Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Kakek yang Murung di Taman
3
Suka
220
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi telah lama beranjak, panas mentari mulai menampakkan kejayaan, dan taman kota ini seperti merayakannya karena ada kesan berbinar dan ceria. Dedaunan menghijau cerah, bunga-bunga warna-warni seperti tersenyum puas menerima kehangatan hari. Karenanya, cukup kontras dan menarik perhatian saat ada seorang kakek tua tampak murung mendatangi bangku taman dan terduduk lesu. Si kakek seolah membawa mendung yang menjanjikan hujan lokal di tengah taman.

Kakek tua itu berstelan jas dengan celana katun hitam yang tampak licin dan bersih—sepatunya pun tampak hitam mengkilap. Wajahnya yang telah dihiasi keriput dan mata yang mesti dibantu kacamata, memberi tahu kalau dia bukan orang tua yang semestinya murung. Ya, dia sepertinya cukup berada untuk bisa menepis gundah bila ada, atau setidaknya bisa dengan mudah mendapatkan pangan bila lapar menghampiri. Lalu, mengapa dia murung?

Dia duduk sambil membungkuk, seperti menatap ujung kakinya, tapi jelas perhatiannya tertuju pada hal lain. Entah apa yang dipikirkannya. Tidak ada satu petunjuk pun yang menunjukkan sumber kegalauan hatinya.

Aku sendiri sedang beristirahat dari berjogging ria. Duduk agak jauh dari beliau, namun masih bisa memperhatikan fitur detil dari air mukanya, gestur tubuhnya, bahkan kembang kempis napasnya.

Apa dia sedang berkabung? Maksudku, stelan jas dan celananya berwarna hitam, juga dasi yang mengikat kerah kemeja putihnya. Mungkin saja, tapi skenario itu akan lebih sesuai kalau beliau ada di pemakaman, bukan? Ah, tapi bukan porsiku untuk menghakimi. Hanya mengamati dan menyerap data untuk aku simulasikan sebagai bahan cerita untuk aku tulis nanti sebagai fiksi. Yah, untuk hal ini, saat sekarang Anda membaca ini, Anda telah melangkah memasuki ranah fiksi.

Ah, ya, bisa saja aku ceritakan yang sebenarnya terjadi, dan memberinya label kisah nyata, tapi itu agak membosankan dan mengekang efek dramatis sebuah pemaparan—eh,eh, ralat! Sepertinya aku keliru. Untuk pemaparan kisah nyata pun selalu dihiasi efek dramatis! Mau bukti?

Sebut saja suatu pagi aku disuruh Ibu beli telur setangah kilo ke warung Mak Ukhti. Tiba di warung, Mak Ukhti sedang menangani Teh Sari yang katanya beli beras—tentu saja sambil mengobrol. Yang mereka obrolkan adalah kisah nyata. Setidaknya klaim Teh Sari secara tersirat.

"Tau gak, Mak? Si Eman ketauan kawin lagi sama Teh Mirna! Kedengeran banget ributnya!"

"Ah, masa sih? Emak liat si Eman orangnya baik."

"Huuu, Emak belum tau kalo di tempat kerjanya, si Eman itu genitnya minta ampuuun!"

Dari dialog itu, coba Anda bayangkan, apakah air muka Teh Sari saat memaparkan narasinya tampak datar seperti mbak pembawa berita di televisi? Atau tangannya bersedekap elegan? Nope! Yang aku lihat bibirnya menyon-menyon seperti kerupuk mengembang saat digoreng atau plastisin yang dipenyat-penyet adikku. Adegan kecil itu bisa jadi bukti kalau paparan kisah nyata perlu efek dramatis, bukan? (Bukan! 😂)

Baiklah, apapun itu, mari kita kembali ke kakek tua yang murung itu. Dalam ranah fiksi ini, aku menghampirinya dan bertanya, "Anda baik-baik saja, Pak?"

Mungkin akan lebih baik, ya, kalau saat menyapanya aku menyodorkan sebotol air mineral untuk beliau minum? Ya, aku putuskan aku membawa dan memberinya.

Beliau menerimanya sambil menjawab, "Ya, Bapak baik-baik saja. Terima kasih airnya. Tahu saja Bapak lagi haus."

Lalu aku duduk di sampingnya.

"Rutin kamu jogging di sini?" tanya kakek itu.

"Diusahakan sih tiga kali sepekan, tapi baru bisa rutin sehari," jawabku.

"Rajinnya. Kalau saja Bapak dulu serajin itu," ujar si kakek sambil berpaling, menerawang ke depan.

"Kenapa, gitu, Pak? Dari sudut pandang saya sih, mulai saja jogging. Cuma jangan maksa aja. Mungkin jalan kaki dulu."

Si kakek terkekeh, namun kekehnya meredup dan melemah. Beliau kemudian melamun sambil bergumam, "Kalau saja Bapak juga bisa seoptimis kamu."

Mendengarnya aku sedikit meringis. Bukan karena bersimpati, tapi sebaliknya. Aku mulai sedikit menyesal telah menghampirinya karena apa yang aku tangkap dari beliau hanya keluhan. Membuatku memprediksi yang selanjutnya keluar dari mulut beliau adalah keluhan demi keluhan.

"Sudah seusia Bapak, ada saja kendalanya, Dek."

Nah, keluhan lagi, bukan?

Yah, itu dalam ranah fiksi, dan bisa jadi berasal dari buruk sangkaku. Tapi secara umum, atau lebih tepatnya by default, apakah perkiraanku itu tidak tepat? Jikapun aku hendak berbaik sangka, kira-kira skenario apa yang bisa muncul dari kakek yang murung itu? Yah, tidak ada cara lain selain menghampiri dan memastikannya, bukan? Hanya saja, apa aku terlalu turut campur sama urusan orang lain? Terlalu kepo kali, ya?

Untuk sesaat aku bungkam pikiranku itu dan lanjut berlari, namun aku arahkan ayunan lariku mendekatinya. Setelah dekat, aku perlambat ayunan kaki hingga berjalan. Saat berjalan di depannya, aku lihat dia menunduk dalam dan kemudian dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Jelas dia sedang bersedih.

"Anda baik-baik saja, Pak?" tanyaku, nyaris spontan.

Beliau sedikit terperanjat. "I-iya, aku baik-baik saja, hanya ...." Bibir beliau sesaat tersenyum, terkesan kecut dan getir. Senyum yang biasanya tersungging kalau kita tengah muak. “Hanya sedang kabur dari panti. Tadi baru saja melayat teman yang meninggal, jadi saya manfaatkan untuk kabur.”

“Wow, itu … cukup menegangkan,” ujarku. Cukup jelas aku tidak siap dengan jawaban kakek itu.

Si kakek tertawa. “Baru pertama kali aku mendengar respon seperti itu. Sudah setua ini tentu perlu juga sedikit bumbu thriller, ya, `kan? Anggap saja kayak Edmund Dantes yang kabur dari penjara.”

Aku ikut tertawa dan menghampirinya.

“Count of Monte Cristo, ya?” kataku sambil duduk di sampingnya lalu melakukan peregangan otot kaki. Sepertinya imajinasiku sebelumnya cukup melenceng, ya? Si kakek itu orangnya cukup positif juga.

“Tapi Bapak tadi sempat terlihat sedih juga sih. Bapak kehilangan teman yang cukup dekat, ya?” tanyaku.

“Ya, begitulah. Melihat teman berguguran satu demi satu bukanlah pengalaman yang mengenakkan.”

“Tapi tentu Bapak punya pengalaman yang menyenangkan bersama mereka, `kan”

Kening si kakek tampak mengerenyit, namun dari binar matanya ada ketertarikan dengan ucapanku. “Apa yang membuat kamu berpikir seperti itu? Kalau karena melihatku bersedih, bisa saja karena tidak sempat membalas dendam, `kan?”

“Benarkah? Bisa jadi apa yang saya asumsikan tadi sebagai bentuk preposisi untuk mengundang reaksi Bapak dan mengutarakan alasan yang sebenarnya. Itu bisa juga, `kan?"

Si kakek itu tertawa lagi, kali ini cukup kencang. Malah sampai bertepuk tangan segala.

Welldone! Welldone! Dengan reaksi seperti itu malah mewajibkan aku untuk mengutarakan alasannya dengan sukarela. Pintar juga kamu!”

Aku hanya mengangkat bahu. “Sebenarnya terserah Bapak sih. Mumpung saya mau mendengarkan, mungkin bisa meringankan perasaan Bapak.”

Air wajah si kakek itu beralih mengelabu, tersirat sedih yang cukup dalam.

“Kamu tahu? Bisa jadi apa yang tampak tidak seperti yang kamu pikirkan dan bisa jadi, aku tidak seperti apa yang kamu pikirkan,” kata si kakek itu, terdengar seperti desahan.

Aku mengerenyit heran. Bisa-bisanya beliau berbicara seperti teka-teki. Lebih-lebih, aku mulai sadar kalau cara dia bicara dan isi perkataannya tidak menunjukkan seorang kakek pikun penghuni panti jompo.

Aku pun menanggapi. “Apa yang saya pikirkan berasal dari apa yang saya lihat dan saya dengar. Dari informasi yang saya terima dan saya olah bersama cadangan pengetahuan yang saya punya. Jadi, sepertinya apa yang saya pikirkan adalah sepenuhnya milik saya pribadi dan mustahil secara utuh di copy-paste ke pikiran orang lain, termasuk Bapak.”

“Benarkah begitu? Tapi bagaimana kalau aku bilang Jiwa juga seperti Pikiran? Untuk membangunnya hanya perlu informasi yang cukup dan tepat. Tidak perlu utuh.

Aku mengerenyit makin heran.

“Bingung, ya?” kekeh si kakek.

“Jujur, iya. Saya tidak mengerti.”

“Tidak mengapa. Gak usah terlalu dipikirkan. Tapi kalau konteksnya kamu bersedia mendengar aku curhat, mungkin singkatnya aku mau bilang …, sepertinya aku membunuh temanku itu.”

Aku sedikit terperanjat, tapi lebih kental perasaan heran dan penasaran.

“Bapak tidak menodongkan pistol dan menarik pelatuknya, `kan?”

“Hahaha, tidak sesederhana itu. Bagaimanapun caranya, kenyataan dia mati dan aku hidup ... menggelitik rasa bersalah."

Aku sejenak berpikir. “Menurut saya sih, setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Kalau Bapak tidak berniat membunuhnya berarti Bapak tidak membunuhnya.”

“Niat, ya?” gumam si kakek sambil menengadah, menatap dedaunan pohon yang merindanginya. Tak lama kemudian beliau kembali menatapku dan berkata, “Aku tentu tidak ingin dia mati, tapi jujur aku ingin merebut hidupnya.”

Aku mendengkus tiba-tiba. “Saya makin bingung, Pak!"

Si kakek kembali tertawa, namun perlahan meredup dan terdiam.

Aku pun ikut terdiam, tapi hanya sebentar.

"Sekarang bagaimana perasaan Bapak? Apa merasa lebih baik?”

Si kakek tua itu tersenyum. “Ya, aku merasa lebih baik.”

“Kalau begitu saya lanjut lari lagi, Pak,” kataku sambil beranjak.

“Terima kasih, ya,” ucap si kakek sambil menjulurkan tangan.

Aku tersenyum dan menjabat tangannya.

“Sama-sama, Pak.”

 Lalu tiba-tiba aku mendadak merasa pening, pandanganku menggelap. Aku pikir akibat aliran darahku kesulitan mencapai kepala karena mendadak berdiri. Karenanya juga aku segera kembali duduk.

“Anda baik-baik saja?” tanya si kakek. Suaranya terdengar aneh karena orientasiku sedikit terganggu karena pening.

“Ya, saya baik-baik saja.”

“Kalau begitu saya pergi dulu, Pak. Permisi.”

Eh, tu-tunggu ….

Pandanganku mulai jelas dan aku melihat punggungnya menjauh. Tapi, bukan punggung berjas hitam kakek tua itu, tapi punggungku yang terbalut sweater abu-abu. Sempat dia berpaling melirikku dan bisa aku lihat jelas dia tersenyum puas. Mataku terbelalak dibuatnya. Lalu aku berpaling melihat kedua tanganku dan tampak tangan keriput yang jelas bukan tanganku.

“He-hey! Tunggu!”

Aku beranjak, mencoba mengejarnya, tapi tubuhku seperti tidak bisa kuajak bekerja sama. Aku tahu aku bisa berlari cukup cepat tapi kakiku tidak mematuhi perintah otakku sepenuhnya. Bahkan dengan hanya beberapa langkah saja, dadaku dengan cepat terasa sesak. Aku tidak bisa mengejarnya. Dia telah berlari jauh.

Aku masih memaksakan untuk berlari, tapi dada semakin sesak dan pandanganku mengabur. Tak lama kemudian gelap meliputiku. Aku jatuh pingsan, tapi aku yakin benakku mengingat perkataan si kakek tua itu, “Aku tentu tidak ingin dia mati, tapi jujur aku ingin merebut hidupnya.”

Jadi ini maksud dia sebenarnya ….

Tentu saja aku tulis ini setelah merasa tenang dan menelaah kondisiku. Tapi aku ingat ketika aku terbangun, aku telah berada di dalam ambulan dengan hidung terhubung tabung oksigen. Lalu aku dengar seseorang berkata, “Sudah cukup main petak umpetnya, ya, Pak. Sekarang kita kembali ke panti."

Aku ingin menyanggahnya. Aku ingin menentang. Aku ingin memberontak. Tapi tubuhku terasa berat , seolah gravitasi telah tumbuh berlipat-lipat. Inikah rasanya menjadi renta?

Waktu berlalu dan aku temukan hidupku terdampar di sebuah panti jompo. Tapi aku tidak menyerah untuk bisa kembali ke tubuh asalku. Ada beberapa petunjuk dari percakapan si kakek sialan itu! Mungkin perkataannya saat itu terselubungi kebohongan, tapi pastinya ada elemen kebenaran yang bisa aku pegang. Salah satunya soal temannya dan bila asumsiku benar, tubuh renta yang aku huni ini adalah tubuh temannya, sementara tubuh dia sendiri telah dikubur, lalu kini dia huni tubuhku, yang artinya, ada repetisi. Jika ada repetisi, maka ada sistem yang mengijinkan sebuah metode dan kondisi untuk mereplika kejadian yang sama! Yang artinya, jika metode dan kondisinya bisa direplika, maka aku juga bisa melakukannya!

Aku bisa mulai menyelidiki dari temannya yang meninggal itu—atau tubuhnya yang sebenarnya. Sempat terpikir kalau yang meninggal dan terkubur itu bukan tubuh dia yang sesungguhnya, tapi jika aku ambil besaran probabilitas, ada kemungkinan dia beralih Jiwa ini belum lama dan ada elemen ketidaksengajaan terhadap temannya, karena itu dia bersedih di taman itu. Maka bisa diasumsikan ada kedekatan antara dia dan temannya itu dan karena itulah menyelidiki saat-saat terakhir dia bersama temannya itu tampak logis.

Lalu, dengan dia yang menghuni tubuhku, aku ragu dia kembali pulang sebagai aku. Karenanya, peluang untuk menemukannya cukup besar—maksudku, aku yakin orangtuaku tidak akan diam saja, `kan? Mereka akan melakukan pencarian! Dan salah satu metode yang bisa mereka andalkan adalah media sosial! Tentu saja aku sebagai aku, aku tahu akun medsos-ku sendiri, karenanya aku punya opsi untuk berinteraksi dengan keluargaku untuk menceritakan kondisiku dan membantuku. Mungkin awalnya mereka tidak akan percaya, tapi aku tahu beberapa poin dalam jejak hidupku yang bisa membuat ayah-ibuku percaya. Tapi itu nanti, setelah aku temukan metode untuk merebut tubuhku kembali. Itu yang menjadi prioritas utamanya.

Ya, rencana yang logis, bukan? A sound plan! Tapi mengingat tubuhku yang kini renta, aku tidak tahu apa jangka hidupku setara dengan tubuh asliku, atau Jiwa-lah yang menentukan lifespan seseorang. Bagaimanapun, aku harus secepatnya menemukan metode itu!

Yang pasti, aku tidak boleh menyerah! Aku tidak bisa menyerah! Jika Putus Asa mulai merasuki benakku, maka pikiranku sendiri telah menjadi musuhku!

Dan sekarang, Anda percaya ceritaku ini? Apa ada terbersit anggapan ini kisah nyata?

Tentu saja ini fiksi! Hahahaha! Fiksi thriller yang ngaco dan acak-acakan! Sempat terpikir akan aku jadikan novel, tapi aku tidak punya terlalu banyak waktu.

By the way, terima kasih telah membaca ceritaku ini. Bila kelak kita bisa bertemu, sudi kiranya kita berjabat tangan?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Kakek yang Murung di Taman
DMRamdhan
Flash
Bronze
Mahika Lani
Hesti Ary Windiastuti
Komik
BLOODY LOVE STORY
Magnific Studio
Cerpen
Bronze
Di Tengah Malam
Refy
Flash
Satu Hal
nisaaa
Novel
Meja Bundar
Hendra Purnama
Cerpen
Game Over_
Rama Sudeta A
Komik
Psychlove: S-He
Nur Alfi Wardani
Flash
Perampok Gila
Jaydee
Flash
Bronze
Menentang Takdir Mimpi
Omius
Cerpen
MARZIPAN
A.F Huda
Novel
21 RASA BAKSO PAK BOWO
tuhu
Flash
Memento
Ravistara
Cerpen
Bronze
Santan Kelapa
Refy
Novel
Gold
Suicide Knot
Noura Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Kakek yang Murung di Taman
DMRamdhan
Skrip Film
Ruang Rahasia Ibu
DMRamdhan
Novel
Rumah Sang Bidadari
DMRamdhan
Novel
Bronze
Adolescent Crash
DMRamdhan
Novel
Bronze
Ayat yang Tak Terucap
DMRamdhan
Flash
Bronze
Sejatinya Indah
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
History of A City
DMRamdhan
Flash
Senyum Semerekah Pagi
DMRamdhan
Flash
Bronze
L'esprit de L'escalier
DMRamdhan
Cerpen
Sang Pembisik
DMRamdhan
Cerpen
Kebiasaan Lama Gak Ada Matinya
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
Korslet (Kisah Seputar Kopi dan Resleting)
DMRamdhan
Flash
Sejatinya Keindahan
DMRamdhan
Flash
Bersalah
DMRamdhan
Flash
Bronze
Sepadan
DMRamdhan