Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Apa yang akan kamu lakukan saat kamu didatangi seorang perempuan yang sedang mengandung anak dari suamimu? Ia mengaku sebagai istri dari suamimu. Ia meminta tolong supaya aku memberikan izin kepada hubungan mereka. Sehingga, anaknya yang akan lahir bukan dari pernikahan siri atau rahasia, tetapi sah secara agama maupun negara.
Bodohnya, saat itu aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku tidak memarahinya. Aku sangat ingin menjambak rambutnya, namun aku tidak bisa melakukannya. Ia menangis sambil memegang perutnya yang semakin besar.
Sungguh, saat itu, aku kesulitan bernapas hingga aku tidak bisa bergerak maupun berkata-kata. Aku hanya bisa memandangnya yang tidak henti menangis. Aku ingin mengusirnya dari rumahku, rumah yang aku bangun bersama suamiku. Rumah ini ada jerih payahku. Aku tidak rela jika ada perempuan lain yang ikut tinggal di rumah ini. Tetapi, aku tetap tidak bisa berkata apa pun.
Ia masih menangis dan masih memohon padaku untuk menyelamatkan hidupnya. Ia mengatakan jika anaknya lahir maka butuh kasih sayang seorang ayah. Ia juga berterus terang bahwa sudah lelah bersembunyi dariku. Ia tidak ingin pernikahannya menjadi rahasia lagi. Ia menyadari pernikahan siri yang ia lakukan bersama suamiku adalah salah. Ia tidak mau tampak seperti selingkuhan. Ia mau terlihat sebagai istri suamiku yang tercatat. Ia bermimpi punya buku nikah sepertiku.
Aku masih tak bisa berkata apa pun. Namun, hatiku meronta, memakinya.
“Lantas, siapa yang akan menyelamatkan hidupku? Kamu pikir itu mudah? Kalau kamu tidak mau terlihat sebagai pelakor, kenapa kamu melakukan itu? Kamu bilang anakmu butuh kasih sayang ayahnya. Lantas, bagaimana dengan anakku? Cinta katamu? Makan itu cinta!”
Ya, kalimat itu hanya berisik di hatiku. Sekali lagi, aku hanya bisa diam.
“Mbak Salma, aku mohon. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Mas Izar masih belum mau meminta izin padamu. Ia bilang, ia takut akan kehilanganmu. Tapi, aku tidak bisa seperti ini terus, Mbak. Aku mohon terima aku. Berikan izinmu, dan aku akan berperilaku baik dan tidak akan menyakitimu.”
Aku memejamkan mataku. Napasku yang berat kucoba untuk mengaturnya. Aku masih kesulitan meresponnya dengan kata-kata. Aku tidak terbiasa bicara banyak dan tidak terbiasa memaki orang. Namun, aku pun manusia yang memiliki keterbatasan, termasuk kesabaran. Aku berusaha untuk terus berpikir jernih, sekali lagi bukan karena aku tidak marah. Aku sangat marah. Tetapi, aku melihat ada bayi di perutnya. Aku tidak ingin kata-kata kasarku terdengar oleh janin yang tak berdosa itu. Setidaknya, jika ia terlahir laki-laki maka jangan menjadi seperti ayahnya, dan jika terlahir perempuan juga jangan seperti ibunya. Itu sangat menyakitkan.
“Apa yang kamu dan Mas Izar lakukan sudah menyakitiku,” kalimat pertama dari mulutku akhirnya meluncur.
“Aku tahu, Mbak. Aku tahu. Tidak seharusnya kami menikah tanpa izinmu. Tapi, kami khawatir tidak bisa menjaga perasaan cinta kami. Kami hanya ingin hubungan halal.”
“Negara kita negara hukum. Kukira kamu dan Mas Izar paham akan hal itu.”
Ia kembali mengangguk dan meminta maaf.
“Apa Mas Izar tahu kalau kamu datang menemuiku?” tanyaku.
“Tidak, Mbak. Aku tidak memberitahunya. Aku takut ia marah. Ia pernah mengancam akan menceraikanku jika aku menemuimu.”
Aku tertawa getir mendengar jawabannya. Aku mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada suamiku.
“Istri keduamu menemuiku di rumah. Ia menangis memohon izinku supaya pernikahan kalian tercatat dan sah secara agama. Kurang ajar kau, Mas!”
Tak lama, HP-ku berdering. Aku biarkan. Entah berapa kali Mas Izar menelponku, aku biarkan. Kemudian, HP perempuan itu berdering. Ia terkejut dan tidak berani mengangkatnya. Aku berpikir, itu pasti Mas Izar. Aku diam dan hanya melihat perempuan itu kebingungan.
“Tidak, Mbak. Jangan bilang kalau mbak udah kasih tahu Mas Izar kalau aku di sini.”
Aku menatap matanya dengan perasaan puas.
“Kenapa, memang? Bukannya ia juga harus tahu karena semua ini juga perbuatannya?”
“Kukira kamu bijak, Mbak. Aku udah bilang kalau ia pernah mengancamku. Kita sama-sama perempuan, Mbak. Kenapa mbak tidak memahami posisiku?”
Aku kembali tersenyum getir.
“Heh! Apa kamu bilang? Kita harus saling memahami? Lantas, mengapa kamu mau menikahi suami orang kalau kamu juga perempuan yang punya perasaan?”
Tangisannya semakin keras. Ia sangat tampak kebingungan. Tangannya bergetar. Tiba-tiba ia berlutut dan memohon dengan suara semakin tertekan.
“Kumohon, Mbak. Aku sudah enam bulan ini tidak bertemu dengan Mas Izar. Ia selalu bilang sibuk. Aku belum memberitahunya kalau aku sedang hamil anaknya. Mas Izar belum tahu kalau aku hamil. Aku takut, Mbak.”
Aku menarik napas dan menggelengkan kepalaku. Apa maksudnya? Kepercayaanku kepada Mas Izar kini runtuh. Mas Izar yang aku anggap sebagai imam dalam keluargaku. Ilmu agamanya lebih pintar. Ia juga sangat baik memperlakukanku. Ia selalu kerja keras untukku dan anakku hingga kami bisa di posisi ini. Tetapi, ia melakukan semua ini.
“Mbak, tolong berikan izinmu. Tolong, Mbak, selamatkan aku.”
Aku diam tak menjawab. Aku biarkan ia berlutut. Namun, beberapa menit berlalu tangannya semakin bergetar. Sungguh aku sangat marah padanya, tetapi aku tidak bisa membiarkan bayi di rahimnya ikut merasa sakit.
“Hentikkan. Silakan kembali duduk di kursi. Kasihani bayimu.”
Ia kemudian berdiri pelan dan mendekatiku. Ia meraih tanganku.
“Baik, Mbak. Jika mbak tidak ingin membantuku, niatkan untuk membantu bayi ini. Kasihani bayi ini, Mbak. Ia harus memiliki status yang jelas. Ia harus tumbuh seperti anak-anak yang lain.”
Aku menarik tanganku dan duduk bergeser menjauhinya. Jelas ini perkara berbeda. Sudut pandang yang berbeda. Entah aku semakin tidak bisa berpikir jernih.
“Perbuatan kalian menyakitiku.”
Ia kembali menangis. Aku diam. Kini, tanganku yang bergetar. Kakiku melemas. Aku melihat jam dinding, menunjukkan bahwa anakku akan segera pulang sekolah. Aku harus menjemputnya, tetapi tubuhku melemas.
Kami saling diam, walau masih terdengar isakan tangisnya. Aku heran dengan diriku yang tidak ikut menangis. Sepertinya, aku tidak berdaya untuk menangis.
Suara mobil memasuki rumah. Aku sangat hafal dengan suara itu. Mas Izar datang. Aku melihat pintu rumah yang tidak tertutup, dan ada Mas Izar yang sudah berdiri di sana. Aku memandangnya dengan penuh amarah.
“Sayang, aku akan menjelaskan semuanya,” katanya sembari mendekatiku dan hendak memegang tanganku. Aku menghindar.
“Sudah waktunya menjemput Juna. Aku harus pergi,” kataku dengan amarah yang terpendam.
“Mbak,” panggil perempuan itu.
Aku menoleh ke arahnya.
“Silakan kalian bicara. Aku tidak akan mengganggu,” kataku.
“Tidak, Sayang. Tunggu dulu. Aku tidak tahu jika ia ke sini.”
“Jangan bilang kamu juga tidak tahu kalau perempuan itu sudah hamil!” sergahku.
Mas Izar terkejut dan kemudian melihat perempuan itu.
“Enggak. Enggak mungkin.”
“Apa maksudmu, Mas. Enggak mungkin bagaimana? Ini anakmu.”
“Aku sudah lama tidak menemuimu, dan setiap kita berhubungan, aku selalu memakai pengaman.”
“Mas!! Apa maksudmu? Memangnya aku perempuan seperti apa? Aku tidak pernah melakukan hubungan selain dengan kamu,” jerit perempuan itu.
Ya Allah, apa yang baru saja aku dengar? Kaki ini kembali melemas, hati kembali terasa sakit. Tetapi, bodohnya aku, aku hanya diam. Aku tidak memaki suamiku. Aku tidak menjambak perempuan itu,
“Aku tidak peduli dengan urusan kalian. Silakan bicarakan. Anakku sudah menunggu jemputan,” ujarku.
“Aku antar ya, Sayang. Kita jemput Juna bersama,” kata Mas Izar yang tangannya meraih pundakku, berusaha memelukku.
Aku merinding dan merasa jijik. Tanganku mendorong tubuhnya.
“Jangan pernah menyentuhku lagi!”
Aku berjalan keluar, menyalakan sepeda motorku dan mengendarainya dengan perasaan sangat kacau. Sepanjang jalan menuju sekolah Juna yang jaraknya sekitar tiga kilo dari rumah, pikiranku kacau.
Apa yang harus aku lakukan? Aku menjemput Juna, haruskah aku membawanya ke rumah? Di sana ada perempuan yang mengaku sebagai istri dari ayahnya. Haruskah kami lari, pergi menjauh dari rumah? Tetapi, rumah itu adalah rumah kami, rumah yang dibangun dengan cinta.
Aku baru bisa meneteskan air mata. Aku menjerit dan menangis tanpa henti. Aku tidak peduli beberapa orang melihatku seperti orang gila. Aku hanya ingin menangis.
Saat motorku hampir sampai di sekolahan, aku menepi sebentar, mengusap air mataku, dan menyiapkan senyuman saat berjumpa dengan anakku.
Kulihat seorang ibu guru memberi tahu Juna kalau aku sudah datang menjemput. Juna pun memanjangkan tongkatnya dan berjalan perlahan mendekatiku. Aku kembali tidak bisa menahan tangisku, walau aku sudah ingin menyambutnya dengan senyuman. Entah mengapa aku sedikit merasa lega dengan kondisi Juna. Seandainya Juna bisa melihatku, aku tidak akan bisa menjawab pertanyaannya saat ia tahu wajah sedihku.
“Ibu sudah datang,” kata Juna yang sudah berdiri tepat di depanku.
“Iya, Sayang, ibu sudah datang,” kataku yang kemudian memeluknya.
“Jilbab ibu basah, kenapa?” ia meraba jilbabku.
“Oh, ini ibu tadi habis cuci muka.”
Juna mengangguk.
“Kenapa suara ibu serak?”
Ya Allah, aku tidak bisa memberi tahu perasaanku saat ini kepada Juna.
“Ibu kenapa? Ibu sakit?”
Tangan Juna meraba wajahku. Aku tidak mampu menahan air mata.
“Kenapa ada air di pipi ibu? Apa saat ini ibu menangis? Ibu, ada apa?”
Juna yang memiliki hati lembut ikut merasa kesedihanku. Aku lupa, Juna memang tidak bisa melihat, namun ia bisa meraba dan merasakan suasana hatiku.
Aku berusaha untuk tidak menangis. Aku menahannya. Aku berusaha ingin tersenyum dan bilang ibu baik-baik saja. Tetapi, aku tidak bisa karena nyatanya aku sedang tidak baik-baik saja.
“Ibu tidak menangis, Juna. Ini air bekas ibu cuci muka.”
Juna menggeleng.
“Tapi, Juna merasa ibu nangis. Ibu kenapa? Apa yang membuat ibu sedih?” tanyanya.
“Juna, seandainya ibu dan ayah tidak bisa bersama lagi, Juna mau ya ikut ibu?” entah kenapa ucapanku seolah meluncur begitu saja.
“Kenapa ibu dan ayah tidak bersama lagi? Aku ikut kalian berdua. Juna ikut ibu, tapi juga ikut ayah.”
Ya Allah, haruskah aku membawanya lari? Aku tidak bisa kembali ke rumah itu. Tidak akan kubiarkan Juna bertemu dengan perempuan itu. Aku juga tidak mau bertemu Mas Izar. Aku merasa jijik dengannya.
“Tapi, saat ini ibu butuh Juna. Jadi, Juna mau ya sama ibu, bersama ibu?” kataku sambil terisak.
Juna mengangguk.
“Baik, Bu. Tapi ibu jangan nangis, jangan bersedih. Juna akan ikut ibu. Ibu adalah mata Juna. Ibulah yang selalu menyinari langkah Juna. Walau Juna hanya bisa melihat kegelapan, tapi jika bersama ibu, Juna merasa ada cahaya.”
Aku semakin terisak mendengar kalimat Juna. Ia tumbuh dengan baik. Ia menjadi anak yang baik. Tetapi, kami orang tuanya belum bisa menjadi teladan buatnya.
Tiba-tiba aku merasa napasku berat, pandanganku kabur, tubuhku lemas. Aku pun jatuh tergeletak. Aku tidak berdaya untuk berdiri, namun aku masih mendengar sayup suara Juna yang berteriak memanggilku, dan aku masih melihat beberapa kaki melangkah ke arahku. Tak lama kemudian, aku tidak bisa melihat apa-apa.
Wonocatur, 15 Mei 2024
*Cerpen ini adalah salah satu cerpen yang ada pada buku Serumpun Cerita Pendek "Bejo" karya Muyassarotul Hafidzoh