Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Bronze
Kabut Asap Pelabuhan
0
Suka
3,273
Dibaca

Bab 1: Sensor Pertama

Udara Makassar, di awal November 2025, terasa lengket dan asin. Bima menyukai sensasi itu, aroma laut yang kuat bercampur knalpot solar dari truk-truk besar. Ini adalah kota barunya, rumah barunya, setelah dua tahun berkelana dari satu proyek pemantauan ke proyek lain. Pelabuhan Makassar, dengan segala hiruk-pikuknya, adalah kanvas kosong yang siap ia taklukkan. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan saat melangkah ke dalam Stasiun Pemantau Kualitas Udara, sebuah bangunan kokoh berlantai dua yang menempel di sudut area kargo, agak terpencil dari keramaian utama. Dindingnya yang bercat krem kusam, sedikit mengelupas di sana-sini, mencerminkan usianya yang tak lagi muda. Di sekelilingnya, tumpukan kontainer berwarna-warni menjulang seperti balok-balok Lego raksasa di bawah sorot lampu pelabuhan yang redup, membentuk labirin bayangan yang tak berujung.

Malam pertamanya di shift, 23:00 WITA. Lampu neon di ruang kontrol berdengung pelan, memantulkan cahaya pucat di deretan monitor. Bau disinfektan bercampur debu tipis memenuhi ruangan. Bima menyesap kopi hitamnya, matanya terpaku pada grafik-grafik yang bergulir di layar utama. Sebagai teknisi pemantau lingkungan yang relatif muda, ia selalu bangga dengan kepekaannya terhadap data, kemampuannya melihat pola yang orang lain lewatkan. Ia menganggap dirinya seorang detektif partikel, mencari anomali di antara milyaran angka. Bukan hanya sekadar pekerjaan, ini adalah panggilan, sebuah pencarian kebenaran di balik angka-angka kering. Ia percaya, setiap spike atau drop memiliki cerita.

Di sampingnya, Pak Darto, seorang veteran pemantau dengan perut buncit dan mata lelah, mendengkur di kursinya, koran sore tergeletak di pangkuan. Jam segini, sebagian besar pekerja sudah pulang, menyisakan shift malam yang sepi dan terkadang membosankan. Bagi Pak Darto, ini hanyalah rutinitas yang membosankan. Tapi Bima tidak pernah mengeluh bosan. Baginya, setiap angka adalah potensi cerita yang belum terungkap.

Tepat pukul 23:47. Angka di salah satu grafik, yang memantau partikel PM2.5 – partikel mikroskopis yang bisa masuk jauh ke paru-paru – tiba-tiba melonjak. Bukan lonjakan biasa. Grafik itu mencelat naik seperti garis di alat pendeteksi gempa, melewati batas aman, lalu menembus batas bahaya. Sebuah garis merah berkedip muncul di layar, diiringi suara beep lembut dari konsol utama. Suara itu cukup untuk membuat Pak Darto sedikit menggeliat, namun tidak sampai membuatnya terbangun sepenuhnya.

Bima menegakkan duduknya, sensasi dingin menjalari punggungnya. Ia belum pernah melihat spike seaneh ini. "Pak Darto, lihat ini," bisiknya, tak ingin mengagetkan veteran itu.

Pak Darto menggeliat, mengerjap-ngerjapkan matanya yang sembap. "Ada apa, Bim?" suaranya serak dan berat karena kantuk.

"PM2.5 melonjak drastis. Ini bukan biasa." Bima menunjuk layar, jarinya menelusuri garis merah yang masih berkedip. "Lihat, ini di luar batas normal. Sensornya bagus, kalibrasi terakhir tadi siang. Saya yang kalibrasi sendiri."

Pak Darto melirik sekilas, kemudian menguap lebar, menampakkan giginya yang sedikit kuning. "Ah, itu lagi. Sudah biasa itu, Bim. Sensor lama itu, sering glitch kalau sudah jam segini." Ia melambaikan tangannya yang gemuk, seolah mengusir nyamuk. "Matikan saja alarmnya. Besok pagi juga normal lagi. Jangan terlalu serius di malam pertama. Santai saja." Ia kembali mendengkur, lebih dalam dari sebelumnya.

Bima mengerutkan kening. "Glitch? Tapi polanya... aneh, Pak. Biasanya kalau glitch itu langsung nol atau langsung mentok, atau acak. Ini naik perlahan, lalu melonjak tajam, bertahan beberapa menit, terus naik lagi seperti ada yang memompa." Ia memperbesar grafik, memperlihatkan pola spike yang tidak lazim, garisnya membentuk semacam bukit-bukit kecil sebelum menukik tajam. Ini bukan glitch, ini sebuah peristiwa.

"Sudah, sudah," Pak Darto bersikeras, melambaikan tangan lagi. "Tidurlah sebentar kalau mau. Ini shift santai. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti cepat tua." Ia kembali mendengkur, napasnya terdengar berat dan teratur. Bima merasa diabaikan...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp14.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Novel
Bronze
ARWAH PENJEMPUT KENANGAN (5 Kisah Misteri di Masa Pandemi)
Darryllah Itoe
Cerpen
Bronze
Kabut Asap Pelabuhan
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
STALL NOMOR TUJUH
glowedy
Novel
Perjanjian Ketiga
bomo wicaksono
Cerpen
Bronze
Kutukan
Christian Shonda Benyamin
Flash
Sandekala
Jasma Ryadi
Flash
Pondok Bulan
Dania Oryzana
Cerpen
Bronze
Pohon Toge yang Mencari Kacang Merah
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
DAY OF THE DEAD
Safinatun naja
Novel
Are You Ready?
Naia Novita
Novel
Gold
The Motion of Puppets
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Nenek Penuh Paku di Minahasa
Risti Windri Pabendan
Flash
Bronze
Mantra Pelakor
Risti Windri Pabendan
Komik
Bronze
Diary abu-abu elena
Andy widiatma
Flash
Bronze
Mimpi Defin
Ron Nee Soo
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Kabut Asap Pelabuhan
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kutukan
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Bayang Bayang Kaktus Berdarah Seri 05
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Mereka Nyata Dan Bercerita
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Delusi Atau Nyata
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Radio Tua
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Panti Jompo Harum Melati
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kultus Sebuah Lagu
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kereta Cepat Whoosh
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Pelaku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Sahabat Backpacker Ku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Jumat Akhir Bulan Juli
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kacamata Paman
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Aku Di Bawah Ancaman Mereka
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Notifikasi Terakhir
Christian Shonda Benyamin