Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Edelweis lagi?"
Naka memandang jengah perempuan yang kini sibuk memotret bangunan di depannya sambil tersenyum cengengesan. Mulai tidak mengerti dengan obsesi sang kekasih yang sudah masuk pada tahap tidak wajar.
"Ternyata beneran ada kafenya, Ka! Kirain bohongan deh." Perempuan dengan topi putih yang bertengger di kepala itu menatap Naka antusias.
"Ayo deh, masuk! Aku udah HAUS!" Naka menekankan kata di akhir kalimatnya.
"Hehe ... ya maaf." Sambil melingkarkan tangannya di lengan kekar sang kekasih, Lengkara menarik Naka masuk ke dalam kafe bernuansa alam tersebut.
Tempat dengan nama 'Edelweis Café' itu tampak tidak terlalu ramai, mungkin karena hari biasa. Namun lumayan estetik karena memang berlokasi di kaki gunung Rinjani. Jalan yang mereka lalui untuk sampai ke sini juga cukup curam dan jauh.
Wajar saja tidak banyak orang yang merelakan kakinya pegal hanya demi secangkir kopi atau makanan manis, yang jelas saja bisa mereka dapatkan di tempat lain. Okay, mungkin kecuali untuk seorang Lengkara yang rela menempuh jarak berkilo-kilometer dari Lombok Barat untuk sampai ke sini.
Hanya karena nama kafenya mengandung unsur 'Edelweis'.
"Wah ... lumayan rame." Lengkara menggumam takjub yang disetujui Naka dalam hati.
Begitu masuk, ada sekitar duapuluhan orang di dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu. Di dinding-dinding kafe terdapat banyak lukisan bunga dan tumbuhan lain, khususnya bunga edelweis yang menjadi nama tempat tersebut.
Jangan lupakan bunga edelweis--sepertinya sungguhan--yang diletakkan di setiap meja serta beberapa bagian ruangan. Lengkara yang semakin bersemangat, kontan segera duduk dan memesan.
"Ini bunganya asli, Mas?" tanya Naka iseng begitu sang kekasih selesai menyebutkan pesanannya pada pramusaji.
"Enggak kok, Mas. Kami tau bunga edelweis itu langka dan dilindungi, jadi kami pesan yang buatan sebagai hiasan di pengrajin dekat sini." Pria dengan seragam cokelat tua itu menjawab apa adanya sambil tersenyum ramah.
"Nakaaa, aku mau ...," rengek Lengkara begitu mendengar ucapan pramusaji itu.
Naka melirik tajam sang kekasih yang kini bahkan mulai menarik-narik ujung lengan bajunya. Menyadari pria itu yang seperti enggan menuruti permintaannya, Lengkara beralih pada pria di depan mereka.
"Mas, pesannya di mana? Saya juga mau beli!" tanya Lengkara cepat.
"Udah, Mas! Lanjut kerja aja, ini pacar saya enggak usah didengerin." Naka mengusir halus.
Pramusaji itu pun dengan sedikit tidak enak hati segera undur diri dan melanjutkan pekerjaan. Meninggalkan Naka yang kali ini harus menghadapi ambekan Lengkara.
"Jangan bertingkah deh. Aku bela-belain libur kerja terus jalan cuma buat ke kafe ini, temenin kamu. Jadi jangan nambah-nambah agenda, aku capek." Naka mengomel sebelum Lengkara mengambekinya lebih dulu.
"Ya ngapain ditemenin? Aku bukan anak kecil!" maki Lengkara sebal.
"Bukan anak kecil tapi ngambek nggak dibeliin bunga mainan. Cih!" ledek Naka malah semakin terdengar mengesalkan.
Lengkara tidak ingin menyahut lagi. Kali ini, keduanya memilih diam sampai akhirnya pesanan mereka datang. Setelah selesai dengan dua cangkir Americano kelewat pahit serta kue tart rasa matcha yang dimakan sepiring berdua, Naka dan Lengkara keluar dengan bonus satu cup es krim cokelat vanilla.
Keduanya berjalan beriringan menuju pengrajin edelweis buatan yang akhirnya akan mereka kunjungi setelah melewati perdebatan lumayan panjang. Tentu saja kalian tahu siapa yang memenangkan perdebatan tersebut sekarang.
"Mau?" tawar Lengkara sambil menyodorkan es krim di tangannya ke mulut sang kekasih.
Tanpa menjawab, Naka langsung memakan es krim yang disodorkan Lengkara dengan gigitan besar. Melihat itu, Lengkara melotot sebal.
"Kebanyakan!" protes perempuan itu tidak rela.
Naka hanya tersenyum puas sambil mengeratkan dekapannya pada pinggang sang kekasih. Keduanya terus berjalan melewati beberapa pohon beringin tua yang tampak menyeramkan.
Apalagi jalan setapak itu tampak sepi. Hanya ada satu-dua lelaki atau wanita tua yang mereka lihat tengah mengangkut kayu bakar setelah sekitar limabelas menit berjalan.
"Awas aja kalau kamu mau ke kafe itu lagi! Aku nggak bakal temenin!" ancam Naka jengkel.
"Lah, emang kenapa? Aku malah berencana ke sana lagi seenggaknya setahun sekali sama kamu." Lengkara bertanya heran.
"Makanannya mahal-mahal banget, Raaa. Terus kamu lihat sendiri, kan? Edelweisnya juga palsu. Kamu suka, ya, ditipu gitu? Mau liat edelweis palsu mah nggak perlu sampe sini, kalii!" omel Naka yang seketika membuat Lengkara tertawa.
"Justru aku marah lah kalau mereka pake edelweis beneran. Nanti bunga kesayanganku punah gara-gara orang egois kayak gitu!" sanggah Lengkara cepat.
Naka hanya menggeleng tidak habis pikir dengan pemikiran kekasihnya. Dia jelas tahu sejak lama, seberapa cinta Lengkara pada edelweis yang dijuluki sebagai Bunga Abadi tersebut.
Kekasihnya bahkan begitu ingin melihat bunga tersebut secara langsung. Sayangnya, karena alergi dingin, dia tidak pernah diizinkan pergi mendaki Rinjani untuk melihat langsung bunga yang hanya tumbuh tidak di sembarang gunung tersebut.
Oleh karenanya, Naka menggunakan kesempatan itu untuk mendaki gunung Rinjani, kemudian memotret edelweis di sana, hanya untuk Lengkara. Hal yang akhirnya menjadi alasan terbesar perempuan itu menerima Naka menjadi kekasih.
"Kayaknya itu deh orangnya." Lengkara menunjuk seorang wanita tua yang menggelar terpal di sisi danau. Tepat di dekat pohon yang tampak aneh di mata mereka.
Begitu berjalan semakin dekat, penampakan bunga edelweis buatan yang dijejer di hadapan wanita itu semakin membuat Lengkara tersenyum girang.
"Beneran, Nakaaa!" heboh perempuan itu sambil melompat-lompat kecil.
Naka yang gemas dengan reaksi sang kekasih kontan mengusak puncak kepala Lengkara. Sebenarnya, sangat mudah membuat makhluk ini bahagia.
Kenapa sebelumnya Naka malah mengeluh, ya?
Setelah membeli dua tangkai bunga edelweis buatan seharga tigapuluh ribu, Lengkara banyak bertanya-tanya pada Nenek penjual tersebut. Membuat Naka tidak enak hati kemudian membeli dua tangkai lagi sebagai ucapan terima kasih karena mau meladeni kekasihnya yang cerewet.
"Ayo duduk di sana!" ajak Lengkara setelah selesai berbincang panjang lebar tentang edelweis kebanggaannya.
Naka mengangguk pasrah saja begitu diseret menuju tepi danau, tepatnya di bawah pohon aneh yang tumbuh hampir merunduk ke air.
"Udah seneng, kan?" tanya Naka begitu melihat kekasihnya yang sibuk memandangi empat tangkai bunga di genggaman sambil duduk selonjoran.
Lengkara mendongak kemudian mengangguk ribut. "Sukaaa banget! Makasih, Nakaaa ...."
Disuguhi senyuman manis dan ucapan setulus itu, Naka pun merangsek maju kemudian mendaratkan satu kecupan di bibir Lengkara.
"Enjoy your happiness, Princess." Naka menyahut lirih yang semakin membuat senyum enggan luntur di bibir sang kekasih.
"Tau, nggak? Pohon ini namanya Dedalu Menangis. Satu-satunya pohon Dedalu Menangis di tempat ini. Katanya, ini pohon ajaib, tauuu." Lengkara mulai mengoceh yang didengarkan Naka dengan senang hati.
"Iya kah? Ajaib gimana?" tanya Naka sambil merangkul bahu sang kekasih agar duduk lebih dekat dengannya.
"Ya ajaib! Katanya pohon ini seharusnya nggak bisa tumbuh di Indonesia, biasanya sih di negara Eropa gitu, atau yang empat musim." Lengkara menjelaskan semakin antusias.
"Kebetulan aja mungkin ...," sahut Naka skeptis.
"Enggak, ya! Emang gitu kok kata Neneknya tadii!" sanggah Lengkara sambil menyikut perut kekasihnya sebal.
Naka meringis sakit namun malah tertawa geli. "Terus apanya yang ajaib, coba?" tanya pemuda itu tidak berhenti menggoda kekasihnya.
"Katanya sih, ini pohon abadi. Pohon Dedalu biasanya tumbuh cuma 40 sampe 70-an tahun gitu kan, tapi pohon ini belum mati juga udah ratusan tahun. Mitosnya ya, dia nyerap umur orang yang duduk di bawahnya. Makanya pohon ini bisa panjang umur," jelas Lengkara menyampaikan informasi yang ia dapatkan dari nenek penjual edelweis tadi.
"Loh, itu neneknya udah tua, jualan di deket pohon ini juga, masih sehat tuh." Naka menyanggah yang kali ini diangguki Lengkara setuju.
"Makanya ... aku sih nggak percaya, ya. Mana ada pohon abadi, bunga abadi baru ada! Iya, kan?" ucap Lengkara sambil mendongak menatap kekasihnya meminta persetujuan.
Bukannya menjawab, Naka malah mencium bibir tipis itu lagi secepat kilat. Membuat Lengkara mendengkus sebal sambil berusaha melepaskan rangkulan sang kekasih.
"Cium mulu ish! Malesss!" rajuk Lengkara yang hanya dibalas Naka dengan tawa nyaringnya.
"Abisnya lucu, nggak mau banget Edelweisnya kalah saing sama Dedalu Menangis!" ledek Naka gemas.
Lengkara tidak menyahut lagi, tetapi kali ini melingkarkan kedua lengan di pinggang kekasihnya. Keduanya berpelukan di bawah pohon yang katanya menyerap umur manusia sambil selonjoran menghadap danau.
"Tahun depan ... ayo ke sini lagi. Ke kafe tadi sama tempat ini." Lengkara meminta sambil menggelitik iseng dagu kekasihnya.
"Jangan ke sini lagi ah, ngeri. Takut umur kita diserap pohon ini," canda Naka.
"Ayo deh buktiin! Besok kalau kita bisa ke sini lagi, berarti rumor tentang pohon ini cuma mitos!" Lengkara malah mengartikan ucapan Naka serius.
"Okey, ayo ke sini lagi. Tahun depan, tahun depannya lagi, tahun-tahun berikutnya sampe pohon yang katanya abadi ini mati." Namun, anehnya, Naka juga menanggapi serius ucapan sang kekasih.
Karena sejatinya, kemanapun itu, asal dengan Lengkara, bagaimana mungkin ia bisa menolak?
Sayangnya, tahun depan itu tidak pernah datang.
Mitos tentang pohon Dedalu Menangis itu mungkin benar.
Karena sehari setelah mereka kembali ke Lombok Barat, Lengkara tewas dalam kecelakaan tunggal saat pulang dari kampus. Kekasihnya tiada, setelah kemarinnya bercanda tentang pohon sialan yang bisa menyerap umur manusia.
Maka di tahun-tahun selanjutnya, yang bisa Naka lakukan hanya berkeliaran di kaki Rinjani. Makan kue matcha di kafe Edelweis sendiri, kemudian menimbang apa harus melompat ke danau atau tidak di bawah pohon Dedalu Menangis yang dulu mereka kunjungi.
Karena Demi Tuhan ... Naka tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Setidaknya sampai pohon ajaib ini menyerap umurnya juga, kemudian membawanya pergi.
Seperti yang dilakukannya pada Lengkara terakhir kali.