Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kalau Aku Ganti Suami?
2
Suka
945
Dibaca

Malam itu, pukul delapan tepat. Lampu gantung ruang makan disetel ke mode

“Rapat Direksi”

Cahaya putih menusuk, tanpa lilin, tanpa romantisme. Tak ada musik lembut, hanya dengung kipas angin dan dentingan sendok di gelas yang belum sempat dicuci. Di meja, aroma kopi basi bersaing dengan wangi parfum Laras yang masih bertahan sejak rapat sore tadi.

Di depan Laras, bertumpuk print-out laporan rumah tangga setebal Alkitab, dengan stabilo warna-warni seperti pelangi yang sedang stres. Di sebelah kanan, proyektor mini siap menayangkan PowerPoint berisi empat puluh slide. Di seberangnya, duduklah Agus, suaminya, dengan dada membusung, tangan terlipat, dan ekspresi ‘serius tapi bingung’ khas pejabat RT yang tiba-tiba disuruh tanda tangan APBD.

“Selamat malam, Saudara Agus,” buka Laras datar, seperti auditor yang kehilangan empati.

“Terima kasih atas kehadiran Bapak yang tepat waktu—meski undangan sudah dikirim via email, WA pribadi, dan post-it di kotak rokok Bapak. Kita langsung ke agenda utama.”

Agus berdeham, lalu menarik kursinya sedikit ke belakang, seolah ingin menciptakan jarak aman dari aura profesional istrinya.

“Ras, ini rumah, bukan kantor. Tolong bedakan suasana domestik dan korporat.”

Laras menatapnya seperti HRD menatap karyawan yang baru saja telat absen. Ia mengambil pena, menulis sesuatu di kertas notulen.

“Baik, catatan pertama: Bapak Agus merasa suasana rumah terlalu profesional. Akan dimasukkan ke kolom ‘Masalah Persepsi terhadap Efisiensi’.”

Agus mengangkat alis, mencoba sarkasme.

“Kalau gitu, boleh saya pesan kopi dulu, Bu Direktur?”

“Silakan, Pak. Tapi mohon ingat, anggaran kopi bulan ini sudah over budget lima belas persen. Kalau mau seduh, pastikan airnya tidak berasal dari galon kantor.”

Agus menatapnya lama.

“Ya ampun, bahkan air pun kini masuk laporan keuangan.”

Laras tersenyum tipis tanpa menatapnya.

“Transparansi adalah fondasi keharmonisan, Pak.”

Ia menekan tombol di remote. Slide pertama muncul—judul besar, huruf kapital:

1.1. COST OF GOODS SOLD (COGS): Beban Operasional Kopi Agus

“Bapak Agus, pengeluaran untuk kopi meningkat lima belas persen dari kuartal lalu. Total: tiga juta dua ratus ribu rupiah. Padahal, penghasilan Bapak dari proyek lepas menurun dua puluh persen.” ujar Laras sambil menyorot laser pointer ke grafik merah yang naik seperti tekanan darahnya.

Agus yang tadinya duduk tegap langsung melorot sedikit. Ia melirik grafik itu seperti melihat nilai ujian anaknya yang jeblok.

“Itu... itu kan bukan pemborosan, Ras. Kopi itu investasi. Bahan bakar spiritual, tahu?”

“Bahan bakar spiritual yang tidak menghasilkan laporan akhir, Pak.”

Agus berusaha tersenyum, mencoba gaya khas bapak-bapak yang sok bijak.

“Kalau saya nggak ngopi, Ras, bisa kacau semua ritme hidup ini. Kopi itu filosofi. Dia menenangkan, menginspirasi, bikin saya berpikir jernih tentang masa depan.”

Laras menutup map, mencondongkan tubuh.

“Menarik. Boleh saya tahu, hasil pemikiran jernih Bapak minggu lalu apa, selain ranking global akun Mobile Legends naik dua level?”

Agus terbatuk, lalu menyesap air putih dengan gaya dramatis, seolah itu espresso terakhir di dunia.

“Saya sedang... melakukan riset pasar, Ras. Lihat tren global, banyak freelancer sukses kerja dari kafe.”

“Riset pasar di Warung Kopi Bu Darmi jam sepuluh malam?” tanya Laras, menaikkan satu alis.

“Itu bagian dari studi lapangan. Saya menyelami ekosistem ekonomi rakyat,” jawab Agus mantap.

“Kalau begitu, saya akan masukkan biaya kopi Bapak ke kategori CSR – Cangkruk Sosial Rakyat.”

Agus pura-pura tertawa.

“Nah, itu baru adil.”

Laras mengganti slide. Layar menampilkan tulisan besar:

2.0. ROI EMOSIONAL DAN KOGNITIF.

 Slide-nya kosong—hanya tulisan

“Data Tidak Ditemukan.”

Sunyi sesaat.

“Dalam 90 hari terakhir, tidak ada output emosional yang terdeteksi dari pihak Bapak. Ketika saya bilang ‘Saya lelah’, Bapak menjawab: ‘Namanya juga perempuan karier, wajar.’”

Agus mengangkat tangan seperti pengacara.

“Tapi itu kan... bentuk empati versi laki-laki, Ras. Version 1.0. Kami menunjukkan perhatian lewat logika, bukan drama.”

Laras memiringkan kepala, seperti ilmuwan yang baru menemukan spesies aneh.

“Versi yang gagal quality control, Pak.”

Agus berusaha tersenyum lagi, kali ini kecut.

“Kalau begitu... boleh di-update ke versi 1.1? Saya siap evaluasi performa.”

“Bagus. Evaluasi pertama: mulai besok, ucapkan ‘Saya mengerti kamu lelah’ tanpa disertai kata ‘tapi’.”

Agus terdiam, menatap grafik defisit di layar. Dalam hati, ia bergumam lirih,

Kalau begini terus, saya butuh subsidi emosional dari negara...

Agus menatapnya seperti orang yang baru sadar bahwa dirinya adalah subjek penelitian. Laras menekan remote, dan grafik batang penuh warna muncul di layar. Angkanya rapi, warnanya indah, tapi isinya bencana.

“Baik, kita masuk ke bagian tiga, 3.1. KPI Dapur.”

Ia membacakan dengan gaya presenter laporan tahunan.

  1. Target: mencuci piring maksimal 30 menit setelah makan.
  2. Realisasi: piring menumpuk tiga hari.
  3. Alasan: ‘Piring kotor adalah bukti kemakmuran keluarga.’
  4. Sanksi: denda lima puluh ribu per hari, dipotong dari anggaran kopi.

Agus langsung mengangkat tangan tinggi seperti anggota DPR yang baru teringat punya suara.

“Saya protes! Saya ini pemimpin, Ras. Masa saya disuruh cuci piring? Itu kan di luar job description kepala rumah tangga!”

Laras melirik tanpa mengubah posisi duduk.

“Pemimpin apa, Pak? Pemimpin koloni jamur?”

Suasana sejenak hening, kemudian terdengar suara tawa tertahan dari arah dapur. Rupanya, Bintang sedang merekam dari balik kulkas, membuat video untuk konten tugas sekolahnya.

‘Rapat Orang Tua Vol. 3’

Agus melirik ke arah kamera, berusaha menjaga wibawa.

“Hei, hapus itu, Bintang. Ayah sedang... coaching session.”

“Tenang, Yah. Ini buat dokumentasi. Mama bilang harus ada bukti visual.”

Laras tersenyum kecil.

“Bagus. Anak kita sudah paham audit trail.”

Slide berikutnya muncul, berganti warna hijau pastel.

 3.2. KPI Kepuasan Pelanggan (Stakeholders: Bintang & Bulan)

  1. Target: pastikan anak-anak makan sehat dan kerjakan PR.
  2. Realisasi: dua kali sarapan mi instan, empat kali PR gagal karena ‘Ayah tidak mengerti aljabar modern’.
  3. Feedback Anak (via chat): “Mama, Ayah itu manajer buruk. Rating: 2/5.” – Bintang, 10 tahun.

Agus menatap tulisan itu lama, seperti membaca surat pengunduran diri dari anaknya sendiri.

“Anak sendiri jadi karyawan pengkhianat,” gumamnya getir.

Dari ruang tengah, terdengar tawa kecil Bulan yang ikut menonton dari tablet.

“Ayah, kalau mau naikin rating, kasih aku izin nonton TV satu jam lagi, deh.”

Agus menghela napas panjang.

“Nih anak sudah belajar negosiasi kayak startup.”

“Itu namanya transparansi internal, Pak Agus. Anak-anak sudah mulai paham konsep akuntabilitas.”

“Akuntabilitas apanya? Saya cuma lupa ganti mi instan jadi nasi goreng. Masa itu dianggap gagal?”

“Kalau dua kali berturut-turut, Pak, itu bukan lupa. Itu pattern,” sahut Laras cepat.

Agus melirik layar penuh grafik dan tulisan merah.

“Ras, kamu sadar nggak, keluarga ini udah kayak korporasi? Aku takut besok anak-anak minta bonus tahunan.”

“Kalau performa bagus, kenapa tidak?”

“Minimal ada penghargaan ‘Ayah Inspiratif Bidang Kebersihan Piring’.”

Agus terdiam, lalu berbisik lirih,

“Saya rindu masa-masa dulu... waktu rapat rumah tangga cukup pakai wajah manis dan teh hangat.”

Laras menatapnya, senyum tipis di bibirnya.

“Sekarang zamannya digital, Pak. Romantisme sudah di-backup di Google Drive.”

“Kehangatan? Yang kamu maksud mungkin suhu ruangan akibat kamu lupa matikan kompor waktu bikin kopi tengah malam.”

Ia klik lagi slide.

4.0. Mitigasi Risiko: Proyeksi Suami V.2.0

Flowchart muncul di layar, penuh panah warna-warni seperti presentasi investor.

Laras berdiri, memegang laser pointer seperti CEO yang siap memecat direktur keuangannya sendiri.

Status Quo (Agus V.1.0): High Cost, Low Output.

Opsi A: Re-Training & Restructuring.

Opsi B: Cut Loss & Replacement.

Agus menelan ludah.

“Ras, kamu bikin aku kayak... proyek gagal startup ya?”

“Analogi yang akurat, Pak. Performa turun, tapi biaya operasional tetap tinggi. Kita harus realistis.”

Ia menyorot pointer merah ke arah Opsi B.

“Jika performa terus menurun, saya akan pertimbangkan migrasi sistem: Suami V.2.0.”

 Klik.

 Slide berikutnya muncul.

Siluet pria tampak gagah sedang memasak di dapur, satu tangan mengaduk sup, tangan lain menggendong bayi. Tulisan di bawahnya elegan seperti brosur produk elektronik:

Model: Supportive Stay-at-Home Dad (SSD) Plus.

Fitur: Emotional Intelligence 5.0, Multi-Tasking Expert, Zero-Complaint System.

Warranty: Lifetime Empathy Guarantee.

Compatible with High-Performance Wife Series.

Agus menatap layar itu seperti melihat iklan motor yang mencuri hatinya—tapi kali ini, yang dicuri adalah posisinya.

“Laras, kamu mau upgrade suami? Ini bukan ponsel!” suaranya melengking sedikit, antara panik dan geli.

“Tapi konsepnya sama, Pak. Kalau sistem sudah lambat, sering hang, dan sulit menerima update, wajar kalau kita pertimbangkan replacement.”

Agus menatap istrinya, lalu menatap siluet pria di layar yang tampak terlalu sempurna.

“Gila, bahkan bayinya kelihatan nurut. Lihat tuh, nggak nangis! Aku aja tiap hari dimarahin, Ras.”

“Karena bayi itu fiktif, Pak. Namanya proyeksi ideal. Di dunia nyata, kamu bahkan belum pernah gendong cucian basah tanpa mengeluh.”

Agus menyandarkan punggung, mengangkat alis mencoba bertahan dengan humor.

“Baiklah, tapi Suami V.2.0 itu harganya berapa, Ras? Aku bisa tawar. Kalau bisa, trade-in aja, pakai suami lama tambah uang kopi.”

Laras menatapnya datar, tapi bibirnya menahan tawa.

“Sayangnya, suami bekas performa rendah tidak memiliki nilai tukar di pasar modern, Pak.”

Agus menghela napas, menatap layar yang kini berganti menampilkan grafik baru berjudul :

Cost Efficiency & Emotional Output Comparison

Di sisi kiri, foto dirinya sedang main game di sofa; di sisi kanan, siluet Suami V.2.0 dengan celemek bertuliskan

I Support Equality

Laras menjelaskan seperti dosen ekonomi rumah tangga.

“Model V.2.0 ini, Pak, tidak hanya efisien secara emosional, tapi juga memiliki sustainability mindset. Tidak mudah tersulut ego, dan mampu menciptakan positive work-life synergy.”

Agus mengangkat tangan, kali ini menyerah,

“Kalau gitu, aku minta pelatihan dulu, Ras. Upgrade firmware versi 1.0 ke 1.5 deh. Jangan langsung uninstall!”

“Bagus,” kata Laras sambil menekan tombol terakhir pada remote.

Slide berganti menjadi teks besar:

Re-Training Schedule – 3 Bulan Masa Percobaan. Failure = Termination.

Agus menelan ludah lagi. “Tiga bulan? Ini kayak kontrak magang, ya?”

“Ya, tapi tanpa uang saku,” jawab Laras sambil merapikan dokumennya.

Agus terdiam lama.

“Saya harusnya baca kontrak pernikahan dulu sebelum tanda tangan.”

Laras menatapnya sekilas, lembut tapi menusuk.

“Itu kesalahan klasik pengguna V.1.0, Pak. Tidak pernah baca terms and conditions.”

Agus hanya bisa menatap layar terakhir yang kini menampilkan quote motivasi:

Don’t be afraid to upgrade. Old systems may have memories, but new ones have better performance.

Ia mendesah panjang, lalu berkomentar lirih dengan wajah nelangsa:

“Ras, kalau nanti Suami V.2.0 kamu bisa nyuci piring sambil nulis puisi, tolong kasih tahu saya ya. Biar saya resign dengan tenang.”

“Baik, Pak Agus. Tapi sampai hari itu tiba, kamu masih versi beta tester di rumah ini.”

Laras menekan tombol terakhir pada remote, dan layar menampilkan slide penutup bertuliskan besar-besar:

Action Plan & Performance Contract.

Ia menegakkan badan, menggeser kacamata, lalu berkata tenang,

"Baik, setelah mempertimbangkan risiko kehilangan sebagian aset dan biaya akuisisi yang tinggi untuk Suami V.2.0, saya memutuskan satu hal: proyek pergantian suami akan ditangguhkan selama tiga bulan. Ini masa percobaan."

Agus mendongak cepat, seolah mendapat perpanjangan napas hidup.

“Tiga bulan? Jadi... aku masih dipertahankan?”

“Ya, tapi statusmu sekarang under supervision. Program ini bernama Intensive Monitoring & Performance Adjustment.

Ia menyodorkan selembar kertas ke arah Agus. Di atasnya tertulis rapi:

Kontrak Perbaikan Kinerja Suami V.1.0 (Masa Percobaan)

Agus membaca isinya dengan mata membesar.

  1. Laporan Harian: kirim foto rumah bersih pukul 17.00 setiap hari.
  2. Dukungan Emosional: berikan tiga pujian tulus kepada istri sebelum pukul 09.00.
  3. Kepatuhan: dilarang menggunakan frasa “Kepala Rumah Tangga” kecuali telah mencuci piring tujuh hari berturut-turut.
  4. Sanksi: pemotongan 70% uang saku dan kuota game jika target tidak tercapai.

Agus menatap istrinya seperti baru mendengar vonis pengadilan.

“Tujuh puluh persen, Ras? Itu bukan pemotongan, itu amputasi finansial.”

“Insentif, Pak. Biar termotivasi.”

Agus menghela napas panjang, memutar pena di jarinya seperti politikus yang kalah debat.

"Boleh nggak ditambah pasal baru? Kalau performa saya bagus, saya dapat bonus, misalnya... kopi premium dua sachet per minggu?"

“Boleh. Tapi kalau performa turun, kamu hanya boleh minum air putih dan teh celup bekas.”

Bintang dan Bulan yang sedari tadi duduk di sudut ruang langsung bertepuk tangan kecil.

“Mama keren banget! Ini kayak rapat HR!” seru Bulan.

“Boleh aku jadi bagian tim monitoring, Ma?” tanya Bintang semangat.

Agus menatap mereka dengan tatapan pilu.

“Anak-anak, kalian sadar nggak, kalian ini calon komisaris keluarga yang terlalu muda.”

Laras menandatangani bagian atas kertas, lalu mendorongnya ke arah Agus.

“Silakan tanda tangan di sini, Pak. Setelah itu, kita bisa menutup rapat.”

Agus menggenggam pena seperti menggenggam nasib.

“Tanda tangan pakai tinta merah boleh? Biar dramatis?”

“Silakan, asal jangan pakai darah,” jawab Laras datar.

Ia menandatangani dengan tangan gemetar.

“Dengan ini, saya, Agus V.1.0, berjanji untuk tidak crash secara emosional, tidak lag dalam tugas rumah tangga, dan tidak error saat mendengarkan istri berbicara.”

“Sumpahmu diterima, Pak.”

Suasana hening sejenak. Hanya bunyi kipas angin dan jam dinding yang terdengar.

Tiba-tiba Agus berseru pelan, mencoba melucu,

“Eh, Ras... boleh nggak kalau aku bikin grup WhatsApp sendiri? Namanya ‘Tim Evaluasi Suami’ biar aku bisa curhat sama cowok-cowok senasib.”

“Silakan, Pak. Tapi tolong pastikan grupnya produktif. Jangan berakhir jadi forum pengaduan nasional.”

“Baik, Bu Direktur.”

Laras mematikan proyektor, merapikan berkas, lalu berdiri.

“Rapat direksi rumah tangga ditutup. Terima kasih atas partisipasi Bapak Agus. Besok pagi, Action Item 1: sarapan gizi seimbang. Saya tidak menerima mi instan.

Agus berdiri pelan, memberi hormat dengan gaya prajurit kalah perang.

“Siap, Ibu CEO Rumah Tangga.”

Begitu Laras melangkah ke kamar, Agus menatap tumpukan piring di dapur. Ia menghela napas panjang, mengikat celemek dengan wajah nelangsa, lalu berbisik pada dirinya sendiri,

“Oke, Suami V.1.0 mulai operational recovery. Kalau saya gagal, mungkin saya akan di-shutdown permanen.”

Ia menatap spons di tangannya, lalu berseru lirih ke arah kucing peliharaannya yang duduk di meja,

“Kucing, kalau nanti aku nggak kuat, tolong kirim laporan performa ke Mama, ya.”

Kucing itu mengeong pendek. Agus mengangguk.

“Baik, berarti disetujui.”

“Dan jangan lupa, Pak—laporan foto sebelum jam lima sore!”

“Siap, Bu... Versi 1.0 masih berfungsi.”

Ia tersenyum kecil, menatap refleksinya di permukaan panci yang mulai berkilau, lalu bergumam,

“Ternyata, mempertahankan cinta juga butuh audit.”

Malam itu, setelah Agus selesai mencuci piring dengan ekspresi seperti orang baru gagal tender proyek, Laras duduk kembali dan membuka laptopnya. Ia membuka spreadsheet baru dengan judul tegas:

Simulasi: Jika Aku Ganti Suami?

Laras mengetik cepat. Angka-angka muncul di layar, kolom demi kolom.

Ia tersenyum kecil, gaya senyum seseorang yang tahu logika selalu lebih jujur daripada janji.

Skenario A: Suami V.1.0 (Agus) – Status Saat Ini

  1. Pengeluaran kopi premium: Rp 3.200.000
  2. Kuota internet + game online: Rp 400.000
  3. Denda piring tidak dicuci (rata-rata 2x seminggu): Rp 400.000
  4. Sarapan mi instan + takeout darurat: Rp 600.000
  5. Biaya emosional (belum bisa dihitung secara nominal, tapi dampaknya: migrain mingguan).

Total estimasi: Rp 4.600.000 + tekanan darah.

Ia menarik napas panjang, lalu mengetik kolom berikutnya.

Skenario B: Suami Baru (V.2.0 – Supportive Stay-at-Home Dad Plus)

  1. Biaya akuisisi awal (perkenalan, pendekatan, PDKT, dan pengenalan anak): Rp 2.500.000
  2. Potensi maintenance: makan sehat bareng, nonton film, piknik bulanan: Rp 1.500.000
  3. Emosi stabil, tanpa perlu terapi mingguan: Nilai tak ternilai (ROI +50%)
  4. Risiko: adaptasi anak-anak, kecemburuan sosial, biaya pindahan hati.

Total estimasi: Rp 4.000.000 dengan potensi kebahagiaan lebih tinggi.

Laras mengetik catatan di bawah tabel:

Kesimpulan: Secara finansial, mengganti suami tidak jauh berbeda biayanya. Bedanya hanya pada jenis stres yang dihadapi.

Ia menyandarkan punggung ke kursi. Layar laptopnya memantulkan wajahnya sendiri—dingin tapi ada senyum samar di sana.

“Ternyata biaya mempertahankan suami sama mahalnya dengan mengganti.”

Ia mengetik lagi satu baris kecil di catatan bawah:

Kadang, yang perlu diganti bukan orangnya, tapi sistemnya. Kalau Agus bisa di-upgrade, mungkin versi berikutnya justru lebih kompatibel.

Saat Laras sedang menatap hasil kalkulasinya, Agus tiba-tiba muncul di pintu kamar sambil membawa nampan.

Di atasnya: segelas susu hangat dan dua potong roti panggang gosong setengah.

“Mbak Direktur, laporan sarapan untuk besok sudah saya siapkan. Tes uji coba versi 1.0.1.”

“Roti gosong, tapi niatnya hangat.”

"Namanya juga beta version, masih banyak bug."

Laras menutup laptopnya perlahan.

“Tahu nggak, Gus? Tadi aku baru hitung, kalau aku ganti kamu, ternyata biayanya hampir sama.”

“Oh ya? Tapi suami baru belum tentu bisa cuci piring dengan gaya seganteng aku, kan?”

“Hmm, soal itu... tergantung siapa vendor-nya.”

Mereka tertawa kecil bersama.

Untuk sesaat, angka-angka di spreadsheet terasa tak berarti.

Cinta—meski penuh hitungan dan evaluasi—masih punya ruang untuk humor kecil di antara gosongnya roti dan niat baik yang kikuk.

“Baiklah, Pak Agus. Sistem belum diganti. Kita lanjutkan masa percobaan. Tapi saya ingin lihat ROI emosional meningkat bulan depan.”

Agus mengangkat gelas susu, memberi hormat.

“Siap, Bu Direktur. Demi KPI dan kelangsungan rumah tangga, saya siap lembur.”

Dalam hati ia tahu—kadang, mempertahankan versi lama lebih jujur daripada membeli yang baru. Selama masih mau update firmware hati, sistem ini masih bisa jalan.

Malam sudah larut. Rumah sunyi, hanya terdengar bunyi lembut mesin cuci yang bekerja tanpa keluhan — berbeda dengan suaminya yang tadi hampir minta cuti harian.

Laras duduk di tepi ranjang, menulis sesuatu di buku catatannya yang bersampul biru:

“Kadang cinta bukan soal mengganti, tapi memperbaiki. Karena tak ada sistem yang benar-benar sempurna — hanya butuh waktu untuk diperbarui.”

 Ia menatap Agus yang tertidur pulas di sampingnya,. Mungkin cinta memang seperti bisnis keluarga kecil — penuh laporan, salah hitung, dan revisi. Tapi kalau dijalankan dengan kesabaran, neraca emosi bisa kembali seimbang. Laras menutup bukunya, mematikan lampu, dan tersenyum.

“Versi 1.0 masih berfungsi.”

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
KKPK Me and My Cute Cat
Mizan Publishing
Novel
IN THE LIGHT OF FOUR
mahes.varaa
Cerpen
Kalau Aku Ganti Suami?
Mer Deliani
Novel
Bronze
Pelangi Dibalik Hujan
Demelza Fidelia
Novel
Waktu yang Salah
Tetes Sedan
Novel
Gold
Holiday in Japan
Mizan Publishing
Novel
Yang Tenggelam di Dasar Kenangan
Herman Trisuhandi
Novel
Kala Cinta Bukan Berwarna Merah
ab
Skrip Film
Aku Wanita
zae_suk
Skrip Film
Didi Birthday
Jesslyn Kei
Skrip Film
Matahari Dan Rembulan
Rosidawati
Novel
Bronze
LOVE, ANDRA
Embun Pagi Hari
Novel
Taman Bintang
Akhmad Sekhu
Skrip Film
Semester 5 yang penuh warna
Mochammad Ikhsan Maulana
Flash
Rupawan yang Terbuang
liszzah
Rekomendasi
Cerpen
Kalau Aku Ganti Suami?
Mer Deliani
Novel
Jangan Sentuh Lukaku
Mer Deliani
Novel
La Arus
Mer Deliani
Flash
Payung Hitam
Mer Deliani
Cerpen
Bronze
Utang Dulu, Man!
Mer Deliani
Cerpen
Ardi Si Cadet yang Beruntung
Mer Deliani