Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Sensor Pertama
Udara Makassar, di awal November 2025, terasa lengket dan asin. Bima menyukai sensasi itu, aroma laut yang kuat bercampur knalpot solar dari truk-truk besar. Ini adalah kota barunya, rumah barunya, setelah dua tahun berkelana dari satu proyek pemantauan ke proyek lain. Pelabuhan Makassar, dengan segala hiruk-pikuknya, adalah kanvas kosong yang siap ia taklukkan. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan saat melangkah ke dalam Stasiun Pemantau Kualitas Udara, sebuah bangunan kokoh berlantai dua yang menempel di sudut area kargo, agak terpencil dari keramaian utama. Dindingnya yang bercat krem kusam, sedikit mengelupas di sana-sini, mencerminkan usianya yang tak lagi muda. Di sekelilingnya, tumpukan kontainer berwarna-warni menjulang seperti balok-balok Lego raksasa di bawah sorot lampu pelabuhan yang redup, membentuk labirin bayangan yang tak berujung.
Malam pertamanya di shift, 23:00 WITA. Lampu neon di ruang kontrol berdengung pelan, memantulkan cahaya pucat di deretan monitor. Bau disinfektan bercampur debu tipis memenuhi ruangan. Bima menyesap kopi hitamnya, matanya terpaku pada grafik-grafik yang bergulir di layar utama. Sebagai teknisi pemantau lingkungan yang relatif muda, ia selalu bangga dengan kepekaannya terhadap data, kemampuannya melihat pola yang orang lain lewatkan. Ia menganggap dirinya seorang detektif partikel, mencari anomali di antara milyaran angka. Bukan hanya sekadar pekerjaan, ini adalah panggilan, sebuah pencarian kebenaran di balik angka-angka kering. Ia percaya, setiap spike atau drop memiliki cerita.
Di sampingnya, Pak Darto, seorang veteran pemantau dengan perut buncit dan mata lelah, mendengkur di kursinya, koran sore tergeletak di pangkuan. Jam segini, sebagian besar pekerja sudah pulang, menyisakan shift malam yang sepi dan terkadang membosankan. Bagi Pak Darto, ini hanyalah rutinitas yang membosankan. Tapi Bima tidak pernah mengeluh bosan. Baginya, setiap angka adalah potensi cerita yang belum terungkap.
Tepat pukul 23:47. Angka di salah satu grafik, yang memantau partikel PM2.5 – partikel mikroskopis yang bisa masuk jauh ke paru-paru – tiba-tiba melonjak. Bukan lonjakan biasa. Grafik itu mencelat naik seperti garis di alat pendeteksi gempa, melewati batas aman, lalu menembus batas bahaya. Sebuah garis merah berkedip muncul di layar, diiringi suara beep lembut dari konsol utama. Suara itu cukup untuk membuat Pak Darto sedikit menggeliat, namun tidak sampai membuatnya terbangun sepenuhnya.
Bima menegakkan duduknya, sensasi dingin menjalari punggungnya. Ia belum pernah melihat spike seaneh ini. "Pak Darto, lihat ini," bisiknya, tak ingin mengagetkan veteran itu.
Pak Darto menggeliat, mengerjap-ngerjapkan matanya yang sembap. "Ada apa, Bim?" suaranya serak dan berat karena kantuk.
"PM2.5 melonjak drastis. Ini bukan biasa." Bima menunjuk layar, jarinya menelusuri garis merah yang masih berkedip. "Lihat, ini di luar batas normal. Sensornya bagus, kalibrasi terakhir tadi siang. Saya yang kalibrasi sendiri."
Pak Darto melirik sekilas, kemudian menguap lebar, menampakkan giginya yang sedikit kuning. "Ah, itu lagi. Sudah biasa itu, Bim. Sensor lama itu, sering glitch kalau sudah jam segini." Ia melambaikan tangannya yang gemuk, seolah mengusir nyamuk. "Matikan saja alarmnya. Besok pagi juga normal lagi. Jangan terlalu serius di malam pertama. Santai saja." Ia kembali mendengkur, lebih dalam dari sebelumnya.
Bima mengerutkan kening. "Glitch? Tapi polanya... aneh, Pak. Biasanya kalau glitch itu langsung nol atau langsung mentok, atau acak. Ini naik perlahan, lalu melonjak tajam, bertahan beberapa menit, terus naik lagi seperti ada yang memompa." Ia memperbesar grafik, memperlihatkan pola spike yang tidak lazim, garisnya membentuk semacam bukit-bukit kecil sebelum menukik tajam. Ini bukan glitch, ini sebuah peristiwa.
"Sudah, sudah," Pak Darto bersikeras, melambaikan tangan lagi. "Tidurlah sebentar kalau mau. Ini shift santai. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti cepat tua." Ia kembali mendengkur, napasnya terdengar berat dan teratur. Bima merasa diabaikan...