Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Kamu Harus Bahagia, Nad
3
Suka
3,722
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sungguh mata ini tidak kunjung terpejam walau malam telah larut. Kuraih ponsel dengan layar sebesar empat-koma-tujuh-inci yang saat ini tergeletak di meja kecil di sebelah ranjang. Sudah pukul satu-lewat-dua-puluh-menit, bahkan hingga saat ini aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Sejenak kupandang wajah wanita yang saat ini tenggelam dalam lelapnya. Damai itu begitu teruntai di atas dengkuran halus yang begitu kukenal sejak dahulu. Sejenak kurapikan selimut ini untuk menutupi tubuhnya. Kuhela napas panjang seraya memimpin langkah untuk keluar dari kamar ini.

Rumah ini begitu sepi di dini hari, hanya suara kucing peliharaanku yang sedari tadi mengeong, sekadar meminta belaianku di antara sorot mata mereka yang juga begitu meneduhkan. Hanya beberapa menit mereka pun juga mendengkur, tenggelam dalam lelap.

Kulangkahkan kaki ke dapur, mengambil beberapa biji kopi, menggiling, dan menyeduhnya di dalam sebuah gelas yang biasa ia gunakan untuk meminum kopi. Ini adalah segelas kopi yang sengaja dibuat untuk terakhir kalinya untuk seorang wanita terindah yang pernah mengisi hatiku.

Nadine Helveina.

Hari ini adalah hari yang membahagiakan untuknya; di mana ia benar-benar menyerahkan segala apa yang ia miliki seharusnya kepada orang yang akan selalu berada di sisinya mulai hari ini, hingga embusan akhir napasnya.

Kuketuk perlahan pintu kamar yang begitu kokoh menyembunyikan sesosok wanita yang seharusnya tidak boleh ditemui malam ini dengan tangan kiri. Tidak ada jawaban apa pun yang terdengar dari dalam, kecuali gagang yang bergerak sejalan dengan terbukanya pintu ini perlahan; memperlihatkan wanita yang saat ini tersenyum begitu indah.

“Tam,” sahutnya sedikit terhentak, begitu pun denganku yang sedikit terkejut karena ternyata ia belum terlelap.

“Buat kamu, Nad,” ujarku pelan.

“Makasih ya,” ujarnya manja, seolah aku adalah sosok yang berada untuknya nanti di sebuah ikatan serah terima suci.

Aku tidak menjawab apa pun, hanya mengangguk di ambang bibir pintu yang saat ini terbuka setengah. Tubuh ini masih bergeming seraya menyerahkan gelas berwarna biru muda kepadanya.

“Malam ini, malam terakhir aku bisa ngomong sama kamu,” ujarku pelan.

Aku mengutaskan senyuman yang dirasa begitu terpaksa untuknya. Aku tahu ini aneh, tetapi ini adalah saat-saat terakhir di mana dirinya masih bisa bebas ditemui.

“Iya,” sahutnya pelan seraya menunduk lesu, menutup setengah wajahnya dengan poni yang begitu indah itu.

“Mau masuk?”

Aku menggeleng pelan. Sungguh, Ablasa akan menguasaiku apabila hati ini mengikuti keinginannya.

“Gak usah, di sini aja,” ujarku pelan.

“Sekali ini aja, malem ini aja,” ujarnya dengan wajah yang begitu menampakkan elegi yang amat sangat tatkala sorot matanya benar-benar menatapku.

Wanita ini lalu membuka lebar pintu, membelakangiku, dan berjalan masuk ke dalam kamar tamu tempatnya menginap dua hari terakhir ini. Harum tubuhnya masih sama, masih seperti Nadine yang kukenal sejak dua-belas-tahun lalu.

Rambutnya yang dahulu pendek kini ia biarkan panjang terurai. Sungguh, aku benar-benar mengagumi betapa anggunnya sosoknya malam ini. Tak ayal, ribuan antek Ablasa mulai menguasai pikiranku. Menelisik bisikan bersama dengan godaan yang akan menjerumuskan ke dalam lubang itu lagi. Namun, aku tetap tidak ingin semua itu terjadi.

“Masuk, Tam,” ajaknya saat ia meletakkan kopi tersebut di nakas yang terletak di sebelah kiri ranjang ini.

Ia kemudian duduk di pinggirnya, menatap ke arahku dengan wajah yang masih sama seperti tadi. Aku masih belum berhasil menyingkirkan raut wajahnya dari dalam benakku.

“Aku gak akan lupain semua hal indah sama kamu,” ujarnya pelan. “Aku akan janji akan penuhin apa yang udah aku janjiin sama kamu.”

“Dia akan jadi suami kamu,” ujarku, “kamu harus nurut apa yang dia perintahin ke kamu, apa pun itu.”

Ia mengangguk pelan. “Aku paham, meskipun hal itu bukan yang aku mau. Aku mau tetep sama kamu, tetep bisa deket sama kamu.”

Terlantun elegi minor yang menelisik indra. Sungguh, segenap keteguhan hati yang telah dibangun langsung runtuh tatkala melihat air itu mengalir dari sepasang matanya. Segala imaji tentang masa-masa indah bersamanya dahulu seolah langsung menyeruak begitu dahsyat di dalam kepala.

“Aku sayang kamu, Tam.” Napasnya mulai tersengal seraya tangisannya semakin menjadi saat ia akhirnya tidak memiliki kemampuan lagi untuk membendung itu semua.

Aku tahu, badai pasti akan berakhir; aku juga tahu, malam yang gelap juga akan usai. Namun, perjuangan agar tidak menyerah untuk melawan dinginnya udara dan tajamnya sayatan air yang tercurah tidak akan pernah mudah. Meskipun selalu ada akhir yang indah dan tidak sia-sia tatkala sang Sol mulai muncul dan menyapa dengan hangat.

“Aku juga selalu sayang sama kamu, Nad,” ujarku pelan, “maafin aku.

“Maafin aku yang gak pernah prioritasin kamu di hidupku, bahkan sejak dulu,” ujarku lirih.

Segenap imaji tentang segala indah yang terkecap dengan Nadine mulai menggeliat. Satu per satu kenangan terputar bagaikan citra yang begitu nyata di kepala.

Nadine menggeleng pelan di antara isak yang begitu menyayat hati. “Kamu enggak salah, Tam. Aku yang salah, terlalu berharap sama kamu selama sepuluh tahun.”

Sontak detak jantung ini tereskalasi dengan cepat seraya rasa sesak yang begitu menderaku. Bahkan bernapas pun sangat sulit kulakukan saat ini. Tidak ada lisan yang mampu kuucapkan kecuali hening yang makin menyiksa dengan rasa bersalah kepada seorang Nadine Helvelina.

Apa yang telah kulakukan kepadanya?

Apa yang telah diperbuat atas semua janjiku kepadanya?

Mengapa baru sekarang hati ini benar-benar bisa luluh atas semua yang sudah terjadi di antara aku dan dirinya?

Bukankah asa ini begitu membencinya dahulu ketika ia berusaha menjauhkan diri ini dengan orang yang kucintai?

Bukankah aku yang sengaja membuat syarat yang begitu sulit bahkan mustahil rasanya ia menjadi yang kedua di hati ini?

Mengapa aku malah memimpin langkah, memasuki ruangan ini dengan segenap rasa bersalah?

Apa yang telah kuperbuat atas semua keangguhan atas perasaan yang ia miliki?

Mengapa baru kali ini aku merasa bahwa hati ini sudah begitu jahat membiarkan harapan dan cinta itu tumbuh ketika berusaha untuk menjauhinya?

Bukankah aku yang selalu memintanya untuk enyah dan pergi bersama laki-laki lain?

Bukankah aku yang sengaja mengasingkan wanita ini dengan meminta atasannya menempatkan di daerah terpencil agar tidak bisa saling berhubungan lagi?

Mengapa aku malah mendekatkan tubuh dan duduk di sebelahnya?

Apa yang telah terjadi di dalam hati ini saat dua tahun yang lalu aku berjanji untuk menerima cintanya lagi?

Mengapa seluruh diriku seolah lumpuh dan hanya menunjuk ke satu nama?

Bukankah aku benar-benar sudah berusaha untuk menjauhkannya?

Bukankah asa ini yang tidak ingin segala sikap kekanak-kanakannya datang lagi dan meracuni hidupku?

Mengapa aku malah menggenggam tangannya yang saat ini sedang menangis begitu tersedu?

Apa yang terjadi kepadaku?

Diri ini ternyata masih sama seperti aku yang dahulu. Kekuatan hati ini langsung hancur ketika melihat orang yang pernah hadir menangis dengan intonasi yang tidak pernah kusuka. Sebuah nada minor yang terdengar begitu menusuk hati siapa pun yang mendengarnya.

Terngiang namaku secara lengkap disebut olehnya berulang-ulang. Sebuah pernyataan yang selalu kudengar dari Nadine apabila ia sedang dalam kondisi seperti ini. Bukan, Ia tidak berada di dalam badai ataupun dalam langit mendung. Ia tertimbun di pekat dan gelapnya kebencianku kepadanya. Rasa yang menenggelamkannya dalam samudra penuh elegi dan mengendap di sana.

“Maafin aku, Nad,” ujarku pelan, tanpa terasa air mata ini juga mengalir saat.

“Maafin aku yang udah jahat sama kamu sampe saat ini.”

“Enggak, Tam, enggak,” tukasnya cepat. “Aku yang udah jahat selama ini, maksain segala kehendak aku buat cinta yang aku tahu enggak akan pernah terjadi.

“Aku yang maksain ini semua.”

Kugenggam tangan wanita ini lebih erat. “Seharusnya aku enggak pernah nulis cerita itu. Seharusnya aku enggak pernah ceritain itu semua ke kamu, ke semua orang”

“Bukan salah kamu,” ujarnya, masih terisak begitu haru. “Semua itu salah aku, malah hubungin kamu, minta kamu dateng ke rumah aku di Malang, terus minta kamu nikahin aku di depan semua orang.

“Aku ternyata masih sama, masih Nadine yang egois kayak dulu ya.”

Kupandang wajahnya yang saat ini begitu menampakkan kesenduan. “Aku yang seharusnya gak kasih harapan itu buat kamu. Bukan gitu harusnya.

“Jujur, aku yang jahat, ngasih sebuah syarat sulit yang aku tahu bahkan kamu aja gak mungkin buat gapai itu.”

Ia mengangguk. “Aku tahu, tahu banget,” ujarnya, “karena emang seperti yang kamu bilang, cinta itu gak ilang, hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

“Aku baru sadar, apa yang kamu lakuin ke aku adalah bentuk cinta kamu ke aku. Tapi, aku gak pernah sadar selama aku ngejar kamu sejak dua taun yang lalu.”

Ia lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tahu apa yang ia rasakan. Begitu pun dengannya yang juga tahu bagaimana perasaanku saat ini. Sebuah rasa yang begitu absolut di atas segala keindahan yang tidak pernah akan terwujud lagi di antara kami.

Aku sadar, ini semua akan berakhir dalam beberapa jam. Ia akan bersama laki-laki lain pada saat itu. Aku tidak akan pernah lagi bisa mendekatinya dengan alasan apa pun. Namun, aku ikhlas karena memang ia harus bahagia dengan apa yang telah diusahakan selama ini.

“Kamu harus bahagia, Nad,” ujarku pelan, “kamu harus bahagia dengan apa yang kamu perjuangin.”

“Aku akan berusaha,” ujarnya pelan, seraya tangannya mulai menyeka air mata yang saat ini mulai terhenti.

“Well,” ujarku pelan, seraya berusaha menjauhkan tubuhnya yang saat ini sudah terlampau dekat denganku.

 “Kamu bobo ya Nad, sebentar lagi kamu harus nyerahin semua jiwa dan raga kamu buat orang yang berjanji sehidup semati sama kamu.”

Kupandang wanita itu dengan senyuman yang terasa mengambang. Kutegakkan tubuh ini dan berjalan pelan untuk meninggalkannya.

“Kalo bobo cuma ngabisin waktu doang, aku gak mau sia-siain detik ini. Aku mau nikmatin setiap detik sama kamu, sampe aku udah bener-bener gak bisa ketemu kamu lagi,” ujarnya seraya mendekapku dari belakang.

Aku terhentak begitu hebat. Ia melakukan semua ini seolah tiada batas yang tercipta di antara kami malam ini. Segalanya kunikmati meskipun ini adalah sesuatu yang salah. Aku harus segera menarik tuas Westinghouse Air Brake agar berhenti tepat sebelum semboyan 7.

“Nad,” panggilku, tidak percaya dengan apa yang telah ia lakukan kepadaku.

“Just stand for me. For another hour,” ujarnya di telingaku.

Ablasa pun benar-benar menguasai segala sadarku kini.

*****

Tidak ada yang dapat menyadarkan hati ini lebih jauh ketimbang senyuman manis wanita yang begitu indah mengisi seluruh hari-hariku kini.

Tidak ada yang jauh lebih menenangkan asa ini ketimbang sentuhan manja dan pandangan penuh cinta bidadari kecil yang begitu sempurna mengisi segenap waktuku kini.

Aku hanya akan kehilangan seorang cinta lama yang telah menjadi sahabat hari ini. Ia tidak hilang. Ia hanya pergi untuk mengarungi jajaran rel kehidupan yang telah menunggunya. Ia memercayakan lokomotifnya untuk dikemudikan oleh seorang masinis yang begitu hebat dan bertanggung jawab. Aku percaya, ia pasti bisa melewati segala semboyan pada posisinya.

Sejenak kuhentikan Skuter ini di taman yang terletak tidak jauh dari rumah. Kulangkahkan kaki menuju sebuah tempat duduk yang dibuat dari cetakan beton, di mana setiap pagi pada hari libur selalu dipenuhi insan yang memanfaatkan waktu luang mereka untuk sekadar berjalan pagi.

Kulempar pandangan ini ke arah sang Luna. Ia masih bertengger di atas sana dengan bentuk cembung, begitu indah ditemani bintang-bintang yang bertabur pada posisinya. Segalanya makin menguatkan presensi Al Mutakabbir yang begitu absolut dan sempurna mengatur alam semesta ini.

Kuhela napas begitu panjang seraya memejamkan mata, merasakan begitu sejuknya udara pagi ini seraya mengucap syukur atas apa pun yang telah diraih. Meskipun itu semua hanya pinjaman yang harus kukembalikan kepada Al Malik, pemilik segalanya di jagat raya ini.

Meskipun terkadang sangat berat rasanya untuk melepaskan apa yang telah dimiliki, tetapi hidup telah mengajarkan bahwa tidak semua yang diinginkan bisa terus diraih dan digenggam. Satu saat Al Jabbar pasti meminta segala yang telah dititipkan-Nya.

Sebagai insan yang tunduk dan patuh, aku harus berbesar hati untuk mengembalikannya.

Tanpa ada tanda tanya di dalam hati yang mengotori segala keikhlasannya.

Tanpa ada sesal di dalam jiwa yang mengurangi keindahannya.

Tanpa ada sedih dan bimbang.

Karena memang apa yang telah dimiliki sesungguhnya adalah bukan milikku.

“Pap,” panggil Cauthelia yang saat itu sudah bersiap untuk mengantarkan Nadine menuju ke rumahnya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta. “Semalem gak bobo yah?”

Aku mengangguk pelan seraya memandang wanita itu, kuusap pelan pipinya dan tersenyum. “Baru sekarang Pap ngerasain kalo cinta itu akan terasa indah saat ia udah pergi.”

“Pap kan gitu,” ujarnya lagi, ia tampak sibuk menyematkan bros berbentuk bunga yang dipasang di sebelah kanannya. “Kalo emang Pap mau pertahanin Kak Nadine, ya sekarang saatnya.”

Aku menggeleng pelan. “Gak ada satu pun alasan Pap buat pertahanin Nadine,” ujarku pelan, “Pap udah punya Mam sama dan Pap gak akan ubah keputusan Pap.”

Ia hanya mengangguk dengan senyum yang begitu tulus. Pancaran mata cokelatnya terus saja terlihat teduh bersama dengan wajah yang memancarkan sebuah ketenangan begitu luar biasa. Bahkan, ketenangan itu makin bertambah tatkala Anandya yang saat ini langsung bergabung di antara kami.

“Pap, mendingan ketemu sama Nadine dulu deh,” ujarnya lalu menggenggam tanganku. “Pap harus bisa yakinin dia atas apa yang udah jadi Kak Nadine.”

Aku mengangguk, mengerti akan apa yang ia maksudku. Sejurus setelah kukecup pelan kening mereka, langkah ini terpimpin pelan menuju ke kamar tamu; tempat di mana Nadine saat itu sudah bersiap dengan segalanya.

Sejenak aku tertegun tatkala menatap sosok wanita yang begitu cantik dan anggun di balut busana gamis putih dengan corak perak, membalut tubuhnya dengan sempurna. Ia tersenyum seraya menyadari bahwa senyuman itu tidak akan pernah lagi kudapatkan walaupun hanya sesaat.

Ada komitmen yang harus ia jalankan dalam jalinan suci bersama dengan lelaki yang telah dipilih. Segalanya pasti tidak akan sama setelah ini.

Ia benar-benar tidak boleh lagi menemuiku. Alih-alih menemui, menyapaku saja sudah terlarang baginya, karena ia akan menjadi tanggung jawab lelaki yang lebih berwibawa.

“For the last time,” ujar Nadine pelan, “aku mau kamu yang anterin aku.”

Ia menyembunyikan segenap elegi itu dengan menunduk. Namun, sekeras apa pun ia mencoba mengalihkannya, hatiku tidak mampu dikelabui oleh senyum yang terlihat begitu pahit tersungging di bibir tipisnya.

“Aku akan anterin kamu, Nad,” ujarku pelan, “kamu bareng sama aku aja, biar Elya bareng sama yang lain.”

Wajahnya memerah tatkala menatap dengan sorot mata yang sama seperti sorot mata yang selalu ia tunjukkan kepadaku. Sekali lagi, harmoni minor penuh kesenduan kembali terlantun dari lisannya bersama dengan tetes air mata dari sepasang mata cokelat itu.

“Kamu gak boleh nangis lagi,” ujarku pelan, kugerakkan tubuhku untuk mendekatinya. “Kamu udah tentuin pilihan kamu dan kamu udah terima lamaran calon suami kamu.”

Ia mengangguk, mencoba menghapus air mata yang mengalir dan menganak sungai di pipinya. Namun, itu semua tidak menghentikan elegi yang terus terasa menyayat hati. Tangisnya pecah tatkala ia melabuhkan pandangan di wajahku.

“Aku tahu, aku tahu. Tapi aku gak bisa pergi gitu aja dari kamu. Kamu udah berarti banyak buat aku, buat kehidupan aku, buat cinta aku, buat semuanya.”

“Nad,” panggilku pelan.

Ia menggeleng. “Nadine gak bisa ngelakuin ini. Lebih baik Nadine sendiri, ngarepin Tama buat terus ada di hati Nadine. Terserah Tama, mau jadiin Nadine apa pun, Nadine gak peduli, Nadine cuma mau Tama.”

“Sayang,” panggilku yang langsung direspons dengan hentakan tubuh di atas wajahnya yang merah.

“Apa-apa yang kita punya itu bukan punya kita. Aku, kamu, Elya, Anandya, semuanya yang ada di hidup aku juga bukan punya aku,” ujarku, berusaha tersenyum seraya memandang tepat ke matanya.

“Semua ini cuma pinjeman dari Al Aziz buat kita, biar kita makin bersyukur, makin ikhlas, dan makin kuat menghadapi kehidupan yang sebenarnya nanti.”

Ia lalu menghentikan isaknya dengan helaan napas yang begitu panjang, ia lalu memandangku. “Cinta Nadine ke kamu gak akan pernah berubah, Tam, walaupun Nadine udah milik orang lain.”

“Nadine cinta sama Tama. Buat Nadine, Tama adalah permata yang gak akan pernah ilang dari hati Nadine.”

Aku tersenyum. “Cinta itu rahasia hati kita masing-masing, Nad. Aku pun punya cinta yang begitu jauh terpendam di hati aku, ya kamu tahu jawabannya.

“Pagi ini, hari ini, aku dengan ikhlas melepas cintaku yang sebenernya gak pernah aku miliki untuk bahagia sama orang yang begitu hebat, begitu bertanggung jawab, dan begitu luar biasa. Aku juga yakin, dia pasti bahagia memiliki kamu yang begitu cantik luar biasa ini, Nad.”

Wajah wanita itu memerah. Tampaknya ia tidak akan pernah menyangka kata-kata tersebut terlontar dari lisanku. Aku memang selalu memujinya sebagai seorang wanita yang penuh keindahan di atas segala kekurangan. Ia adalah Nadine Helvelina, wanita yang begitu hebat dan begitu kuat atas segala ketidakberuntungan atas kesalahan keputusannya sejak dahulu.

“Aku anterin kamu sekali lagi,” ujarku lalu tersenyum kepadanya.

Kuminta Cauthelia untuk pergi dengan sedan F Segment besutan Bavaria yang memiliki mesin twin turbo V8 4.400 cc dengan kode N63. Sementara aku memilih mengantarkan Nadine dengan kendaraan G Segment besutan Minato bermesin 2.400 cc dengan kode 2AZ-FE.

Keempat Pirelli Cinturato P7 berukuran 235/60 yang terpasang ketat membungkus pelek berukuran 18-inci ini tampak begitu gagah menempel di aspal jalan tol yang tidak seberapa mulus. Dengan mesin bertenaga 160 dk dan torsi 220 Nm yang tertanam di kap mesin mobil ini, aku berusaha mengejar Cauthelia yang begitu angkuh melaju pada kecepatan 140 Km per Jam.

Pukul 08.30, kami akhirnya tiba di kediaman orang tua Nadine yang berada di bilangan Pasar Minggu. Tidak ada penyambutan istimewa di sana, bahkan tidak ada acara seperti yang kubayangkan. Hanya keluarga dekat, saudara, dan tetangga sekitar rumah yang menjadi tamu undangan acara ini.

Wajah Nadine yang sejak tadi tenang sontak berubah tatkala seseorang datang menghampiri mobil kami. Ia adalah sosok lelaki yang akan menjadi teman setia wanita ini hingga akhir hayatnya. Lelaki itu langsung membuka pintu penumpang depan, seolah mengetahui bahwa wanitanya berada bersamaku di sini.

“Makasih ya, Tam, udah jagain Nadine sampe hari ini,” ujarnya dengan senyuman bahagia yang tampak tidak bisa disembunyikan.

“Sama-sama, Mas,” ujarku lalu mematikan mesin kendaraan ini. “Please, nanti pas Ijab Kabul jangan grogi ya,” ujarku menggodanya seraya melempar pandang ke arah Nadine yang tampak canggung memandang kakak kelasnya di kampus dahulu.

“Last wish kamu udah kesampean kan, Nad?” tanya laki-laki itu pelan.

Tidak ada frasa yang terlantun dari lisan Nadine. Hanya hela napas, tampak begitu berat tatkala lelaki itu menanyakan hal yang seharusnya tidak perlu dijawab.

Lain dari dugaanku, Nadine mengangguk pasti, seolah apa yang ia sebut sebagai keinginan terakhir itu adalah suatu hal yang akan melengkapinya untuk menghadapi hari ini. Laki-laki itu tampak tertunduk, ia menghela napas begitu panjang kemudian memandangku dan tersenyum.

“Aku harap gak ada lagi kesedihan dari Nadine setelah last wishnya terpenuhi ya, Tam,” ujarnya lesu. “Jujur aku sempet kepikiran. Jujur banget aku jealous, tapi aku gak mungkin bohongin kalo Nadine bisa kuat dan hebat juga karena seorang Tama.”

Aku tertunduk dan menghela napas, memandang ke arah mereka. “Nadine udah kuat dari awal, sekarang dia makin kuat setelah aku yang bodoh ini malah nyakitin dia. Sekarang, aku serahin tugas buat bahagiain Nadine ke kamu, Mas. Aku yakin kamu bisa bikin Nadine bahagia.”

Kedua insan itu lalu mengangguk. Nadine langsung melempar pandangan ke arah calon suaminya dan turun untuk segera masuk ke dalam. Dalam waktu yang tidak begitu lama sejak ia turun dari kursi penumpang depan, penghulu dari Kantor Urusan Agama setempat datang. Ijab Kabul sakral itu seharusnya berlangsung dua-puluh-menit lagi.

Aku masih duduk di kendaraan ini. Menatap ke keramaian yang begitu suka cita menyambut hari bahagia Nadine yang sudah lama aku impikan. Cauthelia pun tampak begitu luar biasa dengan apa yang dikenakan saat ini. Kesempurnaan anugerah dari Ar Rahman yang dilimpahkan kepadanya membuatku tersenyum sendiri. Aku sudah memilikinya, wanita terindah dengan segala kesempurnan itu. Tidak luput dari pandanganku adalah bidadari kecil yang tampak begitu cantik, seperti Ibunya.

Kubuka pintu pengemudi mobil G Segment ini, lalu memimpin langkah untuk menuju kediaman orang tua Nadine yang saat ini sudah mulai ramai. Derap langkah kecil Anandya yang sedari tadi mencariku pun turut meramaikan suasana pagi ini. Celotehan manjanya saat memanggilku dengan sebutan Papap seolah memberikan suatu energi baru yang sangat membahagiakan.

Dengan pasti, aku memasuki bangunan ini. Seluruh mata tampak memandangku. Entah apa yang ada di pikiran mereka, tetapi aku tidak peduli dengan apa yang ada di benak mereka. Satu hal pasti, aku menyaksikan kebahagiaan yang seharusnya menjadi milik pasangan pengantin Nadine dan Harfi.

Kamu harus bahagia, Nad.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@nuellubis : Waduh, jangan sampai sembap, harus tertawa saat membaca. Ha ha ha ha.
mataku sembap baca ini 😭
@riantonapitupulu : Seperti biasa, terima kasih telah bersedia mampir dan menyempatkan diri untuk membaca. Saya berharap benar-benar bisa mendapatkan 5,000 view sehari. Nyatanya view tertinggi saya tidak pernah sampai angka itu. Nahasnya, pula beberapa hari yang lalu saja hanya 900-an yang view, tidak banyak. Andai saya punya waktu lebih untuk promosi, mungkin bisa lebih ditingkatkan lagi traffic-nya. Alih-alih promosi, kadang membaca ulang saja saya tidak sempat. Sekali lagi terima kasih sudah mampir dan menyempatkan diri untuk membaca.
Bantu sumbang like dan komen pertama buat karya yang upload dalam itungan jam 200+ pembaca. Sungguh organik sekali trending dalam waktu singkat, disusul karya-karyanya yang lain trending di hari dan waktu yang sama pula. Dan setelah diperhatikan tiap senin Senin ilang semua kecuali novel 5000 view perhari itu. Luar biasa jempolnya. Selain jago nulis memang penulis dituntut jago view tulisan sendiri. Salam dari pemerhati dirimu... ahahahah Canda puh... Sepuh...
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Bronze
BLACK COFFEE
Liz Lavender
Flash
Bronze
Ibu Datang Membawa Seorang Gadis
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Kamu Harus Bahagia, Nad
Faristama Aldrich
Novel
Bronze
Pasienku pasanganku 2
Author WN
Novel
Bronze
[Not] Perfect Prince
Athena Venus
Cerpen
Forget Me
Shesil
Novel
B A L I A
Wulansaf
Cerpen
Youth Stride
Kosong/Satu
Skrip Film
rasa - rasanya RASA
Muhammad Yunus
Cerpen
Satu Cangkir Banyak Rasa
YUSAKA_CMH
Novel
Baskara
Usnul
Novel
My Beautiful Phoenix ❤️
Q Lembayun
Flash
Lubang
Dara Oct
Novel
Unspoken
Wina
Novel
Permainan Gus Zafran
Diyah Ayu NH
Rekomendasi
Cerpen
Kamu Harus Bahagia, Nad
Faristama Aldrich
Novel
A Legacy of Cyllia
Faristama Aldrich
Flash
Cinta
Faristama Aldrich
Cerpen
Keabadian yang Kau Inginkan
Faristama Aldrich
Flash
Kekasih
Faristama Aldrich
Flash
"Teman"
Faristama Aldrich
Novel
The Perpetual Chronicle: Fusion-Null
Faristama Aldrich
Novel
Talita, Tentang Sebuah Nama
Faristama Aldrich
Flash
20
Faristama Aldrich
Flash
Sugarbaby
Faristama Aldrich
Flash
Marsha
Faristama Aldrich
Flash
Penantian
Faristama Aldrich
Flash
Sebuah Impian
Faristama Aldrich
Novel
The Perpetual Chronicle: Fusion-Aleph
Faristama Aldrich