Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Jika Cinta Masih Ada
1
Suka
46
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jika Cinta Masih Ada

Tidak pernah terbayangkan olehku orang yang pernah kutolak bertahun lalu akan kembali, membawa harapan baru yang membuatku enggan untuk menolak.  

Menjalin hubungan berarti siap menjalin luka. Hubungan dijalin tanpa ikatan, tapi komunikasi yang hangat membuat cinta tumbuh perlahan. Hati belum siap mengikat, meski rasa sudah terpikat. Aku menunda jawaban, kadang khawatir dia tak sanggup menunggu atau berpaling karena ketidakpastian. Tapi di balik semua ragu, hatiku tetap memilihnya, aku hanya ingin melihat sejauh mana dia benar-benar sedia bertahan.

Aril bukan lelaki yang banyak bicara. Ia menghadirkan tenang di tiap percakapan, tatapan hangat, suara lembut, seolah berkata bahwa aku aman bersamanya. Ia tidak meminta untuk segera dipilih, namun hanya meminta izin untuk tetap tinggal, menungguku dengan sabar. Tanpa aku sadari, jarak yang dulunya aku buat antara kami, mulai terisi dengan rasa yang tak pernah dipungkiri. Aku tak pernah merencanakan ini, tapi tiba-tiba saja, perasaan itu datang perlahan, namun pasti. Dengan kesederhanaannya, ia membawa rasa yang dalam. Dengan caranya memahami tanpa menghakimi, aku menemukan alasan untuk jatuh cinta.

Cinta dibatasi jarak dan waktu. Terlahir di suatu desa yang sama. Kini kami merantau di kota yang berbeda untuk melanjutkan karir masing-masing.

“Nada, ingat janjiku ya. Aku menyayangimu, aku selalu khawatir jika kamu berpaling. Tolong tunggu aku, ya” ucapnya suatu malam.

“Kamu yakin mau sama aku?” tanyaku.

“Sangat mau” jawabnya, tanpa ragu.

“Tahun depan jika kita sudah ketemu, pasti jadi kok” ucapku, memberanikan diri setelah banyak penundaan.

“Bener kah?” tanyanya penuh harap.

“Iya. Asal kamu masih sabar menunggu”

“Aku akan selalu menunggu,” ucapnya

Berjalannya waktu, janji itu diuji. Masalah datang, menghadirkan rasa tidak percaya kepadanya.  Komunikasipun terputus.

Ada yang retak, bukan karena perpisahan tapi karena diam yang tak dijelaskan. Hari-hari berlalu tanpa kabar, tanpa suara, tanpa satupun pesan yang membuatku merasa tetap diingat. Aku menunggu, menebak-nebak, membuat alasan agar tidak merasa ditinggalkan. Tapi sekuat apapun aku menyangkal, nyatanya ia tak lagi datang.

Walau hati telah dibuat kecewa, kehadirannya selalu kutunggu, rasa kehilangan selalu ada setiap kali mengingatnya. Entah kenapa, ada rasa yang belum selesai, seperti lagu Penjaga Hati yang pernah dinyanyikannya terus berputar di kepala tanpa akhir. Aku tak tahu apakah Aril sudah melupakanku, atau apakah aku yang terlalu takut menghadapi kenyataan jika dia benar-benar sudah pergi.

***

Bulan berganti, mencoba berdamai dengan rindu dalam hati. Mencoba melupakan segala tentangnya, janjinya, percayaku, harapku, dan pertemuan di depan sana. Menyibukkan diri adalah caraku untuk mengalihkan pikiran tentangnya. “dia sudah bahagia tanpaku, berarti aku juga harus bahagia tanpanya” pikirku.

Di bulan yang selalu dinanti para perantau, dua hari menjelang Idul Fitri aku pulang ke kampung dengan hati yang penuh harap. Bertemu keluarga, merayakan rindu, dan membalut sukacita dalam hangatnya suasana lebaran.

Pada malam takbiran, aku melaju pelan, menikmati riuhnya desa bersama sahabatku, Zifa. Jalanan desa padat oleh warga yang mengarak obor, anak-anak bersorak gembira menyambut lebaran.

Saat mataku menyapu keramaian, tanpa sengaja aku melihatnya, seseorang yang pernah ucap janji padaku. Tatapan kami sempat bertemu, aku segera memalingkan wajah, seolah tak melihatnya.

Berlalu tanpa sapa meski dada bergetar, lirih tanpa suara. Dia pulang, tapi mungkin sudah lupa janjinya, pikirku.

"Tunggu aku pulang ya, Nada. Saat cuti nanti, kita jalan-jalan berdua," ucapnya dulu. Malam itu, kenangan itu kembali.

Saat pikiranku masih tersesat dalam lamunan, Zifa menegur, "Kamu lihat dia kan tadi? Yang kamu harapkan akhirnya terjadi, dan tahu nggak? Dia liatin kamu terus" Zifa, sahabat yang paling mengertiku, nyerocos dengan antusias, seolah ikut merayakan pertemuan tak terduga itu. Aku hanya tersenyum, berusaha tenang. Pertemuan singkat itu tertinggal di benakku, tak mau berlalu, bahkan sampai aku dan Zifa masih menghabiskan waktu berjam-jam bersama, bayangan itu terus ada.

“Kringggggg…..”

Saat asik mengobrol dengan Zifa, gawaiku berbunyi, pertanda pesan masuk. Jantungku berdetak kencang, nama yang kutunggu dua bulan terakhir muncul di layar, Aril.

Seketika, semua perasaan yang kucoba tenggelamkan kembali mengapung.

“Assalamualaikum, Nada”

“Waalaikumsalam” balasku, ragu. Butuh beberapa menit sebelum aku membalas, atas desakan Zifa.

“Apa kabar? Kamu baik-baik saja?”

“Iya aku baik”

Chating berlanjut, hingga ketika aku sudah di rumah, Aril menelpon. Menyesali yang pernah terjadi, ingin kembali seperti dulu.

Apa yang harus aku lakukan? Aku bimbang, ingin percaya, tapi masih ada kekhawatiran. Bagaimana jika ia hanya datang karena rasa penasarannya belum selesai?. Setelah lama hilang tanpa kabar, rasa itu tetap ada, namun harapan tak lagi kugantungkan terlalu tinggi, takut luka yang sama kembali menyapa.

“Kenapa kamu kembali?” tanyaku

“Aku nggak pernah benar-benar pergi,” jawabnya pelan. “Tiap saat aku selalu mikirin cara untuk hubungi kamu lagi. Aku sadar kamu kecewa karenaku, rasa takut dan malu menahanku. Sampai akhirnya, setelah lihat kamu tadi, aku tidak bisa tahan lagi.”

Kami mengobrol lama. Sebelum telpon ditutup, Aril bertanya “Kalau besok atau lusa aku ke rumahmu, boleh?”

“Datang aja kalau sempat, rumahku selalu terbuka,” jawabku.

“Iyaa, besok aku kabarin”

“Aku tunggu”

Lusa yang kutunggu akhirnya tiba. Malam itu, udara desa terasa menenangkan. Langit bersih, bertabur bintang yang jarang bisa kulihat di kota. Aku duduk dengan tidak sabar menanti Aril datang. Aku mencoba tenang. Hingga, suara ibuku memanggil. Memberi tahu ada temanku datang.

Najairil

Ia berjabat tangan dengan orang tuaku, basa-basi sebentar, lalu kami duduk berdua. Senyumnya masih sama, seperti yang kurindukan sejak terakhir kali bertatap muka melalui gawai. Hening, tak ada kata yang keluar, hingga akhirnya kami saling melempar senyum canggung. Dia berkata dengan suara pelan, ”Terima kasih, Nada”

Aku tersenyum. Aku tak tahu harus berkata apa, tapi mataku, aku yakin telah berbicara lebih dulu. Mungkin tentang rindu, penantian, atau mungkin tentang segala yang tak sempat kusampaikan ketika kami tidak saling sapa kemarin.

Setelahnya kami berusaha menghilangkan kecanggungan masing-masing. Aril bercerita, aku mendengarkan. Lalu aku bercerita, dan ia tak menyela.

Dua hari setelah pertemuan itu, sore hari aku telah bersiap menunggu Aril. Ku lihat dia datang, lalu segera menyamperinya.

“Ayo berangkat” ucapnya sambil tersenyum.

Kami berbonceng menyusuri jalan yang lengang, angin sore terasa sejuk, cahaya matahari menyelinap di antara pepohonan, menciptakan bayangan panjang di tanah.

Kami menuju taman kota. Saling bertukar cerita, mengungkap rasa yang sempat tertahan. Sederhana, duduk berdua dengan seseorang yang lama aku tunggu, menyambut senja dengan jiwa yang lapang, karena harapan itu akhirnya pulang.

Matahari berganti bulan, kami akan pulang. Ia berkata, “Terimakasih sudah menerimaku kembali, aku senang kita bertemu, bertukar cerita seperti ini”

Aku menatapnya, tersenyum.

“Jadi… kamu berangkat lusa?” tanyaku meski sudah tau jawabannya.

“Iyaa hari senin aku sudah mulai praktek”

Aku mengangguk “Kamu pasti bisa”

”Berangkat kali ini rasanya berat, karena aku nggak tahu kapan bisa pulang lagi” ucapnya lirih.

“Jadi ini terakhir kita ketemu?” pancingku, berharap ia mengajakku jalan lagi esoknya.

Ia tertawa ringan dan berkata, “Besok malam aku jemput, ya”

Malam itu tiba, kami kembali menyusuri jalan, keliling desa, tertawa di atas motor, berbagi cerita yang membuat segalanya terasa ringan.

Di tengah perjalanan, Aril tiba-tiba bertanya, “Jadi kita gimana? masih gini-gini terus kah?” ucapnya terdengar ragu.

Aku bingung, haruskah aku menerimanya sekarang atau tidak. Aku diam sejenak, berpikir.

“Tunggu satu bulan lagi, ya” jawabku sambil tawa ringan, berusaha menghilangkan kecanggungan

Ia tersenyum, “Okeee” jawabnya seolah menerima tantangan. “Kanda siap menunggu jawaban Dinda hingga bulan depan,” ucapnya, kami tertawa setelahnya.

Aril mengantarku pulang, ia tersenyum menatapku, dan berkata dengan pelan “aku akan mengusahakanmu, tunggu aku pulang kembali, ya”

Aku tersenyum, mengangguk dan mengucapkan hati-hati padanya. Aril pergi, aku berdiri melihat punggungnya yang mulai hilang dari pandangan.

Dan keesokan paginya, Aril mengabariku, ia akan berangkat.

           Di teras rumah, aku duduk memandang ke langit yang cerah, berharap melihat pesawat yang dinaiki Aril melintas di atas langit rumahku.

           Dalam diam, aku berharap untuk kebaikannya, dan semoga hatinya tetap mengingat arah pulang. Karena di kampung ini, di hati ini, ada seseorang yang selalu menunggunya kembali.

***

Rupanya aku sendiri tidak sabar menunggu satu bulan. Tiga hari setelah Aril pergi, aku berhenti meragu.

Untuk pertama kalinya, aku menerima perasaan Aril. Bukan karena desakan waktu atau takut kehilangan, tapi karena aku akhirnya percaya, rasa ini memang pantas diperjuangkan. Dan di balik apapun masalah yang pernah terjadi, aku mempercayai bahwa alam semesta turut membantu Aril untuk kembali padaku.

Kini, kami bukan lagi sekedar rasa yang menggantung, tapi kasih yang saling dijaga. Aku mulai berani berharap, di setiap langkah yang Aril ambil jauh di sana, semoga ada aku yang dia ingat. Bukan karena aku selalu ada dalam notifikasinya, bukan karena foto yang ia simpan dalam dompetnya, tapi karena aku memang hadir di hatinya. Sebagai seseorang yang ia jaga dalam diam, yang ia rindukan dalam lelah, dan tempat ia pulang kelak saat waktunya tiba.

Waktu, jarak, dan mungkin keraguan-keraguan yang sesekali datang tanpa diundang akan menjadi bumbu dalam kisah ini. Tapi aku percaya, jika cinta ini diletakkan di tempat yang benar, di hati yang sama-sama tulus dan saling menjaga, maka itu bukanlah masalah besar.

“Ruang ini akan selalu aku rawat, lindungi, dan tetap ku pertahankan. Kita jaga percaya dan janji kita, jaga harapan yang selalu kita sematkan untuk hubungan ini. Untukmu dan untukku.” Ucap Aril

Aku tak tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Tapi untuk sekarang, aku memilih percaya. Cukup berharap, cukup menunggu, dan cukup Aril.

***

Bertahun-tahun telah berlalu, dan cinta kami tumbuh dengan segala keheningan dan keramaian, saling mengisi tanpa pernah benar-benar bertanya apa yang akan datang di ujung jalan.

Suatu sore, aku menerima sebuah amplop putih, tertulis namaku dengan tulisan tangan yang sangat aku kenal. Aku membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya, sebuah undangan terhampar rapi, dengan desain yang sederhana namun elegan, nama sepasang kekasih terukir di sana.

Di undangan, tertulis, “Dengan penuh bahagia, kami mengundang anda untuk hadir dalam acara bahagia kami.” Waktu, tempat, dan segala detailnya tertulis dengan jelas di undangan itu.

Dalam amplop itu terselip catatan yang bertuliskan, "Kuharap kamu datang. Aku ingin kamu menjadi bagian dari hari yang kutunggu." -Aril

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Starstruck Syndrome
Bentang Pustaka
Cerpen
Jika Cinta Masih Ada
Nurul Hidayah
Novel
Black Turtle
Puji Utami
Novel
Bronze
Surau Tuo
Harli Handa Hidayat
Cerpen
Rahasia Di Balik Senyuman
Akilla Zelena Fatma
Skrip Film
Kala
Nadya Christie
Novel
Arkian
Aisyah Wimpi
Novel
Rela, Where it start it end
Revain
Novel
Bronze
Macarons in love
Dewi pratiwi
Flash
Sebuah Usaha Meluk Mantan
Ifa Alif
Flash
Mendarah
Ismi Chairani
Cerpen
Bronze
Platonic Love
Nuel Lubis
Novel
Unknown Husband
Michelia Rynayna
Novel
Mentari untuk Elang
Widayanti
Cerpen
Rinai Hujan
Ningningluvvzz
Rekomendasi
Cerpen
Jika Cinta Masih Ada
Nurul Hidayah