Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pukul dua pagi di sebuah gang sempit, lampu jalan yang redup berkedip-kedip seolah-olah sedang sekarat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan genangan air kotor yang memantulkan bayangan gedung-gedung tua yang menjulang tinggi seperti monster. Suara tetesan air dari atap seng beradu dengan keheningan mencekam. Di antara tumpukan sampah basah dan bau anyir, tergeletak sesosok tubuh.
Namaku Arion. Jurnalis investigasi. Aku berdiri mematung di samping jasad itu, merasakan bulu kudukku merinding. Ini bukan adegan film horor, ini nyata. Jasad itu adalah seorang pejabat tinggi, dikenal sebagai sosok yang licin dan kebal hukum. Namanya Gunawan. Tubuhnya terbaring telungkup, dengan luka sayatan yang dalam dan brutal di punggungnya. Darah segar menggenang di bawahnya, bercampur dengan air hujan. Di samping kepala Gunawan, sebuah amplop cokelat tergeletak. Ada tulisan tangan yang rapi di sana: "Untuk Arion."
Tanganku gemetar saat mengambil amplop itu. Di dalamnya, ada sebuah flashdisk dan sebuah foto. Foto itu, sebuah foto polaroid, menampilkan diriku. Aku sedang menatap kosong, wajahku pucat, dengan tetesan air hujan membasahi jaket yang kukenakan. Foto itu diambil dari jarak dekat, seolah-olah seseorang berdiri tepat di sampingku. Tapi aku tidak ingat pernah berada di tempat ini.
Aku memasukkan amplop itu ke dalam saku, lalu menghubungi polisi. Suara sirene meraung, memecah keheningan malam. Tak lama kemudian, Inspektur Bayu tiba. Ia adalah rekan lamaku, seorang polisi senior yang terkenal dengan ketegasannya. Wajahnya yang lelah terlihat lebih muram saat melihat pemandangan itu.
"Ini... Gunawan?" tanyanya padaku.
Aku mengangguk, masih terkejut. "Dia mati. Dibunuh."
Bayu menunduk, memeriksa luka-luka Gunawan. Matanya menyiratkan kebingungan. "Cara membunuhnya... kejam sekali. Ini bukan pembunuhan biasa, Arion. Ini pesan."
Kami berdua tahu, ini bukan kasus perampokan atau pembunuhan acak. Ini teror. Aku tidak bisa berhenti memikirkan foto di dalam amplop. Apa maksudnya? Siapa yang mengirimkannya? Mengapa namaku ada di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, seperti kaset rusak. Aku merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan mengerikan di balik semua ini.
Beberapa hari kemudian, aku memutar flashdisk yang kudapat. Di dalamnya ada beberapa dokumen rahasia, termasuk laporan keuangan palsu, bukti korupsi, dan video-video yang memperlihatkan Gunawan menyuap hakim dan jaksa. Gunawan memang pantas mati, tetapi cara kematiannya terlalu kejam.
Aku memutuskan untuk tidak menyerahkan flashdisk itu kepada polisi. Bukan karena aku tidak percaya pada Bayu, tetapi karena aku merasa ada yang salah. Seolah-olah, pembunuh itu ingin aku yang menangani kasus ini. Terlalu banyak hal yang tidak masuk akal.
Malam itu, aku mencoba tidur. Namun, mataku tetap terbuka. Aku terus memikirkan wajah Gunawan. Dan kemudian, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Sebuah kilasan aneh di dalam pikiranku. Aku melihat diriku, mengenakan jaket yang sama, sedang berjalan di gang itu. Mataku kosong, langkahku berat. Aku tidak ingat ini, tapi kilasan itu terasa begitu nyata.
Aku mencoba untuk menepisnya, menganggap itu hanya mimpi buruk. Tapi itu bukan mimpi. Itu adalah ingatan yang terkubur dalam. Aku merasa takut. Takut pada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.
Pagi harinya, aku kembali ke kantor polisi. Aku berbohong pada Bayu tentang isi amplop itu. Aku bilang hanya ada beberapa catatan yang tidak penting. Bayu menatapku curiga, tapi dia tidak bertanya lebih jauh.
"Kamu terlihat pucat, Arion. Kamu baik-baik saja?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja, Bayu. Hanya kurang tidur."
"Kasus ini... sangat aneh. Semua jejak pembunuhnya bersih. Seperti hantu."
Kata-kata Bayu membuatku merinding. Hantu. Ya, memang seperti hantu. Hantu yang mengambil foto diriku di tempat kejadian, hantu yang meninggalkan bukti y...