Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Bronze
Kala Sepi Melanda
0
Suka
610
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Namaku Bila.

Aku kehilangan Ayah dan Ibu saat baru duduk di bangku kelas satu SD. Sejak itu, hidupku tak lagi sama. Rumah demi rumah kutinggali tante, om, berganti-ganti, tapi tak satu pun yang benar-benar bisa kusebut sebagai rumahku sendiri.

Usiaku baru tujuh tahun kala itu, namun hari-hariku dipenuhi tugas-tugas rumah yang terlalu besar untuk tubuh kecilku. Bangun paling pagi, membersihkan setiap sudut, mencuci, menyapu halaman semuanya kulakukan tanpa banyak bertanya. Karena hidup menumpang berarti tak boleh banyak menuntut.

Aku ingin seperti teman-temanku. Belajar dan bermain tanpa beban. Tapi aku harus membiasakan diri dengan bentakan jika salah, atau bahkan hanya karena lupa menyiram tanaman. Tapi aku tak pernah menunjukkan kesedihan. Aku belajar tersenyum, meski di dalam hati aku tahu: sepi itu selalu mengintai saat aku sendiri. Dan rindu itu, rindu pada Ayah dan Ibu, tak pernah benar-benar hilang.

Pagi ini hari libur. Tapi pagi itu juga aku kembali dibangunkan oleh suara tinggi tante Sarah.

“Bila, kamu itu harus tahu diri! Udah numpang, jangan manja!”

Aku hanya bisa menunduk.

“Maaf, tante…” suaraku nyaris tak terdengar.

Om Herman keluar dari kamar mandi, wajahnya tampak tak tega.

“Sudahlah, jangan terlalu keras ke Bila. Nanti tetangga dengar,” katanya pelan.

“Iya, iya, bela aja terus keponakanmu yang pemalas itu!” gerutu tante Susan sambil berjalan pergi, membiarkan kami berdua di ruang tamu yang kembali sunyi.

Om hanya menoleh padaku.

“Bila, lain kali bangun lebih awal ya. Jangan bikin tante marah lagi.”

“Iya, Om…”

Tak lama kemudian aku mulai membersihkan rumah seperti biasa. Menyapu, mengepel, menyiram tanaman. Padahal perutku kosong sejak tadi malam. Tapi aku terlalu takut untuk makan sebelum diizinkan. Di rumah ini, keterlambatan dianggap kesalahan yang harus dibayar dengan kehilangan hak.

Selesai pekerjaan, aku mencuci seragam sekolahku lalu mandi. Jam sembilan pagi, semua tugas selesai. Aku ke dapur, menahan rasa lapar yang mendera sejak subuh.

“Tante… Bila lapar...” ucapku pelan.

Tante Sarah memutar tubuh dan memandangku tanpa ekspresi.

“Lapar? Tadi kamu telat bangun, jadi makan siangmu nggak ada. Ini makan sekalian buat sarapan dan makan siang.”

Ia menyerahkan sepiring nasi dan sepotong telur dadar. Tanpa kata, aku menerimanya. Aku tahu tak ada gunanya membantah. Setelah makan, aku mencuci piring lalu kembali ke kamar. Rumah mulai sepi tante dan om pergi bersama sepupuku ke luar. Aku ditinggal lagi, seperti biasa.

Kadang aku ingin sekali merasakan hari seperti sepupuku dibelikan mainan, jalan-jalan, tertawa di kursi belakang mobil sambil makan camilan. Tapi sejak Ayah dan Ibu tiada, semua itu hilang. Kini diberi tempat tidur dan kebutuhan sekolah saja aku sudah diajarkan untuk bersyukur.

Di sekolah, aku hanya punya satu teman Mal...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp4.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bronze
Kala Sepi Melanda
ThidaRak
Cerpen
Bronze
Jejak Dunia Maya
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Seperti mati, hidup juga punya banyak alasan
tseasalt
Cerpen
Bronze
Kepergian Yu Sekar
Titin Widyawati
Cerpen
Beranda Kecil
Penulis N
Cerpen
Bronze
Kerja, Kerja, Dikerjain
spacekantor
Cerpen
Obral Obrol Tetangga
Lovaerina
Cerpen
Para Pencari Kerja
zain zuha
Cerpen
Bronze
Bintang Kecil di Jendela
Novita Ledo
Cerpen
Melesat Sat Set: Di Antara Peluh, Paket, dan Perjuangan Tanpa Batas
Tresnaning Diah
Cerpen
Bronze
Elysera Surga yang Terkurung
go han
Cerpen
Bronze
Sore Hari Setelah Ibu Tiada
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
15 Tahun Untuk Apa?
Novita Ledo
Cerpen
Bronze
Dimana Surgamu, Buk?
Novita Ledo
Cerpen
Bronze
Bacaan untuk Seb
Amarta Shandy
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Kala Sepi Melanda
ThidaRak