Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Telepon dari Alam Lain
Desa Karanganyar, sebuah permukiman yang seolah abadi ditelan waktu, dengan rumah-rumah berdempetan dan sawah menghampar hijau bak permadani di sekelilingnya. Di sinilah, empat keluarga besar yang merupakan keturunan langsung dari almarhum Kakek Ranu hidup berdampingan. Ada keluarga Pak Budi, sang putra sulung yang kini menjadi sesepuh tidak resmi di antara mereka, dengan istrinya, Bu Aminah, dan ketiga anaknya. Kemudian ada keluarga Bu Siti, putri kedua Kakek Ranu, yang dikenal paling vokal dan religius, bersama suami dan kedua putranya yang masih remaja. Tak jauh dari sana, tinggallah Pak Harun, putra ketiga, seorang petani ulet yang jarang berbicara, dengan istri dan satu-satunya putri mereka, Rina, yang baru saja lulus kuliah. Dan yang terakhir, keluarga paling muda, keluarga Pak Danu, putra bungsu Kakek Ranu, dengan istri dan dua anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Semuanya hidup dalam harmoni, saling membantu, berbagi tawa, dan sesekali berselisih, namun selalu kembali pada ikatan darah yang tak terputus.
Kakek Ranu sendiri, seorang tokoh yang dihormati di desa itu, telah meninggal dunia sekitar enam bulan yang lalu. Ia dikenal sebagai sosok bijaksana, petani ulung yang sawahnya selalu menghasilkan panen melimpah, dan yang paling penting, ia adalah penjaga tradisi. Kakek Ranu selalu menekankan pentingnya menjaga adat dan kepercayaan leluhur, terutama ritual sedekah bumi yang selalu dilakukannya setiap tahun. Namun, setelah kematiannya yang mendadak akibat serangan jantung, kesibukan masing-masing keluarga dalam mengurus warisan dan kehidupan sehari-hari membuat ritual sedekah bumi yang seharusnya dilakukan tujuh hari setelah kepergiannya, terlewatkan. Sebuah janji tak terucapkan yang kini mulai menghantui.
Kejadian aneh pertama menimpa Rina, putri Pak Harun. Suatu sore yang lengang, saat ia sedang menyelesaikan laporannya di laptop, ponselnya bergetar di atas meja. Nomor tak dikenal. Rina ragu, namun rasa penasaran lebih mendominasi. Ia mengangkat panggilan itu. Suara di ujung sana, berat dan serak, seolah berbicara dari balik kabut. “Rina… ini Kakek.” Jantung Rina berdesir. Kakek Ranu? Mustahil. Kakek sudah tiada. Ia mencoba menjawab, namun lidahnya kelu. Suara itu melanjutkan, “Kenapa kalian lupakan aku? Pulanglah ke sawah tempatku dulu.” Rina menahan napas. Ia merasa tubuhnya dingin, seolah ada tangan tak kasat mata merayap di tengannya. Tanpa sadar, ponsel di tangannya jatuh.
Beberapa hari kemudian, giliran Bu Siti yang mengalami hal serupa. Saat ia sedang mengaji setelah salat Magrib, ponsel lamanya yang tergeletak di samping sajadah berdering. Nomor asing. Dengan sedikit curiga, ia menjawab. Suara itu, suara yang sangat dikenalnya, suara suaminya, “Bu… kenapa kamu nggak angkat telepon dari Kakek?” Bu Siti terkejut. Suaminya sedang di masjid. Tiba-tiba, su...