Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dengan langkah yang tertatih – tatih, aku berjalan dengan mengendong tas besar di punggung. Netraku menegok kesana kemari sambil sesekali melirik ke sebuah kertas kecil yang tengah ku pegang.
Lembayung senja sehabis azan berkumandang membuat langkah kakiku terasa semakin berat. Dengan tekad yang kuat, aku berusaha mempercepat langkah kaki untuk menemukan alamat rumah itu sebelum hari makin petang.
Satu jam kemudian, Aku menatap ke sebuah rumah besar yang di depan pagarnya bertenger sebuah plakat bertuliskan 'Kost Campuran Pria – Wanita'.
Aku melihat kembali ke arah kertas yang ku pegang.
Ting Tong...
Aku lalu menekan bel yang ada di pinggir pagar.
Beberapa detik aku menunggu, tidak terdengar suara sahutan siapa pun dari dalam. Saat aku ingin menekan kembali bel untuk kedua kalinya, sebuah tepukan pelan menyentuh punggung belakangku.
Aku menoleh, mendapati seseorang laki-laki berwajah bulat dan memiliki lesung pipi itu tengah memandangi wajahku untuk beberapa saat.
"Mau cari kamar kost ya? Langsung masuk aja ke dalam. Percuma mencet bel gak bakal ada yang dengar apalagi si Mami," kata laki-laki itu sebelum melengangkan kaki berjalan melewatiku.
Aku mengikuti laki-laki itu masuk ke dalam rumah besar itu.
Aku sempat terdiam untuk beberapa saat memandangi bagian dalam halaman rumah besar yang memiliki tiga lantai itu. Walaupun bangunan rumahnya bergaya tempo dulu, namun nuansanya terasa sejuk dengan beberapa pohon yang tertanam di sekitar halaman rumah.
"Ini benar—" Ku tengok ke kiri dan kanan.
"Loh!? Orang yang tadi kemana?" gumamku mencari laki-laki yang tadi berjalan bersama denganku.
Seketika aku merasa aneh. Keberadaan laki-laki yang tadi sempat mengantarkan ku masuk itu seolah hilang tanpa jejak.
Tidak berselang lama sebuah hawa panas terasa di permukaan kulit belakang punggungku, membuat bulu kuduk bergidik. Perlahan aku pun menoleh ke belakang. Nampak seorang wanita setengah baya berdiri sembari menatap tajam ke arahku.
"Mau cari siapa kamu magrib magrib begini?"
"Saya mau cari kamar kost. Apa masih ada kamar yang kosong di sini, Bu?" ucapku seramah mungkin.
Wanita itu tidak langsung menjawab dan malah memandangiku dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
"Ada satu kamar kosong di paling pojok, tapi kemarin ada yang hubungi saya katanya mau tinggal di sana."
Aku pun tersenyum seketika.
"Oiya, perkenalkan nama saya Jay. Beberapa hari yang lalu saya yang kirim pesan ke sini," ucapku seraya memperkenalkan diri.
"Jay?–"
Mata wanita itu melirik ke kanan.
"Ah, iya. Saya ingat. Kamu yang tanya harga kost disini itu kan? Yang mau booking juga," ucap Wanita itu sambil tersenyum.
"Iya. Itu saya. Boleh saya liat dulu kamarnya, Bu. Kalo cocok saya jadi ambil," ucapku menawar.
"Ayo ikut saya!" ajak wanita itu seraya berjalan di depanku.
Wanita itu membawaku masuk ke dalam rumah besar yang dari depan terlihat megah dengan adanya pilar pilar besar di sisinya.
Aku berjalan perlahan lahan menaiki tangan menuju lantai dua. Kemudian berjalan lurus melintasi koridor yang di sekelilingnya terdapat pintu pintu dengan nomor berderet di atasnya.
Aku tiba di salah satu kamar paling ujung tepat berada di pojok bangunan. Pas depan kamar itu, terdapat kursi panjang dan tergantung beberapa pot tanaman hias di atasnya.
Klik... Klik... Klik...
Kreeek....
Wanita itu membuka pintu kamar itu dengan sebuah kunci yang entah sejak kapan sudah berada di gengaman tangannya.
Ceklek....
"Ini kamarnya," ucap wanita itu seraya menyalakan lampu melalui steker yang ada di sebelah pintu.
Ku tengok sepintas ke dalam kamar kost berukuran tiga kali empat itu. Hanya terdapat satu buah ranjang tempat tidur berukuran kecil, sebuah lemari pakaian berukuran sedang, sebuah meja belajar, dan satu buah kursi di dalam kamar. Tidak ada kipas maupun pendingin udara lainnya.
Kamarnya terlihat rapi dan bersih, namun aku merasa ada yang kurang. Terlebih letaknya berada di pojok rumah.
"Ada kamar yang lain gak, Bu?" tanyaku pelan.
"Enggak ada. Semua kamar sudah penuh. Hanya tinggal kamar ini saja yang masih kosong," jawab Wanita itu datar.
Aku berpikir untuk beberapa saat sembari mengamati kembali kamar itu.
"Gimana? Jadi ambil kamarnya gak?" desaknya mulai tidak sabar.
Aku menghela napas pelan. Tidak mungkin juga mencari kamar kost lain untuk sekarang, karena hari sudah mulai gelap.
"Yaudah. Jadi, Bu—"
Ku ambil ponsel di saku celana dan membukanya untuk beberapa saat.
"Uang kost untuk bulan ini sudah saya transfer," ucapku sambil menunjukkan bukti transfer di ponsel.
"Nah gitu dong. Ini kuncinya–"
Wanita itu memberikan sebuah kunci ke telapak tangan ku.
"Kamar mandinya ada di sebelah kanan deket tangga tadi. Lihatkan?"
"Iya, bu."
"Lantai paling atas kost khusus wanita. Jangan sembarangan naik ke atas kalo kamu gak mau kena amuk anak-anak yang tinggal di sana."
Aku menganggukkan kepala singkat.
"Oke. Silahkan beristirahat. Saya ada di lantai bawah, kalo ada perlu apa-apa langsung ke bawah saja. Oiya, di sini dilarang keluar masuk setelah lewat jam sepuluh malam. Karena di jam segitu gerbang sudah saya tutup. Ada pertanyaan?"
Aku mengelengkan kepala cepat.
"Saya tinggal ya. Satu pesen saya agar kamu betah tinggal di sini," ucap wanita itu dengan wajah serius.
"Apa itu, Bu?"
"Jangan sampe telat bayar uang kostnya ya Jay," ucapnya seraya berjalan pergi meninggalkanku seorang diri.
Aku kembali menghela napas berat. Kemudian perlahan masuk ke dalam kamar seluas tiga kali empat itu.
Kreeek.... Kreeek....
Baru satu langkah kaki ini melangkah ke dalam kamar, terdengar suara pintu seperti di tarik terbuka. Suaranya seperti dari arah seberang kamar. Ku lirik ke sebelah kamar untuk beberapa saat.
Wajahku mengernyit bingung saat melihat pintu kamar sebelah tertutup rapat. Begitu juga pada kamar lain di sebelahnya.
Aku mengelengkan kepala pelan, lalu langsung masuk ke dalam kamar.
Begitu memasuki kamar, hawa pengap nan panas langsung terasa. Ku taruh tas yang sedari tadi berada di punggung, kemudian perlahan melepaskan kaos yang menempel di badan.
Tap... Tap.... Tap...
Tiba tiba terdengar suara langkah kaki yang semakin lama semakin jelas.
Kreeek....
Aku membuka pintu kamar sedikit, mencoba mengintip sembari mencari tau suara langkah kaki siapakah itu. Namun tidak terlihat siapapun yang berdiri di luar kamar.
Aku lantas membuka lebar lebar pintu kamar dan menyembulkan kepala ke arah luar. Seketika aku terdiam membeku. Diluar tidak nampak satu orang pun yang terlihat di sepanjang lorong. Aku merinding seketika saat merasakan hembusan angin menerpa permukaan kulitku.
Blam...
Seketika itu juga aku langsung menutup pintu kamar rapat – rapat. Aku langsung berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam, berusaha memaksakan diri untuk tidur lebih awal.
Malam harinya, aku terbangun dari tidur nyenyak. Entah apa yang tadi muncul dalam mimpi, yang jelas saat ini posisiku tengah duduk terdiam dengan mata yang mengamati seisi kamar yang baru beberapa jam di tempati.
Hawa panas dan pengah langsung menyergapku. Keringat deras seketika mengucur hingga membasahi seluruh tubuh.
Aku mengelap peluh yang menempel di seluruh wajah, kemudian membuka sedikit pintu kamar agar ada angin semilir yang masuk.
Sempat terpikir untuk membeli sebuah kipas listrik. Langsung ku sambar ponsel yang ada di atas meja, kemudian menatap layar ponsel sambil sebelah tangan sesekali bergerak gerak menyentuh layar ponsel.
Tak... Tak... Tak...
Tiba tiba terdengar suara derap langkah kaki sebuah sepatu wanita berhak tinggi yang beradu lantai dari luar kamar.
Aku yang sedang asyik bermain ponsel itu, seketika menghentikan aktivitasku sejenak saat merasakan pintu kamar bergerak pelan.
Tiba tiba saja sebuah tangan dengan kuku panjang yang runcing berwana merah menyala muncul dari balik pintu kamar.
Kuku panjang berwarna merah itu bergerak perlahan memegang ujung pintu kamarku.
Kreeek....
"Aaaaaaa..."
"Aaaaaaa..."
Aku berteriak seketika saat pintu kamar terdorong ke depan. Ternyata bukan cuma aku saja yang berteriak, si pemilik kuku panjang itu juga berteriak keras. Teriakannya sangat keras dan melengking seolah ingin memecahkan gendang telinga.
Aku sempat terdiam sesaat memperhatikan apa yang tengah ku lihat di hadapanku sekarang ini.
Seorang perempuan muda yang mengenakan dress mini beserta sepatu hak tinggi berwarna merah, senada dengan warna kukunya tengah berdiri di depan pintu kamarku.
Saat ini mulut perempuan muda itu terbuka sepenuhnya dengan tangan yang terulur ke atas untuk menutupi kedua matanya. Aku sempat binggung, namun sedetik kemudian sadar kalau saat ini sedang tidak memakai baju. Dengan langkah cepat ku sambar baju yang tergeletak di kasur.
"Maaf. Saya pikir tadi hantu," ucapku seraya memakai baju terburu buru.
Seorang laki-laki yang tinggal di kamar sebelahku keluar dari kamarnya saat mendengar suara teriakan kami. Laki-laki ini terlihat tidak asing, seakan pernah melihatnya. Aku kembali teringat kalau laki-laki berwajah bulat yang memiliki lesung pipi ini sama dengan laki-laki yang bertemu denganku di pintu gerbang masuk kost tadi.
"Ada apa, Gie?" tanya laki-laki itu pada perempuan berkuku panjang.
Perempuan berkuku panjang hanya menunjuk ke arahku dengan sebelah tangannya.
"Oh. Dia penghuni kost baru di sini—"
Laki laki itu menoleh ke arahku.
"Hey, ngomong dong. Lo apain nih anak gadis sampe jejeritan malem malem gini," ujarnya padaku.
"Saya gak berbuat yang aneh-aneh. Maaf, saya pikir tadi ada hantu. Saya juga kaget," ucapku bingung sendiri menjelaskan situasinya.
"Hantu? Keliatan segede gini, gue di bilang hantu," semprot perempuan kuku panjang itu padaku.
"Sabar, Anggie. Tidak perlu berteriak begitu. Ini malam hari," ujar laki-laki itu menenangkan.
Perempuan berkuku panjang yang di panggil Anggie itu, sempat mendelik ke arahku. Namun seketika wajahnya langsung berubah tersenyum saat mata Anggie beralih menatap laki-laki berlesung pipit yang berada di sebelahnya.
"Maaf kalo sempet ganggu tidur Alif. Tadi aku juga kaget liat pintu kamar ini kebuka. Enggak tau kalau udah ada penghuni barunya," ucap Anggie tersenyum ramah pada laki-laki yang di sapanya Alif.
"Oh. Kirain ada apa."
Alif kemudian memandangi Anggie dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Gie, lo mendingan balik deh ke kamar lo sekarang. Daripada nanti ketauan Mami Asih keluyuran malem malem gini," pintanya mengusir Anggie secara halus.
"Tapi dia—" Anggie nampak memanyunkan bibirnya.
"Bentar lagi udah mau jam sepuluh malem, Gi."
"Yaudah deh. Kalo gitu, gue balik ke kamar ya. Bye Alif," ucap Anggie sambil melambaikan tangannya.
Anggie pun melangkah gontai pergi meninggalkanku bersama Alif yang masih berdiri di pinggir pintu.
Alif sempat melirik kearahku sepintas.
"Halo. Kenalin saya Jay," sapaku mengajaknya berkenalan.
"Hmm...—" Alif mengangukkan kepalanya pelan.
"Udah denger nama gua kan dari si Anggie tadi kan?" ucapnya datar.
"Alif?" ucapku memastikan
"Hmm.." kata Alif sambil menganggukkan kepalanya.
Alif memandangi wajahku beberapa saat, kemudian beralih ke dalam kamarnya yang masih terbuka.
"Gak ada yang mau di omongin lagi kan?"
"Mami Asih itu siapa ya?" tanyaku penasaran.
Alif memandang wajahku heran.
"Pemilik kost sini. Semua anak kost disini manggil dia mami, tapi terserah lu juga mau manggil dia apa—"
Alif berusaha menjelaskan, tapi sesaat kemudian wajahnya menatapku binggung.
"Eh!? Masa lu belum kenalan sama si mami?" tanyanya heran.
"Udah, tapi belum tau namanya."
"Oh. Yaudah. Kalo gak ada lagi yang mau di omongin, gua balik lagi ke dalem ya."
Alif lalu berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Entah mengapa aku merasa Alif tampak gelisah seakan tidak nyaman dengan keberadaanku.
Sebelum melangkah masuk ke dalam kamarnya, Alif sempat berhenti di balik pintu.
"Lain kali jangan buka pintu kamar lama-lama kalo udah abis magrib," ucapnya sambil tersenyum aneh.
☆☆☆
Drrtt... Drrtt... Drttt...
Tiba tiba terdengar suara ponsel yang bergetar. Segera ku sambar ponselku yang tergeletak di atas meja. Sebuah notifikasi alarm sebagai pengingat untuk berangkat kuliah.
Aku menghela napas berat, kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengambil handuk.
Aku lalu berjalan ke kamar mandi yang berada di luar kamar kost. Beruntung saat sampai, kamar mandi dalam keadaan kosong tidak ada orang.
Dengan langkah tergesa, aku masuk ke dalam. Kemudian menanggalkan satu persatu pakaian yang melekat di tubuh.
Aku lalu membuka keran atas.
Syurrr....
Air shower menyala deras. Ku sabuni tubuh sambil sesekali bersenandung riang. Saat ingin membilas badan, tanpa di duga air shower tiba tiba mati seketika.
Aku menghela napas sebal. Kemudian mencoba menekan nekan ujung keran berharap air kembali menyala.
Syurr...
Aku mendengar suara keran yang menyala. Namun suaranya bukan dari keran shower tempat ku mandi saat ini.
Sejujurnya aku merasa ada yang janggal.
"Mengapa air keran ku tiba tiba mati tidak mau mengeluarkan air, sedangkan keran di sebelah masih nyala?" batinku bersuara.
Aku mengelengkan kepala berulang kali, menepis pikiran negatif yang sempat terlintas.
"Ah... Ada orang yang sedang mandi di sebelah," gumamku berpikir positif.
Tuk...
Aku mengetuk tembok bilik kamar mandi sebelah yang terdengar suara air yang menyala.
Tidak ada sahutan yang terdengar dari balik tembok.
Syurr...
Kemudian aku mendengar suara keran itu terdengar sangat jelas di belakang telingaku.
Saat ku tengokkan kepala, rupanya keran shower di bilik kamar mandiku sudah kembali menyala lagi.
Aku lalu melanjutkan aktivitas mandi yang sempat tertunda itu.
Saat sedang ingin sampoan, tiba tiba saja lampu kamar mandi mati.
Tidak berselang lama, lampu itu kembali hidup lagi.
"Argh... Siapa sih yang iseng mainan steker lampu," umpatku seketika.
Hening...
Aku tidak mendengar suara siapun selain suara air keran dari shower tempatku mandi.
Seketika hawa dingin ku rasakan di sekitar tubuh. Ku gelengkan kepalaku beberapa kali.
Tidak ku hiraukan suara apapun lagi di sekitarku, selain kembali melanjutkan aktivitas mandiku.
Selesai mandi dan memakai handuk, aku lalu bergegas keluar dari kamar mandi.
Sebelum keluar kamar mandi, aku sempat mengintip ke bilik sebelah. Pintu bilik itu terbuka dan tidak ada siapa pun di dalamnya. Bahkan Keran showernya juga tidak dalam posisi menyala.
Jika kamar ini habis di gunakan biasanya masih meninggalkan hawa panas dengan aroma sabun yang menyengat. Namun yang ku rasakan saat ini hanya hawa dingin dan tidak ada aroma apapun yang tercium di hidung.
Aku jadi heran dan sempat berpikiran yang tidak tidak. Namun segera ku tepis anggapan itu, kemudian bergegas keluar dari kamar mandi.
Namun ketika kaki ini baru melangkah beberapa jengkal, tiba tiba saja...
Tes... Tes... Tes...
Terdengar suara tetesan air dari dalam kamar mandi.
Aku kembali masuk ke dalam dan mencari asal suara itu. Rupanya suara itu berasal dari keran wastafel yang terbuka.
Aku lalu menutup kembali keran itu dalam hati membatin.
"Tadi kayanya gak buka keran wastafel deh."
Setelah menutup keran wastafel dan memastikan tidak ada air lagi yang menetes, aku lalu bergegas keluar. Setengah berlari menuju ke kamarku.
Malam harinya saat tengah mengerjakan tugas tugas kuliah, entah mengapa aku merasakan hawa lain di sekitarku.
Ssss.... Ssss....
Aku mendengar suara suara aneh. Suaranya seperti seorang sedang mendesis.
Crack!....
Tiba tiba saja terdengar suara barang jatuh dari luar kamar. Seketika aku membuka pintu kamar untuk melihat barang apa yang jatuh. Di luar kamar terdapat pecahan pot tanah liat berserakan dengan tanah yang berceceran. Saat ku tengok keatas, salah satu pot tanaman hias ada yang kosong.
"Pot tanamannya jatuh," gumamku seketika.
Blam...
Tanpa di duga pintu kamarku tiba tiba menutup dengan sendirinya.
"Ini pasti karena angin," gumamku berulangkali.
Walaupun aku sendiri tidak merasa ada hembusan angin yang kuat di sekitarku. Namun sebuah gumaman meyakinkan jika pintu kamarku tertutup karena angin.
Keesokan harinya, aku menemui Mami Asih untuk bercerita soal kejadian tadi malam.
"Mi, semalam pot tanaman yang ada di depan kamar Jay pecah."
"Ko bisa?"
Mami Asih terlihat heran dengan wajah yang menatap ke arahku.
"Kayanya jatuh deh, Mi. Semalam anginnya kencang," ucapku meyakini pendapatku.
"Oh, Yasudah. Nanti saya minta tolong mang Ujang untuk bersihin pecahan potnya," ucap Mami Asih seraya tersenyum.
Aku menganguk pelan dengan kepala tertunduk. Setelah menimbang nimbang untuk beberapa saat, baru kemudian mengangkat kepala.
"Mi..." panggilku pelan.
"Hmm.."
Mami Asih menengok ke arahku.
"Di sini apa pernah ada kejadian aneh atau sesuatu yang gak biasa?" tanyaku ragu.
Mami Asih mengernyit, nampak binggung dengan pertanyaan yang terlontar.
"Maksud Jay apa ya?"
"Ya... Mungkin kejadian horor atau semacamnya begitu," lirihku pelan.
Entah mengapa aku merasa Mami Asih memandangi wajahku iba.
"Jay tenang saja, kost sini aman ko. Tidak ada hantu atau semacamnya di sini," ucap Mami Asih sambil tersenyum.
Aku lega mendengarnya.
"Tapi kamu tetap harus hati-hati karena beberapa anak kost sini ada yang suka usil," ujarnya kembali menambahkan.
"Maksudnya? Usil bagaimana?"
"Biasanya kalo ada anak kost yang agak penakut, mereka kerap jahil. Tujuannya hanya ingin berkenalan saja. Kalau Jay terus waspada, mereka tidak akan berani menganggumu lagi,"
"Mereka itu siapa, Mi? Apa mereka ngekost di sekitar kamar Jay juga?" tanyaku mulai penasaran.
Mami Asih hanya menganggukkan kepalanya singkat.
☆☆☆
Dalam beberapa minggu saja, aku mulai dapat mengenal beberapa orang yang tinggal di sekitar kamar kost. Namun aku merasa ada yang aneh pada salah satu tetanggan kamar sebelah bernama Alif.
Yang membuat aneh, tidak pernah ku pergoki kapan Alif pergi. Tau tau setibanya magrib menjelang Alif sudah nampak berkeliaran di sekitar kamar kost kemudian langsung masuk ke dalam kamar.
Seperti malam ini, aku yang tengah duduk di kursi panjang dengan sebuah laptop di pangkuan bersama segelas kopi panas itu, kembali tidak sengaja melihat Alif dari arah tangga hendak berjalan masuk ke dalam kamarnya.
"Baru pulang, Lif?" sapaku saat melihatnya tengah berjalan dari tangga menuju ke kamarnya.
Alif menoleh padaku dan tersenyum tipis kemudian berlalu begitu saja masuk ke dalam kamarnya.
Kemudian aku akan mendengar suara aktifitasnya dari balik kamar hingga pagi menjelang. Setelah itu kamar Alif akan terasa sunyi senyap sampai menjelang magrib. Hal itu terjadi setiap harinya.
Entah apa kesibukannya itu, yang jelas bagiku kehidupan Alif terkesan monoton.
Hingga suatu hari saat aku bertemu dengan Mami Asih untuk membayar uang kost. Tidak berselang lama terlihat sosok Alif yang tengah membawa koper besar masuk ke dalam rumah. Saat itu hari nampak cerah dengan sinar matahari yang mulai menyengat tubuh.
"Lif, dari mana? Kopernya gede banget?" tanyaku seketika.
"Dari kampunglah Jay. Masa iya aku kelayapan nggak jelas bawa koper segala," jawab Alif sembari tertawa kecil.
"Dari kampung cuma nginep semalaman disana?" tanyaku binggung.
Bingung karena aku melihat dengan jelas sosok Alif berjalan masuk ke dalam kamarnya kemarin malam.
"Ngelindur kamu ya, Jay. Orang udah dari bulan lalu Alif pulang juga malah di bilang baru semalem," celetuk Mami Asih ikut menimpali.
Hah? Satu bulan. Jelas – jelas semalam aku melihat sendiri Alif baru pulang ke kost.
"Iya. Alif lupa kali, Mi? Atau mungkin kesel karena aku gak sempet pamit waktu pulang."
"Ko tumben kamu gak pamit kanan kiri kamarmu?" tanya Mami Asih penasaran.
"Kemarin memang Alif perginya buru-buru, Mi. Jadi gak sempet pamit ke Jay. Lagian Jay juga sih punya kebiasaan ngendok di kamar mulu sampe gak sadar tetangga kamarnya pergi," rungut Alif setengah kesal.
Aku berusaha keras mencerna percakapaan antara Alif dan Mami Asih. Merasa ada sesuatu yang janggal, aku bertanya lebih lanjut
"Tunggu bentar deh, Lif. Jadi lo beneran di kampung selama sebulan ini? Dan baru balik sekarang?" tanyaku pada Alif seolah menginterogasinya.
"Ya, beneranlah. Buat apa bohong juga gak ada untungnya," ucap Alif santai.
"Trus yang gue temuin kemaren malem itu siapa dong? kalo bukan lo, Lif."
Seketika aku bergidik ngeri sendiri mengingat beberapa hari ini selalu melihat sosok Alif di saat malam yang ternyata bukan sosok yang sebenarnya.