Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jakarta menyambutku dengan napasnya yang panas dan sesak. Selama seminggu pertama, aku tidur di mushola stasiun, di antara para penglaju yang kelelahan dan orang-orang yang telah menyerah pada nasib.
Namaku Adi. Usiaku dua puluh empat tahun, dan di tanganku hanya ada ijazah SMK serta sebuah surat penerimaan kerja di percetakan kecil yang gajinya hanya cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk hidup. Aku butuh atap, tempat termurah yang bisa kutemukan.
Pencarianku berakhir di selembar kertas fotokopian yang menempel di tiang listrik, tulisannya sudah agak luntur oleh hujan:
“Kosan Damai Indah. Kamar tersedia. Murah. Tenang.”
Lokasinya adalah sebuah kebohongan geografis. Terletak di jantung kota, namun untuk mencapainya, aku harus menyelinap masuk ke sebuah gang sempit yang diapit oleh tembok-tembok kusam. Semakin dalam aku berjalan, semakin suara kota memudar, digantikan oleh keheningan yang aneh dan aroma lembap dari selokan yang mampat. Gang itu berakhir di sebuah tanah kosong yang ditumbuhi semak liar, dan di sanalah ia berdiri, sendirian, seolah dijauhi oleh bangunan lain: Kosan Damai Indah.
Bangunan itu adalah fosil dari zaman yang telah dilupakan. Dua lantai, dengan plesteran yang terkelupas seperti kulit yang melepuh. Jendela-jendelanya yang besar dan kusam menatap kosong, seperti mata seorang tua yang sudah terlalu lelah untuk berkedip. Ini bukan tempat yang damai. Ini adalah tempat di mana kedamaian datang untuk mati.
Seorang wanita paruh baya menyambutku di teras. Ia mengenakan daster batik pudar dan kerudung longgar yang tidak sepenuhnya menutupi rambutnya yang menipis. Namanya Ibu Lasmi. Senyumnya terukir di bibir, tapi matanya kering dan tidak menunjukkan emosi apa pun.
“Cari kamar, Nak?” suaranya serak, seperti kertas amplas yang digesekkan pada kayu kering.
“Iya, Bu. Saya lihat iklan di depan.”
“Oh, yang itu,” katanya. “Masih ada satu. Di atas. Paling pojok. Kamar 303.” Ia menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki, sebuah tatapan yang terasa seperti menimbang-nimbang. “Harganya dua ratus ribu sebulan, listrik sudah termasuk.”
Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Harga itu tidak masuk akal. Terlalu murah. Tapi aku tidak punya pilihan.
Ibu Lasmi menuntunku masuk. Lorong lantai dasar terasa dingin, diterangi cahaya putih pendar dari lampu neon panjang yang berkedip-kedip tak menentu. Kami menaiki tangga kayu yang setiap pijakannya mengeluarkan erangan protes. Lorong lantai dua terasa lebih panjang dan sempit, seperti koridor rumah sakit jiwa yang ditinggalkan. Pintu-pintu kamar berjejer di satu sisi, semuanya tertutup rapat. Di ujung lorong, terisolasi dari yang lain, ada satu pintu. Pintu dengan angka ‘303’ yang dicat seadanya.
“Ini kamarnya,” kata Ibu Lasmi, suaranya sedikit berbisik sekarang. “Sudah lama sekali kosong. Dulu ada yang pakai, anak laki-laki seumuranmu. Baik anaknya. Tapi perginya mendadak. Seperti dikejar sesuatu, padahal yang mengejar ada di dalam dirinya sendiri.”
Kalimat itu terasa ganjil, tapi aku terlalu lelah untuk memikirkannya. Aku hanya ingin tempat untuk merebahkan badan.
“Cocok buat yang suka tenang,” tambahnya, senyum anehnya kembali.
Aku suka tenang. Tapi keheningan di depan pintu ini terasa berbeda. Bukan tenang. Ini adalah diam yang dipaksakan. Diam yang menunggu untuk dipecahkan.
Ibu Lasmi membuka pintu dengan kunci kuningan yang sudah berkarat. Pintu berderit terbuka, dan saat itulah udara di dalam kamar tumpah keluar, menyambutku. Udara itu terasa berat, seolah dipenuhi oleh partikel-partikel debu dan kenangan yang tak terlihat.
Lalu hidungku menangkapnya. Aroma yang begitu kontras dengan kelembapan dan bau apek bangunan itu.
Bau bunga melati.
Samar, lembut, tapi menusuk dengan cara yang aneh. Bukan seperti pengharum ruangan yang wangi dan menyegarkan. Ini adalah aroma melati yang dikeringkan, aroma yang sering tercium di tempat-tempat ziarah. Aroma kematian yang berusaha dibuat indah.
“Wangi melati, Bu?” tanyaku sambil melangkah masuk.
Ibu Lasmi tidak ikut masuk. Ia hanya berdiri di ambang pintu, matanya melirik ke sudut terjauh di dalam kamar. “Oh, itu. Mungkin sisa pengharum dari anak yang dulu. Nanti juga hilang ditiup angin.”
Padahal, jendela satu-satunya di kamar itu tertutup rapat dan menghadap langsung ke dinding bata gedung sebelah yang penuh lumut. Tak ada angin yang bisa masuk.
Kamarnya lebih luas dari yang kubayangkan, namun terasa kosong secara menyakitkan. Hanya ada sebuah kasur kapuk tipis yang diletakkan di lantai dan satu perabot lain yang langsung menyita perhatianku. Di sudut kamar, berdiri sebuah lemari pakaian tua.
Lemari itu tampak tidak pada tempatnya. Terbuat dari kayu jati solid yang gelap, dengan ukiran sulur bunga yang rumit di kedua pintunya. Ukiran itu begitu detail hingga dalam cahaya remang-remang, sulur-sulur itu seolah hidup, merayap perlahan di permukaan kayu. Lemari itu tampak agung dan mahal, sebuah benda pusaka yang tersesat di kamar kos kumuh.
Bau melati itu paling kuat di dekatnya.
Aku mendekati lemari itu. Tanganku terulur untuk membukanya, didorong oleh rasa penasaran. Tapi tanganku berhenti di udara. Ada perasaan enggan yang kuat, sebuah firasat yang berteriak di dalam kepalaku untuk tidak menyentuhnya. Aku menarik tanganku kembali. Mungkin terkunci. Aku tak merasa perlu untuk bertanya pada Ibu Lasmi.
Malam itu, aku tidur dengan gelisah. Keheningan kamar tidak terasa menenangkan, melainkan mengintai. Dan aroma melati itu, alih-alih memudar, justru terasa semakin pekat seiring malam yang semakin larut.
Dua hari pertama, aku memaksa diriku untuk beradaptasi. Siang hari aku habiskan di percetakan, dan malam hari aku langsung tidur, akibat terlalu lelah untuk memikirkan keanehan kamar ini. Aku sudah membayar untuk sebulan. Aku harus bertahan.
Malam ketiga, semuanya berubah.
Aku terbangun. Bukan karena suara, bukan karena mimpi. Mataku terbuka begitu saja, seolah ada jari tak terlihat yang membukanya paksa. Jantungku langsung berdebar kencang. Aku tahu ada yang salah. Aku melirik layar ponselku yang tergeletak di samping bantal. Cahayanya menyilaukan dalam gelap.
03:03
Saat itulah aku mendengarnya.
Sebuah suara. Sangat pelan, hampir menyerupai embusan napas di dalam keheningan yang total.
“Ma…af… ja…ngan… bu…ka…”
Suara itu serak, putus-putus, seperti rekaman kaset tua yang pitanya hampir putus. Aku duduk tegak di kasur, tubuhku kaku. Suara itu berasal dari sudut kamar. Dari arah lemari itu.
Kupikir aku hanya berhalusinasi. Aku menepuk-nepuk pipiku, mencoba menyadarkan diri. Tapi kemudian, aku melihatnya. Pintu lemari yang semula tertutup rapat, kini sedikit terbuka. Hanya sebuah celah vertikal yang gelap gulita. Dan dari celah itulah, bau melati menguar, kini terasa begitu tajam dan menusuk, membawa serta aroma lain yang samar… aroma kapur barus.
Dengan kaki gemetar, aku turun dari kasur dan mendekat. Aku menyalakan senter dari ponselku, mengarahkannya pada celah itu. Cahayanya seolah ditelan oleh kegelapan di dalam. Tidak ada apa-apa. Aku mendorong pintu lemari hingga tertutup rapat kembali, lalu bergegas kembali ke kasur dan menarik selimut hingga menutupi kepala. Aku memaksa diriku untuk percaya itu hanya imajinasi.
Keesokan paginya, aku mencegat Ibu Lasmi saat ia sedang menyiram tanaman di depan. Wajahku pasti terlihat pucat.
“Bu, semalam… saya dengar suara aneh dari lemari di kamar saya,” kataku, berusaha agar suaraku tidak bergetar.
Ibu Lasmi berhenti menyiram. Ia menatapku dengan matanya yang tak beriak. Lalu ia tertawa kecil, tawa kering tanpa humor. “Oh, sudah mulai kenalan dia. Jangan diladenin ya, Nak. Kalau ada suara-suara dari lemari, abaikan saja. Anggap radio rusak. Nanti juga hilang sendiri. Dulu juga ada yang begitu.”
“Anak yang sebelum saya, Bu?”
Ia mengangguk pelan. “Anak itu terlalu penasaran. Rasa penasaran itu yang membukakan pintu untuknya.” Ia meletakkan gembor airnya, lalu melangkah lebih dekat padaku. Suaranya berubah menjadi bisikan konspiratif yang membuat bulu kudukku berdiri.
“Dengar, Nak. Kalau kamu tidak kuat, jangan sekali-kali mencoba menutup pintu lemari itu dengan tanganmu.”
“Lalu pakai apa, Bu?” tanyaku, bingung.
Senyum anehnya kembali, lebih lebar dari sebelumnya. “Harus pakai mata. Tutup pintu itu dengan matamu. Caranya? Lupakan. Lupakan kamu pernah mendengarnya. Lupakan kamu pernah melihatnya. Anggap itu tidak ada. Itulah satu-satunya cara untuk menguncinya.”
Aku tidak mengerti. Tapi aku juga tidak berani bertanya lagi. Peringatan itu terasa seperti sebuah kutukan.
Aku tidak bisa melupakannya. Peringatan Ibu Lasmi justru membuat lemari itu menjadi pusat dari segala ketakutanku. Malam keempat, aku memutuskan untuk tidak tidur. Aku akan membuktikan bahwa semua ini hanyalah permainan pikiranku.
Aku duduk di lantai, bersandar di dinding, menghadap langsung ke lemari itu. Kamar gelap total. Aku hanya berbekal keberanian yang kupaksakan.
Waktu merayap. Jam satu. Jam dua. Keheningan semakin pekat. Lalu, tepat ketika ponselku bergetar pelan menandakan pukul tiga pagi, suhu di kamar turun drastis.
03:03
Kali ini bukan bisikan.
Tok… tok… tok…
Sebuah ketukan pelan datang dari dalam lemari. Ketukan yang hati-hati, ragu-ragu. Seolah seseorang di dalam sana sedang memastikan apakah ada orang di luar.
Jantungku terasa seperti akan meledak. Aku menahan napas.
Tok… tok… tok…
Ketukan itu kembali, sedikit lebih keras. Lalu, dengan suara derit kayu yang pelan dan menyiksa, pintu lemari itu mulai terbuka dengan sendirinya. Lebih lebar dari sebelumnya. Celah gelap itu kini cukup untuk dilewati seekor kucing.
Bau melati dan kapur barus menyerbu ruangan. Dan dari dalam kegelapan pekat itu, aku melihat sesuatu bergerak.
Sebuah tangan.
Tangan yang pucat pasi, seperti direndam dalam air kapur selama berhari-hari. Jari-jarinya panjang dan kurus. Kukunya hitam dan retak. Tangan itu tidak meraihku. Ia hanya meraba-raba sisi dalam pintu lemari, seolah mencari pegangan, seolah ia sendiri takut pada apa yang ada di belakangnya.
Kemudian, bisikan itu kembali, bukan dari celah lemari, tapi langsung di dalam kepalaku. Jelas dan dingin.
“Aku belum pernah melihat wajahmu secara langsung. Tapi aku sudah melihatmu… sejak kau lahir, Adi.”
Bagaimana dia tahu namaku? Rasa takut berubah menjadi teror murni.
“Jiwa yang lelah sepertimu… baunya sangat manis.”
Tangan itu perlahan-lahan keluar dari celah. Aku ingin lari, berteriak, tapi tubuhku seperti dipasung. Aku hanya bisa menatap ngeri.
“Matamu… pasti indah sekali kalau dilihat dari dekat. Aku sudah lama tidak punya mata.”
Suara di kepalaku terdengar seperti menyeringai.
“Kita tukaran, ya? Kau bisa beristirahat. Aku yang akan melanjutkan hidupmu. Kau hanya perlu menutupku di sini… pakai matamu.”
Aku menjerit. Tapi tidak ada suara yang keluar dari bibirku. Yang ada hanyalah rasa sakit yang membutakan, sebuah sensasi dingin menusuk yang berasal dari kedua mataku, menjalari saraf optik, dan meledak di dalam otakku. Pandanganku yang terakhir adalah lemari itu, sebelum semuanya menjadi gelap.
Bukan gelap biasa. Tapi ketiadaan.
Aku terbangun di lantai yang dingin. Tubuhku gemetar hebat. Tapi ada yang salah. Sangat salah.
Gelap.
Aku membuka mataku lebar-lebar, tapi tidak ada yang berubah. Tidak ada cahaya, tidak ada bayangan, tidak ada bentuk. Hanya kekosongan hitam yang tak berujung. Aku buta.
Tangisku pecah. Jeritan panik dan putus asa akhirnya berhasil keluar dari tenggorokanku. Aku merangkak, meraba-raba lantai yang dingin, berteriak memanggil nama Ibu Lasmi.
Langkah kakinya terdengar di lorong, pelan dan tidak tergesa-gesa. Pintu kamarku terbuka.
“Bu! Tolong, Bu! Saya tidak bisa melihat! Semuanya gelap!” aku meraung.
Hening sejenak. Lalu aku mendengar suaranya, datar dan tanpa simpati sedikit pun. “Sudah Ibu bilang, jangan diladeni.”
“Apa maksud Ibu?! Apa yang terjadi pada saya?!”
“Dia sudah mengambil jendelamu, Nak,” bisiknya dari ambang pintu. “Sebentar lagi, kalau kamu tidak hati-hati, dia akan mengambil seluruh rumahnya.”
Lalu aku mendengar langkah kakinya menjauh, meninggalkanku sendirian dalam kegelapan abadi ini.
Dalam keputusasaanku, aku meraba-raba wajahku. Sesuatu terasa aneh di keningku. Ada secarik kertas yang ditempel di sana. Aku merobeknya dengan gemetar. Aku tidak bisa membacanya. Aku hanya bisa merasakan tekstur kertasnya yang tipis.
Aku tidak tahu berapa lama aku terkurung dalam kegelapan itu. Mungkin satu hari, mungkin dua. Aku kehilangan orientasi waktu. Kamar 303 menjadi penjaraku. Setiap kali jam menunjukkan pukul 03:03—aku bisa merasakannya dari hawa dingin yang menusuk—aku akan mendengar suara-suara dari lemari. Kadang tawa kecil yang mengerikan. Kadang isak tangis yang menyayat hati.
Suara itu kini lebih jelas. Itu suara laki-laki. Suara yang familier. Suaraku sendiri.
“Mata ini enak sekali,” bisiknya dari dalam lemari. “Aku bisa melihat mimpimu dari dekat. Aku bisa melihat semua ketakutanmu.”
Pada malam keempat setelah kebutaanku, suara itu berubah.
“Tapi mata saja tidak cukup. Aku butuh tangan untuk menyentuh. Kaki untuk berjalan. Aku butuh tubuh… tubuhmu pas sekali, Adi.”
Aku merasakan tarikan yang luar biasa kuat, bukan pada tubuh fisikku, tapi pada kesadaranku. Rasanya seperti jiwaku ditarik paksa keluar dari ragaku, seperti sarung tangan yang dibalik. Aku melihat tubuhku sendiri, lunglai di lantai, dari sebuah sudut pandang baru yang aneh. Dari dalam lemari.
Dan dari sana, aku menyaksikan horor terakhir.
Tubuhku, ragaku yang kosong, mulai bergerak. Ia bangkit dengan kaku, lalu gerakannya menjadi luwes. Ia melihat kedua tangannya, mengepalkannya. Ia menyentuh wajahnya. Lalu, ia berbalik, menatap lurus ke arah lemari, ke arahku yang kini terperangkap.
Ia tersenyum. Senyumku, tapi bukan milikku. Itu adalah senyum kemenangan yang dingin dan mengerikan.
Makhluk yang kini memakai tubuhku itu berjalan dengan tenang ke arah pintu. Ia membukanya dan melangkah keluar. Di lorong, ia berpapasan dengan Ibu Lasmi.
“Pagi, Bu,” katanya dengan suaraku.
Ibu Lasmi hanya menatapnya, wajahnya sebuah topeng tanpa ekspresi. Lalu ia mengunci pintu Kamar 303 dari luar.
Aku telah digantikan.
Dunia tidak menyadari pergantian itu. "Adi" yang baru kembali bekerja di percetakan. Ia lebih efisien, lebih pendiam. Teman-teman kerjanya hanya berkomentar bahwa aku menjadi lebih dewasa setelah pindah ke kosan baru. Mereka tidak melihat kekosongan di mataku. Mereka tidak merasakan hawa dingin yang terpancar dari senyumanku.
Kamar 303 tetap terkunci. Tapi para penghuni lain mulai mengeluh. Mereka sering mendengar suara aneh dari kamar kosong itu di tengah malam. Terkadang suara tangisan yang teredam. Terkadang, suara cakaran panik di kayu, seperti seekor binatang yang terperangkap. Ibu Lasmi selalu menjawab dengan jawaban yang sama, "Itu hanya tikus."
Tiga bulan kemudian, secarik kertas fotokopian yang baru kembali tertempel di tiang listrik di ujung gang.
“Kosan Damai Indah. Kamar tersedia. Murah. Tenang.”
Seorang gadis muda, mahasiswi tingkat akhir yang mencari ketenangan untuk menyelesaikan skripsinya, menemukan iklan itu. Ia datang, disambut oleh Ibu Lasmi dengan senyumnya yang ganjil.
“Ada satu kamar kosong, Neng. Kamar 303. Baru saja direnovasi,” kata Ibu Lasmi, sebuah kebohongan yang diucapkannya dengan lancar.
Gadis itu melangkah masuk ke dalam kamar yang kini berbau cat baru. Cat itu berusaha keras menutupi aroma lain yang samar-samar masih tertinggal di udara. Ia meletakkan tasnya dan pandangannya tertuju pada sebuah lemari kayu tua yang megah di sudut ruangan. Tanpa sadar, ia mengulurkan tangannya, mengagumi ukiran bunganya yang indah.
Malam itu, ia akan terbangun tepat pukul 03:03.
Dan di dalam keheningan yang mencekik, ia akan mendengar sebuah bisikan baru yang putus asa, yang berasal dari dalam lemari.
Suaraku.
“Maaf… jangan buka…”
Karena lemari itu tidak pernah benar-benar kosong. Ia hanya menunggu untuk diisi kembali.