Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dua buah kertas tebal dengan desain elegan diletakkan sembarang di atas meja kasir toko kuenya. Pacar Ruby, Mas Danu yang melakukan itu. “Makan malam gala dan pemutaran film Kiamat Dari Surga?” tanyanya sembari mengernyitkan dahi.
“Kamu bilang menghubungi artis-artis buat endorse bisnis kue kamu susah sekali. Jadi, saya bawa kamu ke satu tempat yang banyak artisnya. Kamu dapat banyak kesempatan untuk mengajukan endorsement.”
“Tapi, apa bisa? Takutnya mereka justru kesal direpotkan dengan –
“Jangan takut mencoba, By. Minimal kamu dapat nomor kontak yang harus dituju. Atau alamat untuk mengirimkan sampel kue.”
Bagian otak Ruby yang menyimpan ide-ide dan pusat kreativitas bercahaya lebih terang. Ia bisa menyusupkan beberapa kue supermini untuk dicoba di acara itu. Tapi, hadir di tempat penuh selebritas yang glamor, ia juga tidak boleh tampil asal-asalan. Baju. Ia perlu gaun yang pantas. Apa lagi?
***
“Apa tidak berlebihan, By?”
Dasar laki-laki, batin Ruby. Mereka tidak pernah mengerti pentingnya penampilan bagi para wanita. Ia mematut gaun baru yang ia beli. Pantulan dari cermin menunjukkan seorang gadis penuh percaya diri dengan gaun mini tanpa lengan yang bermotif abstrak elegan. “Justru masih ada yang kurang, Mas.”
“Kurang ini, ya?” Mas Danu memeluknya dari belakang.
Ruby tertawa sambil melepaskan diri dari rangkulan kekasihnya itu. Ia harus menjaga jangan sampai gaun yang baru ia kenakan besok itu berkerut kusut. “Kurang aksesori,” katanya seraya memandang pantulannya di kaca.
Mas Danu menghela napas panjang. Sambil duduk di sofa di depan televisi, laki-laki itu berujar, “Dari koleksi kamu tidak ada yang cocok?”
Ruby menggeleng-gelengkan kepala. “Cuma dari kayu atau imitasi,” ujarnya. “Masa ke acara mewah pakai aksesori murah? Harusnya gelang emas, anting berlian....”
Ruby mengamati Mas Danu yang tidak benar-benar menonton televisi karena hanya mengganti-ganti salurannya dengan alat pengendali jarak jauh. Oleh sebab itu, Ruby melanjutkan. “Kita beli, ya?”
Sontak, Mas Danu meletakkan remote control, “Lho, kita, kan, lagi menabung untuk biaya pernikahan, By.”
Ruby menggigit bibirnya. Apa yang dibilang oleh pacarnya itu tidak salah. Apalagi keduanya sepakat untuk tidak merepotkan keluarga. Tapi, yang ia inginkan saat itu juga bukan sesuatu yang bersifat konsumtif. “Sama saja. Toh, nanti juga bakal beli perhiasan. Hitung-hitung investasi.”
“Tapi, tidak perlu seburu-buru ini, kan? Kalau survei dulu, siapa tahu kita bisa dapat lebih murah? Lagi pula, kamu masih merintis bisnis. Saya ada cicilan rumah. Budget kita ketat sekali, By.”
“Tapi, tapi... ini pesta penuh para artis, Mas. Kesan pertama itu penting. Kalau penampilanku butek, mereka bisa langsung kabur waktu disamperin.”
“Pinjam saja atau sewa.”
“Aduh, memangnya ada peminjaman perhiasan? Kalau ada juga paling-paling jaminannya besar. Mereka pasti takut dibawa kabur.”
“Bagaimana dengan Sita?”
***
Sita yang disebut-sebut oleh Mas Danu adalah teman baiknya sejak SMA. Ruby mengenal Mas Danu pun lewat sahabatnya itu. Maklum, Sita pernah bekerja di kantor yang sama dengan tunangannya itu. Sita berhenti bekerja setelah menikah dengan rekan kerja Sita yang ternyata berasal dari keluarga kaya raya.
Ruby sedikit tidak nyaman sewaktu memasuki rumah Sita. Kediaman sahabatnya itu jauh lebih bagus ketimbang rumah kontrakan Ruby yang hanya berupa satu kamar tidur, ruang tamu sempit sekaligus dapur, dan kamar mandi yang sangat kecil. Tentu saja ia minder saat menjejakkan kaki di lantai marmer mengilat rumah Sita itu. Selain itu, apa kata sahabatnya itu jika mengetahui kedatangan Ruby adalah untuk meminjam perhiasan?
“Boleh, dong!”
Ruby terlonjak sedikit dari sofa empuk yang ia duduki. Tidak menyangka, sahabatnya akan secepat itu mengiyakan permintaannya. Ia jadi merasa bersalah tidak lagi sering menghubungi Sita setelah temannya itu menikah. “Maaf, ya, Ta. Belakangan jarang tanya kabar, eh tahu-tahu datang buat pinjam perhiasan.”
Sita melambaikan tangannya pertanda tidak apa-apa. “Memang akunya juga sibuk. Setelah menikah, aku, kan, langsung bulan madu, By. Sampai dua bulan, lho. Sesudahnya, aku langsung ikut membantu bisnis ibu mertuaku.”
Setelah itu, teman sejak SMA-nya itu berdiri dan berkata, “Sebentar, ya. Aku ambilkan.”
Ruby memerhatikan sahabatnya itu. Sita lebih langsing. Wajah wanita yang baru enam bulan menikah itupun lebih berkilauan. Rambutnya dipotong sebahu dan ditata dengan ikal yang terlihat sangat natural. Meskipun turut senang dengan kehidupan Sita yang bahagia, ada terbersit sedikit rasa iri terhadap temannya itu. Bukan iri yang negatif, tapi iri yang memecutnya untuk sesukses Sita dalam hal finansial.
“Mau gelang atau anting atau apa?” tanya Sita meletakkan beberapa kotak bersampul beludru di atas meja. Ia membuka kotak paling atas. Deretan cincin dengan desain yang indah berpendaran. Ada kuning khas emas, putih bersinar, atau yang diikat dengan batu-batu menawan.
“Hm, boleh lihat yang lain dulu, nggak, Ta?”
Kotak kedua lalu dibuka. Kali ini berbagai macam gelang memanjakan penglihatannya. Jangan bayangkan aksesorinya seperti gelang kayu atau imitasi milik Ruby. Koleksi Sita semuanya tampak mewah. Sejatinya, Ruby agak bingung mendapati perhiasan itu bukan ditata rapi dalam sebuah tempat penyimpanan berbentuk lingkaran, melainkan dibiarkan saja berserakan. Sungguh sayang apabila jadi rusak karena tidak dijaga baik-baik. Tapi, pertanyaan itu langsung tertepis dengan kenyataan bahwa keadaan ekonomi Sita tentu tidak membuat itu jadi persoalan penting. Jika rusak, tinggal beli saja yang baru.
Oleh karena Ruby belum sreg, kotak ketiga dibuka dan satu detik itu juga jantungnya berhenti berdetak. Terbayang perhiasan yang ada di dalam wadah itu berpadu dengan gaun tanpa lengannya. Aksesori mewah itu akan menjadikan penampilannya sempurna. “Ini cantik sekali,” bisik Ruby seraya menyentuhkan jemarinya pada kalung yang ada di kotak ketiga. Takut-takut, ia mendongak dan menatap Sita penuh permohonan.
“Boleh, kok. Pakai saja!” ujar Sita menerbitkan senyum di wajah Ruby.
***
Acara pemutaran film yang dihadiri Ruby berlangsung meriah. Acara itu diawali dengan makan malam bersama. Mas Danu dan dirinya kebagian meja yang sama dengan Armilla Lestari, seorang aktris yang mendapat peran kecil dalam film Kiamat Dari Surga. Ruby senang sekali ketika justru wanita terkenal itu yang memulai perbincangan. Diawali dengan memuji kalung yang ia pakai, setelahnya topik percakapan mengalir lancar.
Lewat obrolan meja makan, Ruby dapat menceritakan tentang bisnis toko kuenya. Tidak, ia tidak mengajukan permohonan endorsement seketika itu juga. Ia menyodorkan sampel kue yang berukuran supermini secara diam-diam. Tas kulit nan elegan berukuran medium telah disulap sebagai tempat penyimpanan. Untunglah, Mas Danu tidak rewel karena harus menjinjing tas itu sepanjang acara. Ya, Ruby bersyukur karena rencananya sukses besar. Tidak hanya Armilla Lestari memuji kue buatannya, aktris tersebut bahkan mengenalkan Ruby kepada pesohor lainnya. Semuanya menyukai kue yang ia bawa.
***
“Ah, capek juga, ya, Mas.” Ruby membanting tubuhnya ke sofa mungil di rumah kontrakannya. “Mau langsung pulang?” tambahnya karena menyaksikan calon suaminya tidak ikut duduk di sampingnya.
“Iya, besok tetap harus kerja, By,” jawab laki-laki itu sambil meletakkan tas yang digunakan untuk membawa sampel kue bikinan Ruby ke acara tadi. Gadis itu tersenyum senang karena ia tahu betul bahwa isi tas itu sudah kosong.
“Armilla baik banget, ya, Mas. Dia langsung setuju buat endorse toko kueku. Malah Gilang Markus,” Ruby mengucapkan nama vokalis sebuah band, “sudah order 100 cupcake untuk pesta ulangtahun keponakannya minggu depan.”
“Selamat, ya, By,” kata Mas Danu dengan senyum yang sama lebarnya.
Namun, mendadak ekspresi kebahagiaan di wajah kekasih hatinya itu menghilang. Ruby bertanya-tanya. Keheranannya berubah menjadi kepanikan sewaktu Mas Danu berujar, “Kalungmu mana?” dengan suara tertahan.
***
Ruby sudah mencarinya ke mana-mana. Kantor pelayanan taksi yang mereka tumpangi sepulang dari acara sudah dihubungi. Sayangnya, ia dan Mas Danu tidak mencatat nomor taksi tersebut sehingga susah menelusuri jejak kalung pinjaman yang Ruby pakai. Gadis itu semakin panik karena ia sendiri tidak ingat kapan tepatnya kalung tersebut masih bertengger di lehernya. Ruby terlampau senang dan sibuk mempromosikan bisnis toko kuenya.
“Bagaimana, By?” tanya Mas Danu.
“Ya harus diganti.” Sudah seminggu kalung itu hilang. Tidak mungkin lagi Ruby menunda-nunda mengembalikan perhiasan itu kepada pemiliknya.
“Mahal sekali pasti, ya?” Ada sorot takut di mata laki-laki itu.
Ruby mengatur napasnya demi menenangkan diri. “Aku yang akan membereskannya, Mas,” begitu Ruby memutuskan.
Ia memaklumi ketika calon suaminya itu terlihat lega. Bukan apa-apa, keuangan Mas Danu sendiri sangat ketat. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, Mas Danu harus membayar cicilan rumah, menghidupi keluarganya, juga menyiapkan biaya pendidikan kedua adiknya. Masalahnya, Ruby juga bukan orang yang berlebih. Bisnis kuenya saja belum menampakkan keuntungan.
“Nggak apa-apa, By?”
Ruby menghadirkan senyum paling manis agar kekhawatiran kekasih hatinya itu menguap. “Tenang, Mas! Aku sudah punya rencana.”
***
Untuk kedua kalinya, Ruby berdiri di hadapan rumah mewah bertingkat dua tempat tinggal sahabatnya. Meskipun sudah pernah mengunjungi Sita, ia masih saja canggung. Apalagi, kali ini urusan pemilik toko kue itu sedikit rumit. Ruby mengintip kalung yang tersimpan di kotak beludru. Akhirnya, setelah bersusah payah, ia mampu juga mengembalikan kalung yang pernah ia pinjam itu. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah teman sejak SMA-nya itu.
“Cerita, dong. Pestanya seru, nggak?” tanya Sita.
Sita menerima perhiasan yang baru saja ia berikan. Detak jantungnya bertalu-talu. Ruby menggigit bibir demi menghalau kegelisahannya. Waktu seakan-akan melambat ketika ia mengamati sahabatnya itu menggeletakkan kotak beludru itu sembarang saja di atas meja. Perlahan-lahan, kecemasannya memudar.
“Di pesta, aku jadi dapat banyak order, lho. Urusan endorse juga lancar,” kisahnya.
Kekhawatiran di hati Ruby tidak sepenuhnya menghilang. Dalam setiap embusan napasnya, gadis itu berharap Sita tidak mengecek kotak beludru berisi kalung yang ia pinjam. Oleh sebab itu, ia menyerocos menceritakan perihal pesta sedetail-detailnya. Tanpa informasi tentang kehilangan kalung tentu saja. Lagi pula, ia sudah menggantinya, bukan? Sewaktu kunjungannya Ruby rasa cukup, tanpa mengulur waktu wanita itupun pamit diri.
Sebaik kakinya menginjak jalan raya di luar pagar kediaman Sita, Ruby menarik napas lega.
***
Ruby menyusun brownis yang telah ia potong-potong ke dalam rak pamer. Menu baru toko kuenya itu dipatok lima ribu rupiah saja. Maklum, lagi promosi.
Tiba-tiba, terdengar suara lonceng berdenting, “Selamat datang di....” Sapaannya terhenti sewaktu menyadari sosok yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam toko kue kecilnya.
“Ruby, aku nggak menyangka, deh, kamu setega itu.”
Sita. Tahulah Ruby bahwa rahasianya sudah ketahuan. Oleh sebab itu, sebelum sahabatnya itu meledakkan amarah, terburu-buru ia mendekati Sita. “Maaf, Ta. Ampun. Maaf banget. Bukan maksud aku berbohong. Kamu berhak marah. Kamu pantas benci aku. Tapi, aku terpaksa, Ta. Iya, aku menghilangkan kalung kamu. Dicari-cari nggak ketemu. Untuk menggantinya, aku nggak punya uang. Sama sekali. Makanya... makanya aku beli yang KW. Yang imitasi. Yang benar-benar mirip supaya kamu nggak sadar kalau kalung itu palsu.”
Sita tidak merespons apa-apa. Mata bulat sahabatnya itu hanya memandangi Ruby seolah-olah mesin x-ray yang mampu memindai bagian terdalam tubuhnya.
Ruby risih dilihatin seperti itu. Oleh sebab itu, ia melanjutkan, “Aku benar-benar putus asa. Aku janji aku akan menebusnya. Aku perbaiki semuanya. Aku cicil, Ta. Tolong, maafkan aku.”
“Kamu ngomong apa, sih, By? Aku datang ke sini karena Anno sudah dapat undangan pesta pernikahanmu. Sabtu ini. Tapi, kenapa aku belum? Apa aku nggak diundang?”
Apa? Otaknya terlalu penuh dengan permasalahan dan rasa bersalah karena mengganti kalung Sita dengan barang imitasi. Sedikit demi sedikit ia menguraikan kekusutan cerita yang melandanya. Ia pikir, sahabatnya itu datang karena akhirnya menyadari perbuatan curang yang dilakukan Ruby empat bulan silam itu. Tidak tahunya, Sita datang karena kecewa belum menerima undangan syukuran pernikahan darinya.
“Setelah melakukan kesalahan besar, bagaimana aku menghadapimu, Ta?”
“Jadi, gara-gara kalung kamu nggak mengundangku?”
Ruby mengangguk. “Aku malu, Ta. Sejujurnya, aku mau banget kedua sahabatku sejak SMA mendampingiku di hari pernikahan. Aku perlu kalian untuk kasih saran seputar cewek. Kamu tahu sendiri, kan, kalau Bapak Ibuku sudah nggak ada dan aku hanya punya kakak cowok. Mana mungkin Mas Awang mengerti printilan cewek?” Ia meneliti air muka sahabatnya. Tidak dapat ia menebak arti tatapan tajam sahabatnya itu. Apakah mengejeknya? Apakah memaafkannya?
“Jadi, kalung yang kamu kembalikan itu palsu?”
Anggukan Ruby lebih dalam dari sebelumnya. Selepasnya, gadis itu menunduk karena segan mengangkat kepalanya lagi.
“Ya ampun, By. Kalung itu, kan, cuma benda. Yang dapat kita beli lagi. Tapi, kita berdua sudah berteman sejak lama. Persahabatan kayak kita, mau dibeli di mana?”
Ruby manggut-manggut. “Empat bulan ini, rasa bersalah terus menghantuiku, Ta. Aku selalu ingin jujur. Bilang semuanya. Tapi, makin hari aku malah tambah takut. Maaf, Ta. Aku akan menggantinya. Aku janji.”
Tiba-tiba Sita tertawa terbahak-bahak. Melengking dan kencang sekali. Dalam hati, Ruby bersyukur sedang tidak ada pengunjung saat itu. Kalau tidak, bisa-bisa mereka akan kabur secepat kilat karena ketakutan.
“Kalau saja kamu bilang dari dulu, By, By,” ujar sahabatnya itu seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Kalung yang aku punya itu bukan yang asli. Cuma replika. Imitasi. KW!” pungkas Sita dengan tawa yang semakin bergema. “Mana mungkin aku mampu membeli perhiasan semewah itu dengan gaji suamiku yang hanya staf HRD. Rumah saja kami masih menumpang di mertua.”
Syaraf-syaraf di otak Ruby menyala dan meredup tanpa ritme. Tidak mengerti hendak bereaksi apa atas kenyataan yang baru saja ia dengar. Barulah ketika Sita memeluknya erat, gadis itu ikut tertawa bersama sahabatnya itu. Menertawakan ketidakjujuran yang telah membimbingnya kepada sebuah kesengsaraan. Menertawakan kebodohannya.
***