Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kalender Terbalik
11
Suka
2,485
Dibaca

Setiap pagi, sebelum matahari terbit, suara kecil terdengar dari jendela dunia:

“Satu hari telah berlalu.”

Lalu, seperti ritual kuno yang tak pernah berhenti sejak awal peradaban, manusia merobek satu lembar dari kalender hidupnya. Bukan kalender biasa, melainkan kalender yang ditulis langsung oleh tangan takdir.

Halaman pertama selalu berisi tanggal kematian.

Halaman terakhir… hari kelahiran.

Mereka menyebutnya Kalender Terbalik.

Dan di dunia ini, tidak ada yang lebih jujur dari selembar kertas yang semakin menipis.

Alenta menatap kalender di tangannya.

Sisa lembarnya tinggal 90.

Sembilan puluh hari.

Hanya itu yang tersisa dari seluruh hidupnya.

Ia menghela napas panjang sambil menyandarkan punggung ke kursi taman di halaman belakang sekolah. Sinar matahari sore menyentuh pipinya, sementara angin pelan membawa wangi bunga akasia dari dekat pagar.

“Lucu juga, ya…” ia bergumam. “Ternyata hidupku nggak sepanjang yang kukira.”

Bukan berarti ia takut. Rasa takut itu sudah lewat beberapa minggu lalu, tepat saat angka di kalendernya berubah dari tiga digit menjadi dua digit.

Yang tersisa sekarang hanyalah pertanyaan: apa yang akan kulakukan dengan sisa waktuku?

“Alenta!”

Suara seorang teman memanggil dari jauh. “Ayo main futsal! Jangan bengong mulu!”

Alenta mengangkat tangannya dan melambaikan kecil. “Nanti, aku nyusul.”

Padahal ia tahu, ia tidak akan menyusul.

Belakangan ini, ia lebih sering memilih duduk sendiri. Bukan karena tak punya teman, tapi karena ia mulai sadar bahwa hari-hari terasa terlalu berharga untuk dihabiskan tanpa makna.

Sebab, ada satu hal aneh yang ia sadari:

Setiap kali ia melakukan sesuatu yang berarti bagi hidup orang lain seperti menolong anak kecil yang jatuh, menemani teman yang patah hati, atau sekadar menjadi pendengar yang tulus, satu lembar baru muncul di kalendernya.

Tidak banyak. Kadang hanya satu, kadang dua.

Tapi cukup untuk membuatnya berpikir: mungkin umur tidak benar-benar bertambah dengan waktu, melainkan dengan makna yang kita tinggalkan.

Hari itu, hujan turun deras saat sekolah bubar.

Alenta memilih berteduh di aula yang sepi. Ada satu sosok lain di sana. Seorang gadis duduk di dekat jendela, menatap langit yang abu-abu tanpa ekspresi.

Ia kenal gadis itu. Anna namanya.

Anak yang jarang bicara, selalu duduk di bangku belakang, dan biasanya pulang sendirian.

Alenta sempat mau berbalik, tapi entah kenapa sesuatu seperti menahan kakinya.

Akhirnya ia berjalan mendekat, lalu duduk dua kursi darinya.

“Hujannya deras, ya,” ucap Alenta, mencoba membuka percakapan.

Anna tidak menjawab. Hanya memandangi titik-titik air di kaca. Setelah beberapa saat, ia berkata pelan, “Aku udah berhenti ngerobek kalenderku.”

Alenta menoleh cepat. “Maksudnya?”

Anna masih menatap ke luar.

“Kalenderku nggak berkurang. Udah bertahun-tahun. Karena aku nggak pernah ngerobeknya lagi.”

Itu melanggar kebiasaan paling mendasar di dunia ini.

Setiap orang harus merobek satu lembar kalender tiap pagi. Bukan karena aturan, tapi karena jika tidak, hari itu dianggap nggak pernah dijalani.

“Kenapa?” akhirnya Alenta bertanya.

“Karena hari-hari itu nggak ada artinya,” jawab Anna datar.

“Untuk apa merobek sesuatu yang bahkan nggak punya makna?”

Ada keheningan yang aneh setelahnya. Bukan hening yang canggung, tapi berat. Seperti jeda napas orang yang sudah terlalu letih untuk terus hidup.

“Apa kamu nggak takut berhenti di tempat?” tanya Alenta hati-hati.

“Aku nggak berjalan ke mana-mana, jadi nggak ada yang berhenti,” sahut Anna pelan.

Jawaban itu terus terngiang di kepala Alenta sampai hujan reda.

Hari-hari berikutnya, Alenta mulai berbicara lebih sering dengan Anna.

Awalnya hanya basa-basi. Lalu perlahan, cerita-cerita kecil tentang kehidupan mereka mulai muncul.

Tentang Anna yang kehilangan kakaknya lima tahun lalu, satu-satunya orang yang benar-benar mengerti dirinya.

Tentang bagaimana setelah itu, setiap hari terasa sama saja, seperti salinan halaman kalender yang tak pernah berganti.

“Sejak dia pergi, semua yang kulakuin rasanya nggak ada gunanya,” kata Anna suatu sore di perpustakaan. “Aku berhenti menunggu sesuatu. Lebih tepatnya aku berhenti berjalan.”

Alenta mendengarkan tanpa menghakimi.

Ia tidak memberi nasihat, tidak mencoba menyemangati dengan kata-kata manis. Ia hanya hadir di sana. Dan entah bagaimana, justru itu yang membuat Anna terus mau bicara.

Di saat yang sama, ia sendiri mulai melakukan hal-hal kecil.

Membantu teman sekelas yang kesulitan belajar.

Mengulurkan payung untuk satpam tua yang kehujanan.

Menulis surat terima kasih pada ibunya, yang selama ini jarang ia ajak bicara.

Dan setiap kali ia melakukan itu, ada keajaiban kecil terjadi. Lembar kalendernya bertambah.

Dari 90 menjadi 94.

Dari 94 menjadi 101.

Dari 101 menjadi 115.

Itu tidak membuat ia bisa hidup selamanya. Tapi cukup untuk membuatnya mengerti bahwa hidup bukan soal seberapa lama, melainkan seberapa dalam kita menjalaninya.

Suatu hari, Alenta berkata kepada Anna:

“Kalau hari-harimu terasa nggak ada artinya… mungkin bukan karena harinya kosong, bisa jadi cuma karena kita belum ngisi apa-apa di dalamnya.”

Anna menatapnya lama. “Dan kalau aku udah lupa caranya?”

Alenta tersenyum kecil. “Ya udah, biarin aku nemenin kamu jalan. Sampai kamu nemuin caranya lagi.”

Dan untuk pertama kalinya, Anna tersenyum tipis.

Bukan senyum yang besar, tapi senyum yang terasa seperti musim panas pertama setelah musim hujan yang panjang.

Hari-hari berlalu seperti lembaran kalender yang terbang tertiup angin.

Setiap pagi, Alenta bangun dan menatap angka yang semakin kecil di kalender hidupnya.

72.

63.

58.

Setiap angka yang ia robek, selalu diikuti dengan pertanyaan yang sama di dalam hati:

“Apakah aku sudah cukup hidup hari ini?”

Pertanyaan itu perlahan mendorongnya melakukan hal-hal kecil yang dulu tak pernah ia pedulikan.

Menopang teman sekelas yang terjatuh.

Menggandeng anak kecil menyeberang jalan.

Mendengarkan keluh kesah seorang nenek tua di taman.

Dan setiap kali ia melakukan sesuatu yang berarti, lagi-lagi satu lembar baru muncul di kalender hidupnya.

Angkanya bertambah satu.

Seolah semesta berkata, “Kamu sedang di jalur yang benar. Teruslah melangkah. Ini hadiahmu.”

Awalnya, Alenta yakin kalau ia cukup terus berbuat baik, hidupnya akan otomatis memanjang.

Tapi cepat atau lambat, ia sadar bahwa tidak semua kebaikan menghadirkan lembar baru. Ada saat ketika ia menolong orang hanya karena ingin melihat angka di kalendernya bertambah, hasilnya tak terjadi apa-apa.

Namun ketika ia melakukannya dengan hati yang benar-benar ikhlas, tanpa harapan, tanpa perhitungan, barulah keajaiban itu muncul.

Itu membuatnya berpikir lebih dalam.

Yang penting bukan seberapa banyak hari yang bisa ia kumpulkan, melainkan bagaimana ia memilih untuk mengisi setiap detiknya.

Suatu sore di taman belakang sekolah, tempat pertama kali mereka bertemu, Alenta menemukan Anna duduk di bangku tua yang sama. Rambut hitamnya terayun oleh angin, dan di tangannya tergenggam kalender yang sudah lusuh. Jumlah halamannya masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu.

“Masih belum kamu robek juga?” tanya Alenta, duduk di sebelahnya.

Anna tersenyum tipis. “Untuk apa? Aku udah berhenti berharap sejak lama.”

“Kamu tahu…” Alenta menatap langit jingga. “Aku juga pernah mikir gitu. Rasanya waktu cuma ngejar kita ke ujung, kayak hitungan mundur yang menuju akhir.”

Ia menunjuk kalendernya yang kini tinggal 41 lembar.

“Tapi ternyata, waktu nggak sejahat itu. Dia cuma nunggu kita mau nerima dia.”

Anna diam cukup lama sebelum akhirnya bertanya, “Lalu, apa gunanya semua ini kalau pada akhirnya kamu tetap akan sampai di halaman terakhir?”

“Supaya… ketika kita sampai di sana…” Alenta menarik napas pelan. “…kita nggak menyesal pernah hidup.”

Anna hanya terdiam. Tapi di matanya, ada sesuatu yang bergetar. Seperti air mata yang hampir jatuh tapi ditahan.

Musim berganti. Kalender terus berkurang.

30.

17.

10.

Dan pada hari ketika angka itu menjadi 3, hujan turun deras membasahi kota.

Anna meminta Alenta bertemu di taman sekolah, tempat yang selalu jadi persinggahan mereka berdua. Di tangannya ada selembar kalender yang baru saja ia sobek. Wajahnya tampak lebih hangat daripada biasanya.

“Aku udah mencobanya,” katanya pelan, menatap ke arah hujan, bukan ke Alenta. “Kemarin aku nulis surat buat ayah sama ibu. Aku bilang… aku pengen mulai lagi. Nggak tahu itu cukup atau nggak, tapi satu halaman akhirnya hilang.”

Alenta menatapnya, lalu tersenyum. “Itu berarti kamu hidup di hari itu.”

Mereka berdua tidak mengatakan apa-apa lagi.

Hanya duduk berdampingan di bawah atap taman, menatap hujan turun perlahan.

Di tengah keheningan itu, Anna akhirnya bertanya dengan suara nyaris tak terdengar:

“Berapa lagi sisa harimu?”

“Tiga.”

Sunyi.

Waktu seperti berhenti.

“Lalu… apa yang akan kamu lakukan?”

Alenta menatap hujan yang jatuh. “Menjadikan tiga hari itu… hari terbaik dalam hidupku.”

Hari pertama dari tiga hari itu, Alenta habiskan untuk menulis.

Buku catatan yang dulu hanya berisi coretan acak kini dipenuhi halaman-halaman penuh kisah, tentang hidup, tentang luka, dan tentang cinta yang tak selalu harus romantis. Di sana, ia meninggalkan sebuah pesan sederhana, seakan ditujukan untuk siapa saja yang kelak menemukannya:

Hidup bukan tentang menghitung hari sampai kita pergi, tapi tentang memberi makna pada setiap hari yang kita punya.

Hari kedua, ia menemani Anna berlari menembus hujan. Mereka tertawa seperti anak kecil, membiarkan sepatu mereka kotor dan basah.

Bagi Alenta, itu adalah hari paling hidup dalam hidupnya.

Dan hari ketiga…

Hari terakhir.

Malam itu, Alenta berdiri di taman atap sekolah.

Kalender hidupnya tinggal satu lembar.

Halaman terakhir.

Anna datang tergesa-gesa, napasnya masih tersengal. Di tangannya, ada kalendernya sendiri. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, jumlah halamannya berkurang, tersisa 364 lembar.

Ia sudah mulai merobeknya lagi. Ia sudah mulai berjalan.

“Aku takut,” ucapnya. “Aku nggak siap kehilanganmu.”

Alenta tersenyum, lembut sekali. “Tidak ada yang hilang, Anna. Aku hanya berpindah tempat.”

“Ke mana?”

“Ke dalam setiap hari yang kamu jalani setelah ini.”

Anna menggigit bibirnya, menahan air mata. “Itu nggak sama.”

“Memang nggak sama,” jawab Alenta pelan. “Tapi itu cukup.”

Dan ketika detik berlalu, angin malam berembus dan dunia menjadi sunyi…

Alenta merobek halaman terakhir kalender hidupnya.

Lembaran itu melayang di udara, lalu lenyap seperti serpihan cahaya. Tubuhnya perlahan memudar, tapi senyumnya tetap ada.

Sebelum menghilang sepenuhnya, ia berkata:

“Terus robek halaman itu, Anna. Dan kalau kamu sampai di lembar terakhir… kita akan ketemu lagi.”

Bertahun-tahun kemudian, Anna berdiri di tempat yang sama.

Tangannya gemetar memegang kalender yang kini hanya tersisa satu lembar.

Ia sudah menulis banyak cerita, menolong banyak orang, menjalani banyak hari, semuanya bermula dari satu percakapan sederhana di tempat ini.

Dengan mata terpejam, ia merobek halaman terakhirnya.

Lembaran itu melayang perlahan, seindah salju pertama yang jatuh ke bumi.

Dan sebelum menghilang, angin sore membawa suara yang sangat ia kenal, hangat dan akrab:

Selamat datang kembali.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Diari SSRKJSM
Chie Kudo
Cerpen
Kalender Terbalik
Fredhi Lavelle
Novel
Bronze
Jarak
Ardi Rai Gunawan
Komik
Bronze
Hidden Feelings
Nami Taki
Flash
Bronze
Pacaran
Rena Miya
Flash
Inem
Irma Susanti Irsyadi
Flash
Bronze
Cita-cita Wina
Leni Juliany
Cerpen
Tekanan
M. Ferdiansyah
Novel
Komorebi
Fitri F. Layla
Novel
Gold
My Soulmate
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Among 1998
Ira Madan
Skrip Film
The barbershop
fasya aditya
Flash
Menggambar Matahari
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
Pulang
Nasrani Lumban Gaol
Novel
Bronze
Sun's Economic.
Aurellia Angelie
Rekomendasi
Cerpen
Kalender Terbalik
Fredhi Lavelle
Cerpen
Bronze
LILIN
Fredhi Lavelle
Cerpen
Perpustakaan Bayangan - Perpustakaan yang Menyimpan Hari-Hari yang Tidak Pernah Terjadi
Fredhi Lavelle
Cerpen
Taman di Atap Sekolah
Fredhi Lavelle
Novel
Benang Takdir
Fredhi Lavelle
Cerpen
AfterChat
Fredhi Lavelle
Cerpen
Hujan yang Tak Pernah Turun di Hari Selasa
Fredhi Lavelle
Cerpen
Bronze
LANGIT YANG TIDAK PERNAH BERNAMA
Fredhi Lavelle