Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aluna nyaris menitikkan air mata, tapi buru-buru menahannya di hadapan Sasha. Sahabatnya itu menatap dengan sorot iba yang tak lagi bisa disembunyikan. Belakangan ini Aluna memang terlalu sering menangis, kehilangan waktu, tertekan, dan lelah. Semuanya gara-gara cowok gila itu.
“Lun, kalau kamu udah capek sama Enzo,” Sasha mengembuskan napas berat, “please, tinggalin dia.”
Detik itu juga Aluna menggeleng lemah. “Aku nggak bisa, Sha,” lirihnya. “Aku nggak bisa… tanpa dia.”
Sasha tersenyum tipis, getir. “Oke. Tapi sadar nggak sih, Lun? Sama dia, kamu kehilangan teman-teman lainnya, termasuk teman cowok, waktu kamu habis cuma buat bikin dia percaya kalau kamu nggak main sama cowok lain. Gila, tau nggak!”
“Kamu nggak ngerti, Sha,” balas Aluna pelan. “Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain.”
Sasha menatapnya lama, kecewa. “Aku memang nggak ngerasain persis, Lun. Tapi aku punya hati. Aku bisa lihat kamu sakit.”
Ia lalu menarik ranselnya. “Terserah kamu.”
Pintu kamar kos ditutup cukup keras. Sasha benar-benar merasa Aluna tak pernah mendengarkan satu pun nasihatnya.
Weekend kali ini, Aluna tampil sangat cantik dengan gaun hitam elegan. Sasha sudah menduga, Aluna pasti akan pergi menemui Enzo, cowok kesayangannya yang juga paling sering membuatnya menangis.
“Mau ikut nggak?” tanya Aluna dengan mata berbinar.
Sasha menggeleng, meski tangannya tetap membantu merapikan rambut Aluna. “Nggak. Aku nggak ikut. But… have fun, ya.”
Sasha memang sudah tidak respek pada Enzo, tapi sadar betul ia tidak berhak menghakimi. Toh, mereka yang menjalani.
“Makasih ya, Sha.”
“Hati-hati,” balas Sasha singkat.
Sementara di Cafe Choice, Enzo sibuk memeriksa ponsel Aluna dari WhatsApp, Instagram, sampai Line yang bahkan tak ia gunakan.
“Udah, kan?” Aluna merebut ponselnya. “Aku capek sama sikap kamu! Aku kira kamu ngajak ketemu buat minta maaf, ternyata malah nuduh aku macam-macam.”
Enzo tersenyum tipis. Raut wajahnya campur aduk antara takut, khawatir, dan cinta. “Aku Cuma ragu, Lun.”
“Ragu?”
“Kamu gampang nyaman sama cowok.”
Kalimat itu membuat Aluna terhenyak. Tanpa berpikir panjang, ia meraih gelas teh di depannya dan menyiramkannya ke wajah Enzo.
“Kita putus.”
“Luna!” teriak Enzo, tapi Aluna sudah berlalu.
“Ah, sial!” umpatan Enzo menggema di meja itu.
***
Happy Anniversary yang ketiga tahun
Sasha tertawa hambar. Harusnya momen itu mengharukan, tapi bulan kemarin mereka baru saja putus karena Enzo ketahuan selingkuh. Sekarang malah merayakan hari jadian.
“Kamu kok nggak kelihatan bahagia, Sha?” tanya Aluna lesu.
“Gimana mau bahagia? Setelah semua yang dia lakuin ke kamu?”
“Aku tahu kamu kecewa,” ucap Aluna pelan. “Tapi aku nggak bisa bohong. Aku masih sayang sama Enzo.”
Sasha menghela napas panjang. “Kamu disakitin, dibohongi, dibatasi pertemanannya, diselingkuhi—tapi masih bertahan. Kadang aku heran, Lun...”
Aluna terdiam sejenak, ia menatap Sasha dengan sorot kecewa. “Aku juga nggak minta kamu terus dengerin ceritaku, Sha. Kalau kamu capek, silakan pergi.”
Sasha menunduk. Ia mendengus kesal, tangannya berkacak pinggang.
“Disuruh tobat, lho?” katanya sambil tertawa hambar, “malah jadi perkalian. Bukannya dikurangin, tapi dikali dua, tiga, empat. Katanya sayang, tapi kok hatinya dibagi-bagi kayak brosur...Enzo GILA!”
Tiga bulan setelah wisuda, Aluna dan Sasha hanya sesekali bertukar kabar. Sasha kini bekerja di kafe milik tantenya.
Saat pintu kafe terbuka, Aluna masuk dengan wajah basah oleh air mata.
“Lun? Kenapa?”
Tanpa menjawab, Aluna langsung memeluk Sasha dan menangis histeris.
“Masuk ke dalam dulu,” ucap Sasha menuntunnya.
Setelah agak tenang, Aluna berbisik, “Aku bodoh, Sha.”
“Jangan bilang gitu. Cerita aja.”
“Enzo selingkuh… sama cewek itu lagi—”
“GILA BENER TUH COWOK, LUN! PARAH!” potong Sasha. Matanya berkaca-kaca, napasnya naik turun. “Aku sampai nggak tahu harus ngomong apa lagi. Kayaknya aku udah benar-benar nggak yakin dia bakal berubah. Aku kira selingkuh itu Cuma sekali, eh ternyata emang penyakit, Lun…”
Aluna menatap Sasha. Sorot matanya penuh kecewa, muak, dan lelah.
“Kamu udah muak sama semua ini, ya, Sha?” ucapnya pelan. “Maaf… kamu bebas bilang apa pun ke aku. Karena aku emang bodoh.”
Sasha menggeleng cepat. Alih-alih memarahi, ia justru menarik Aluna ke dalam pelukannya. “Enggak, Lun. Aku memang marah. Aku nggak bisa menghakimi kamu.”
Tangis Aluna justru makin pecah. Dalam kepalanya, ia sudah siap dimaki habis-habisan. “Sebenarnya… aku udah putus dua bulan lalu sama Enzo,” katanya. “Kasusnya sama, Sha. Terus aku ketemu orang baru, namanya Raka. Maaf aku nggak pernah cerita. Tapi dia baik banget. Aku bisa bilang, dia cowok paling effort yang pernah aku kenal.”
Sasha mendengarkan dengan tenang. “Terus?”
“Tapi Enzo datang lagi. Dia minta kesempatan. Dan nyatanya… dia selingkuh lagi.” Aluna menarik napas. “Dia marah-marah ke aku, Sha. Ke Raka juga. Tapi Raka nggak mundur. Dia malah berusaha bikin aku yakin sama dia…”
Suara Aluna mengecil. “Sha… dia ngelamar aku.”
“HA?” Sasha tersentak. “Lamar? Kalian baru kenal, Lun! Dia seberani itu?”
Sasha menatapnya lekat. “Kamu udah seberapa yakin sama dia?”
“Satu-satu, Sha…”
“Oke.” Sasha menghela napas. “Aku bisa ketemu sama dia?”
Aluna mengangguk pelan.
Pertemuan mereka memang singkat, tapi cukup membuat Sasha terdiam. Cara Raka memperlakukan Aluna tanpa dibuat-buat, penuh perhatian dan benar-benar terasa tulus. Tanpa basa-basi, Sasha bisa merasakan satu hal kalau cowok itu serius.
“Aku… sayang dua-duanya, Sha,” ucap Aluna lirih.
Sasha menggeleng kuat. “Nggak bisa gitu, Lun. Kamu harus pilih salah satu. Jangan sampai kamu bertahan Cuma karena nyaman sama perhatian dua orang sekaligus. Itu nggak adil, buat mereka, dan buat kamu sendiri.”
Sasha menatap Aluna lembut. “Aku tahu kamu masih punya perasaan sama Enzo. Wajar. Kalian nggak sebentar. Tapi Raka? Kamu baru kenal dia hitungan hari, minggu, bulan… dan lihat, Lun. Nggak ada drama. Kamu nggak ditekan. Kamu nggak disalahin.”
“Enzo minta kesempatan kedua…” suara Aluna nyaris tak terdengar.
“Kesempatan ke berapa, Lun?” potong Sasha pelan. “Kamu udah ngasih berkali-kali. Kalau kamu mau ngasih lagi, silakan. Tapi…”
Ia menatap sahabatnya dalam-dalam. “Lepasin Raka.”
Aluna terdiam.
“Nggak bisa, kan?” lanjut Sasha. “Karena kamu udah nyaman sama Raka. Jadi sekarang, selesaikan hubunganmu sama Enzo.”
“Apa aku bisa secepat itu jatuh cinta lagi?” tanya Aluna ragu.
“Aku nggak tahu,” jawab Sasha jujur. “Tapi apa pun pilihanmu, aku tetap di pihak kamu, Lun.”
Aluna mengangguk. Ia memeluk Sasha erat. “Makasih, Sha… makasih udah jadi pendengar setia hubungan perkalian ini.”
**
Di tempat lain, Enzo sudah duduk di sudut kafe. Saat melihat Aluna datang, ia refleks menyimpan ponselnya, seolah tak ingin ketahuan sedang menunggu terlalu lama.
“Sayang—”
“Aku nggak lama, Enzo,” potong Aluna tegas. “Aku mau kita benar-benar selesai hari ini.”
Enzo langsung berdiri. Mereka berhadapan, jarak mereka dekat, terlalu dekat. Tatapan mereka bertemu. Enzo menggeleng pelan lalu menggenggam tangan Aluna erat, seakan takut kehilangan.
“Lun, jangan bercanda,” suaranya bergetar. “Aku sayang banget sama kamu. Aku nggak bisa tanpa kamu. Aku minta maaf… aku janji bakal berubah.”
“Cukup, Enzo,” Aluna melepaskan genggamannya. “Aku nggak bisa.”
“Oh, aku tahu sekarang,” Enzo tersenyum sinis. “Kamu udah ada cowok lain, ya? Cepat banget. Kamu emang murahan, LUN!”
Detik itu juga, tamparan mendarat keras di pipi Enzo, membuat beberapa pengunjung menoleh.
“Jaga ucapanmu,” suara Aluna gemetar menahan marah. “Kamu pikir aku nggak capek? Sama semua sikap kamu yang semena-mena itu? Kamu selalu nyalahin aku di setiap kita berantem. Kamu nggak ngerasa bersalah sedikit pun?”
Enzo tertunduk. Rasa bersalah merambat perlahan di dadanya. Saat itu juga, ia sadar, Aluna benar-benar akan pergi. Dan ketakutan itu membuatnya ingin menahannya sekuat tenaga. Tidak ada yang boleh memiliki Aluna selain dirinya.
“Aku… aku minta maaf,” katanya lirih. “Aku ngaku salah, sayang…”
Aluna menggeleng lemah. Air mata mengalir tanpa bisa ia tahan. Ia menatap Enzo lebih dalam, lama. Tatapan mereka terkunci, penuh kenangan yang kini terasa menyakitkan.
“...Aku nggak pernah minta kamu sempurna. Aku Cuma minta kamu setia.” Ucap Aluna pelan. “Maaf. Aku udah gak bisa...,”
Pelan, Aluna mengusap punggung tangan Enzo, lalu melangkah pergi. “Aku mau nikah sama orang lain. Jadi tolong… jangan ganggu aku lagi. Makasih udah ngajarin aku arti pergi.”
Enzo tetap berdiri di tempatnya, menatap kosong. Ia bahkan tak berkedip, meski air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menggeleng cepat, berniat mengejar, tapi—
“Enzo.”
Langkahnya terhenti. Ia berbalik. Zaky, sahabatnya, berdiri di belakangnya.
“Biarin dia bahagia, Zo,” ucap Zaky tenang. “Lo udah cukup nyakitin dia. Cinta emang punya banyak tempat, tapi kalau sakitnya berulang kali, lebih baik lo lepasin. Dia juga punya hati yang berhak bahagia.”
Enzo menunduk. Tangannya mengepal, lalu mengendur lagi, berkali-kali, seolah ia sedang mencari alasan yang sudah tak ada. Dadanya terasa sesak, bukan karena ditinggal, tapi karena baru sadar betapa sering ia melukai. Untuk pertama kalinya, tak ada kata pembelaan yang tersisa di kepalanya.
***
Pergi dari hubungan toxic itu bukan karena kurang cinta, tapi karena waras juga butuh diperjuangkan.
Capek jadi pihak yang selalu ngerti. Sementara yang lain santai bikin luka
Lalu bilang, “kamu terlalu sensitif.
Katanya cinta itu sabar, tapi kalau sabarnya dipakai buat bertahan dari rasa takut, nangis diam-diam, dan kehilangan diri sendiri...
Itu bukan cinta—itu latihan bertahan hidup.
Lucunya, ketika akhirnya memilih pergi,
Yang disalahkan justru keberanian.
Dibilang berubah, dibilang egois,
Padahal Cuma berhenti jadi korban.
Jadi kalau sekarang memilih tenang,
Bukan berarti kalah.
Hanya akhirnya sadar...
Cinta seharusnya bikin pulang,
Bukan bikin mental demo tiap malam.
Cowok selingkuh itu rajin minta maaf, tapi malas berubah. Kalau cinta bikin kamu mengecil, itu bukan rumah. Tapi jebakan.
-Aluna-