Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah tasbih usang teronggok penuh debu di sebuah lemari kayu. Ya. Dia adalah sebuah tasbih kayu berwarna coklat yang sudah ada di atas lemari itu sejak ruang ini pertama kali dijadikan mushola sepuluh tahun yang lalu.
Pada awalnya, dia sangat percaya diri bahwa orang-orang akan senang dengan kehadirannya. Waktu itu, dia sangat bagus dan berkilau. Terbuat dari kayu berkualitas tinggi hasil karya pengrajin terkenal dari kota santri.
Warna coklat muda dengan sentuhan gradasi coklat tua di beberapa bagian membuatnya merasa menjadi tasbih yang paling bagus. Tapi kini, warnanya sudah mulai pudar. Bukan. Bukan karena sering digunakan. Tetapi karena terlalu lama teronggok di sudut lemari. Tanpa ada satupun yang menyentuhnya kecuali debu-debu yang begitu erat memeluknya.
Dia melirik tajam ke sebuah benda yang tidak kalah menyedihkan kondisinya. Sebuah Qur'an usang yang selalu memejamkan mata terangguk-angguk mengikuti alunan dzikir yang keluar pelan dari bibirnya.
Tasbih merasa bosan. Di sebuah ruang yang disebut mushola di basemen mall ini, dia masih menunggu ada yang menyentuhnya. Menggunakannya untuk berdzikir mengingat Sang Maha Pencipta. Namun semua sia-sia. Pengunjung mall atau pegawainya yang sering kesini sudah tidak berminat untuk melihatnya. Apalagi memanfaatkannya sesuai tujuan awal dia dibuat.
“Hai, kamu tidak bosan ada di sini?”
Benda yang diajak bicara membuka matanya perlahan. Dia memandang lembut sang tasbih yang selalu mengomel siang dan malam.
“Apa dengan mengomel kamu akan kembali bersih dan berkilau?” tanyanya sarkas.
“Setidaknya hidupku jadi tidak sepi.” Tasbih berkilah.
Tidak ada respon. Percuma didebat, dia akan selalu seperti itu. Pikir kawan senasibnya itu.
Tiba-tiba ada sebuah keributan di depan pintu ruangan. Seorang remaja putri sedang membujuk kakeknya untuk ikut mengitari mall bersama ayah dan bundanya.
“Kek, yakin mau nunggu di sini?”
“Iya, kalian pergilah belanja. Kakek sudah tidak kuat jalan. Lagian Kakek tidak membutuhkan apa-apa.”
“Tapi nanti Kakek bosan, enggak?” tanya sang bunda.
Sementara itu, ayah hanya diam tidak berkomentar. Dia sudah hafal kalau kakek punya keinginan, tidak akan ada yang bisa menolak.
“Sudah, santai saja. Kalian belanja. Kakek mau nunggu di sini.”
Akhirnya mereka meninggalkan kakek di mushola. Kakek melangkah masuk dan memandang sekeliling ruang. Matanya tertarik pada sebuah lemari usang di pojok. Lemari kayu kecil yang berdebu.
Perlahan, Kakek menghampiri kayu tersebut. Tasbih berdebar hebat. Baru kali ini ada seseorang yang tertarik menghampiri tempatnya bersama sahabatnya yang pendiam.
Tangan Kakek terulur ke arah tasbih. Diangkatnya buliran yang terbuat dari kayu sejumlah 99. Kakek memandang sayu pada tasbih yang penuh debu dan warnanya sudah usang. Kakek merogoh kantong celana, mengambil sapu tangan. Dengan telaten, dibersihkannya debu tebal yang menghiasi sang tasbih.
Kakek juga melirik benda di sebelahnya. Kakek mendesah pelan melihat kondisi Qur’an itu. Beliau lantas keluar setelah meletakkan tasbih di tempatnya. Bergegas menuju tempat wudhu dan kembali menghampiri lemari kayu.
Dengan takzim, Qur’an itu juga diambil dan dibersihkan debunya. Kedua benda itu dibawa menuju pojok lain ruangan, diletakkan di sebuah tempat baca Al Qur'an. Kakek mendirikan shalat dua rakaat, lalu berdzikir sambil memutar tasbih perlahan.
Sang tasbih merasa gemetar. Baru kali ini ada seseorang yang menggerakkan bulir-bulirnya dengan lantunan dzikir yang menembus hati. Perlahan tetapi pasti, bukir demi bulir bergerak seiring ungkapan tasbih, tahmid, takbir, dilanjut tahlil, dan sholawat. Tidak keras tetapi suara lembut itu cukup merasuk hingga ke sukma. Menyulam jiwa-jiwa yang kosong. Jiwa yang diliputi kerak hubbud dunya. Jiwa yang belum sepenuhnya pasrah pada qada dan qadar yang telah ditetapkan Sang Maha Pencipta.
Kakek memejamkan mata sambil terus melantunkan dzikir. Terbayang wajah ayu sang belahan jiwa yang baru 100 hari lalu meninggalkannya. Masih kuat dalam memori, senyum manis dari bibir pucat itu.
“Jangan sedih, Kek. Ikhlaskan aku. Maafkan juga wanita yang tak sempurna ini. Ridho, ya, Kek. Tolong ridhoi semua yang Nenek lakukan.”
Ucapan itu terus terngiang di telinga Sang Kakek yang semakin renta. Kakek berusaha menafikan gemuruh rasa tidak terima yang meluap-luap dalam dadanya. Mengapa Allah tidak mengijinkan sang istri menemaninya hingga akhir hayat. Mengapa harus dia dulu yang pergi.
Kakek memejamkan mata. Terus mengagungkan nama Allah untuk meredam gelisah. Tiba-tiba, suasana menjadi terang benderang. Sama-samar, siluet tubuh seorang perempuan duduk bersimpuh di hadapan kakek. Senyum yang sama masih tersungging di wajah cantik yang mempesona.
Tubuh ramping berbalut kebaya putih, duduk tegak dengan tatapan wajah lembut yang dulu selalu menyejukkan hati. Kedua tangan berujung lentik tertumpu rapi di pangkuan. Wanita itu tetap tersenyum. Tiada sepatah kata terucap dari bibir mungil merah jambu.
Kakek mengerjap perlahan. “Sekar, kaukah itu?”
Lagi-lagi, sang wanita hanya tersenyum. Kakek mengulurkan tangan mencoba menyentuh pipi bak pualam di depannya. Namun, wajah itu tak tersentuh. Tangan Kakek seakan menemui ruang hampa tak berwujud.
“Sekar, aku rindu ...,” lirih Kakek dengan suara bergetar. Tasbih di genggaman serasa ikut bergetar, merasakan kerinduan Kakek yang sangat mendalam.
“Sekar, rumah kita aku tinggalkan. Sekarang aku hidup tidak pernah tenang. Di sini semua ada, tetapi aku hanya butuh tenang.”
Seolah-olah bicara dengan makhluk nyata, Kakek mengungkapkan semua yang dirasakannya.
“Sabar, ya, Kek.” Mantra ajaib yang selalu keluar dari bibir Sekar, kembali didengar Kakek.
“Sekar, ....”
Mata Kakek kembali mengerjap dengan buliran kristal yang tak bisa ditahan meluruh di pipi. Bayangan itu makin lama makin lesap. Kakek menggenggam tasbih di tangannya erat. Hatinya kembali kosong. Namun semakin lama, Kakek merasakan damai dan tenang. Sebuah kedamaian dan ketenangan yang semakin lama semakin menguat. Seiring buliran tasbih yang makin terurai dari genggaman dan tubuh yang kian terkulai, Kakek merasakan puncak ketenangan yang belum pernah dirasakannya. Bahkan di sepanjang usianya.
Hening. Tak ada suara apapun di sana. Bahkan sang tasbih yang biasa mengomel hanya terpaku. Memandang tubuh Kakek yang yang membeku dalam posisi sujud. Didampingi dua benda usang di kanan kirinya.
Saat keluarganya menghampiri Kakek usai belanja, jeritan pilu terdengar, memancing rasa penasaran pengunjung yang ada di basement mall itu. Ada apa gerangan? Hingga terdengar kabar, bahwa ada seorang kakek yang ditemukan sudah menutup mata untuk selamanya, di dalam mushola. Semua orang tampak prihatin mendengar berita itu. Innalilahi wa ina ilaihi roji’un. Hanya kalimat itu yang terdengar lirih dari bibir setiap orang.
Sedangkan keluarga kecil sang Kakek itu syok luar biasa. Sungguh tak terduga. Hanya 100 hari sesudah mereka ditinggalkan oleh sang nenek, kini kakek pun menyusul. Kakek seolah-olah tidak dapat hidup sendiri. Mau tidak mau, mereka harus mengikhlaskannya.
Satu hal yang cukup membuat tenang, bahwa Kakek nampak seperti orang tidur dengan senyum yang damai. Tak nampak surat kesakitan sedikitpun di wajah beliau. Seonggok tasbih masih lekat di tangan. Sebuah Al Qur’an yang belum sempat di buka, masih setia di sampingnya.
“Selamat jalan, Kek. Maafkan anakmu yang belum bisa berbakti,” bisik Ayah lirih, diiringi isak sendu Bunda dan jeritan Putri. Selanjutnya, semua orang melakukan apa yang seharusnya, tanpa komando. Mereka membuat semua urusan menjadi mudah, demi sebuah jiwa yang telah kembali dengan tenang.