak, maka giliran tim Zidan yang bermain sekarang.

“Doain nyampe puncak,” kata Zidan sebelum bergabung dengan timnya yang sudah bersiap di sekitar batang pinang berlumur oli yang semakin menipis. Siap memenangkan hadiah dan mengibarkan merah putih di puncaknya.

Menjawabnya, Rosé hanya mengangguk.

***

“Ini apa?” Dahi Rosé berkerut menatap Zidan yang petang itu mampir ke rumahnya untuk memberikan gayung berwarna merah muda. Ada gambar bunga mawar merah di salah satu sisinya, sesuai dengan arti namanya jika diterjemahkan dari bahasa Inggris.

“Gayung, Mawar,” jawab Zidan praktis.

Ia memang lebih suka memanggil perempuan bernama lengkap Roséanna itu dengan ‘Mawar’. Nusantara sekali, katanya. Mengingatkannya pada cerita Hantu Mawar yang dulu ramai dibicarakan di sekolahnya.

Rosé pernah protes soal itu, tapi tak dihiraukan. Memang dasar Zidan yang suka seenaknya. Dan mungkin hanya Rosé satu-satunya perempuan yang paling tahan berdekatan dengan si menyebalkan itu.

“Keponakan aku juga tau kalau ini gayung,” ujar Rosé usai memutar bola mata. “Maksud aku ini buat apa?”

“Mandi.”

“Aku udah punya,” geram Rosé mulai kesal.

“Dan juga udah punya.” Zidan menimpali.

“Terus?”

“Nabrak.”

“Zidan!”

Semburan tawa Zidan sempurna membuat Rosé semakin jengkel. Pria tinggi berkumis tipis itu menatap wanita di hadapannya dengan senyum jenaka.

“Itu tadi lagi dilelang. Karena Dan ingat Mawar suka warna pink, jadi Dan bawa aja ke sini.”

“Tim Dan menang?” tanya Rosé. Ia sudah tersenyum sekarang.

“Iya dong.” Zidan mengangkat alisnya jumawa.

Rosé melirik ke kanan dan mendengkus. “Menang kok ngasihnya gayung doang,” gumamnya sarkas.

“Abisnya Mawar dikasih cincin nikah gak mau.”

Serta-merta kalimat balasan itu mengalihkan perhatian Rosé kepada Zidan. Pria di hadapannya kini membuang muka sambil bertolak pinggang. Enggan menatap Rosé sebab sadar jika ia menatap matanya, maka luka akibat penolakan itu akan kembali terbuka.

“Aku mau kok,” ujar Rosé lama kemudian. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Zidan yang balas menatapnya.

“Mau apa?” tanya pria itu sedikit menyipitkan mata. Ia mengerti maksud Rosé, hanya saja ia ingin memastikan lagi agar tidak salah paham.

“Aku mau nikah sama Dan,” jawab Rosé dengan suara rendah. Berusaha menahan diri agar tidak mengalihkan matanya ke arah lain. Ia ingin pria ini tahu kalau ia serius.

Respons Zidan justru di luar dugaan. Pria itu menempelkan telapak tangannya di kening Rosé sambil bertanya, “Mawar sakit?”

“Zidan, aku serius!” Rosé lekas menepis tangan Zidan dari keningnya. Menghujami pria itu dengan tatapan seolah berkata, Jangan sentuh aku seenaknya!

Zidan langsung meminta maaf. Tadi ia tidak sadar mengangkat tangannya dan menyentuh Rosé. Biasanya tidak pernah seperti itu. Entah kenapa kali ini ia bisa kelepasan.

“Jadi ... gimana?” Zidan menunduk ingin melihat wajah Rosé yang ditekuk.

Rosé tidak langsung menjawab. Setelah menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan, barulah ia mengangkat wajahnya dan menatap Zidan tepat di kedua iris hitamnya.

“Aku mau nikah sama Dan,” katanya. “Aku mau jadi istri Dan.”

“Sekalipun kita beda usia?” tembak Zidan langsung pada inti permasalahan yang selama ini menjadi kekhawatiran Rosé.

Wanita itu mengangguk.

“Sekalipun usia Dan lebih muda dari Mawar?” Zidan menegaskan sekali lagi. Dan Rosé mengangguk lagi.

“Maaf karena aku baru berani nerima Dan sekarang. Dan juga ... makasih untuk tetap sayang sama aku.” Ada semburat merah muda di pipi Rosé yang menatap malu-malu.

Kalau boleh, Zidan ingin menarik wanita mungil tukang gengsian itu ke pelukannya sekarang juga, tapi ia sadar Rosé sangat menjaga dirinya dari sentuhan pria. Maka yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah tersenyum sambil menatap wanitanya penuh cinta.

“Ya udah, masuk sana!” perintah Zidan setelah puas beradu pandang dalam selimut keheningan.

Rosé mengangguk. “Jangan lupa itu bahunya dikasih salep.”

“Gayungnya juga jangan lupa dipakai mandi.”

Rosé menunduk sedikit. Melihat gayung yang sudah berpindah ke tangannya dengan sedikit kernyitan. Lalu ekspresi wajahnya dibuat sedih dan ia menatap Zidan dengan tak enak hati.

“Kayaknya mau aku kasih ke Kang Doyok aja deh.”

Serentak wajah Zidan berubah masam. Sepasang matanya menatap datar saat berkata, “Jahat.” Membuat Rosé tergelak detik itu juga.

“Rangga kali yang jahat.”

“Korban sutradara.”

“Biarin.”

“Dan pulang.” Zidan melambaikan tangan dan berlalu meninggalkan Rosé yang masih mematri senyum di bibir merahnya. Lima-sepuluh detik berlalu dan ia masih bergeming di pijakannya. Menatap punggung lebar yang semakin menjauh itu sambil menapak tilas kejadian delapan tahun lalu ....

***

“Ini apa, Kak?” tanya laki-laki berseragam Pramuka sambil menunjuk salah satu wadah stainless yang berjejer di meja prasmanan.

Dari balik meja panjang itu, Rosé menjawab ramah, “Pajri nanas.”

“Kalo yang ini?” Laki-laki itu menunjuk wadah di sebelahnya. Membuat Rosé langsung memberengut.

“Masa iya yang itu gak tau?”

“Gak tau, beneran.”

“Itu tauco.”

“Diantara dua ini,” laki-laki itu memindahkan telunjuknya ke wadah pajri nanas dan tauco secara bergantian,“Kakak suka yang mana?”

Rosé menggeleng. “Enggak keduanya.”

“Terus Kakak sukanya apa?”

Cukup!

Rosé mengangkat sebelah alisnya dan bertanya dengan nada setengah jengkel, “Yang mau makan aku atau kamu, sih?”

Laki-laki itu tersenyum simpul dan bergerak satu langkah ke samping. “Sop suka, kan?” tanyanya sambil menunjuk wadah bulat penuh kuah berisi potongan kentang, wortel, jamur kuping, dan bihun.

“Suka,” jawab Rosé cepat.

“Kerupuk?”

“Suka.”

Lagi, laki-laki itu tersenyum. Usai mengambil dua cup air minum dari meja di sebelahnya, ia kembali menatap Rosé. “Jangan lupa makan, Kak.”

Setelah itu ia bergabung dengan teman-temannya yang sudah lebih dulu menikmati hidangan. Meninggalkan Rosé dan temannya yang kini memandanginya sambil senyum-senyum.

“Naksir kamu tuh dia,” komentar temannya sambil menyikut lengannya.

Rosé hanya mendengkus. Lupakah temannya ini kalau ia tidak suka berondong? Umurnya sudah dua puluh dua tahun dan bersanding dengan anak SMA hanya akan membuatnya terlihat lebih tua.

“Kalau iya gimana?” Temannya masih berupaya menggoda.

Rosé yang sudah kelelahan melayani tamu undangan yang membludak di jam makan siang ini hanya menyahut, “Bodo!” Kemudian ia duduk dan mencopot high heels yang mulai menyiksa betisnya.

***

Dengan Kak Roséanna, penjaga meja prasmanan acara sunatan anaknya Pak Nugrah?

Dahi Rosé berkerut membaca sebaris pesan dari orang asing yang barusan masuk ke Facebook-nya. Sebelum membalas, ia memeriksa profil si pengirim terlebih dahulu. Dan bibirnya membentuk huruf O begitu tahu orang ini adalah teman sekolah dari anak si penyelenggara acara. Laki-laki yang menanyakan kesukaannya saat mengambil hidangan tadi.

Sambil berpikir dari mana anak itu bisa tahu nama dan akun Facebook-nya, Rosé membalas,

Kamu mau apa?

Aku mau tanya. Boleh?

Iya, boleh.

Kakak punya pacar?

Gak.

Calon suami?

Gak.

Yeeesss!!!

Balasan secepat kilat itu membuat Rosé tersenyum segaris mengerut dahi. Lalu pesan berikutnya muncul.

Lima tahun lagi nikah samaku ya Kak.

Satu tawa rendah lolos dari bibir Rosé yang dipoles lipstik berwarna peach. Wanita itu meletakkan ponselnya dan bergegas bangkit saat seorang tamu hendak mengambil hidangan.

Satu jam kemudian, ketika ia bersiap pulang untuk menunaikan ibadah salat magrib, ia memeriksa Facebook-nya dan mendapati pesan beruntun dari akun yang sama.

Kok gak dibalas?

Halooo..!

Kak, masih idup kan?

Kak Mawaaar...

Rosé sampai geleng-geleng kepala membaca pesannya. Apa-apaan anak itu mengganti namanya seenak jidat. Setelah menyimpan perlengkapan salatnya ke dalam rak, barulah ia menulis balasan,

Nama kamu siapa?

Dan pesan itu baru terbalas lagi sekitar setengah jam jelang salat isya.

ZIDAN RAMADHAN. Salam kenal Calon Istri.

Dengan bubuhan tanda baca titik dua bintang yang sukses membuat Rosé bergidik geli.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Highschool Love Story
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Cooking with You
Bentang Pustaka
Cerpen
Karena Cinta Tidak Pernah Memandang Usia
Yooni SRi
Novel
Bronze
The Visitor
Nurul Elmi
Flash
Langit Kelabu Tanda Hujan Tak Kunjung Reda
winda aprillia
Flash
Bronze
1800 Detik Untuk Cinta
Deeta Pratiwi
Novel
Bronze
Displacement
NoonaAgassi
Novel
Rhea and Handsome Followers
Dewi yuliana
Novel
Bronze
Rama's Story Origins : Shape Of Angel
Cancan Ramadhan
Novel
Semestanya Arutala
Denting Piano
Novel
Mencintaimu Besok Lagi
aprilwriters
Flash
Ms. Priority
Yooni SRi
Novel
Selamat Pagi, Alen
Kavi M N
Flash
Buah Langsat Gratis
Yovinus
Novel
Bronze
Hujan, Embun, dan Samudra
zee astri
Rekomendasi
Cerpen
Karena Cinta Tidak Pernah Memandang Usia
Yooni SRi
Flash
Ms. Priority
Yooni SRi
Flash
Terkabulnya Doa
Yooni SRi
Cerpen
Abaikan Dengan Buku
Yooni SRi
Cerpen
Sebelah
Yooni SRi
Flash
Berakhir
Yooni SRi
Novel
(Un)natural Feeling
Yooni SRi
Cerpen
Menanti Masa
Yooni SRi
Flash
A Warm Hug
Yooni SRi
Flash
Under The Rain #2 (END)
Yooni SRi
Cerpen
Drama Kecupan Manis
Yooni SRi
Flash
Pria Asing
Yooni SRi
Flash
Under The Rain #1
Yooni SRi
Flash
Ghina, Ayo Move On!
Yooni SRi
Flash
BISKUIT COKELAT Pengganti Utang
Yooni SRi