Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Bronze
Kabut Asap Pelabuhan
0
Suka
729
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bab 1: Sensor Pertama

Udara Makassar, di awal November 2025, terasa lengket dan asin. Bima menyukai sensasi itu, aroma laut yang kuat bercampur knalpot solar dari truk-truk besar. Ini adalah kota barunya, rumah barunya, setelah dua tahun berkelana dari satu proyek pemantauan ke proyek lain. Pelabuhan Makassar, dengan segala hiruk-pikuknya, adalah kanvas kosong yang siap ia taklukkan. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan saat melangkah ke dalam Stasiun Pemantau Kualitas Udara, sebuah bangunan kokoh berlantai dua yang menempel di sudut area kargo, agak terpencil dari keramaian utama. Dindingnya yang bercat krem kusam, sedikit mengelupas di sana-sini, mencerminkan usianya yang tak lagi muda. Di sekelilingnya, tumpukan kontainer berwarna-warni menjulang seperti balok-balok Lego raksasa di bawah sorot lampu pelabuhan yang redup, membentuk labirin bayangan yang tak berujung.

Malam pertamanya di shift, 23:00 WITA. Lampu neon di ruang kontrol berdengung pelan, memantulkan cahaya pucat di deretan monitor. Bau disinfektan bercampur debu tipis memenuhi ruangan. Bima menyesap kopi hitamnya, matanya terpaku pada grafik-grafik yang bergulir di layar utama. Sebagai teknisi pemantau lingkungan yang relatif muda, ia selalu bangga dengan kepekaannya terhadap data, kemampuannya melihat pola yang orang lain lewatkan. Ia menganggap dirinya seorang detektif partikel, mencari anomali di antara milyaran angka. Bukan hanya sekadar pekerjaan, ini adalah panggilan, sebuah pencarian kebenaran di balik angka-angka kering. Ia percaya, setiap spike atau drop memiliki cerita.

Di sampingnya, Pak Darto, seorang veteran pemantau dengan perut buncit dan mata lelah, mendengkur di kursinya, koran sore tergeletak di pangkuan. Jam segini, sebagian besar pekerja sudah pulang, menyisakan shift malam yang sepi dan terkadang membosankan. Bagi Pak Darto, ini hanyalah rutinitas yang membosankan. Tapi Bima tidak pernah mengeluh bosan. Baginya, setiap angka adalah potensi cerita yang belum terungkap.

Tepat pukul 23:47. Angka di salah satu grafik, yang memantau partikel PM2.5 – partikel mikroskopis yang bisa masuk jauh ke paru-paru – tiba-tiba melonjak. Bukan lonjakan biasa. Grafik itu mencelat naik seperti garis di alat pendeteksi gempa, melewati batas aman, lalu menembus batas bahaya. Sebuah garis merah berkedip muncul di layar, diiringi suara beep lembut dari konsol utama. Suara itu cukup untuk membuat Pak Darto sedikit menggeliat, namun tidak sampai membuatnya terbangun sepenuhnya.

Bima menegakkan duduknya, sensasi dingin menjalari punggungnya. Ia belum pernah melihat spike seaneh ini. "Pak Darto, lihat ini," bisiknya, tak ingin mengagetkan veteran itu.

Pak Darto menggeliat, mengerjap-ngerjapkan matanya yang sembap. "Ada apa, Bim?" suaranya serak dan berat karena kantuk.

"PM2.5 melonjak drastis. Ini bukan biasa." Bima menunjuk layar, jarinya menelusuri garis merah yang masih berkedip. "Lihat, ini di luar batas normal. Sensornya bagus, kalibrasi terakhir tadi siang. Saya yang kalibrasi sendiri."

Pak Darto melirik sekilas, kemudian menguap lebar, menampakkan giginya yang sedikit kuning. "Ah, itu lagi. Sudah biasa itu, Bim. Sensor lama itu, sering glitch kalau sudah jam segini." Ia melambaikan tangannya yang gemuk, seolah mengusir nyamuk. "Matikan saja alarmnya. Besok pagi juga normal lagi. Jangan terlalu serius di malam pertama. Santai saja." Ia kembali mendengkur, lebih dalam dari sebelumnya.

Bima mengerutkan kening. "Glitch? Tapi polanya... aneh, Pak. Biasanya kalau glitch itu langsung nol atau langsung mentok, atau acak. Ini naik perlahan, lalu melonjak tajam, bertahan beberapa menit, terus naik lagi seperti ada yang memompa." Ia memperbesar grafik, memperlihatkan pola spike yang tidak lazim, garisnya membentuk semacam bukit-bukit kecil sebelum menukik tajam. Ini bukan glitch, ini sebuah peristiwa.

"Sudah, sudah," Pak Darto bersikeras, melambaikan tangan lagi. "Tidurlah sebentar kalau mau. Ini shift santai. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti cepat tua." Ia kembali mendengkur, napasnya terdengar berat dan teratur. Bima merasa diabaikan...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp14.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Bronze
Kabut Asap Pelabuhan
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Dongeng Jam 12 Malam
Pearl_LB_HRose
Flash
Bronze
Tuan Kepala Terbalik
Nisa
Cerpen
Bronze
Bus Senja
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kota Mati/ Langit tanpa suara
Novita Ledo
Novel
Bronze
Rama's Story : Mey Ling - Dark Castle
Cancan Ramadhan
Novel
Bilfagil
Faiz el Faza
Flash
Horror
Fathan Karim Musyafar
Cerpen
Bronze
RUMAH MR. SIMON
Eko Sam
Flash
Dia Punya Teman yang Lain
bomo wicaksono
Cerpen
Menjadi Tua, Lalu Luka
Fazil Abdullah
Komik
Bronze
Medical Horror
Qonita Nur Qolby
Komik
Buku Misteri
Felycia Iswanti Sutrisna
Novel
Bronze
SUMI
Nimas Rassa Shienta Azzahra
Novel
Pendakian Terakhir
Uki.Sari
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Kabut Asap Pelabuhan
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Bus Senja
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Maut Di Kapal Tua
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Bayangan Reno
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Petak Umpet Maut
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Rumah Tua
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Sahabat Backpacker Ku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Streamer Yang Tragis
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Goresan Kuas Bermakna
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Arga
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kamera Tua
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Mereka Nyata Dan Bercerita
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Yamero
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Aku Atau Dia
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kuncup Bunga Ungu
Christian Shonda Benyamin