Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Pindah ke Jalan Kenanga
Pukul sebelas siang, sinar matahari bulan Juni menusuk kaca jendela taksi yang Dina tumpangi, memantulkan siluet pepohonan rindang di sisi jalan. Dina, menempelkan telapak tangan ke pipi, mencoba mengusir gerah yang menggantung. Di sampingnya, Lela, sahabat karibnya sejak zaman kuliah, sibuk membetulkan letak kacamata bacanya, jemarinya lincah memindai layar ponsel, mencari-cari alamat. Mereka berdua, dua karyawati baru dari kota kecil yang jauh, akan segera memulai babak baru di kehidupan mereka di Samarinda, kota yang terasa begitu asing sekaligus menjanjikan.
“Sudah dekat, Din?” Lela bertanya, suaranya sedikit serak karena perjalanan panjang.
“Seharusnya, sih,” jawab Dina, melirik GPS yang menunjukkan titik biru mereka tinggal beberapa ratus meter lagi dari tujuan. “Kata si agen, nggak jauh dari kantor kita.”
Jalan Kenanga. Nama jalan yang terdengar begitu tenang, seolah menjanjikan kedamaian di tengah hiruk pikuk kota. Mereka berdua memang sengaja mencari tempat tinggal yang dekat dengan kantor baru mereka, sebuah perusahaan konsultan yang cukup besar di pusat kota. Pertimbangan utama adalah efisiensi waktu dan biaya transportasi. Ketika seorang agen properti menawarkan sebuah rumah kos di Jalan Kenanga, hanya berjarak 200 meter dari gedung kantor, dengan harga sewa yang terbilang sangat murah untuk fasilitas yang ditawarkan—kamar mandi dalam, AC, dan furnished—mereka tak berpikir dua kali. Terlalu bagus untuk dilewatkan, pikir mereka kala itu.
Taksi melambat, berbelok ke sebuah gang sempit yang diapit ruko-ruko tua. Gang itu tak beraspal, hanya berupa tanah padat yang sedikit berdebu. Di ujung gang, mereka melihatnya. Sebuah rumah tua berlantai dua, dindingnya dicat krem kusam, dengan genteng merah marun yang tampak sedikit lumutan. Halaman depannya tidak terlalu luas, hanya cukup untuk parkir dua motor dan ditanami beberapa pot bunga bugenvil yang tumbuh rimbun. Tidak ada kesan mewah, tapi terlihat bersih dan terawat. “Ini dia,” kata Dina, menunjuk.
Sopir taksi menghentikan kendaraannya tepat di depan pagar kayu yang sedikit terbuka. Mereka turun, menyeret koper-koper mereka yang berat. Udara di sekitar rumah terasa sedikit lebih sejuk, dan entah mengapa, ada aura kesunyian yang mencekam. Bukan sunyi karena tidak ada suara, tapi sunyi yang seolah menyembunyikan sesuatu. Jauh dari kebisingan jalan raya utama, rumah itu berdiri seolah terisolasi dalam dunianya sendiri.
“Selamat siang, Nak?” Suara itu tiba-tiba muncul dari balik pintu utama yang sedikit terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan kain batik sebagai bawahan, muncul. Wajahnya ramah, tapi senyumnya terasa tipis, hampir tidak terlihat. Ia adalah Ibu Penjaga, begitu si agen properti menyebutnya. “Sudah ditunggu, mari masuk.”
Mereka saling pandang, sedikit canggung. Pemilik kos, yang seharusnya menyambut mereka, tidak pernah muncul sejak awal. Semua komunikasi hanya melalui agen dan Ibu Penjaga ini. Namun, rasa lelah akibat perjalanan jauh membuat mereka mengabaikan keanehan kecil itu. Mereka hanya ingin segera merebahkan diri.
Ibu Penjaga membawa mereka ke kamar di lantai dua. Lorong lantai dua terasa panjang dan agak gelap, meskipun ada beberapa jendela yang seharusnya bisa menerangi. Hanya ada lima kamar di lantai ini, dan sepertinya hanya kamar mereka yang terisi. Pintu-pintu kamar lainnya tertutup rapat, seolah tak berpenghuni. Sepanjang perjalanan di lorong itu, Dina merasakan hawa dingin yang merayap di kulit, bukan dingin karena AC, melainkan dingin yang aneh, seperti udara yang terperangkap dan tidak bergerak.
Kamar mereka ternyata cukup luas, jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan untuk harga segitu. Ada dua tempat tidur single, dua lemari pakaian, meja belajar, dan kamar mandi dalam yang bersih. Jendela besar menghadap ke halaman belakang, di mana tumbuh sebatang pohon mangga yang menjulang tinggi, daunnya lebat dan rimbun. “Ini kuncinya, Nak. Kalau ada...