Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
KAMAR NO 7 DAN AROMA LAVENDER
0
Suka
1,849
Dibaca

Aku tidak jatuh cinta pada tubuhnya. Aku jatuh cinta pada hening yang terjadi di antara kami setelah sesi selesai. Hening yang terasa padat, berisi, seolah-olah udara di ruangan kecil itu berubah menjadi medium yang bisa kau sentuh. Hening yang beraroma lavender dan keringat samar, diiringi desis pendingin udara yang berjuang melawan malam Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur.

Namaku—sebenarnya tidak penting. Anggap saja aku siluet yang kau lihat setiap hari di gerbong kereta Commuter Line arah Tanah Abang. Usiaku tiga puluh delapan tahun. Aku bekerja di sebuah perusahaan yang menjual sesuatu yang juga tidak penting, duduk di depan layar komputer dari jam sembilan pagi hingga jam enam sore, kadang lebih. Hidupku tak lebih serangkaian rutinitas yang presisi dan hampa: kopi hitam tanpa gula di pagi hari, makan siang dengan menu yang sama setiap Selasa, dan tatapan kosong ke arah lampu-lampu kota dari jendela apartemenku di lantai empat belas.

Aku punya kucing. Seekor kucing hitam liar dengan ekor yang sedikit bengkok di ujungnya. Aku tidak pernah memberinya nama. Ia datang begitu saja setiap subuh, mengeong pelan di depan pintu, dan aku akan memberinya sisa ikan dari makan malamku. Kami tidak punya ikatan, hubungan kami hanya transaksi senyap. Ia mendapatkan makanan, aku mendapatkan ilusi bahwa ada makhluk hidup yang menungguku pulang.

Insomniaku penyebabnya. Alasanku menemukan “Spa Sakura”. Letaknya di sebuah ruko tua di pinggiran kota, terjepit di antara toko kelontong 24 jam dan bengkel motor yang tutup di malam hari. Papan namanya berkedip dengan warna merah jambu yang lelah. Di dalamnya, seorang wanita paruh baya dengan senyum yang dipaksakan akan menyambutmu dari balik meja resepsionis yang terbuat dari kayu lapis. Sofanya dari kulit sintetis yang sudah retak-retak. Selalu ada suara tetesan air dari suatu tempat yang tidak pernah bisa kutemukan. Tempat ini selayaknya lubang kelinci, persembunyian dari diriku sendiri.

Awalnya, semua terapis terasa sama. Tangan-tangan yang bekerja secara otomatis, tanpa perlu diminta, obrolan-obrolan basa-basi yang mereka pelajari dari buku panduan atau kehidupan mereka sendiri. Mereka bagian lain dari rutinitasku. Aku membayar untuk tujuh puluh lima menit kelegaan fisik, lalu kembali ke apartemenku yang sunyi, ke kasurku yang dingin, dan ke langit-langit kamarku yang putih dan tanpa cela.

Sampai malam itu.

Wanita di resepsionis berkata, “Nomor tujuh malam ini diisi orang baru, Pak. Mau coba?”

Aku hanya mengangguk. Aku tidak peduli.

Kamar nomor tujuh sama seperti kamar lainnya: redup, sempit, dengan ranjang pijat di tengah dan handuk-handuk yang dilipat rapi. Tapi ada yang berbeda. Kamar itu menyimpan aroma yang samar, bersih, dan menenangkan. Seperti aroma kebun bunga setelah hujan reda. Lavender.

Kemudian ia masuk. Tanpa suara. Ia tidak menyapa dengan ceria seperti yang lain. Ia hanya mengangguk kecil, matanya menatap lantai sejenak sebelum menatapku. Tidak ada senyum di wajahnya. Hanya ketenangan yang ganjil.

“Silakan, Pak,” bisiknya. Suaranya rendah, hampir tak terdengar.

Aku berbaring. Biasanya, aku akan memejamkan mata dan mencoba mengosongkan pikiran. Tapi malam itu, aku membiarkan mataku terbuka, menatap dinding di depanku yang warnanya entah krem entah kuning pudar.

Pijatannya berbeda. Tak lebih kuat atau lebih terampil secara teknis. Tapi tangannya… tangannya seolah mendengarkan. Jari-jarinya tidak sekadar menekan otot-ototku yang kaku, ia seolah sedang membaca cerita yang tertulis di punggungku. Cerita tentang jam-jam panjang di depan komputer, tentang tas ransel yang terlalu berat, tentang beban tak terlihat yang kupanggul setiap hari.

Tidak ada obrolan. Sama sekali. Lima puluh menit berlalu dalam keheningan yang hanya dipecah oleh napas kami dan aroma lavender yang semakin pekat, seolah keluar dari pori-pori kulitnya.

Ketika selesai, ia menyelimutiku dengan handuk hangat. “Sudah, Pak,” katanya lembut.

Aku duduk di tepi ranjang, masih terbungkus handuk. Dan saat itulah hening yang sesungguhnya dimulai. Ia tidak langsung pergi. Ia berjalan ke sudut ruangan, ke sebuah speaker Bluetooth kecil yang tergeletak di atas meja. Dengan gerakan lembut, ia menyalakannya. Kemudian melodi pop mengalun pelan, mengisi kekosongan.

Aku tidak tahu lagu apa itu. Terdengar seperti sesuatu yang sering diputar di kafe-kafe. Tapi di dalam kamar remang beraroma lavender itu, musik itu terdengar seperti pengakuan dosa, sebuah doa yang rapuh.

Ia berdiri di dekat pintu, menunggu. Seolah memberiku waktu untuk kembali menjadi diriku sendiri. Aku menatapnya. Ia mungkin berusia pertengahan dua puluhan. Wajahnya biasa saja, tapi ada sepasang mata yang terlihat lebih tua dari usianya. Mata yang telah melihat terlalu banyak, atau mungkin, terlalu sedikit hal yang indah.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku tidur tanpa terjaga di tengah malam. Aku tidak memimpikan apa-apa. Hanya kegelapan yang tenang dan dalam, dengan sisa-sisa aroma lavender yang menempel di kulitku.

Aku mulai datang setiap Selasa malam. Selalu meminta kamar nomor tujuh. Wanita di resepsionis mulai mengenali polaku. Senyumnya yang dipaksakan kini mengandung sedikit rasa ingin tahu.

Pertemuan kami selalu berjalan dalam ritus yang sama. Aku datang, ia masuk, keheningan dimulai, pijatan yang mendengarkan, dan diakhiri dengan lagu dari speaker kecilnya. Kadang aku bertanya-tanya apakah ia tahu bahwa aku menunggu momen itu. Momen ketika pekerjaannya selesai dan musik dimulai. Momen di mana kami bukan lagi klien dan terapis, melainkan hanya dua orang asing yang berbagi beberapa menit keheningan yang diisi musik.

Suatu malam, aku memberanikan diri bertanya.

“Lagu apa ini?” tanyaku, suaraku serak karena lama tidak digunakan.

Ia tampak sedikit terkejut, seolah aku telah melanggar perjanjian tak tertulis. Ia menatap speaker kecilnya. “Kahitna,” jawabnya pelan. “Judulnya ‘Cantik’.”

“Kenapa Kahitna?”

Ia mengangkat bahu. Gerakan yang begitu kecil tapi penuh makna. “Tergantung hari,” katanya. “Kadang Kahitna, kadang Raisa. Kalau hari terasa berat, biasanya saya putar Yura Yunita.”

Aku mengangguk. Aku tidak tahu siapa Raisa atau Yura Yunita. Di apartemenku, aku hanya mendengarkan piringan hitam jazz. Bill Evans, Miles Davis, Thelonious Monk. Musik untuk orang-orang yang nyaman dengan kesendirian mereka. Musik yang ia putar adalah musik untuk orang-orang yang merindukan sesuatu, atau seseorang.

Aku tidak pernah berusaha menyentuhnya di luar pijatan. Aku tidak pernah menanyakan namanya. Aku takut merusak keseimbangan aneh yang telah kami bangun. Bagiku, ia hanya perempuan beraroma lavender dari kamar nomor tujuh. Sebuah entitas, sebuah atmosfer, bukan seorang individu dengan KTP dan tagihan bulanan.

Tapi rasa penasaran kadang menjadi makhluk yang aneh. Ia tumbuh di tempat-tempat paling sunyi. Aku mulai memperhatikan detail-detail kecil: bekas luka tipis di atas alis kirinya, cat kuku bening yang sedikit terkelupas di jari manisnya, cara ia menghela napas pelan sebelum memulai pijatan. Detail-detail ini mulai membangun sebuah gambaran, sosok di balik aroma dan keheningan.

Suatu malam, hujan turun dengan derasnya. Suara gemuruhnya meredam suara tetesan air misterius di Spa Sakura. Setelah sesi selesai dan lagu mulai mengalun—malam itu adalah Raisa—aku tidak langsung beranjak. Aku duduk di tepi ranjang, mendengarkan kombinasi suara hujan dan melodi pop.

“Di luar deras,” kataku. Itu bukanlah pertanyaan, tapi pernyataan. Jembatan kecil yang kucoba bangun di atas jurang di antara kami.

Ia mengangguk, masih berdiri di dekat pintu. “Bapak bawa payung?”

Aku menggeleng. “Aku suka hujan.”

Ia tersenyum tipis untuk pertama kalinya. Senyum yang begitu kecil hingga tak terlihat, tapi itu ada. “Saya juga,” katanya. “Hujan membuat semuanya terasa bersih.”

Kami terdiam lagi. Hujan dan Raisa mengisi ruangan.

“Namaku Lila,” katanya tiba-tiba. Suaranya begitu pelan, aku hampir mengira itu hanya bagian dari lagu.

Aku menatapnya. “Aku…” Aku berhenti. Menyebutkan namaku terasa seperti sebuah komitmen. Terasa terlalu nyata. “…pelangganmu,” lanjutku akhirnya.

Senyum kecilnya menghilang. Ia mengangguk mengerti. Batas itu kembali tercipta, tebal dan dingin seperti dinding kamar ini. Tapi setidaknya, sekarang aku tahu namanya. Lila. Nama yang selembut aroma tubuhnya.

Keterikatan adalah hal yang berbahaya. Ia datang tanpa peringatan, seperti kabut pagi. Kau baru menyadarinya ketika kau sudah tidak bisa melihat jalan di depanmu.

Aku mulai membawakan hal-hal kecil untuknya. Botol teh hijau dingin yang kutinggalkan di meja setelah sesi. Atau sekotak kue mochi dari toko Jepang dekat kantorku. Aku tidak pernah memberikannya langsung. Aku hanya meletakkannya di sana, dan saat aku kembali minggu depannya, benda itu sudah tidak ada. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada konfirmasi. Hanya pemahaman diam-diam.

Hingga suatu malam, setelah lagu selesai diputar, ia tidak langsung membuka pintu.

“Kenapa Bapak selalu memilih saya?” tanyanya. Matanya tertuju pada sepatunya yang usang.

Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dengan semua hal yang tidak terucapkan.

“Karena heningnya,” jawabku jujur. “Dan musikmu.”

Ia mendongak. Ada kilatan sesuatu di matanya. Keraguan? Rasa sakit?

“Tubuhku ini sudah disentuh ratusan orang, Pak. Mungkin ribuan. Mereka membayar untuk itu,” katanya. Suaranya datar, seolah sedang membacakan daftar belanjaan. “Tidak ada yang istimewa.”

“Aku tidak datang untuk tubuhmu, Lila.” Aku menggunakan namanya untuk pertama kali. Rasanya aneh dan benar pada saat yang bersamaan.

“Lalu untuk apa?”

Aku berpikir sejenak, mencari kata yang tepat. Kata yang tidak akan terdengar seperti kebohongan murahan. “Untuk merasa utuh,” kataku akhirnya. “Hanya untuk satu jam.”

Ia terdiam lama. Aku bisa melihat pertarungan di dalam dirinya. Keinginan untuk percaya dan ketakutan untuk terluka.

“Tubuhku terlalu murah untuk dicintai,” bisiknya. Kata-kata itu keluar seperti napas terakhir.

Aku berdiri, berjalan mendekat hingga hanya ada jarak satu lengan di antara kami. Aroma lavender itu begitu nyata. Aku ingin sekali menyentuh lengannya, tapi aku menahan diri.

“Tapi tidak ada yang semurah kesepian,” jawabku.

Malam itu, manajer spa—seorang pria berperut buncit dengan kemeja yang terlampau ketat—menatapku dengan tatapan tajam saat aku berjalan keluar. Wanita di resepsionis tidak lagi tersenyum. Udara di Spa Sakura tiba-tiba terasa berat dan penuh ancaman. Aku tahu mereka menyadari sesuatu. Hubungan kami yang tak bernama ini telah terdeteksi oleh radar mereka. Transaksi ini mulai terkontaminasi oleh sesuatu yang tidak bisa diukur dengan uang: perasaan.

Minggu berikutnya, saat aku meminta kamar nomor tujuh, wanita resepsionis itu berkata, “Lila sedang sibuk, Pak. Mungkin dengan yang lain saja?”

“Saya akan tunggu,” kataku keras kepala.

Aku duduk di sofa kulit sintetis yang retak itu selama hampir dua jam. Membaca majalah usang, menatap dinding, mendengarkan tetesan air. Akhirnya, manajer itu keluar dari kantornya.

“Pak,” katanya, suaranya mengandung ancaman yang tersirat. “Di sini ada banyak terapis yang bagus. Tidak baik kalau Bapak hanya memilih satu. Nanti yang lain tidak dapat giliran.”

Aku menganggapnya sebagai peringatan. Aku mengerti aturannya. Jangan terikat. Jangan membuat satu “aset” menjadi terlalu istimewa. Itu buruk untuk bisnis.

Aku pulang dengan perasaan hampa yang lebih pekat dari biasanya. Apartemenku terasa seperti sebuah makam. Musik jazz dari piringan hitamku terdengar sumbang. Kucing hitam itu menatapku dari ambang pintu dapur, seolah bertanya ke mana perginya aroma lavender yang biasa menempel di pakaianku.

Konflik itu tidak lagi hanya ada di luar, tapi merayap masuk ke dalam diriku. Aku, seorang pria yang telah membangun benteng tinggi di sekeliling hidupnya, kini merasakan ada yang mencoba meruntuhkannya dari dalam. Lila bukan lagi sekadar pelarian; ia menjadi kemungkinan. Kemungkinan akan dunia di mana hening tidak berarti kosong, dan sentuhan tidak berarti transaksi.

Aku berhasil menemuinya lagi dua minggu kemudian. Wajahnya tampak lebih tirus. Lingkaran hitam samar membayangi matanya. Pijatannya terasa terburu-buru, tangannya tidak lagi “mendengarkan”. Ia tidak memutar musik setelah selesai.

“Ada apa?” tanyaku dalam keheningan yang kini terasa canggung.

“Bapak tidak seharusnya datang lagi,” katanya, menghindari tatapanku. “Manajemen tidak suka.”

“Aku tidak peduli dengan manajemen,” kataku. “Aku peduli padamu. Berhenti saja dari sini. Aku bisa bantu.”

Tawaran itu keluar begitu saja. Spontan. Aku bahkan tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Aku bukan orang kaya. Aku hanya seorang pegawai dengan gaji yang cukup untuk cicilan apartemen dan piringan hitam jazz. Tapi keinginan untuk membebaskannya terasa lebih kuat dari logikaku.

Ia akhirnya menatapku. Matanya berkaca-kaca. “Bantu apa? Memberiku pekerjaan? Aku tidak punya ijazah, Pak. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain ini.”

“Kita bisa cari jalan.”

Ia menggelengkan kepalanya dengan putus asa. “Ini bukan cuma soal uang. Kalau aku keluar begitu saja, mereka akan kirim orang ke rumah ibuku. Aku tidak ingin adikku tahu pekerjaan apa yang membiayai kuliahnya.”

Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Adikku pikir aku kerja di salon kecantikan.”

Sebuah dinding kaca yang tebal tiba-tiba muncul di antara kami. Aku bisa melihatnya, tapi aku tidak bisa menyentuhnya. Aku melihat lukanya, ketakutannya, pengorbanannya. Dan aku menyadari betapa naifnya aku. Aku ingin menjadi pahlawan, padahal aku bahkan tidak tahu nama monster yang sedang ia hadapi.

“Aku minta maaf,” bisikku.

“Jangan,” katanya. “Jangan minta maaf. Dan tolong, jangan datang lagi. Ini demi kebaikan Bapak. Dan kebaikanku.”

Ia membuka pintu, dan untuk pertama kalinya, ia yang meninggalkanku sendirian di dalam kamar itu. Tidak ada aroma lavender, tidak ada musik, hanya hening yang kini terasa menusuk dan dingin.

Di satu sisi, aku merasa marah. Marah pada diriku sendiri karena menjadi bagian dari sistem yang menjebaknya. Akulah salah satu dari ratusan, ribuan pria yang membuat tempat seperti Spa Sakura tetap hidup. Aku membayar untuk tubuhnya, meskipun aku berdalih bahwa aku mencari sesuatu yang lain.

Di sisi lain, ada perasaan yang begitu murni dan menyakitkan. Perasaan bahwa aku telah menemukan sesuatu yang nyata di tempat yang paling tidak nyata, dan kini aku harus kehilangannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku yang kosong, ada sesuatu yang terasa lebih penting daripada diriku sendiri.

Lila pun bergulat dengan iblisnya sendiri. Aku bisa merasakannya. Ia merasa tidak pantas. Bagaimana mungkin seseorang bisa mencintai jiwa yang terbungkus dalam tubuh yang ia anggap sebagai layanan? Bagaimana ia bisa percaya pada kelembutan dari tangan yang sama yang dulu membayar untuk keheningannya?

Kami berdua terperangkap dalam labirin yang kami bangun sendiri. Labirin kesepian, rasa bersalah, dan kerinduan.

Satu bulan berlalu. Aku menepati janjiku. Aku tidak kembali ke Spa Sakura. Selasa malam menjadi malam terpanjang dalam seminggu. Aku mencoba mengisi kekosongan itu dengan bekerja lembur, dengan minum lebih banyak wiski, dengan memutar piringan hitam Bill Evans hingga suaranya serak. Tapi aroma lavender itu seolah telah meresap ke dalam ingatanku, menghantui setiap sudut apartemenku.

Kucing hitam itu sepertinya merasakan perubahanku. Ia tidak lagi hanya datang untuk makan. Kadang, ia hanya duduk di dekat kakiku, menatapku dengan mata hijaunya yang bijaksana, seolah ia mengerti segalanya.

Suatu malam, didorong oleh campuran wiski dan keputusasaan, aku kembali ke ruko tua itu. Aku tidak berniat masuk. Aku hanya ingin melihatnya dari seberang jalan. Papan nama “Spa Sakura” masih berkedip dengan warna merah jambu yang lelah. Segalanya tampak sama.

Namun, hatiku berkata lain. Ada yang salah.

Aku memberanikan diri masuk. Wanita di resepsionis menatapku dengan ekspresi kaget yang dengan cepat berubah menjadi dingin.

“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanyanya, nadanya formal dan menjaga jarak.

“Aku ingin bertemu Lila,” kataku.

“Lila sedang cuti,” jawabnya otomatis. Kata “cuti” itu terdengar seperti kebohongan yang sudah sering diucapkan.

“Cuti ke mana?”

“Kurang tahu, Pak. Urusan keluarga.”

Aku tahu ia berbohong. Aku bisa melihatnya dari cara matanya bergerak gelisah. Lila tidak sedang cuti. Ia dikunci. Dihukum. Mungkin karena aku. Mungkin karena kami telah melanggar aturan tak tertulis yang paling sakral: jangan membawa perasaan ke dalam transaksi.

Jantungku terasa seperti dicengkeram es. Rasa bersalah dan panik menjalari tubuhku. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Melaporkan ke polisi? Atas dasar apa?

Aku kembali ke apartemenku, tanganku gemetar. Aku duduk di depan meja kerjaku yang kosong, di bawah cahaya lampu yang dingin. Aku mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen. Aku harus mengatakan sesuatu padanya. Sesuatu yang bisa menembus dinding penjara tak terlihatnya.

Aku mulai menulis. Bukan surat cinta yang berbunga-bunga. Bukan janji-janji kosong. Aku hanya menulis kebenaran.

Lila,

Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai padamu. Aku tidak tahu kau ada di mana. Tapi aku harus menulisnya.

Aku tidak ingin membeli waktumu. Aku tidak ingin membeli sentuhanmu. Dan aku tidak ingin membeli cintamu. Aku hanya ingin duduk di sampingmu. Di luar jam kerja. Di luar transaksi. Di taman kota, atau di kedai kopi murah, atau di mana pun kau mau. Bahkan kalau kau hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa.

Aku tidak ingin menyelamatkanmu, karena aku tahu aku tidak bisa. Aku hanya ingin kau tahu bahwa ada seseorang di dunia ini yang melihatmu lebih dari sekadar kamar nomor tujuh.

Aku mendengarkan Kahitna kemarin. Aku akhirnya mengerti kenapa kau memutarnya. Itu bukan musik yang bahagia. Itu musik tentang harapan.

Aku akan menunggu. Bukan di Spa Sakura. Aku akan menunggu di duniaku sendiri. Dan kuharap suatu hari nanti, duniamu dan duniaku bisa bertemu.

Aku melipat surat itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam amplop putih. Keesokan harinya, aku kembali ke spa. Aku berjalan lurus ke meja resepsionis, menatap langsung ke mata wanita itu. Aku meletakkan amplop itu di atas meja, bersama dengan beberapa lembar uang ratusan ribu.

“Tolong berikan ini ke Lila,” kataku. Suaraku tenang, tapi tegas. “Aku tahu dia tidak cuti.”

Wanita itu menelan ludah. Tangannya yang gemetar meraih uang dan surat itu. Untuk sesaat, topeng dinginnya retak, dan aku melihat sekilas rasa kasihan di matanya. Aku berbalik dan berjalan keluar, tidak pernah menoleh ke belakang.

Beberapa minggu berlalu seperti halaman-halaman dalam kalender yang disobek tanpa dibaca. Hidupku kembali ke ritme semula, tapi ada yang telah berubah secara fundamental. Kesepianku tidak lagi terasa hampa. Kini ia memiliki bentuk dan nama. Ia beraroma lavender.

Aku berhenti mendengarkan jazz. Aku membeli album-album Raisa dan Yura Yunita. Aku mendengarkannya di dalam gerbong kereta, mencoba memahami dunia melalui melodi-melodi yang pernah mengisi kamar nomor tujuh.

Aku tidak berharap akan ada balasan. Surat itu adalah pelepasan, bukan permintaan. Satu-satunya cara untuk mengatakan selamat tinggal tanpa harus benar-benar pergi.

Suatu malam yang sangat larut, setelah lembur yang panjang, aku menyeret kakiku menaiki tangga darurat ke apartemenku karena lift sedang rusak. Udara malam terasa lembap dan berat. Aku sampai di depan pintu apartemenku, lelah dan siap untuk ambruk di kasur.

Kucing hitam itu sudah menungguku, seperti biasa. Tapi malam ini, ada sesuatu yang lain di sampingnya. Sesuatu yang kecil dan sederhana, diletakkan dengan hati-hati di atas keset.

Pot tanah liat kecil. Di dalamnya, ada beberapa tangkai lavender kering yang diikat dengan seutas tali rami.

Tidak ada nama. Tidak ada pesan.

Aku berjongkok, tanganku gemetar saat menyentuh bunga-bunga kering itu. Aromanya samar, seperti gema dari kenangan. Tapi itu ada. Nyata.

Aku menatap ke koridor yang sepi, ke tangga yang gelap, berharap melihat bayangan. Tapi tidak ada siapa-siapa. Ia telah datang dan pergi seperti hantu.

Aku membawa pot kecil itu masuk ke dalam apartemenku. Kucing hitam itu mengikutiku, menggesekkan tubuhnya ke kakiku. Aku meletakkan pot lavender itu di ambang jendela, di samping piringan hitam Thelonious Monks-ku. Kontras yang aneh. Melankolia jazz yang rumit dan harapan sederhana dari lavender kering.

Aku tidak tahu apa arti semua ini. Apakah ini salam perpisahan? Janji? Atau hanya pengakuan bahwa apa yang terjadi di antara kami, di dalam keheningan kamar nomor tujuh, memang benar-benar ada?

Aku tidak tahu apakah aku akan melihatnya lagi. Mungkin tidak. Mungkin ia telah menemukan jalannya sendiri, atau mungkin ia masih terperangkap.

Aku duduk di sofa, menatap pot kecil itu. Lampu-lampu kota berkelip di luar jendela. Untuk pertama kalinya, keheningan di apartemenku tidak terasa seperti hukuman. Ia terasa seperti ruang tunggu. Ruang di mana aroma lavender dan musik dari kamar yang jauh masih mengalun, samar dan abadi, menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah datang, tapi harapan akan kedatangannya sudah cukup untuk membuatku terus bernapas.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
I Call You, Mei
Rima Selvani
Cerpen
KAMAR NO 7 DAN AROMA LAVENDER
IGN Indra
Novel
Bronze
The Badboy
Fidya Damayanti
Novel
Bronze
PELANGI TANPA WARNA
Mahfrizha Kifani
Novel
Bronze
Balada Sepasang Kekasih Gila
Han Gagas
Novel
Two seasons one love
Aisyah ashari ramadhana
Novel
Gelanggang Di Bulan Mei
Lady Mia Hasneni
Komik
9306 in the Eyes
Misha si Beruang
Skrip Film
1024 : We're All Done
Pradita Dina Salsabila
Skrip Film
OSPEK
Nadya Wijanarko
Skrip Film
Semoga Sampai
Rainzanov
Skrip Film
Karsa
Ananda Galih Katresna
Flash
Bronze
Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong
Alfian N. Budiarto
Flash
Bronze
Kasih Sayang Nenek
Tata
Flash
Bronze
Aku Beto, dan Panggil Aku Si Cemong
Nuel Lubis
Rekomendasi
Cerpen
KAMAR NO 7 DAN AROMA LAVENDER
IGN Indra
Cerpen
LEIL FATTAYA
IGN Indra
Novel
THE TOXIC ASSET
IGN Indra
Cerpen
SISA CINTA DITELAN FAJAR
IGN Indra
Cerpen
OTAK WARISAN
IGN Indra
Novel
32 DETIK
IGN Indra
Cerpen
SATU HATI DUA CINTA
IGN Indra
Cerpen
LANGIT YANG TAK PERNAH SAMA
IGN Indra
Flash
KURSI ROTAN & SEPOTONG INGATAN
IGN Indra
Flash
MANGKAT
IGN Indra
Cerpen
WARISAN KETIGA
IGN Indra
Cerpen
MALAM ALUNA
IGN Indra
Cerpen
SEPERTI SALJU BULAN APRIL
IGN Indra
Flash
HUJAN DI BALKON SEBELAH
IGN Indra
Cerpen
CINTA TAK PERNAH SAMPAI
IGN Indra