Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kepulan asap kopi hitam yang ada di hadapanku berangsur hilang. Minuman berkafein yang tadinya panas kini mulai dingin. Seakan ingin menyaingi dinginnya cuaca malam ini. Aku mulai merasa bosan, jenuh, pasalnya sudah satu jam kita duduk di warung kecil, di pinggir jalan ini, hanya duduk diam dan terpaksa menyaksikan padatnya jalanan ibu kota. Tanpa saling berbicara, atau saling melempar jokes - jokes receh seperti yang biasa kita lakukan.
Suara bising mesin kendaraan yang kadang beradu dengan lengkingan klakson, nyatanya tak juga memancingku untuk bergegas meninggalkan tempat ini. Kau tahu kenapa?
Karena aku sedang bingung melihatmu, kamu belum mengeluarkan sepatah katapun sejak tadi. Kau hanya sibuk memandangi jalanan, sambil sesekali membenahi rambut panjangmu yang sedikit berantakan karena di sapu angin. Sorot matamu juga tampak tak tenang. Aku tak ingin bertanya, wajah sendumu menunjukkan bahwa kamu hanya butuh ditemani bukan di interogasi.
" 3 hari lagi aku akan berangkat."
Ucapanmu yang tiba - tiba membuat cangkir kopi yang ada di tanganku sedikit bergetar. Ah...bukan hanya tanganku yang gemetar, tapi juga jantungku yang kini tengah berdetak tak beraturan. Harmoninya kacau seketika.
Kau tahu, apa yang terlintas dalam pikiranku saat kau bilang akan pergi??? Semua kemungkinan terburuk yang terjadi pada sebuah hubungan jarak jauh. Mulai dari sakitnya menahan rindu, rasa curiga, bahkan perpisahan.
" CV ku di terima. Aku akan bekerja di sana selama beberapa tahun. Kamu nggak apa - apakan aku tinggal?"
Bohong jika aku bilang, aku tidak apa - apa. Karena pada kenyataannya, aku tak akan merasa baik - baik saja harus terpisah jarak denganmu.
" Aku nggak apa - apa. Aku tahu ini mimpi kamu sejak lama. Pergilah!!"
Aku terpaksa membohongimu, bahkan menipu diriku sendiri. Tak mengapa, karena aku yakin, jika kita saling percaya dan menjaga, semua akan baik - baik saja.
" Besok, aku jemput ya." Kataku lagi usai meneguk kopi yang sudah terlanjur dingin.
" Mau ke mana?"
Aku sengaja menggantung jawabanku, agar bisa melihat ekspresi penasaran dari wajah manis yang kamu miliki. Setelah kamu pergi, entah kapan aku bisa melihat wajahmu lagi seperti ini.
***
Hari masih terlalu pagi saat aku tiba di depan rumahnya. Bahkan bulir embunpun tampaknya masih betah bertengger di antara dedaunan. Ya...selama tiga hari ke depan aku akan menjadi orang yang tidak sopan, karena bertamu ke rumah orang pagi - pagi sekali. Siapa yang peduli?? Toh...ini jadi satu - satunya cara untuk memberinya kenangan manis sebelum jarak menjadi penghalang di antara kami.
Tak perlu lama menunggu, kamu keluar dari rumah di dampingi ibumu. Aku turun dari motor yang ku tunggangi, dan bergegas menyalami ibumu. Badung begini, aku juga tahu etika. Setelah pamit dengan ibumu, kitapun berangkat ke suatu tempat yang masih ku rahasiakan. Kamu terus saja bertanya 'kita mau kemana?' . Dan jawabanku tetap sama ' rahasia'.
***
"Kenapa kita ke sini?"
Itu adalah kalimat pertama yang kamu ucapkan saat kita tiba di salah satu toko buku.
" Kita masih di parkiran, kamu nggak akan dapat jawaban dari aku. Ayo...!!"
Aku menarikmu masuk ke dalam toko. Aroma khas buku-buku baru langsung menerobos indra penciumanku saat kita berdua telah berada di antara deretan rak - rak buku.
" Kamu kan nggak suka baca buku, lalu kenapa kita ke sini?" Tanyamu lagi masih terlihat penasaran. Aku sengaja mengabaikanmu, karena sedang fokus mencari buku yang aku inginkan.
" Alfi...aku tanya, jawab donk."
Aku menyodorkan sebuah atlas dunia berukuran kecil padamu, sebelum kamu protes lebih banyak lagi.
" Atlas? Kamu mau beli buku ini?"
Aku tak menjawab, aku membuka buku tadi, mencari halaman yang akan menunjukkan gugusan benua dan pulau-pulau yang ada di muka bumi. Ketemu!!
" Beberapa hari ke depan, aku akan ada di sini," paparku sambil menunjuk pulau Jawa yang ada di peta. " Dan kamu...di sini." Lanjutku lagi sambil mengarahkan telunjukku di bagian wilayah Taipei. Negeri seberang yang akan kamu tempati untuk beberapa tahun ke depan. Jauh dari rumah, jauh dari keluarga, dan...tentu saja jauh dariku.
Kamu diam, mungkin kamu bingung dengan tingkahku hari ini, yang terlihat berbeda dari biasanya.
" Jarak Indonesia dan Taipei berapa kilometer?" Tanyaku ingin tahu.
"Hmm...kalo nggak salah 2825 km. Kita bakalan jauh. Maafin aku ya." Tiba-tiba wajah murungmu membuatku cemas.
" Hei...tenang. Kita nggak sejauh itu, anggap saja jarak kita berdua, hanya berkisar beberapa senti, seperti di atlas ini." Hiburku demi menepis ke khawatiranmu, dan kaupun tersenyum tipis.
" Alasanku membawa kamu ke sini, buat menghilangkan kekhawatiran kamu sama aku. Supaya kamu tahu, bahwa aku hanya akan menganggap kita berjarak beberapa senti bukan ribuan kilometer."
Kamu tersenyum. Senyum kelegaan yang turut melegakan ku juga. " Dan kita masih bisa menikmati langit siang dan malam yang sama, karena waktu yang memisahkan kita hanya 1 jam."
***
Aku masih mematut diri di depan cermin, hoodie berwarna putih dengan detail motif sederhana dan celana jeans berwarna hitam telah membalut tubuh jangkungku. Seharusnya aku sudah siap untuk pergi. Tapi...aku masih menunggu waktu untuk menyiapkan diri, mengucapkan salam perpisahan padamu. Aku gugup, ketakutanku untuk berpisah kembali menghantui.
Bahkan saking gugupnya, teleponmu sejak tadi aku abaikan begitu saja. Aku tahu kamu sudah tiba di bandara lebih dulu. Lantaran ada banyak hal yang harus kamu urus sebelum keberangkatan. Dan seharusnya aku sudah ada di sana sejak lima belas menit yang lalu. Entahlah...kakiku terlalu berat untuk ku langkahkan ke sana. Berat rasanya mengucapkan selamat tinggal.
Tapi...jika bukan hari ini, aku tidak tahu kapan akan bertemu kamu lagi. Aku menghela nafas panjang, ku putuskan untuk bergegas ke sana. Aku tak ingin membuatmu kecewa karena aku tidak berada di sana saat hari keberangkatanmu.
Setibanya di sana, mataku memindai ke adaan sekitar berusaha menemukan keberadaanmu. Tapi...kau tidak ada. Ku alihkan pandanganku pada arloji yang melingkar dipergelangan. Seharusnya kamu masih ada di sini. Ini belum waktunya pesawat yang kau tumpangi lepas landas.
"Alfi...!!!"
Senyumku mengembang saat kulihat kau sedang berlari kecil menuju ke arahku dengan senyum manis. Aku belum terlambat ternyata.
" Aku nggak telatkan?" Tanyaku saat kamu telah berada tepat di hadapanku.
Aku kaget, saat tiba - tiba kamu memelukku dan kemudian terisak.
" Kamu beneran nggak apa - apakan aku tinggal?" tanyamu sambil melepas pelukan tadi. Aku bisa melihat matamu yang basah karena tangisanmu. Aku memutar otak mencari cara untuk menenangkanmu.
" Hei...ingat, just one hour." Bujukku sembari menyeka air matanya." Kita masih ada di waktu siang dan malam yang sama. Ya...kita berada sedekat itu."
Kamu terlihat menghela nafas panjang, sambil kembali menyeka air mata yang masih bandel keluar dari sarangnya.
Kamu mengangguk beberapa kali, yang aku artikan itu sebagai tanda setuju denganku.
" Take care yourself, aku berangkat." Pamitmu kembali memelukku sebelum akhirnya kamu beranjak pergi memasuki gerbang keberangkatan.
" Alfi...!!" Teriakmu lagi dari kejauhan sambil melambaikan tangan. " Just one hour."
Aku tersenyum, senyuman yang turut mengantarmu pergi meninggalkanku.
***
Drttt...drttt...
Getar ponsel di sakuku, memaksaku untuk menghentikan kegiatan makan siangku sejenak. Aku tersenyum, mendapati siapa yang meneleponku di waktu siang seperti ini.
" Selamat siang, sayang."
Iya...itu telepon darinya. Bagi orang-orang mungkin aku dan dia tengah menjalani hubungan jarak jauh, tapi bagi kami berdua ini hanya hubungan yang berbeda jarak waktu 1 jam.
Yah...just one hour. Walau pada akhirnya kisah aku dan dia harus berakhir, setidaknya kami pernah sama - sama berjuang saling mempertahankan.
●●●