Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu, gumpalan awan kelabu menggantung malas di atas langit komplek perumahan, seolah ikut merasakan muramnya hati Za'im. Bocah berusia sembilan tahun itu berdiri mematung di pinggir lapangan basket, matanya terpaku pada tiga temannya: Allan, Farel, dan Erlan, yang sedang sibuk tertawa riang di depan layar konsol game terbaru. Mereka tidak mengajaknya, bahkan tidak menyadari kehadirannya. Suara dentingan koin virtual dan sorakan kemenangan mereka menusuk telinga Za'im, membuatnya merasa semakin kecil dan tak terlihat.
“Al, ayo main lagi! Kita kalahkan si botak itu!” seru Farel, jarinya lincah menekan tombol.
Allan menyeringai lebar. “Oke, siap! Za’im, mau lihat?” Dia melirik sekilas, basa-basi belaka, sebelum kembali fokus pada layar. Bola mata Za'im memanas. Kata "Za'im" itu seolah hanya gema, tanpa bobot, tanpa arti. Allan tidak menunggunya menjawab, tidak sungguh-sungguh mengajaknya. Permainan itu, game baru yang sedang menjadi buah bibir, terasa seperti dinding tak kasat mata yang memisahkan Za’im dari dunia mereka. Dinding yang terbuat dari uang saku lebih dan kecanggihan teknologi.
Za'im menghela napas panjang, pahit. Dia membalikkan badan, meninggalkan sorakan dan tawa yang menyakitkan. Jalanan komplek yang ramai justru terasa lebih sunyi baginya. Bau gorengan dari warung Mak Ijah, suara klakson motor yang lewat, obrolan ibu-ibu di teras rumah—semua hanya lewat seperti angin, tak...