Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kakek yang Suka Duduk di Tepi Jalan
0
Suka
26
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pukul empat sore.

 

Seperti biasa, deru sepeda motor melintas berkali-kali. Suara pengendaranya bersahutan dengan penumpang yang berbicara di belakang. Mobil-mobil sesekali menyusul, tidak mau ketinggalan menghapus suasana tenang kompleks tempatku tinggal. Dentuman suara musik samar terdengar dari dalamnya, menciptakan riuh yang mengisi udara kompleks setiap petang

 

Terhalang satu rumah dari rumahku, seorang laki-laki tua berpakaian rapi dengan kemeja lengan pendek yang dimasukkan ke dalam celana panjangnya membuka gerbang rumahnya sambil membawa sebuah kursi lipat. Kursi itu dia letakkan persis di depan rumahnya yang mungil lantas dia duduk di sana, memandang orang-orang yang lewat dan kendaraan yang lalu lalang.

 

Jam segini, jalan depan rumahku memang ramai. Sama halnya dengan pagi hari. Orang-orang menggunakan jalan ini sebagai jalan pintas. Entah untuk mengantar-jemput anaknya dari sekolah swasta yang berdiri tidak jauh dari rumahku, atau untuk berangkat dan pulang kerja.

 

Khusus di sore hari, ada sebuah pemandangan menarik di dekat rumahku. Pak Atmo, salah satu tetanggaku, punya ritual yang biasa dia lakukan sejak satu tahun yang lalu. Dia tinggal sendirian di rumahnya. Istrinya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dan ketiga anaknya menetap di luar kota.

 

Entah karena tidak ada kegiatan lain, entah untuk membunuh rasa sepi, saban sore Pak Atmo duduk di depan rumahnya. Di musim hujan pun dia selalu melakukan kegiatan ini, ditemani payung atau jaket bertopi. Kadang kudengar dia bersin atau batuk-batuk. Kami sebagai tetangga kerap memintanya untuk masuk rumah saja ketimbang kehujanan atau masuk angin. Namun bagi Pak Atmo, tidak ada yang bisa menghentikan kegiatannya itu selain adzan magrib,  hujan deras atau kalau sakit encoknya kumat.

 

Selama duduk di depan rumahnya itu, Pak Atmo memperhatikan setiap orang atau kendaraan yang lewat. Mereka yang terbiasa melihat Pak Atmo duduk di depan rumahnya, tidak pernah absen menyapa, meski tidak kenal. Beberapa pengendara sepeda motor mengangguk setiap melihat Pak Atmo. Sementara para pengendara mobil tak pernah lupa membunyikan klakson sebagai bentuk sapaan mereka kepadanya. Pernah juga pengendara sepeda motor berhenti di depannya, bercakap-cakap sebentar, lalu pergi. Beberapa dari pengendara itu ada yang merupakan warga kompleks ini, tapi lain gang. Tetapi tidak sedikit juga yang berasal dari luar kompleks, yang cuma numpang lewat. Begitu yang pernah kudengar dari mulut Pak Atmo.

 

Suatu hari, aku tidak melihat Pak Atmo di depan rumahnya. Padahal saat itu sudah pukul empat lebih dan kendaraan sudah banyak yang lalu lalang. Kupikir, Pak Atmo terlambat bangun dari tidur siangnya dan sedang mandi. Tetapi sampai aku selesai menyapu daun melati yang berserakan di depan pagar rumahku, Pak Atmo tak kunjung muncul.

 

Besoknya, aku mendapati masalah serupa. Lusanya, ketika berbelanja di tukang sayur keliling dan berjumpa beberapa tetanggaku, kami membahas ketidakhadiran Pak Atmo selama beberapa sore ini. Ternyata benar, selama beberapa sore ini dia absen duduk di tepi jalan. Salah satu tetanggaku berinisiatif untuk mendatangi rumahnya karena dia juga tidak melihat sosok baya itu keluar rumah selama beberapa hari. Namun rencana itu urung dia lakukan karena Pak Atmo keburu keluar rumah.

 

Tergopoh-gopoh dia berjalan menghampiri kami, hendak membeli rempah-rempah di tukang sayur. “Badanku sakit semua,” katanya. Dibelinya beberapa ruas jahe, kencur, dan beberapa batang serai serta kayu manis. Sempat juga dia menanyakan jeruk nipis. Sayang, tukang sayur hanya membelinya beberapa butir dan habis diborong warga gang sebelah.

 

Kami menyarankan Pak Atmo untuk beristirahat. Bu Santi, tetangga sebelah Pak Atmo, lari ke dalam rumahnya dan tidak lama kemudian dia keluar membawa semangkok sop ayam makaroni untuk dia berikan kepada Pak Atmo.

 

Tak mau kalah, aku menawarkan diri untuk merebus rempah-rempah yang dibeli Pak Atmo. “Nanti saya antarkan ke rumah, Pak. Pintunya jangan dikunci,” pesanku sebelum laki-laki 80 tahun itu kembali masuk ke rumahnya.

 

Pagi itu juga kurebus jahe, kencur, serai, dan kayu manis. Aku tidak tahu komposisinya sudah benar atau tidak. Setelah kusaring, kutambahkan gula aren dan kumasukkan ke dalam botol bekas sirup sebelum kuantar ke rumah Pak Atmo. Sesuai pesanku, dia tidak mengunci pintu depan sehingga aku bisa langsung masuk rumahnya tanpa harus memencet bel atau mengetuk pintu dan memanggil namanya.

 

Di rumahnya yang minim perabotan (katanya hampir semua barang miliknya dijual anak-anaknya ke tukang loak supaya Pak Atmo tidak perlu beres-beres), Pak Atmo duduk di sofa ruang tengah. Satu-satunya sofa di sana dengan kain yang sudah robek di sana-sini hingga menyembulkan busa isian sofa. Kuduga sofa itu benda kenangan yang tidak mau dibuang Pak Atmo.

 

Di sebelahnya terdapat sebuah meja yang cukup panjang, tempat Pak Atmo meletakkan foto keluarga saat istrinya masih ada dan anak-anaknya masih kecil, gelas berisi air putih, dan sop ayam pemberian Bu Santi. Sop itu tidak habis dimakan. “Lagi nggak selera makan,” jawab Pak Atmo saat kutanya alasannya tidak menghabiskan sop itu.

 

Kuletakkan minuman herbal yang sudah kubuat. Atas izin Pak Atmo, aku ke dapur, mencari gelas lain untuk mewadahi minuman herbal tadi agar segera dia minum. Sambil menemaninya menyeruput minuman tersebut, aku menyinggung soal kebiasaannya duduk di tepi jalan setiap sore, yang bisa membuatnya masuk angin dan terpapar polusi kendaraan.

 

“Sejak aku menikah dan bekerja keras untuk keluargaku, sore adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Waktu untuk pulang dan bertemu lagi dengan istri dan anak-anakku,” tutur Pak Atmo.

 

“Ketika baru beberapa hari kami pindah ke rumah ini, aku tersesat saat pulang kerja. Perlu waktu setengah jam untuk aku bisa menemukan alamat ini. Hahaha,” lanjutnya. “Zaman dulu kalau tersesat, kita tanya ke orang-orang di jalan. Masalahnya, kalau tidak ada orang di jalan, mau tanya siapa?

 

Pak Atmo lantas bertutur tentang pengalamannya saat pertama kali berkunjung ke rumah pacarnya, sebelum mereka menikah. Rumahnya masuk gang kecil dan Pak Atmo tidak kunjung menemukannya setelah belasan kali berputar-putar di gang tempat pacarnya tinggal. Tidak ada satu orang pun yang bisa kutanyai. “Begitu aku menemukan rumah calon istriku itu, dia marah-marah. Dikiranya aku sengaja terlambat datang.” Pak Atmo terkekeh mengenang masa lalunya.

 

Cerita Pak Atmo membuatku sedikit bernostalgia ke zaman aku kecil dulu. Ayahku dikenal sebagai orang yang suka tersesat. Kalau kami bepergian, bisa berkali-kali kami berhenti untuk menanyakan alamat tujuan kami ke orang-orang di jalan.

 

“Aku duduk di pinggir jalan setiap sore untuk memberitahu orang-orang yang lewat kalau-kalau mereka tidak tahu jalan pulang. Aku tidak hafal semua wilayah di kota ini, tetapi paling tidak ada orang yang bisa ditanyai. Kadang-kadang, orang-orang itu bertanya sambil sedikit bercerita tentang pekerjaannya, keluarganya, atau perjalanannya. Aku dengan senang hati mendengarkan. Aku tahu, setelah bekerja keras menyambung hidup, orang-orang itu butuh telinga untuk mendengarkan keluh kesah mereka.” Pak Atmo menambahkan.

 

“Tapi, sekarang ada Google Maps, Pak. Kita tinggal masukkan alamatnya dan nanti sistemnya akan memberitahu kita jalan yang harus kita ambil,” ujarku.

 

Pak Atmo berdehem. “Iya, ya. Tapi, tidak sedikit orang yang mengeluh. Google Maps kadang menyesatkan, Jeng. Dan dia tidak bisa kita ajak bicara.”

 

Aku membenarkan kata-kata Pak Atmo. Aku sendiri pernah dibuat nyasar gara-gara mengikuti saran Google Maps. Mau protes, pada siapa? Google hanyalah mesin yang tidak bisa mengerti perasaanku.

 

Pak Atmo menolak saat aku hendak menuangkan lagi minuman herbal ke dalam gelasnya yang sudah kosong. “Nanti saja. Biar aku sendiri.”

 

Aku pamit pulang dan kembali menyarankan Pak Atmo untuk beristirahat dan tidak memaksakan diri keluar rumah sampai kondisinya kembali pulih. Pak Atmo mengangguk mengiyakan. Namun aku meragukan anggukannya itu. Orang seperti Pak Atmo tahu bagaimana cara menyenangkan orang lain dan dirinya sendiri. Orang dengan tipe seperti itu sulit menerima saran dari orang lain.

 

Sore harinya, aku hendak mengantar anakku membeli alat tulis. Saat aku mengeluarkan sepeda motor ke jalan dan menunggu anakku mengunci gerbang, aku melihat Pak Atmo keluar rumah dan membawa kursi yang biasa dia duduki setiap sore.

 

“Pak, sudah sembuh?”

 

Sengaja kuhentikan sepeda motorku di depan rumahnya, tepat ketika Pak Atmo membuka gerbang. Laki-laki itu sepertinya tidak mengira aku akan menjumpainya sore ini.

 

“Eh, iya, Jeng,” jawabnya dengan agak terkejut. “Berkat ramuan yang sudah sampeyan bikin. Hehehe.”

 

Aku cuma geleng-geleng sebelum pamit untuk meninggalkannya. Melalui kaca spion, aku melihat Pak Atmo duduk dengan tenang sambil menoleh kanan dan kiri, memandang beberapa sepeda motor yang melewati depan rumahnya tanpa menoleh sebentar pun padanya. Mereka mungkin tidak peduli dengan kehadiran laki-laki itu. Tetapi bagi Pak Atmo, duduk di tepi jalan setiap sore sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Kakek yang Suka Duduk di Tepi Jalan
Rie Yanti
Cerpen
Bronze
Syal Rajut
tenguyakuza
Novel
Tolong, Sayangi Aku.
Kamalsyah Indra
Skrip Film
A Million Dreams
Sastra Bisu
Flash
Secret Lover
Ika nurpitasari
Cerpen
Tak Harap Kembali
Zjoama R Sapta
Cerpen
Secret Heart
Windri Citrawardhani
Novel
Bronze
Half Brother's
Hideyo Sakura
Novel
Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)
Ais Aisih
Novel
Sekosong Jiwa Kadaver
Falcon Publishing
Flash
Mencari Musim Semi di Tumpukan Jerami
MAkbarD
Novel
Alkemi Dari Gawai
Rhisty Ricku
Novel
Bronze
Janda Cerai Mati
Via Vandella
Flash
Bronze
BERBISIK UNTUK BERNAFAS
Yadani Febi
Novel
ARADHEA
Rudie Chakil
Rekomendasi
Cerpen
Kakek yang Suka Duduk di Tepi Jalan
Rie Yanti
Cerpen
Peringkat Palsu
Rie Yanti
Cerpen
Ami Sakit Perut
Rie Yanti
Cerpen
Sehari Sebelum Melati Masuk Sekolah
Rie Yanti
Flash
Memotret Hujan
Rie Yanti
Flash
Bolu untuk Awan
Rie Yanti