Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kabur!
3
Suka
1,123
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Ini kertas terakhir. Kertas menentuan siapa pemenangnya. Kira-kira siapa hayo? Saya buka ya."

Jantungku berdegup kencang. Ini adalah penentuan abahku jadi kepala desa lagi di dua priode atau tidak. Jujurly, aku nggak suka jika Abah jadi kepala desa. Pusing denger julitan tetangga. 

Ketika kami memakai baju sederhana. Muncul julitan. "Pembakal Agus pasti pelit, tuh liat anak bininya make baju biasa banget. Kayak gembel malah."

Ketika aku beli tas bermerk mahal. Kena julid lagi. "Wah, anak pembakal beli tas bermerk mahal tuh. Pasti hasil ngutil dana Posyandu atau gaji bidan desa."

Makanya sejak saat itu, Mama jadi overprotektif. Mewanti-wantiku agar menjaga sikap dan harus terlihat sempurna. Kata Mama, kelakuan benar saja kena julid. Apalagi melakukan hal salah?

Yang paling menyebalkan dijulitin korupsi dana desa. Jadi ingat dua tahun lalu.

***

Aku anterkan air dan kue untuk tukang. Alhamdulillah, Abah ada rezeki renovasi warung di pinggir sungai. Saat hampir tiba, aku memergoki seorang bapak yang sibuk dengan HP-nya. Terlihat dia lagi memotret warungku.

"Ngapain, Pak?"

"Lagi foto-foto aja buat bukti. Kali aja ini renovasi make dana pembangunan gang desa."

Mataku memelotot ke arahnya. "Dih, enak aja bilang korupsi dana desa. Ada bukti? Kalau nggak ada bukti, namanya fitnah. Abah bisa laporin Bapak loh?"

"Liat aja nanti. Waktu membuktikan abahmu korupsi atau nggak."

Dia pergi begitu saja. Aku lanjut ke warung. Mama melihat wajah masamku.

"Kok cemberut? Tadi kayaknya adu mulut sama Pak Taher, kenapa?"

"Dia tuh Ma, sembarangan ngefitnah Abah korupsi make dana desa!" gerutuku.

"Udah. Cuekin aja."

***

"Pemenangnya adalah Agus."

Tepuk tangan riuh membahana terdengar di balai desa. Seketika membuyarkan lamunanku. Aku lemes. Itu artinya Abah jadi kepala desa lagi di priode 2020-2025. Siap-siap aja selama lima tahun mendengar julitan tetangga.

"Abahnya udah dua kali jadi kepala desa, tapi anaknya nggak kunjung jadi pengantin."

"Nggak ada yang mau ambil dia jadi menantu kali."

Terdengar bisik tetangga di belakang kursi yang aku duduki. Tuh, kan baru juga terpilih. Sudah ada yang julid aja. Gimana lima tahun ke depan? Sanggupkah aku mendengar julidan mereka?

***

“Araaa ... buruan bangun! Udah siang tauuu!”

Orang yang barusan teriak itu mamaku. Teriakannya ampuh banget membuyarkan segala mimpi indahku. Padahal adegan di mimpi lagi asyik, makan malam romantis sama Chef Juna. Aku heran sama Mama. Dulu Mama itu cuek banget sama aku. Aku mau bangun jam berapa pun nggak masalah. Namun, sejak Abah menjadi kepala desa, Mama berubah drastis menjadi bos killer yang suka memerintah aku ini-itu demi terhindar dari omongan miring warganya.

“Yaelah, malah bengong. Buruan mandi!”

Aku meraba-raba sekitar bantal untuk mencari belahan jiwaku, handphone. Begitu ketemu kulirik layarnya. “Ya ampun, Ma. Ini masih pagi, baru juga jam sepuluh. Emang ngapain, sih, pake bangunin segala?”

Mata Mama melotot. “Buset, jam sepuluh masih pagi kata kamu? Contoh tuh Suci, abis subuh dia udah dandan cantik, bantuin emaknya jualan di pasar. Lah kamu, jam sepuluh masih ngulet dalam kelambu. Ayo, mandi. Bentar lagi datang tamu penting yang ingin kenalan sama kamu.”

Hal kedua yang aku nggak suka dari Mama itu selalu membandingkan anaknya dengan anak tetangga. Nyesek, guys. Jauh lebih nyesek dibanding pujaan hati yang membahas mantannya. Pertanyaannya adalah: emang aku punya pujaan hati sekarang?

Terakhir aku jatuh cinta sama cowok waktu kelas enam SD. Selama dua puluh tahun aku memilih single. Bukan karena nggak laku, tapi aku ingin setia pada cinta pertamaku itu. Aku juga bingung kenapa bisa sesetia itu sama dia. Mungkin benar kata pepatah cinta tak butuh alasan. Sayangnya, waktu SMP, aku ikut pindah ke Banjarmasin karena Abah pindah tugas. Pengennya sih tetap tinggal di Solo, tapi Mama tak mengizinkan. Takut aku tak terurus katanya. Sedih memang berpisah dengannya, dalam hati masih meyakini seratus persen kalau suatu hari nanti pasti dipertemukan dengannya lagi. 

Tunggu, tadi Mama bilang bentar lagi kedatangan tamu penting. “Siapa yang mau datang ke rumah, Ma? Terus ngapain tamu itu mau kenalan sama aku?”

“Calon jodohmu.”

“Hah? Calon jodoh? Aku nggak salah dengar, kan?”

“Nggak sama sekali.”

“Mama apa-apaan, sih, main sembarangan jodoh-jodohin aku. Macam sinetron aja.”

“Mama tuh capek denger nyinyiran warga yang bilang kamu perawan tua. Umur dua puluh tujuh tahun, nggak kunjung nikah. Lihat teman-temanmu sudah pada nikah dan punya anak. Kamu kapan ngasih Mama cucu? Lagi pula Mama nggak sembarang milih jodoh buat kamu. Orang yang mau Mama ke kamu itu anak Pak Camat.”

Jalan berpikir warga memang masih banyak yang kolot. Anak-anak mereka dinikahkan di usia dini. Mereka berpikir wanita ujung-ujungnya masuk sumur, dapur dan kasur.  

“Yeee ... ngelamun lagi. Buruan mandi! Kalau sampai lima menit nggak mandi juga, bakal Mama siram pakai air comberan.”

Kalau sudah seperti ini nggak ada pilihan lain selain menuruti perintah Mama. Dengan berat hati aku mandi.

*** 

Anak Pak Camat yang kata Mama bakal jadi jodohku kini sudah ada di hadapanku. Dia datang bersama mama dan abahnya. Aku memandangi dia dari ujung kaki ke ujung kepala. Perwujudannya sama sekali bukan tipeku. Kurang ganteng, kurus, matanya juling pula. Mendingan juga Cakka.

“Anak Bu Ambar cantik, ya? Cocok jadi istri anak saya.”

Dih, dia bilang aku cocok jadi istri anaknya? Musibah buatku. Mereka pun mengobrolkan sesuatu yang sama sekali nggak aku mengerti. Lama-lama aku jadi gerah. Aku harus cari cara pergi dari pertemuan ini.

Drrrttt drrrt!

Ponsel di tanganku bergetar. Layarnya tertulis Cakka memanggil. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pertolongan Tuhan nyata adanya. Buru-buru aku terima panggilan dia. “Halo, Cak. Kamu jatuh dari pohon kelapa? Oke, aku ke rumah sakit nengokin kamu sekarang,” kataku dengan nada dibuat sepanik mungkin dan sambungan telepon sengaja kuputus sebelum Cakka berbicara. 

“Ma, Bu Camat, maaf banget Ara mesti pamit dulu. Sahabat Ara lagi kena musibah, jadi Ara buru-buru ke sana nengokin keadaannya.”

Sebelum mendapat persetujuan Mama, aku sudah kabur keluar dari rumah.

***

Aku kabur ke Pantai Jodoh. Tempat ini menjadi salah satu tempat wisata di Banjarmasin yang tak boleh terlewatkan karena merupakan spot paling menarik di Taman Siring. Anginnya yang sejuk pas untuk dinikmati pada sore hari, sekalian cari pasangan.

Sesuai namaku, Karang Pantai, aku suka banget nongkrong di tepi pantai. Bawaannya bikin hati adem. Di sini satu-satunya pantai yang jaraknya paling dekat dengan rumahku.

“Kamu ke sini pasti abis diomelin mamamu lagi.” Terdengar suara bariton di belakangku. Tanpa menoleh pun, aku sudah bisa menebak pemilik suara tersebut, tak lain dan tak bukan adalah Cakrawala Senja. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Cakka.

Cakka merupakan sohibku paling lama. Awal kenal waktu SMP kelas dua. Kalau dihitung-hitung sudah enam tahun bersahabat dengannya. Saking awetnya hubungan persahabatan kami, orang-orang terdekat mengira Cakka itu pacarku. Aku mati-matian menyangkal. Amit-amit kalau sampai pacaran sama dia. Suka telat, kalau main game lupa waktu, pelupa dan suka merokok pula.

“Kok pertanyaanku nggak dijawab?” Cakka tahu-tahu sudah duduk di sebelahku. 

“Abis kamu sok tau, sih. Orang aku ke sini cuma pengen nikmatin udara segar di pantai aja.”

“Woi, Ra. Aku itu kenal kamu bukan cuma sehari dua hari, tapi udah sepuluh tahun. Jadi kamu nggak bakal bisa bohongin aku.”

Selain karena hubungan persahabatan kami sudah lama, insting Cakka juga kuat banget. Aku nggak bakal bisa bohong. Kadang aku pikir apa jangan-jangan dia anak indigo, ya?

“Nah, diam lagi. Ayo cerita sama aku. Mamamu ngelakuin apa lagi? Kok bisa bikin kamu galau gini?”

“Biasa. Mama selalu bandingin aku sama tetangga. Aku capek terus-terusan dibandingin, disuruh ngelakuin hal yang nggak aku suka demi ngejaga nama baik Abah di mata warga. Ditambah tadi Mama mau jodohin aku sama anak Pak Camat yang nggak banget.”

Terus kamu mau gimana, Ra?

Aku mengedikkan bahu. Nggak tahu, jawabku lesu.

“Gimana kalau kamu kabur aja!”

Alisku terangkat sebelah. “Hah? Kabur? Gila kamu, Cak. Aku pergi dua jam tanpa pamit aja udah dimarahin, apalagi kabur. Yang ada aku dicoret dari KK,” cerocosku.

“Ya gimana lagi. Siapa tau dengan kabur, mamamu jadi sadar betapa berharganya kamu dan bisa jadi bakal batalin perjodohan itu.”

Aku merenung memikirkan perkataan Cakka yang ada benarnya juga. Aku tak mau hidupku terus membosankan, disetir orang tua. Jadi aku harus berani coba menaklukkan tantangan dari Cakka untuk kabur. Ini yang bikin aku betah sahabatan sama Cakka. Dia selalu memberikan solusi saat hatiku gundah, galau dan merana.

***

“Ara, Mama dan Abah mau ke acara MTQ dulu. Mungkin pulangnya malam. Tolong jaga rumah baik-baik, ya. Kalau mau pergi cari makan, jangan lupa kunci pintu sekaligus jendela.”

“Oke, Ma.”

Begitu Mama dan Abah keluar dari rumah, aku jingkrak-jingkrak di sofa. Ini saat yang tepat untuk kabur dari rumah dan menjalankan ide Cakka. Aku langsung bergegas ke kamar. Sesampainya di kamar, aku buka lemari, koper gede kukeluarkan, lalu memasukkan beberapa pasang pakaianlengkap dengan pakaian dalam, laptop, charger, buku catatan dan peralatan mandi ke dalam koper tersebut. Ponsel sekaligus dompet kusimpan di sling bag.

Kayaknya itu aja barang yang harus kubawa. Kalau banyak bawaan namanya bukan kabur, tapi pindahan. Entah kenapa aku merasa masih ada sesuatu yang kurang. Apa, ya? Setelah sekitar lima menit memikirkannya, akhirnya aku ingat juga.

Seperti di sinetron-sinetron Indonesia, sebelum kabur, kuputuskan menulis surat dulu untuk Mama dan Abah.

Dear Mama dan Abah,

Maaf ya aku pergi nggak pamit. Pergiku kali ini dalam rangka melaksakan misi mencari kebahagiaan yang hakiki. Tolong jangan cari aku. Doain aja anak Mama dan Abah yang paling cantik secantik sebanua ini selalu sehat dan nggak kelaperan di jalan. 

Mama dan Abah tenang aja, aku perginya sama Pingky. Jadi nggak bakal kehujanan. Paling kedinginan karena AC. Selimut udah kubawa, kok.

Salam cinta,

Karang Pantai.

Setelah selesai menulis, aku meletakkan surat itu di atas meja belajar. Sekarang aku sudah siap untuk kabur. Sebelum pergi dari rumah, kubaca doa dulu, supaya perjalanan lancar. Aku juga tak lupa mengabari Cakka lewat Whatsapp.

Cakka, hari ini aku jalanin ide kamu. Doain lancar, ya. 

***

Nggak terasa sudah empat jam aku berkelana mencari tempat tinggal baru yang nyaman. Berhubung perutku sudah keroncongan, aku mampir ke warung makan sederhana. Menunya sendiri lumayan bervariasi. Ada ketupat Kandangan, soto Banjar, nasi rawon, nasi kebuli dan nasi samin. Aku tadi memilih memesan ketupat Kandangan, lauknya sepotong iwak haruan sekaligus mageli. Minumnya es teh, cemilannya mandai tiwadak.

Kalian pasti bertanya-tanya apa itu iwak haruan, mageli dan manai tiwadak? Akan aku jelaskan satu per satu. Iwak haruan adalah sebutan untuk ikan gabus dalam bahasa Banjar. Sedang Mageli itu sejenis perkedel khas Banjar. Begitu juga manai tiwadak, kue yang terbuat dari kulit cempedak. Proses pembuatan manai tiwadak sendiri, setelah dibuang duri-durinya dan dimasak kemudian diredam dalam air yang sudah dicampur garam selama tiga hari.

Sembari menunggu pesanan datang, aku iseng cek Google Maps. Posisiku saat ini sudah di Kandangan. Abis ini pergi ke mana lagi, ya? Jujur aku belum punya tujuan pasti. Aku mengikuti angin membawa langkah kakiku pergi. Paling nanti kalau capek, coba mampir di penginapan.

Ponsel di tanganku bergetar. Video call dari Cakka. Jari kugeser ke atas. Muncullah wajahnya yang menyebalkan.

“Woi, lagi di mana kamu, Ra?” 

“Aku mampir di warung makan. Lagi ngidam ketupat Kandangan.”

“Gimana? Masih kuat untuk kabur?”

“Kuat dong!”

“Ya udah, aku doain semoga usaha kamu untuk kabur ini mendapatkan hasil yang kamu harapkan.”

“Aamin,” sahutku. “Oh iya, kalau Mama sama Abah nanya keberadaanku sama kamu, tolong jangan kasih tahu, ya,” lanjutku kemudian.

“Oke. Beres.”

Tiba-tiba ibu pemilik warung datang membawa pesanku. “Eh, udah dulu, ya. Pesananku udah datang. Aku mau makan dulu.” Aku memutuskan sambungan video call.

Tanpa aba-aba aku langsung melahap makanan yang ada di depanku. Nggak perlu waktu lama, lima menit aja semua sudah habis. Maklumin ajalah, namanya juga orang lapar. Aku bangkit dari tempat duduk lalu menghampiri ibu pemilik warung.

"Berapa, Bu?"

“Total semuanya 24 ribu.”

Aku buka sling bag. Sesaat kemudian aku panik. Loh, kok dompetku nggak ada? Aku ingat banget sebelum pergi dompet sudah aku masukin. Masa iya bisa jalan sendiri. Aku mencoba mengingat kejadian sebelumnya.

Tadi sebelum masuk ke warung makan ini, sempet ada cowok yang senyum-senyum melihatku. Katanya ada kertas nempel di punggungku. Nggak salah lagi dia pasti copet. Modusnya doang, sok-sokan mengambil kertas di punggung, padahal sekalian mengambil dompetku. Copet zaman now, ada aja akalnya.

Untungnya dompet yang diambilnya cuma berisi sepuluh ribu. Uang utama, ATM dan KTP ada di saku jaket yang kupakai. Aku mengeluarkan uang utama dan memberikan 25 ribu rupiah ke ibu pemilik warung. “Kembaliannya buat Ibu aja, ya,” kataku kemudian.

***

Shit!

Lagi-lagi keapesan kembali datang menghampiriku. Kali ini Pingky tiba-tiba mogok karena kehabisan bensin. Sialnya lagi, mogok di tempat sepi. Hanya ada sawah dan pepohonan. Apa ini tanda kepergianku mencari orang tua angkat nggak direstui Tuhan? Apapun yang terjadi, aku harus tetap maju.

Aku turun dari Pingky dan berjalan kaki. Siapa tahu di depan sana ada orang jualan bensin. Mendadak muncul dua cowok berbadan besar. Cowok satu gondrong dan brewokan. Satunya lagi botak dan berkumis tebal. Sejelek-jeleknya Cakka, lebih jelek lagi dua cowok di depanku ini. 

“Hei, Galuh Langkar, mobilnya mogok, ya?” tanya cowok rambut gondrong.

“Iya, nih. Abis bensin. Di sini yang ada jualan bensin di mana, ya?”

“Jauh, Luh. Sini biar Amang yang beliin, tapi syaratnya Galuh kudu melayanin kita dulu.” Cowok botak menyahut.

Mataku melotot ke arah dua cowok itu. “Jangan asal, ya, kalau ngomong. Aku itu cewek baik-baik!”

“Alah, nggak usah muna. Semua cewek suka kenikmatan.”

Dua cowok itu beraksi dengan mencekal tanganku. Lalu mereka menciumi leherku. Sekuat tenaga aku berontak. Tiba-tiba aku melihat ada cowok lewat. Teriaklah aku sekencang mungkin. 

“TOLONG!”

Cowok itu menoleh dan mendekat ke arahku. “Lepasin dia!”

“Siapa situ? Mau jadi pahlawan kesiangan?”

“Kalian banci, berani keroyokan sama cewek. Kalau berani, sini hadapi saya!”

“Wah, ini orang minta dikasih pelajaran.”

Dua preman itu melepaskan cekalannya dari tanganku. Ini peluang emas buat lari sejauh mungkin.

*** 

Hosh ... hosh!

Aku menghentikan langkah seraya mengatur napas. Aku rasa aku sudah lari lumayan jauh. Aku menoleh ke belakang dan dua penjahat itu nggak ada lagi. Nggak sengaja bola mataku menangkap sesuatu yang aku cari dari tadi. Kios yang menjual bensin enceran di seberang jalan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saking senangnya, aku menyeberang sampai nggak lihat kanan kiri dulu. Alhasil, aku keserempet motor. Sialnya, yang menyerempet malah kabur.

Untung cuma kesenggol bahu doang. Tapi lumayan nyeri. 

“Kamu, nggak apa-apa?” tanya seorang ibu. 

Aku memandangi ibu itu dengan saksama. Dia masih cantik, tubuh mungil, rambut pendek dan make up natural. Firasatku mengatakan umurnya masih sekitar empat puluh tahun. “Nggak apa-apa kok, Bu. Hanya kesenggol bahu doang.”

Ibu itu mencoba membantuku berdiri. Lalu memapahku ke rumah. Ternyata ia adalah pemilik kios jualan bensin. “Loh, kamu Ara anak Pembakal Agus, kan?”

“Ibu kenal sama saya dan Abah?”

“Saya Lily. Suami saya teman dekat Abahmu. Dua tahun lalu pas Idul Fitri, kami ke rumahmu, loh. Sayang, pas kamu nggak ada di rumah.”

“Terus Ibu tahu dari mana saya anak Pak Agus?”

“Kan, di ruang tamu rumahmu ada fotomu. Karena kamu cantik dan mirip mamamu, makanya ibu ingat. Waktu itu juga abahmu banyak cerita tentang kamu.”

“Ngomong-ngomong kamu ngapain ke sini?”

“Sebenarnya saya lagi kabur. Namun sialnya mobil saya mendadak abis bensin. Terus tadi nyaris diperkosa juga.”

"Astaga! Tapi kamu nggak apa-apa, kan?"

"Untunglah saya masih bisa selamat, Bu."

“Terus, kamu kenapa jadi kabur dari rumah?”

“Saya bosan jadi anak kepala desa. Orang tua saya selalu menuntut saya melakukan ini itu demi menjaga nama baik Abah di kampung. Saya bangun siang aja dimarahin. Mereka selalu banding-bandingin saya sama anak tetangga. Ditambah lagi saya mau dijodohin sama orang yang nggak saya suka.”

“Oh, gitu. Tapi kok bisa samaan, ya? Apa ini yang namanya takdir?”

Dahiku mengernyit. “Samaan apanya, Bu?”

“Jadi gini, sejak tiga bulan lalu saya kepikiran mencari orang yang bisa nemenin saya di rumah. Soalnya saya lagi kesepian. Anak saya lagi merantau ke Jakarta untuk mengejar mimpi menjadi musisi ternama. Sudah setahun nggak pulang-pulang.”

“Suami Ibu ke mana?”

Raut wajah Bu Lily berubah jadi sedih. “Sudah meninggal setahun yang lalu.”

Aku jadi merasa bersalah. “Maafin saya, ya, sudah bikin Ibu sedih.”

“Iya, nggak apa. Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di rumah Ibu. Ibu juga nggak keberatan dianggap sebagai orangtuamu. Hitung-hitung balas budi sama abahmu.”

“Balas budi apa, ya, Bu?”

“Abahmu waktu masih muda baik sekali sama suami Ibu. Beliau nggak segan ngasih modal buat usaha kami. Eh, tapi apa orangtua kandungmu nggak ngamuk kalau kamu jadi anak angkat Ibu? Bisa-bisa mereka nuntut Ibu karena menculik kamu.”

 “Ibu tenang aja, kalau mereka ngamuk nanti biar saya yang jelasin ke mereka.”

“Kalau kamu sudah menjamin seperti itu, syukurlah. Mulai sekarang panggil Mami aja.”

Mataku berbinar. “Berarti mulai sekarang saya anggap Bu Lily sebagai Mama?”

“Ya. Selamat datang jadi bagian keluarga Lily Puspitasari. Oh iya, kamu bilang tadi mobilmu mogok. Mogok di mana? Biar karyawan kios Mama yang ambil. Dia jago bawa mobil, kok.”

Aku menyebutkan lokasi Pingky mogok. Tak lupa menyerahkan kuncinya ke Bu Lily. “Makasih untuk semuanya, ya, Mi.” 

"Oh iya, ini minum dulu!" Bu Lily menyerahkan teh kepadaku. Berhubung capai lari-larian, aku meneguk teh dengan cepat. Tahu-tahu abis satu gelas. Mendadak kepalaku pusing dan mengantuk. "Mi, kok aku ngantuk ya?"

"Kecapaian kali. Kamu istirahat di kamar aja yuk."

Baru berdiri, semua sudah gelap.

***

Aku membuka mata. Seketika mendapati diri mengenakan pakaian seksi, tangan terrantai di kepala ranjang, kedua kaki terikat di kaki ranjang, mulut dilakban dan leher juga ada rantainya. Aku meronta mencoba melepaskan diri, tapi yang ada justru malah sakit 

"Ehmmm." Aku teriak percuma. Nggak ada yang bisa mendengar.

Kenapa aku bisa ada di sini? Terakhir kali aku di rumah Bu Lily, lalu pingsan. Itu artinya dia orang jahat?

Butiran bening mengalir gitu saja dari pelupuk mataku. Inikah karma karena kabur dari orang tua? Karena kurang bersyukur? Tuhan, tolong bebaskan aku dari sini. Aku janji kalau doaku terkabul, aku nggak akan kabur-kaburan lagi.

Tiba-tiba pintu terbuka. Muncul Bu Lily beserta seorang pria tua, perut buncit, rambut botak, kumisan pula. 

"Ini Om, anak yang saya janjikan. Gimana? Cantik dan seksi kan?"

Aku menggelengkan kepala. Maksudnya apa? Aku mau dijual sama Om-Om ini? Nggak aku mau. Air mataku makin deras mengalir. 

Bu Lily dan Om itu mendekat ke arahku. Si Om duduk di sebelahku. Lalu, membelai rambut dan wajahku. Dia juga membuka lakban di mulutku. 

"Cantik sekali. Siapa namamu?"

"Cih, jangan sentuh aku!" Aku menggeliat berusaha menghindari si Om di depanku ini. 

"Waw. Galak sekali anak ini. Tapi, aku suka yang galak-galak."

Pandanganku beralih ke Bu Lily. "Mami, Lily tolong lepasin aku!"

"Mau dilepasin? Kerja dulu dong, Sayang. Gimana Om, mau dilepasin rantai dan ikatnya atau …?"

"Kayaknya biarin kayak gini aja deh. Lebih hot dan menantang."

"Aku nggak sudi kerja begituan." Aku terus meronta nggak peduli tangan dan leherku semakin nyeri. 

"Berisik. Plak!" Si Om menampar pipiku. Dia kemudian kembali melakban mulutku.

"Ehmmmm."

"Ya udah terserah, Om. Saya tinggal dulu ya. Selamat bersenang-senang."

Aku terus meronta. Namun, si Om justru makin erat mencekal tanganku. Tuhan, apakah dosaku terlalu banyak sehingga nggak Kau kabulkan doaku lepas dari neraka dunia ini?

Di saat bersamaan …

"Jangan bergerak!"

Muncul tiga polisi bersama Cakka dan orang tuaku. Dua polisi itu meringkus Bu Lily dan si Om. Sedangkan satunya lagi membuka rantai di tangan dan leherku.

Aku langsung memeluk orang tua serta menangis sejadi-jadinya di pelukan mereka. Mama membelai rambutku. "Ara, kamu nggak apa kan?"

"Ma, maafin Ara. Main kabut aja. Abis ini Ara janji akan nurut apa pun kata Mama. Termasuk dijodohin sama anak Pak Camat."

"Syukurlah, kami belum terlambat," tutur Cakka.

"Cakka, kok kalian bisa ada di sini?"

"Tadi orang tuamu datang ke rumahku, mereka nangis-nangis khawatir. Mamamu katanya punya firasat buruk, jadi terpaksa aku bilang posisi terakhir kamu di Kandangam. Nah, pas aku telepon kamu lagi sudah nggak aktif. Aku khawatir juga. Untung abahmu punya teman polisi di sekitar sini. Mereka langsung bergerak membantu mencarimu."

Ada untungnya juga punya orang tua kepala desa. Benar kata orang, jadi pejabat itu enaknya dapat privilege dari berbagai pihak. Mungkin kalau orang biasa, nggak akan digubris. Baru bisa dinyatakan hilang, setelah 3x24 jam belum kembali.

Sesuai janjiku ke Tuhan, setelah aku akan lebih bersyukur terhadap orang tuaku sendiri. Gimana pun kondisinya. Sekalipun harus menghadapi 1000 tetangga julid.

-Selesai- 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Kabur!
Ariny Nurul haq
Novel
Bronze
TERIMA KOST PUTRA
Eko S. Ayata
Novel
A Gift For Everyone
Fann Ardian
Flash
Cinta di Balik Layar
Vika Rahelia
Novel
Rantau 1992
Saras Agustina
Novel
sora
Leviosa S
Novel
THE LIGHT OF TEARS
Indy Nurliza Zulfianti
Novel
Bronze
Sepatu untuk Riyani
Vhira andriyani
Novel
Gold
Happiness is You
Bentang Pustaka
Novel
Forgive Me If I Made You Scared, My Lil Sister
Anis Maryani
Novel
Rectify
Cloverbean
Novel
JARAMBAH
Hendra Wiguna
Novel
Retorika Mimpi Kapal Kertas
Muhammad Salim Supriatna
Novel
Bronze
BETTER HALF
KUMARA
Novel
From Angel to Devil
Wildan Ravi
Rekomendasi
Cerpen
Kabur!
Ariny Nurul haq
Novel
Bronze
Mi Bancir Bumbu Cinta
Ariny Nurul haq
Novel
Bronze
5 Kali Sehari Aku Menyebut Namamu
Ariny Nurul haq
Novel
Bronze
Pesantren Gaib
Ariny Nurul haq
Novel
Bronze
Sate Gosong
Ariny Nurul haq
Skrip Film
Kuingin Dilamarmu
Ariny Nurul haq