Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kamu dan Yang Kusesali
1
Suka
4,099
Dibaca

Pagi yang cerah secerah wajah putriku yang akan memasuki bangku taman kanak-kanak. Tak terasa sudah hampir lima tahun aku membesarkannya. Melihatnya tersenyum bahagia membuatku bangga. Namun aku tahu dibalik senyum mungilnya dia menyimpan sepi. Merindukan kasih sayang seorang ibu. Dia teramat kecil merasakannya. Kadang aku berpikir mencarikan pengganti. Apadaya bayangan penyesalan kala itu meyesakku. Menepiskan jauh angan itu. Hanya putrikulah yang menjadi penyemangatku. Aku tak menginginkan apapun, kecuali membahagiakannya.

“Ayah, Ayah? Intan sudah siap nih.” suara Intan membuyarkan lamunanku. “Coba Intan punya ibu. Pasti tiap hari dianterin sama ibu ke sekolah.”

Seketika dadaku terkesiap mendengar ucapan polos Intan.

“Ayo ayah berangkat.” tambahnya lagi berlalu masuk mobil, meninggalkanku yang masih terpaku.

Aku pernah mendengar suatu pepatah. Jika mencintai seseorang jangan kau sia-sia terlebih pula cinta berbalas. Jika diabai, sesalpun menanti. Dan kini aku menyaksikan sendiri karma yang menimpaku. Kenyataan yang tak akan pernah orang harap.

✨✨✨

Hari itu 14 Februari 2004 merupakan awal kisahku denganmu. Masih lekat dalam ingatku saat pertemuan kita di taman kampus, Universitas Negeri Malang. Aku menabrakmu yang tengah berjalan di hadapanku. Buggk!! Beberapa buku terjatuh. Aku segera membantu memungutinya. Tanpa sengaja aku bertatapan langsung dengan matamu. Rasa kagum merayapiku. Buru-buru aku menyerahkan bukumu.

“Maaf, aku tak sengaja”.

“Tidak apa-apa”, ucapmu dengan senyuman manismu. Deg! Jantungku seakan terhenti melihat tatapan anggun nan mempesona. Angin semilir menerpa kerudung ungumu. Oh Tuhan mimpi apa aku bisa bertemu bidadari hari ini.

“Hellow,,,?” katamu melambaikan tangan di depan mataku.

“Eh..maaf.” aku segera mengulurkan tanganku seraya mengajakmu berkenalan. “Ramasutta, Fakultas Ekonomi. Panggil saja aku Rama, kamu?”

“Aku Dewi. Dewi Sabrina. Kita di fakultas yang sama.” Senyummu masih mengembang, membuatku tak ingin beranjak.

“Oh ya? Mengapa aku sampai tak mengenali kamu?” kataku seperti orang bodoh.

“Mungkin karena padatnya penduduk di fakultas kita. Aku ke sana dulu ya.” katamu berlalu meninggalkanku.

Benar sekali, pikirku. Bodohnya aku, setengah mahasiswanya lebih menyukai ekonomi. Hikss... Aku tersenyum memandang punggungmu yang kian menjauh.

Semenjak itu aku berusaha mendekatimu. Mencari tahu segala tentangmu. Kamupun sepertinya tak keberatan tentang ini. Aku tak tahu mengapa rindu selalu menghampiriku. Apakah aku menyukaimu, Dewi? Aku mencoba mencari tahu rasa ini. Semakin ku ungkap, semakin nyata. Aku benar-benar jatuh hati padamu.

Aku mendatangimu suatu ketika, ingin mengungkapkan rasa yang selalu menggolak asaku. Tapi, saat berhadapan denganmu mengapa rasa maluku seakan menutup keinginanku? Ah, Dewi andai kau tahu aku seakan gila karenamu.

Pagi berkabut di lain waktu aku mencoba mendatangimu. Aku melihatmu dari jauh bersama sherly dan luna, sahabat yang pernah kau kenalkan padaku dulu. Ku kuatkan diriku untuk menghampirimu.

“Dewi, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, boleh?”

“Iya, boleh. Ada apa Rama?” ujarmu. Matamu menatapku lekat, diikuti teman-tamanmu.

“Tapi tidak disini.” aku tersipu.

“Wah Rama mau kasih kejutan nih buat kamu.” ujar Sherly menyerobot

“Bagaimana?” tanyaku berharap. 

“Baiklah,” katamu. Kamipun beranjak pergi. Di ujung kampus sebelah Matos aku mengajakmu berhenti. Kami duduk berdua. Untuk beberapa saat lamanya kami terdiam. Aku jenuh dengan mati kata di antara kami.

“Hampir 15 menit. Kalau hanya mengajakku merenung lebih enak kita ke gunung banyak, daripada melihat jalan yang macet.”ungkapmu hendak beranjak. Buru-buru aku menyabet tanganmu.

“Dewi, sebenarnya aku.. Aku sayang sama kamu.. Maukah kamu menjadi pacarku?” ungkapku pelan. Ku lihat matamu menatap tajam ke arahku. Seakan menilai kebenaran ucapanku. “Sejak lama aku ingin mengatakannya, tapi aku tak berani.” Aku melihatmu duduk. “Beberapa waktu terakhir, aku mencoba memberikanmu sesuatu kesukaanmu.”

“Apa? Jadi bunga mawar putih itu darimu?” katamu terkejut seolah tak percaya. “Dasar kamu! Kamu membuatku selalu penasaran.”

“Rangkaian bunga itu adalah rasa hatiku dan warna mawar putih adalah lambang sucinya cintaku padamu.” Aku melihatmu tersenyum. Indah sekali. Aku semakin memantabkan diriku dan berani menggenggam jemarimu. “Dewi, aku ingin kamu menjawab apa yang selalu mengusik hatiku. Sekali lagi, maukah kamu menjadi pacarku?”

“Apa yang harus aku jawab, Rama? Jika mawar putihlah yang mempersatukan kita, aku tak kuasa menolaknya.”

“Jadi..”

“Aku juga menyukaimu Rama.” suaramu pelan tapi sungguh membuatku terpana. Aku sungguh bahagia. Ingin rasanya aku memelukmu, tapi itu tak kan kulakukan. Aku tahu kamu memegang teguh apa yang menjadi prinsipmu. Norma adalah yang utama dalam kehidupan. Hal itu yang membuatku semakin mencintaimu.

✨✨✨

Tak terasa sudah semusim lamanya kita menjalin kisah. Aku sungguh bahagia, Dewi, menikmati hidup ini bersamamu. Lengkap sudah tak ada yang ku inginkan lagi. 

Di suatu malam yang indah, akhir Bulan Desember 2004. Aku mengajakmu ke suatu tempat yang telah ku rencana sebelumnya. Aku menutup matamu hingga sampai di sana. Aku sempat tertawa melihat ekspresimu. Lucu sekali. Tenang Dewi, ini adalah puncak dari cintaku selama ini. Sampai di tepi Karangkates, aku menghentikan mobilku dan menggandengmu ke pinggir jembatan. Ku lihat tempat ini tampak ramai. Tapi, apa peduliku? Aku membuka penutup matamu.

“Inilah yang aku sebut Romansa RAMADEWI..” teriakku kencang.

Terlihat kamu spontan terkejut melihat apa yang ada di hadapan dan sekelilingmu. Kamu pasti tak pernah menyangka aku melakukannya. Sebuah ukiran dari kayu yang diberi hiasan lampu di tengah danau dan bertuliskan ‘RAMADEWI’. Seperti film Dealova, mungkin.

“Romantis sekali,” ucapmu lirih, seakan tak percaya jika ini nyata.

Sambil mengeluarkan kotak cincin, aku menggenggam tanganmu. “Apakah kamu bersedia menikah denganku, dan menjadi pasangan hidupku selamanya, Dewi?”

Seketika suasana menjadi riuh. Aku baru tersadar bahwa sekeliling orang mengerumuni kami. ‘Trima.. trima.. trima..’ ucap mereka berulang kali. Aku melihat rona merah di wajahmu. 

“Kamu tidak perlu melakukan seperti ini, Rama. Aku telah melalui banyak hal bersamamu.” Katamu merunduk dan kemudian menatapku lekat. “Orang tua kita juga sudah merestui.”

“Lalu?”

“Aku bersedia menikah denganmu.” senyummu mengembang. Semua orang tampak bersorak bahagia terlebih aku yang mengalaminya. Aku ingin memelukmu, tapi kuurungkan niatku. Pasti ada saatnya kelak.

Sudah hampir 3 bulan aku menunggu saat-saat ini, karena penentuan tanggal dilibatkan dengan adat jawa. Semua prosesi telah berjalan sesuai rencana. Aku melihatmu sangat anggun dengan busana pengantinmu. Aku semakin memantabkan langkahku, menggandengmu menuju kuade. Beberapa sahabatmu dan juga sahabat-sahabat kuliahku ikut menyalami.

“Selamat, ya, Rama,” ujar Sherly menyalamiku.

“Semoga menjadi keluarga yang kalian berdua harapkan.” Luna menambahkan.

“Terima kasih, semoga juga kalian cepat menyusul kami.” katamu tertawa.

“Iya, doain kami Rama tahun ini.” kata Venda menggandeng Luna.

“Oh, jadi kalian sudah pacaran..wah, baru tahu..” kami semua tertawa.

Aku tak dapat mengobrol terlalu banyak karena terbatasnya waktu. Akhirnya, aku akan selalu bersamamu, Dewi selamanya. Aku berjanji, akan selalu menjagamu, mencintaimu hingga ujung hidup ini. Dan jika aku mengingkarinya, ku harap Tuhan membuatku sengsara. Itulah janji setiaku.

“Apakah kamu bahagia?”

“Apakah aku terlihat seperti orang sedih?” ucapmu seraya tersenyum. Aku memelukmu. “Semoga kamu tidak akan pernah berpaling.”

“Maksudmu?”

✨✨✨

Dua tahun begitu cepat berlalu sejak pernikahan itu. Seperti biasa, kamu tetap menungguku pulang kerja walau sudah larut. Aku melarangmu bekerja karena aku ingin pekerjaan rumah dan keluarga kamu yang mengurus dan kamupun tidak keberatan. Tapi akhir-akhir ini kegalauan mengusikku. Mengapa sudah dua tahun kita belum dikaruniai momongan? Perasaan itulah yang membuatku tak karuan. Terlebih dengan tak enaknya omongan ibuku tadi pagi sewaktu berkunjung ke rumah kami. Aku melihatmu menghampiriku dan membawakan tasku.

“Kamu sudah pulang?” senyummu mengembang dan buru-buru menyalamiku. Aku tak menghiraukannya.

“Kapan kamu memberiku anak? Kapan?” ucapku kasar di depanmu.

“Rama, sudah. Tuhan belum menjawab doa-doa kita.” ucapmu terbata.

“Aku malu Wi! Aku malu sama orang tuaku. Aku malu tidak bisa secepatnya kasih mereka cucu.” Aku belalu meninggalkanmu. Malam ini aku berpisah ranjang denganmu lagi. Masih ku dengar senggukan dan rintihan suaramu. Aku tak perduli.

Sabtu pagi, aku tak bekerja. Aku mendengar suara ramai di ruang tamu dan ternyata itu suara sahabatmu, Sherly dan Luna. Aku menyuruh mereka duduk untuk menunggu Dewi yang sedang mandi. Luna meminta izin untuk masuk ke ruang tengah, ingin melihat koleksi buku Dewi. Tinggallah aku bersama Sherly. Aku melamun memandang Sherly. Telintas benakku untuk menikah lagi, namun ku buang jauh pikiran kotor itu.

“Rama, kamu tak apa?” suara Sherly mengagetkanku.

“Ah, tidak. Cuma memikirkan sesuatu.”

“Kalau aku boleh tahu, apa yang sedang kau pikirkan? Rumah, istri, pekerjaan semua sudah mapan.”

Tapi satu yang belum ku miliki. Aku belum bisa punya anak.” Ucapku tertunduk. “Aku belum bahagia Sher.”

“Jadi Dewi..” ucap Sherly terpotong. “Sabar Rama. Aku bisa membuat kamu lebih terhibur. Nih, nomerku. Hubungi aku jika kamu perlu bantuanku. Tapi jangan Dewi tahu, aku takut dia marah.” Sherly menyodorkan kartu namanya dan beranjak karena Dewi dan Luna keluar.

“Aku pergi dulu Rama.” ujarmu menyalamiku dan menyusul teman-temanmu. Aku memandangmu dan beralih memandang kartu nama Sherly.

Diskotik kala itu terlihat sepi. Hanya beberapa tamu saja yang duduk menikmati hidangan. Aku sedikit mabuk karena terlalu banyak minum. Remang-remang kulihat Sherly menghampiriku. Dia membuang botol dan gelas minumku.

“Sudah berapa gelas kamu minum? Percuma ini tak akan menyelesaikan masalah.”

“Aku bingung, Sher. Aku bingung. Dewi tak akan bisa kasih aku anak.”

“Aku akan memberimu anak jika itu yang kau mau.” ucapan Sherly membuatku terkejut. “Apakah kamu bisa?”

“Tentu saja. Aku bukan Dewi.” Sherly tersenyum dan mengangguk.

Setan-setan telah menggodaku. Malam itu dan beberapa hari berikutnya aku tidak pulang. Mungkin kamu akan menunggu, tapi tak akan membuatku kembali. Aku menikmati malam yang mungkin tak kan kau senangi. Dan aku menyukainya.

Sebulan lamanya aku menjalin hubungan gelap dengan Sherly, ternyata tak sia-sia. Sherly mengandung buah cinta kami. Bahagia, rasanya hidup ini. Aku membelikan rumah dan apapun yang Sherly inginkan. Aku tak ingin mengecewakannya. Saat aku bersama Sherly di sebuah Mall, aku dikejutkan oleh keberadaanmu dan Luna.

“Oh.. Jadi ini yang kamu lakukan selama ini! Kamu ternyata selingkuh!” kamu menampar wajahku. Belum sempat kamu menampar Sherly, aku sudah menghadangmu.

“Iya, memang kenapa, salah? Hei, dia bisa kasih aku keturunan, dasar kau perempuan mandul!” aku berteriak kasar.

“Dasar kamu munafik. Tega sekali kamu menusuk sahabatmu sendiri.” Ucapmu keras, tak pernah ku dengar selama ini kamu seperti itu. “Rama, kita bisa bicara baik-baik, kita bisa adopsi anak..” air matamu meleleh. Tak tega rasanya melihatmu seperti itu. Tapi aku harus melakukannya.

“Tidak! Aku hanya ingin anak kandungku. Dan Sherly adalah pilihanku sekarang. Aku akan menceraikanmu.” Aku dan Sherly pergi meninggalkanmu yang masih menangis. Terlihat Luna memeluk dan menenangkanmu.

Beberapa waktu setelah itu, aku tak melihatmu. Begitupun di pengadilan. Akhirnya, proses perceraian sudah selesai. Aku dan kamu sudah tak memiliki hubungan lagi. Aku ingin segera menikahi Sherly.

Hanya dalam tempo 2 minggu aku menikah lagi. Pernikahan keduaku sangat mewah, karena Sherly menginginkan resepsi di Pulau Dewata. Apapun akan ku lakukan demi Sherly dan buah hatiku yang di kandungnya. Hari demi hari aku rasakan semakin bahagia. Tapi, dari kebahagiaan itu terselip duri kecil yang menusukku. Sherly tak seperti Dewi. Entah mengapa aku jadi merindukanmu, Dewi. Kamu tak banyak menuntut, menerimaku apa adanya. Tapi Sherly.. Lebih mementingkan kebahagiaannya di luar. Ah, sedang apa kamu Dewi? Apa aku menyesal? Tidak. Aku akan segera mempunyai anak dan mungkin Sherly dapat berubah.

“Sayang, kamu lagi apa?” ujar Sherly ikut duduk menemaniku di teras rumah.

“Eh..ni lagi baca Koran.” Aku berbohong.

“Sayang, kemarin aku lihat ada sepatu dan tas yang bagus..”

“Lalu?”

“Uangku ga cukup. Kamu tambahin lagi ya.” Sherly memohon.

Aku menghela nafas dan menatap Sherly. “Sayang, uang yang kemarin mana?” tanyaku sambil membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembar lima puluh ribuan. “Ini buat tambahan belanja kamu.”

“Apa? Cuma segini?” Sherly menatapku tajam. Marah. “Bulsyit!” Sherly melemparkan uang itu ke wajahku. Sungguh sakit rasanya. Walaupun begitu aku tak kuasa memarahinya. Sherly meninggalkanku.

Aku pulang kantor dengan lemas seperti tanpa tenaga. Aku memilih jalan kaki dan menyuruh sopirku pulang. Di alun-alun Kota Malang langkah kakiku terhenti. Tiba-tiba aku dikagetkan suara yang memanggilku.

“Rama! Hai..” teriak seseorang, dan ternyata itu Luna. Aku tersenyum senang melihatnya.

“Akhirnya aku bisa menemuimu sekarang. Sulit sekali menghubungimu. Ada hal penting yang harus aku katakan padamu.” Ucap Luna mantab. Lalu kami memilih duduk di bawah pohon beringin.

“Semenjak kamu bercerai dengan Dewi, aku sudah tak ingin melihatmu bersama Sherly.” Luna terdiam sesaat. “Apa kamu yakin jika anak yang di kandung Sherly adalah darah dagingmu?” Ucapan luna membuatku ingin marah.

“Apa maksudmu?”

“Jangan marah dulu, dengarkan aku. Sekarang aku sudah menikah dan pindah rumah di daerah Tumpang.” Luna menarik nafas panjang. “Aku tak ingin mempercayai apa yang ku lihat. Sherly sering bertandang ke rumah tetanggaku.”

Aku menatap tajam Luna. “Kamu jangan salah sangka. Itu teman-temannya. Dia tak seperti itu.”

“Maaf Rama, tetanggaku laki-laki, jika kamu tak percaya datang saja sewaktu-waktu kamu inginkan. Ini alamatku.” Luna berdiri. “Dewi sudah mengandung 8 bulan dan hampir memasuki umur 9 bulan. Dulu waktu kamu menceraikan dia sudah hamil 3 minggu. Dia baru tahu waktu menginjak 3 bulan. Terima kasih atas waktumu.”

Aku terkejut dengan ucapan Luna. Dewi mengandung anakku saat aku berusaha menceraikannya. Apa Luna berbohong? Bukankah dia sahabat Dewi? Tapi tidak mungkin Sherly berkhianat. Tapi memang Sherly sering pergi dan pulang malam.

Esok hari, saat Sherly pergi, aku mencoba mengikutinya. Dan benar perkataan Luna, dia bertandang ke tetangga Luna. Aku menunggu sesaat dalam mobil. Aku turun setelah Sherly masuk ke dalam. Aku tercengang. Sebuah pemandangan yang benar-benar menusuk jantungku. Sebelum aku memergokinya, aku sempat mendengar pembicaraan mereka.

“Sayang, anak kita bentar lagi lahir. Kita memang beruntung sebagai benalu di kehidupan Rama.” Sherly mengelus-elus perutnya. Dan.. Astaga, Gerry teman baikku sendiri. Aku tak tahan dan langsung melabrak mereka.

“O..jadi selama ini kalian bersandiwara, ha?” aku berteriak lantang. “Jadi ini anak kamu Ger!”

“Aku bisa jelasin ini..” Sherly menarik-narik tanganku. Kemarahanku semakin memuncak.

“Dasar kamu penghianat!” aku menarik krah baju Gerry tetapi ia hanya tertawa.

“Bukankah kamu juga berhianat, Rama? Hah, bodoh!”

Aku memukul wajah Gerry dan segera meninggalkan tempat itu. Aku semakin kacau. Ternyata Sherly yang selama ini aku banggakan tega bersandiwara. Aku salah menilaimu, Wi. Aku memang bodoh. Hidupku hancur sekarang, aku terpuruk. Apa yang harus aku lakukan?

✨✨✨

Kebodohanku membawaku dalam kehancuran. Aku kembali memikirkan Dewi. Berdosa sekali aku padamu. Hatimu sungguh mulia. Kamu yang selama ini aku anggap tak berguna, tapi berbalik fakta. Sedang apa kamu Dewi? Tebal mukakah aku jika aku menemuimu? Aku ingat janjiku dulu padamu. Aku telah mengingkarinya, dan kesengsaraan dari Tuhan aku dapat. Apakah ini benar Karma darimu Tuhan?

Aku berjalan tanpa arah ketika ku rasakan handponeku bergetar. Sebuah pesan dari Luna. Buru-buru aku membacanya.

‘Datang ke RS Syaigul Anwar aku tunggu sekarang. Baby mu lahir.’

Apa? Dewi melahirkan sekarang?

"Iy, aku akan segera datang sayang.." gumamku.

Seketika hatiku berbunga. Sebelum sampai, aku membelikan perlengkapan baby dan buah kesukaanmu Dewi. Aku datang buatmu.

Aku tergesa saat menginjakkan kakiku di lorong rumah sakit. Di sudut ruang, tampak Luna yang senang menangis senggukan.

“Luna, Dewi di mana?” aku masih tersenyum dan agak kerepotan membawa bingkisanku. Mata Luna merah. Apa yang terjadi?

“Rama, aku harap kamu ikhlas menerimanya. Dewi sudah meninggal..” terdengar ucapan luna lirih dan menyakitkan. Barang yang ku bawa jatuh berserakan seakan tak percaya.

“Luna, jangan bercanda dong,” aku berusaha berharap dan mengguncang-guncang tubuh Luna

“Ini kenyataan, Rama!” teriak Luna di antara tangisnya. Terlihat seorang Dokter keluar dari kamar tempat Dewi berada diikuti beberapa perawat. Salah satunya membawa seorang bayi.

“Jenazahnya sudah bisa dibawa pulang dan ini bayinya juga sudah diperbolehkan.” Dokter itu menyuruh perawat memberikan bayi kepada Luna kemudian mereka pergi. Air mataku meleleh.

“Ini bayimu Rama.” Luna menyerahkan bayi perempuan itu kepadaku. “Ini sebuah surat dari Dewi sebelum dia menjalani operasi.”

Aku duduk melihat bayiku. Kakiku lemas seakan tak dapat menopang berat tubuhku. Aku mulai membaca isi surat itu.

‘Hai Rama. Apa kabar? Jangan bilang kalau kamu sedih ya. Kamu harus bahagia. Aku ingin kamu menjaga baby kita. Tak ada pilihan buatku. Jika aku tak mempertahankan baby, mungkin aku tak akan pernah melihatmu tersenyum lagi.Aku sudah menjaga baby sendiri. Sekarang giliranmu. Jangan sia-siakan baby kita, cukup aku yang pernah merasakannya. Aku cinta kamu Rama. Selamat tinggal ROMANSA RAMADEWI.’

Aku menutup surat itu. Sesak dadaku mengingat apa yang telah aku perbuat padamu Wi.

“Dia berusaha mempertahankan bayimu, karena kamu sangat menginginkannya. Sementara keadaannya sendiri diabaikan. Dia menderita kanker rahim stadium akhir.”

Aku sungguh menyesal. Inilah karmaku. Kenyataan yang pahit. Dewi yang dulu aku hianati telah meninggalkanku selamanya. Di atas pusaramu, kamu telah ikrarkan kesetiaanmu sebagai seorang istri. Dan sebagai pembelajaran untukku juga semua yang mengetahui kisahku. Semoga tak ada lagi kisah yang sama sepertiku. Cukup aku yang mengalaminya.

✨✨✨

Aku masih duduk di kursi ketika senja mulai terbenam. Intan terlihat sedang asyik bermain bersama kedua orang tuaku. Besok adalah hari ulang tahunnya. Aku belum memikirkan apa yang harus aku berikan.

“Ayah, di hari ulang tahunku besok, Intan bolehkan minta kado dari ayah?” Intan menghampiriku diikuti ayah dan ibuku. “Kata nenek Intan boleh minta kado apa aja.”

Aku tersenyum dan memangku Intan. “Intan pengen apa, pasti akan ayah kasih buat kamu.”

“Intan pengen punya Ibu..”

Aku tersentak. Aku takut kejdian itu berulang. Apa yang harus aku lakukan?

✨✨✨

Keterangan :

Gunung banyak : sebuah tempat di puncak untuk melihat keindahan kota batu

Karangkates  : bendungan PLTA yang dijadikan wisata

Kuade : tempat duduk pengantin 

Cerpen ini ditulis tahun 2013, masih awal belum begitu memahami konsep mengarang yang baik.

S. S. RINDU

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Katalis Kata
Aliha Ardila
Novel
TAK SELAMANYA SURGA DI KAKI IBU
mahes.varaa
Cerpen
Kamu dan Yang Kusesali
S.S. RINDU
Novel
120 Hours With You
Intan Sanjaya
Novel
Gold
Small Fry
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Sebuah Usaha Maya
Nandreans
Cerpen
Bronze
Pisau
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
Kalahkan Aku dengan Cinta
Novianti
Novel
BERISIK
Miftah Widiyan Pangastuti
Novel
LOVE and DREAM
Nita Sari
Novel
Bronze
Handsome and The Beast
Zaira Diva Adissa
Novel
LAUT DAN UDARA
ajitio puspo utomo
Novel
Me?? Beautiful
Momo
Novel
Bronze
Cloud Walker
Gemi
Novel
Dagaz
Dark Specialist
Rekomendasi
Cerpen
Kamu dan Yang Kusesali
S.S. RINDU
Novel
Untuk Sebuah Kesempatan (Satu Detik Lagi)
S.S. RINDU
Novel
Diari Kisah : DALAM LUBANG MIMPI (Sudut Pandang Aldo)
S.S. RINDU
Cerpen
ATAS NAMA JAMAAH (Pembagian Daging Qurban)
S.S. RINDU
Novel
SISA-SISA RINDU
S.S. RINDU